Rabu, Oktober 27, 2010

Mbah Marijan Meninggal

Yogyakarta - Seribu pertanyaan dari publik tentang keberadaan Mbah Maridjan terjawab sudah. Juru kunci Gunung Merapi itu ikut gugur di pangkuan gunung penebar kesuburan itu. Amanah Sultan HB IX untuk menjaga gunung paling berbahaya di Indonesia itu, selesai sudah.

"Dilihat dari batiknya dan kopiah yang dipakai di kepalanya kita yakin (itu jenazah Mbah Maridjan)," kata petugas Tim SAR Yogyakarta, Suseno, saat ditemui di RS dr Sardjito, Yogyakarta, Rabu (27/10/2010). Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di dapur. Luka bakar terdapat di tubuhnya. Bajunya robek-robek.

Nama Raden Ngabehi Suraksohargo atau yang lebih terkenal dengan panggilan Mbah Mardijan melambung seiring dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi, Yogyakarta, pada 2006 lalu.

Mbah Maridjan terkenal karena sebagai juru kunci Gunung Merapi, dia tidak mau mematuhi perintah untuk turun gunung oleh Sultan Hamengkubuwono X. Akibatnya, mata dunia pun terbelalak pada sosok renta yang sangat sederhana ini.

Bahkan, saking terkenalnya pria kelahiran Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, tahun 1927 itu, Pemerintah Jerman yang saat itu sedang menggelar hajatan Piala Dunia bermaksud mengundang Mbah Maridjan untuk menghadiri pembukaan Piala Dunia 2006. Si Mbah lantang menolak. "Kalau saya ke Jerman, siapa yang mencari rumput sapi saya," tutur pria sepuh itu.

Bagaimana Mbah Maridjan setelah dikenal dunia? Apalagi Si Mbah saat ini telah menjadi ikon produk jamu "Roso-roso"! Adakah perbedaan dengan Si Mbah setelah lebih 'berada'? Ternyata tidak. Mbah Maridjan tetap seperti yang dulu, ramah, rendah hati dan selalu tersenyum menghadapi siapa pun meski belum kenal sama sekali.

"Saya ya tetap seperti ini," ujar Mbah Maridjan dengan Bahasa Jawa khasnya saat
ditemui detikcom di sela-sela kesibukannya yang terus menerima tamu di saat
musim liburan Natal dan Tahun Baru, Senin (24/12/2007) silam.

Mbah Maridjan menuturkan, pascameletusnya Gunung Marapi pada 2006 silam, banyak perubahan pada dirinya. Selain menjadi terkenal, dia menjadi ikon produk jamu yang juga membuat namanya semakin melambung.

"Tapi soal honor, itu bukan saya yang mengurusi. Tapi anak-anak saya, dan masyarakat juga menikmati hasilnya," papar pria bersahaja ini.

Pengalaman lucu pun diceritakan Mbah Maridjan saat pengambilan gambar dalam iklan tersebut. "Waktu itu saya diajari agar saya mengangkat tangan saya sambil membawa gelas dan mengatakan 'roso-roso'. Sering diulang," kata Mbah Maridjan disambut tawa para tamunya.

Karena usianya yang semakin renta, Mbah Maridjan mengaku sudah tidak kuat lagi melakukan aktivitas sehari-hari semisal berladang dan mencari rumput. "Rumput satu kali mencari biasanya bobotnya 50 kilo. Jadi pundak saya sudah nggak kuat untuk mengangkatnya," cerita Mbah Maridjan sambil tertawa.

"Kan sudah minum jamu 'roso-roso' itu, Mbah?" Mbah Maridjan hanya tertawa lebar
mendengar pertanyaan tersebut.

Sayangnya, saat itu Mbah Marijan tidak mau lagi difoto bareng dengan pengunjung. Hal ini berbeda 2006 lalu tatkala Si Mbah dengan sabar bersedia meladeni tamu yang hendak berpose dengannya.

"Nanti kalau mau difoto tembok saya sudah nggak bisa lagi menampung foto-fotonya," ujar si mbah sembari menunjukkan foto-foto Mbah Maridjan dengan berbagai pose yang terpampang di tembok rumahnya.

