Sabtu, Mei 10, 2014

Yatim Hakekat


Tiba-tiba kesunyian malam dipecahkan oleh suara tangis Hadi dan Haryo. Ia menangis sejadi-jadinya, hingga seluruh penghuni rumah terbangun. Kakek-neneknya tergopoh-gopoh mendekati kamar Menik, ibunda Hadi dan Haryo. Di dalam kamar tersebut, kakek-nenek mendapati Menik sedang berusaha untuk menenangkan dua anak laki-lakinya yang menangis bersama-sama.

Ono opo le? [1]  Malam-malam kok menangis begini” tanya sang Nenek setelah ia mendekati Hadi dan Haryo. Hadi dan Haryo masih tetap menangis sejadi-jadinya.

“Ndak tahu bu! Hadi dan Haryo tiba-tiba menangis. Sudah ku tanya berkali-kali, namun ia tetap tidak mau bicara.” jawab Menik.

Sang Nenek kemudian mendekat dan memeluk kedua cucunya.

 “Cup…cup sayang. Jangan menangis! Coba bilang ke nenek, ada apa?” rayu sang nenek dengan nada lembut menyentuh hati sambil membelai-belai rambut kedua anak laki-laki malang itu.

Mendapati nenek yang disayanginya itu membelai-belai rambutnya, Hadi dan Haryo lerai dari jeritan tangisnya. Dengan mata basah, dan nafas yang tersengal-sengal mereka berdua hendak menjawab pertanyaan neneknya. Namun sebelum menjawab sang nenek dengan bijak meminta kedua cucunya tersebut untuk tidak menjawab terlebih dahulu. Sang nenek menyuruh kedua cucunya untuk minuman air dari gelas yang diambilkan dari kendi yang tidak jauh dari kamar Menik. Hadi dan Haryo meminum air dalam gelas itu hingga habis.

“Nek, bapak kemana?” tanya Hadi dengan suara yang masih terdengar sesenggukan setelah selesai meneguk air.

Pertanyaan sederhana itu terasa bagai godam bagi seluruh penghuni rumah. Pertanyaan yang sulit dijawab dan sulit dijelaskan secara gamblang untuk bisa memahamkan anak sekecil Hadi dan Haryo. Namun sesulit apapun jawaban harus diberikan. Sang nenek sadar akan hal itu. Ia tetap berusaha untuk menjawabnya. Meski berat. Ia mendesah berat dan dengan pelan menjawab pertanyaan cucunya itu.

“Bapakmu ke Malaysia le. Cari uang untuk keluarga kita. Biar kamu nanti bisa sunat. Dan juga bisa tetap sekolah” jawab Nenek.

“Sampai kapan nek? Kapan pulangnya? Hadi sudah kangen sama bapak” tanya Hadi lagi.

Mulut nenek terasa bisu. Lidahnya kelu. Begitupun dengan Menik. Air matanya tiba-tiba mengalir. Ia terbayang satu tahun yang lalu, saat suaminya berangkat ke Malaysia untuk merubah nasib kehidupannya. Ia menjual sawah yang merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian selama ini. Hanya itulah satu-satunya cara untuk memberangkatkan suaminya. Biaya ke Malaysia terlalu besar. Tidak mungkin hanya mengandalkan hasil panen. Sedang setiap panen, hasil panen selalu habis untuk melunasi hutang-hutangnya selama menunggu panen. Bahkan hasil panennya pun kini tidak mampu melunasi hutang yang terus menumpuk. Dengan suaminya ke Malaysia, Menik berharap suaminya sesegera mungkin mengirimkan uang untuk menutup mulut para penagih hutang setiap harinya. Namun sudah satu tahun ini, suaminya tak kunjung mengirim uang. Padahal hutang dan tanggungan biaya seluruh keluarganya harus segera diselesaikan.

Menik pun kemudian melamar menjadi buruh di cabang pabrik Gudang Garam Modo Lamongan. Dari gajinya, ia gunakan untuk membiayai biaya kehidupan seluruh keluarganya. Dari membiayai Hadi yang sekarang sudah kelas satu SD, hingga membiayai si Kecil Haryo yang kini juga telah masuk sekolah TK, dan membiayai kebutuhan Ayah-Ibunya, yang kini tidak mampu lagi bekerja di sawah. Namun gajinya ternyata belum cukup untuk membayar hutang yang setiap hari beranak pinak. Terpaksa dia harus gali lubang tutup lubang. Ia “sekolahkan” seluruh surat-surat berharganya untuk diganti menjadi segepok uang. Kini ia tidak hanya berurusan dengan orang per orang, tetapi sudah berurusan dengan para Bangkir-Bangkir. Setiap hari ia didatangi oleh “Bank Clurut” untuk mengambil “anak-anaknya”. Dan Menik pun harus membayarnya setiap hari.