Namun kini, sosok sederhana dan rendah hati ini telah tiada. Mbah Maridjan menepati janjinya kepada Sultan HB IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.

Selamat jalan Mbah, di mata kami, sampeyan tetap roso! (anw/nrl)

Studi Islam : Antara Historisitas dan Normativitas

A. Pendahuluan
Pemahaman terhadap keIslaman selama ini dipahami sebagai dogma yang baku dan menjadi suatu norma yang tidak dapat dikritik, dan dijadikan sebagai pedoman mutlak yang tidak saja mengatur tingkah laku manusia, melainkan sebagai pedoman untuk menilai dogmatika yang dimiliki orang lain, meskipun demikian dogmatika tersebut tidak dapat dilepaskan dari segi sejarah pembentukan dogma itu sendiri. Kecenderungan salah penafsiran terhadap norma mengakibatkan truth claim, dimana klaim mengasumsikan bahwa tidak ada kebenaran dan keselamatan manusia kecuali dalam kelompoknya sendiri. Dogmatika yang dipahami secara fanatik tersebut disosialisasikan sejak dini dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Sehingga norma dan tingkah laku umat beragama terkotak, di satu sisi ia menekankan ketertundukan dengan mematikan potensi berfikir, tetapi di sisi yang lain terjadi pemberhalaan sedemikian rupa yang menyebabkan doktrin tersebut menjadi pembatas kesatuan antar manusia. Sehingga agama yang sebenarnya pada esensinya sebagai bentuk ekspresi religiousitas, dimana makna cinta kemanusiaan menjadi inti dari agama, berubah menjadi sumber konflik atas nama Tuhan.
Tidak jarang umat Islam melakukan tindakan destruktif atas nama kebenaran mereka. Pembakaran Masjid Ahmadia, pengeboman, peperangan dan tindakan-tindakan lainnya atas nama penerapan hokum syariatnya. Itu semua disebabkan oleh sebuah pemahaman yang sempit terhadap kebermaknaan keyakinan agama.
Di sinilah, maka pemikiran Amin Abdullah menjadi relevan, karena berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan "hukum baku" tersebut.
Ada sisi historisitas dan normativitas dalam studi Islam, kata Amin Abdullah. Sisi historisitas merupakan bentuk sejarah bagaimana dogmatika itu muncul, sedangkan normativitas adalah aturan baku itu sendiri, yang mana tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentangnya. Dimana penafsiran tentang dogmatika tersebut, tidak hanya ditentukan oleh teks tunggal, melainkan juga kepentingan, kondisi, maupun prejudice yang mendasari penafsiran juga muncul dalam pemikiran keIslaman, yang kini telah dibakukan dan dijadikan pedoman mutlak.
Dengan mengkaji sisi normativitas dan historisitas inilah, studi Islam dalam makalah ini ditulis. Agar bisa menelaah sisi-sisi bangunan normativitas dan sisi historisitas yang kerap dicampur-baurkan.
B. Pengertiatan Normativitas
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan (Syadzili: 1979). Pada aspek normativitas, studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
C. Pengertaian Historisitas
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi (W.J.S. Poerwadaminta : 1991). Definisi tersebut terlihat menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitka dengan aspek lainnya. Sedangkan dalam pengartian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga di lihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, dimana, kapan, dan mengapa peristiwa tersebut terjadi
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang sluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam diantara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai umat Islam dalam berbagai bidang,seperti dalam bidang pengetauan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.
D. Ruang lingkup sejarah Islam
Dari segi periodesasinya dibagi menjadi peride klasik, periode pertengahan dan periode modern. Periode klasik (650-1250 M) dibagi lagi menjadi masa kemajuan Islam I (650-100 M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M). Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250-1800 M dibagi menjadi dua masa, masa kemunduran I dan masa III kerajaan besar. masa kemunduran I sejak 1250-1500 M.Mas III kerajaan besar berlangsung Sejak 1500-1800 M. Sains Islam dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salahsatu pencapaian besar dalam peradaban Islam.
Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga kesembilan masehi, paradaban Islam merupakan peradaban yang paling produktif di bandingkan dengan peradaban manapun. Di wilayah sains, sains Islam berada pada garda depan dalam berbagai kegiatan, mulai dari kedokteran, astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang di bangun atas arahan nilai-nilai Islami. Karenanya, menurut Harun Nasution, membincangkan tentang Islam tidak bisa hanya satu aspek saja tetapi harus dari berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya. (Harun Nasution : 1978)
E. Pengelompokkan Islam Normatif dan Islam Historis
Ketika melakukan studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan Islam mana yang diteliti; Islam pada level mana. Maka penyebutan Islam normatif dan Islam Historis adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Istilah yang hampir sama dengan Islam Normatif dan Islam Historis adalah Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai produk sejarah.
Sedangkan Islam Historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktekkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi dua wilayah (domain). Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW) (Nasr Abu Zayd : 2003). Menurut Abu Zayd, Al-Quran adalah sebuah teks. Dan Umat Islam dibangun didasarkan pada interpretasi terhadap teks. Interpretasi ini adalah sebentuk dialektika antara teks dengan realitas yang melingkupi keadaan umat Islam.
Bentuk dialektika itu dikenal dengan ragam Ijtihad. Hasil ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti tafsir dan fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas permasalahan yang timbul itu belum/tidak disinggung. Karena itulah diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan. Dalam kelompok ini dapat di temukan empat pokok cabang : (1) hukum/fikih,(2) teologi,(3) filsafat, (4) tasawuf. Hasil ijtihad dalam bidang hukum muncul dalam bentuk : (1) fikih, (2) fatwa, (3) yurisprudensi (kumpulan putusan hakim), (4) kodikfikkasi/unifikasi, yang muncul dalam bentuk Undang-Undang dan komplikasi. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya : praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada. Contohnya lainnya praktek duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim di tempat/ negara lain tidak melakukannya.
Sementara Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang berbeda sebagai berikut :
• Tingkatan pertama, adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan institusi-institusi.
• Tingkatan kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan.
• Tingkatan ketiga manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai wahyu. Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Pada masa pewahyuannya memakan waktu kurang lebih 23 tahun.
Pada teks ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat sejumlah ilmuwan(ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1. Nash prinsip atau normatif-universal, dan
2. Nash praktis-temporal
Nash kelompok pertama, nash prinsip atau normatif-universal, merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup. Adapun nash praktis-temporal, sebagian ilmuwan menyebutnya nash konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat menjadi fenomena sosial atau Islam aplikatif atau Islam praktis. Dengan penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the original text mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi/relatif/zanni, dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks; konteks zaman; konteks sosial; konteks tempat dan konteks lain-lain.
Sementara dengan menggunakan teori Islam pada level teori dan Islam pada level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik al-Qur’an maupun sunnah nabi Muhammad SAW. Dapat disebutkan bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah yang dihadapi masyarakat arab di masa pewahyuan. Kira-kira demikianlah posisi Islam yang kita formatkan sekarang untuk merespon persoalan yang kita hadapi kini dan di sini. Perbedaan antara nash dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan pada nabi Muhammad, sementara format yang kita rumuskan sekarang adalah format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan, sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu sudah berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad SAW.



F. Keterkaitan normativitas dan historisitas dalam studi keIslaman.
Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam, humaniora, social, agama atau ilmu-ilmu keIslaman, harus diformulasikan dan dibangun di atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat dijadikan garansi kebenaran. Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak, kenyataannya ilmu pengetahuan tidak tumbuh dalam kevakuman, akan tetapi selalu dipengaruhi dan tidak dapat terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah social dan politik. Pemikiran ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan produk, hasil karya manusia.
Dalam pengertian ini, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-ilmu keIslaman harus dilakukan, karena filsafat ilmu saling berkaitan dengan sosiologi ilmu pengetahuan. Dua cabang ilmu pengetahuan ini jarang didiskusikan dan tidak pernah dimasukan dalam tradisi ilmu keIslaman yang ada. Padahal keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus dimengerti bagi para ilmuan muslim yang ingin terhindar dari tuduhan pembela tipe studi Islam yang hanya bersifat pengulang-ngulangan, statis, disakralkan dan dogmatik.
Ketika pada akhirnya menghadapi masalah-masalah historisitas pengetahuan, patut disayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non muslim yang hendak mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keIslaman secara psikologi merasa terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non reduksionisme. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional yang terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi ilmu-ilmu keIslaman karena persoalan itu. Sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri telah menempatkan Islam normative dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core dalam kerangka kerja Lakatos, yang harus dilindungi dengan sifat-sifatnya yang mendorong pada penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru (positive heuristic). Hard core atau Islam normative sama dengan apa yang telah ditetapkan sebagai objek studi agama yang tepat dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.
Bangunan baru ilmu-ilmu keIslaman, setelah diperkenalkan dan dihubungkan dengan wacana filsafat ilmu dan sosiologi ilmu penegetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga dimensi untuk melihat fenomena agama Islam, yakni pendekatan yang berunsur linguistic- historis, teologis-filosofis, dan sosiologis-antropologis pada saat yang sama. Tentang apa dan bagaimana pendekatan tersebut sudah banyak ditulis oleh para ahlinya.
Dengan demikian, ilmu-ilmu keIslaman yang kritis, sebagaimana yang dinyatakan oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega mereka yang memiliki keprihatinan yang sama, hanya dapat dibangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi satu dengan lainnya. Masing-masing pendekatan berinteraksi dan dihubungkan dengan yang lainnya. Tidak ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat berdiri sendiri. Gerakan dinamis ini pada esensinya adalah hermeneutic.
G. KESIMPULAN
• Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
• Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.
• Ruang lingkup sejarah Islam dilihat dari segi periodesasinya dibagi menjadi peride klasik, periode pertengahan dan periode modern.
• Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah yaitu: Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW), Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim.
• Keterkaitan normativitas dan historisitas dalam studi keIslaman. hanya dapat dibangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi satu dengan lainnya.
H. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Rabu, Oktober 20, 2010