“Buat apa kamu kangen dengan bapak yang kurang ajar itu! Buat apa kamu kangen dengan bapak yang tidak kangen dengan anak-anaknya! Buat apa? “ Suara Menik melengking marah, memarahi anaknya yang merengek-rengek kangen dengan bapaknya.

“Aku kangen dengan bapak!” ucap Hadi diiringi dengan ledakan tangis lagi. Dan Haryo, sang Hadik, ikut ikutan menangis melihat kakaknya menangis. Maka rumah yang berada di ujung barat utara desa itu riuh dengan suara tangis.

“Sudah-sudah! Jangan menangis lagi!” hardik Menik kepada kedua anaknya.

“Kapan bapak pulang?” Hadi terus bertanya memastikan pulangnya bapaknya.

“Bapakmu ndak akan pulang. Ia sudah punya istri lagi disana” jawab Menik sengit menahan emosinya yang mengombak.

“Sudahlah Nik!…sudah!. Jangan kamu teruskan, anakmu ini masih kecil. Ia tidak mengerti segala urusanmu. Jangan kau wariskan segala kesusahanmu kepada anakmu.” Sang nenek melerai kejengkelan Menik kepada anaknya yang terus merajuk.

“Ayo tidur lagi le! Ini sudah malam. Besok kamu harus bangun pagi-pagi. Biar tidak terlambat masuk sekolah. Tidur saja di kamar nenek malam ini, ya? Biar kamu tenang dan bisa segera tidur lagi” pinta sang nenek kepada kedua cucunya, lembut.

“Nek, kalau nanti Hadi besar, Hadi ingin punya banyak uang. Biar Hadi bisa menyusul Bapak ke Malaysia. Akan saya suruh bapak pulang, biar bisa kembali ke Ibu” ucap Hadi, polos.

“Iya…ya…..sekarang yuk kita tidur!” Sang nenek menuntun kedua cucunya ke dalam kamarnya, meninggalkan Menik yang duduk termangu di kamarnya. 

Menik masih terngiang-ngiang dengan segala rengekan Hadi beberapa saat tadi. Kata-kata Hadi yang merindukan bapaknya, justru membuat hati Menik hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak hancur, apabila ia mendengar berita akan pengkhianatan cinta Samuri, suaminya, yang telah menikah dengan sesama TKI. Ia yang telah berjuang memberangkatkan suaminya ke Malaysia, dengan harapan yang membumbung dan pengorbanan yang tidak kecil, malah justru dikhianati. Padahal suaminya telah meninggalkan dua anak, yang mana ia harus merawat dan membesarkan seorang diri. Suami macam apa itu? Demikian maki Menik dalam hatinya.

Sekali-kali ia tidak ingin memaafkan pengkhianatan suaminya itu. Tidak hanya persoalan pengkhianatan cinta, tetapi ini persoalan tanggungjawab. Tanggungjawab sebagai bapak, suami dan orang yang dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Ia seakan lepas tangan begitu saja dari tanggungjawab manakala ia telah berada di Malaysia. Ia tidak memikirkan bagaimana jungkir baliknya orang-orang yang menantikan berkah dari negeri seberang tersebut.

Terlebih menyakitkan lagi, bagi Menik, suaminya tidak pernah memberi kabar apapun. Padahal Menik, demi menunggu khabar dari suaminya, telah membeli HP sebagai sarana komunikasi apabila sewaktu-waktu suaminya mengontaknya. Alih-alih mengontak, sms pun tidak pernah. Bahkan suatu kali, Menik sms ke nomor suaminya, namun tidak pernah terbalas. Menik mencoba melakukan berkali-kali, tetapi ia bagaikan lenyap ditelan bumi.

Menik pun putus asa. Ia malah berujar, “Kamu menikah dengan wanita lain pun silahkan, tetapi jangan melupakan kedua anakmu. Mereka butuh makan!”. Tetapi ujarannya ini pun tidak digubris oleh suaminya. Menik pun marah. Tetapi ia pun berpikir ulang, buat apa marah? Sekarang yang ia butuhkan adalah bagaimana ia bisa bertahan hidup menghidupi kedua anaknya dan kedua orang tuanya.

Hingga suatu hari, ada seorang laki-laki tua, yang sudah melakukan pengamatan panjang akan kehidupan Menik dan keluarganya. Ia menawarkan bantuan kepada Menik untuk meringankan beban kehidupannya. Bahkan hutang-hutangnya Menik pun, ia siap melunasinya. Manakala ia datang ke rumah Menik, ia memberikan berbagai hadiah dan makanan enak kepada kedua anak Menik, Hadi dan Haryo. 

Adalah anak kecil, kebahagiaanya hanyalah mendapatkan mainan, dan makanan yang berkecukupan. Hadi dan Haryo menjadi begitu senang. Ia melupakan kerinduan kepada bapaknya. Ia memuja-muja laki-laki tua yang masih beristri itu dengan sebutan Mbah Man, sebagai calon bapaknya yang baik hati. Namun alih-alih menjadi bapak sebenarnya, yang terjadi ialah Ibunya kumpul kebo dengan Mbah Man itu.

Namun anak kecil tetaplah anak kecil. Ia tidak tahu, apa itu kumpul kebo? Yang dia tahu, bahwa ada orang baik yang selalu memberikan uang dan makanan kepadanya. Hatta itu Kakek dan Nekeknya Hadi sekalipun. Mereka tidak berdaya melihat anaknya melakukan perbuatan nista. Ia tidak berani menegur anaknya yang telah menyimpang. Karena harus diakui, Mbah Man-lah yang sangat berjasa menolong keluarga mereka dari jurang kehancuran. Jadi mereka tidak memiliki kekuatan untuk menegur Mbah Man yang telah merenggut “pager ayu” anaknya. Padahal usia Mbah Man, seperantara dengan Kakeknya Hadi.

“Lha aku harus bagaimana? Aku kasihan dengan Mbah Man. Ia sudah banyak mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Jadi ketika dia minta, ya aku beri” Menik mengaku kepada Patimah, tetangga sekaligus sahabatnya itu.

“Kamu ndak takut dosa, Nik?” tanya Patimah.

“Itu urusan belakangan, Pat. Keluargaku butuh makan! Anak-anakku butuh biaya sekolah. Kamu tahu sendiri, bahwa Ayah dan Ibu juga sudah tidak bisa bekerja di sawah. Suamiku menjadi orang gila, melupakan keluarga dan kedua anaknya. Sekalian pula dia juga mengkhiantiku, menikah dengan perempuan lain. Jadi apabila aku selingkuh itu sebagai balas dendamku kepada suamiku. Tetapi ini juga bukan karena balas dendam. Ini masalah besok bisa makan apa tidak?” jawab Menik.

“Daripada kamu kumpul kebo sama Mbah Man, mending kamu minta dinikahi saja!” ucap Patimah.

“Minta dinikahi bagaimana? Wong Mbah Man itu masih punya istri. Bisa di pecel aku nanti sama istrinya.” Jawab Menik.

“Minta saja ke Mbah Man. Barangkali Mbah Man mau minta izin ke istrinya untuk menikahimu. Barangkali istrinya mengizinkan suaminya berpoligami. Daripada selingkuh dan tidak jelas hubungannya. Dan juga daripada dosa melakukan kumpul kebo? Lebih baik poligami saja!” ucap Patimah tanpa khawatir sahabatnya itu akan tersinggung.

“Ha…ha…ha….Patimah…Patimah…itu tidak mungkin! Aku tahu sifatnya Mbah Man itu. Ia adalah suami takut istri. Istrinya galak. Karenanya tidak mungkin Mbah Man berani minta izin untuk memperistri aku.”

“Kalau dia takut kepada istrinya, lalu kenapa dia berani selingkuh denganmu?” Patimah bertanya lagi.

“Ha….ha…ha…..kamu kok tidak tahu Patimah….Patimah. Laki-laki itu semakin dia ditekan oleh istrinya, ia akan semakin memberontak. Barangkali pemberontakannya tidak langsung diwujudkan dalam bentuk nyata dihadapan istrinya, namun pemberontakannya dialihkan dengan menyelingkuhi wanita lain. Laki-laki itu memiliki tabiat ingin dipuja sebagai manusia digdaya dihadapan kaum perempuan. Perempuan yang memuja ia sebagai manusia yang adiluhunglah yang akan mampu menaklukan manusia model ini” ucap Menik dengan nada sinis.