Pembelajaran PAI berbasis ICT

Pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia yang bisa dilakukan sejak masih dalam kandungan (Khaeruddin, 2007: 3). Ia juga merupakan suatu proses dari sesuatu yang tidak tahu menjadi tahu, atau yang mulanya tidak mengerti menjadi mengerti, atau lagi yang mulanya pasif menjadi aktif. (Sri Alfiyanti: 2008: 22). Untuk mewariskan nilai atau proses menjadi tahu, seorang guru haruslah memiliki cara-cara yang tepat dalam menyampaikan pengetahuan atau pengertian. Hal inilah yang disebut dengan metode. Metode merupakan jembatan yang menghubungkan pendidikan dengan anak didik menuju kepada tujuan pendidikan Agama Islam yaitu terbentuknya kepribadian muslim (Sri Alfiyanti: 2008: 23).
Penggunaan metode sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Sebaik-baik kurikulum, namun tanpa ditunjang dengan metode yang tepat, maka akan tidak berarti apa-apa dalam suatu proses pendidikan tersebut. Metode diibaratkan sebagai syarat untuk memperoleh pengetahuan, pengertian dan aktivitas dalam proses pendidikan (Sri Alfiyanti: 2008: 23). Seorang guru bisa dikatakan profesional jika ia bisa menggunakan metode dengan baik. Karena cara penggunaan metode, adalah menentukan suatu guru berhasil mencapai standar kompetensi yang diamanatkan.
Kelemahan Pembelajaran PAI
Keprofesionalan guru dalam menggunakan metode menjadi prasyarat seorang pendidik dapat meningkatkan mutu pendidikan. Ditengah-tengah tantangan zaman yang semakin global, guru agama Islam harus mencari inovasi-inovasi baru terkait dengan pembelajarannya. Sementara ditengah masyarakat sendiri, masih banyak kritik-kritik yang ditujukan pada pelaksanaan pembelajaran agama Islam. Hal ini sebagaimana diakui oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (2002) yang mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam sekarang ini masih : 1) Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai nilai yang harus dipraktekkan), 2) pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya, 3) penalaran dan argumentasi berpikir untuk masalah masalah keagamaan kurang mendapat perhatian, 4) penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat perhatian, 5) menatap lingkungan untuk kemudian memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian (orientasi pada kenyataan kehidupan sehari-hari kurang), 6) metode pembelajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan penggarapan, 7) ukuran keberhasilan pendidikan agama juga masih formalitas (termasuk verbalistik), 8) pendidikan agama belum mampu menjadi landasan kemajuan dan kesuksesan untuk mata pelajaran lain, 9) pendidikan agama belum dijadikan fondasi pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian. Hal senada disampaikan oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2009: 2) terkait dengan kualitas akademik pendidikan di Indonesia : 1) banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimannya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya, 2) sebagaian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan, 3) siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah.
Berkaitan dengan kritik-kritik tersebut, pendidikan Agama perlu melakukan pembenahan-pembenahan yang inovatif, khususnya dalam memberikan metode-metode yang mampu melibatkan keaktifan siswa. Karenanya, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secaraa seksama dalam meningkatkan kesempatan belajar bagi siswanya dan memperbaiki kualitas mengajarnya.
Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam mengorganisasikan kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar-mengajar, bertindak sebagai fasilitor yang berusaha menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif, sehingga memungkinkan proses belajar mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru dituntut mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada siswa, sehingga ia mau belajar karena siswalah subyek utama dalam belajar.
Memanfaatkan ICT
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini sangatlah cepat. Ia bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif sekaligus juga hal negatif. Berbagai inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, termasuk dalam dunia pendidikan. Ia bisa menjadi media yang sangat tepat dalam menyalurkan pesan dalam mendorong terciptanya belajar mengajar siswa (LPTK Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009: 338). Termasuk dalam hal ini pesan-pesan yang disampaikan dalam pembelajaran PAI. Sudah banyak software-software Islami yang diciptakan oleh pakar yang bisa dimanfaatkan dalam menunjang media pembelajaran. Seperti halnya power point, flash, courseleb, ulead, al-Quran digital, Dhuha Ebook, dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, pemanfaatan ICT, dapat sangat mudah untuk diakses dan dimanfaatkan demi mempermudah pembelajaran. Dengan berbagai penggabungan software dan informasi yang didapat dari berbagai fasilitas ICT, maka pembelajaran PAI akan lebih mudah dicerna dan dipahami.
Power Point, misalnya,sebagai salah satu software yang beberapa tahun banyak diakrabi oleh beberapa orang dalam mempermudah presentasi adalah sangat cocok untuk pembelajaran PAI. Ia bisa menerima al-Quran digital, software Islami, lagu, Flash dan sekaligus juga bisa menerima film-film yang akan mempermudah pembelajaran PAI. Karena itu, guru bias memilih software power point, sebagai pendekatan dalam pembelajaran PAI.
Jika guru mampu menguasai Flash, maka ia juga akan bisa mempermudah dalam pembelajaran. Program ini bisa menyimpan data banyak dalam pembelajaran PAI. Guru, bisa-bisa, tidak perlu repot-repot dengan pembelajaran manual menerangkan memakai buku. Guru tinggal membawa laptop dan menyiapkan LCD, dan tinggal mengklik tombol-tombol yang sesuai. Jika ingin lebih mendalam, guru bisa mengklik URL, yang bisa menyambungkan dengan alamat-alamat dalam web-web internet. Guru juga bisa menugaskan siswa dalam dunia maya, misalnya mengirim tugas lewat Facebook, yang pasti diakrabi oleh siswa. Dengan demikian PAI pun, bisa mengikuti perkembangan teknologi yang digandrungi siswa.
Dengan demikian pemanfaatan ICT, bisa membawa dampak positif bagi pembelajaran PAI. Ia bisa mempermudah pembelajaran, sekaligus bisa menampilkan suatu pembelajaran yang tidak membosankan dengan hanya bertumpu pada ceramah saja. Guru juga tidak dipandang Katrok, ketinggalan zaman. Namun guru agama, bisa memelopori ICT yang bermoral dan bermartabat. Semoga!!!

Sakinah Mawaddah warahmah

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*