“Kamu kok pinter Nik. Dapat pengetahuan darimana hingga kamu bisa mengenal model laki-laki dan cara menaklukannya?” tanya Patimah penasaran.

“Pengalaman, Pat. Itu ilmu kelihatan. Dan tidak usah dipelajari di sekolah. Ia ada dengan sendirinya, tinggal kita mau mengenalinya ataukah tidak.” Jawab Menik. “Sekalian pula, bukankah hal itu terjadi dalam kehidupanku sendiri. Tidak dinyana, suamiku yang patuh dengan orang tua dan aku, ketika sudah di Malaysia, ia berulah. Barangkali itu adalah salah satu pemberontakannya. Ia disini ditekan untuk berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Ia ditekan agar keluargaku terentaskan dari kemiskinan. Namun semakin ia bekerja keras, rejeki pun tidak kunjung menghampiri kehidupan kami. Kami tetap melarat. Dan barangkali karena hal inilah, ia berani mengkhianatiku. Ia merasa bebas disana. Ia merasa berhasil melampiaskan kekesalan kehidupan bersama kami disini”

“Iya, aku tahu kondisimu Nik. Tetapi sebagai sahabat dan tetangga, aku berharap kamu segera taubat. Mintalah Mbah Man untuk menikahimu. Jangan kamu teruskan perbuatan maksiat itu. Bisa-bisa kamu kena adzab ilahi! Mumpung masih diberi kesempatan. Janganlah kamu meratapi nasib. Siapa tahu dengan kamu kembali kepada-Nya, nasibmu akan berubah menjadi lebih baik” Patimah menasehati.

“Tidak ada hubungannya antara taubat dengan rejeki, Pat. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini dosa. Tetapi harus bagaimana lagi? Tuhanpun tidak segera menolongku dengan mengirim orang yang bisa membimbingku. Mbah Manlah yang justru dikirim kepadaku. Dan barangkali Mbah Manlah yang dikirim Tuhan kepadaku. Dan kalaulah Tuhan akan menghukumku dengan adzab ilahi sebagaimana kamu katakan tadi, aku siap, Pat….aku siap!. Aku siap dengan segala resikoku. Biarlah aku rusak, asal kedua anakku tidak rusak. Biarlah aku yang masuk neraka, asal anakku yang akan masuk surga!” ucap Menik sambil menitikkan air mata.

@@@   

@@@

“Mbah Man, boleh Menik minta uang ke Mbah Man?” pinta Menik suatu saat, saat Mbah Man bertandang ke rumahnya. Menik sudah terbiasa meminta sesuatu kepada Mbah Man. Mbah Man seakan akan adalah suaminya yang sebenarnya. Karenanya segala kebutuhannya dimintakan kepadanya. Dan anehnya Mbah Man tidak pernah menolak. Segala keperluan Menik dipenuhinya. Mbah Man termasuk golongan orang kaya di desanya. Jadi keperluan sehari hari dengan sangat ringan diambilkan dari uang sakunya. Dan apa yang diberikan kepada Menik tak secuil pun berpengaruh pada kekayaannya yang melimpah. 

“Minta berapa sayang? Aku akan menuruti segala permintaanmu. Tetapi ingat, kamu harus menuruti permintaanku juga. Yang itu…tuh…..ha….ha…ha…..” Mbah Man terkekeh-kekeh. Menik mafhum atas apa yang terucap oleh Mbah Man. Kerap kali manakala Mbah Man bertandang ke rumahnya, bisa dipastikan Mbah Man sedang bernafsu untuk menggaulinya. Maka pada saat Mbah Man hendak melampiaskan nafsunya, Menik dengan pinter meminta ini dan itu, sebagai syarat kesediaannya. Dan Mbah Man pun segera menuruti asal nafsunya telah terlampiaskan. Bagai seorang ksatria, apa yang diucap adalah sabda pandito ratu, maka tak satu pun ia mengingkari janji yang diberikan kepada Menik. Dan mungkin inilah kelebihan Mbah Man, tak mengingkari janji.

“Tidak banyak Mbah. Paling cuma satu juta. Untuk keperluan hari raya lusa. Soalnya di rumah sedang tidak punya uang. Sedang kami harus weweh[2] kepada saudara-saudara Ibu saya. Belum lagi permintaan si kecil ingin baju baru pada hari raya nanti” ucap Menik.

“Oh gampang. Itu soal gampang. Akan saya beri. Tidak usah khawatir. Kapan Mbah Man pernah berbohong kepadamu? Yang penting kamu setia melayaniku. Akan kuturuti semua keinginanmu…..he…he…he….” Mbah Man terkekeh-kekeh lagi sambil terbatuk batuk. Menik pun tersenyum bahagia. Muram durganya sirna seketika. Karena suka citanya, ia menurut begitu saja, manakala ia digelandang oleh Mbah Man ke kamar pribadinya, yang telah sepi dari kedua anak kecilnya, yang telah diamankan di kamar Kakek-Neneknya. Menik pun melayani nafsu birahi Mbah Man yang tersengal sengal nafasnya karena usia yang terus menua. Bulan Ramadhan menjadi saksi atas nafsu-nafsu liar dua insan yang berpadu kasih.

@@@

“Mbah, aku pamit dulu. Aku mau pergi weweh ke Modo menemui saudara ibuku bersama dengan kedua anakku. Doakan selamat sampai tujuan” bunyi sms Menik kepada Mbah Man.

“Oh iya sayang. Hati hati dijalan. Ini memakai sepeda motor atau naik colt?” jawab Mbah Man melalui sms.

“Naik sepeda motor, pinjam miliknya Patimah” Jawab Menik 

“Oh iya. Hati-hati. Tidak usah ngebut. Biar selamat”

“Iya Mbah. Aku akan hati hati biar selamat sampai tujuan. Nanti bila sampai tujuan aku akan memberitahumu. Daaa… Mbah Man, aku akan selalu menantimu. I Love You”pungkas sms Menik.

Mbah Man pun terkekeh-kekeh mendapati sms mesra dari Menik. Ia seakan merasa muda kembali. Ia mengumpulkan segala kata-kata mesra yang dulu pernah digunakannya untuk merayu istrinya. Ia mengingat-ingat seraya ingin membalas sms mesra dari Menik. Tetapi ingatannya seakan hilang. Ia beralih ke celotehan cucunya yang belajar bahasa Inggris di halam rumah yang pernah mengungkapkan kata “aku rindu padamu”. Ia mengingatnya, dan mulailah ia menulis dalam sepenggal kalimat Inggris untuk membalas kata I Love You. Mbah Man menulis “I Mik You”. Mbah Man yakin kata itulah yang tepat. Segera ia kirim sms itu kepada Menik. Dan menik membalas dengan sms yang tertawa terpingkal-pingkal.

@@@

Menik men-starter sepeda motornya. Sebelum berangkat, ia tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tuanya. Juga kepada Patimah. Patimah berpesan, “Hati-hati Nik, sepedanya kurang bagus. Belum diservis! Jadi jangan ngebut! Kamu bawa kedua anakmu, ingat itu!”

“Tenang saja Pat. Aku pasti akan kembali” jawab Menik singkat.

Menik pun melaju dengan tenang menyusuri jalan desa. Ia melewati jalan-jalan yang membelah sawah di timur desanya. Dalam perjalanan, ia bersenda gurau dengan kedua anaknya. Hadi dan Haryo terlihat sangat bahagia. Karena ia, dihari raya ini mendapat banyak hadiah. Selain makan enak, ia juga telah mendapat baju yang baru. Juga uang jajannya. Dan kini ia diberi hadiah oleh ibunya, diajak jalan-jalan memakai sepeda motor ke rumah saudara kakek-neneknya. Dan adalah anak kecil, manakala ia ikut weweh, maka anak kecillah yang akan renes[3]. Ia akan mendapat sangu dari kakek atau neneknya. Maka bisa dibayangkan uang sakunya akan menebal. Dan berbahagialah anak yang memiliki uang banyak. Meski kemudian uangnya itu akan dihutang oleh ibunya dan tidak akan pernah kembali, walau ditagih berkali-kali.

Sampai di Jalan Raya Jombang Babat, Menik melaju ke utara, hingga kemudian mencapai Gunung Girik. Gunung Girik adalah sebuah pegunungan kecil, yang pada zaman Belanda, karena kepentingan jalan, dibelah menjadi dua. Jalan yang membelah pegunungan itu, sekarang telah diperlebar dan tidak seseram zaman dahulu. Zaman dahulu melewati Gunung Girik akan menyebabkan jantung berdebar-debar. Karena khawatir gunungnya akan longsor. Sebab memasuki gunung girik akan memasuki jalan yang gelap ditengah-tengah perut gunung. Apabila sudah sampai tengah-tengah, hanya dengan doa agar selamat sampai ke jalan berikutnyalah yang bisa dilakukan. Namun sekarang jalan itu telah berubah menjadi jalan yang ramai. Banyak kendaraan lalu lalang. Meski disana sini masih banyak bumbu-bumbu cerita akan kemistisan Gunung Girik tersebut. Bahkan dalam kepercayaan masyarakat setempat, pengantin baru tidak boleh melewati gunung tersebut, kecuali dengan mempersembahkan ayam hitam mulus sebagai prasyarat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pernikahan pengantin baru tersebut.  

Mencapai gunung Girik, Menik melaju dengan hati-hati. Karena setelah jalan menanjak, jalannya pun akan berubah menurun tajam. Sampai di ketinggian gunung Girik, Menik bisa bernafas lega. Namun saat turun, hati Menik was-was. Sebab rem sepeda tiba-tiba tidak berfungsi secara kuat. Setir sepedanya juga agak seler[4]. Dan tiba-tiba tidak ia duga, ia menabrak mobil pick up di depannya,

“BRAKKKKK!!!!!!!” bunyi keras benturan mobil pick up dengan sepeda Menik. Akibat tabrakan tersebut menyebabkan sepeda Menik oleng tidak seimbang. Saat oleng itu, mobil dibelakang Menik tidak bisa mengerem secara maksimal, hingga mobil itu menabrak sepeda Menik. Akibatnya mobil yang juga mobil pick up bermuatan barang itu menabrak tubuh Menik hingga ia tewas dengan perut dan kepala terluka membentur setir sepedanya. Namun anehnya kedua anaknya selamat. Hadi dan Haryo terpental ke samping kiri dan tengkurap di atas tanah. Seketika ia menangis sejadi-jadinya setelah sadar apa yang telah terjadi.

“Ibuuuuuuuuuuuuuu” Hadi menjerit. Haryo pun ikut menangis. Kedua anak itu menjerit saling bersahutan memanggil ibunya. Semua kendaraan terhenti. Semua orang membaur berkerumun mengerumuni tubuh Menik yang telah merenggang nyawa. Buru-buru salah satu orang yang berkerumun kemudian menelpon kantor Polisi dan Rumah Sakit Ngimbang. Tidak berapa lama, Ambulan dan Polisi telah datang. Polisi mengatur lalu lintas dan mencatat tubrukan yang terjadi. Ambulan segera membawa tubuh Menik yang telah bersimbah darah itu. Kedua anaknya, diikutkan ke dalam ambulan. Hadi mengalami memar dikepalanya, sedangkan Haryo hanya luka-luka kecil di kakinya.

Kabar kematian Menik segera tersiarkan. Hingga kabar itu sampai di Desa tempat muasal Menik. Di pagi setengah siang itu, terdengar suara di atas speaker Mushola.

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal dunia, saudari Menik pada pukul 07.30. akibat kecelakaan di Gunung Girik. Kepada seluruh warga diharap segera membantu untuk mengurus jenazahnya”

“Sekali lagi, Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal dunia, saudari Menik pada pukul 07.30. akibat kecelakaan di Gunung Girik. Kepada seluruh warga diharap segera membantu untuk mengurus jenazahnya”

Sontak pengumuman itu membuat semua orang kaget. Tetangga-tetangga yang masih ada di rumah segera berkerumunan ke rumah Menik. Dan yang sudah berada di sawah segera kembali ke rumahnya masing-masing dan berangkat menuju rumah Menik. Keluarga Menik meraung raung menangis sejadi-jadinya. Ayah-Ibu Menik pingsan.

Terdengar suara lirih Ibunya Menik setelah tersadar dari pingsannya, “Bagaimana nasibmu itu Nduk….Nduk? Kok kebangeten! Kok susah hidupmu ngger! Hidup ditinggal suami. Ngramut dua anak. Dan demi kami, kamu rela menjual dirimu. Tetapi sekarang kamu telah tiada. Bagaimana anakmu kelak, Nduk? Bagaimana nasib kedua anakmu itu, Nduk?.....” Suara Ibunya Menik parau. “Bagaimana nasib cucuku? Bagaimana nasib cucuku? Dimana dia? Dimana mereka?” tiba-tiba Ibunya Menik nanar menanyai orang yang mengerubungnya.

“Wis…wis…sadar…sadar! NyebutNyebut![5] Cucumu tidak apa-apa. Cucumu selamat…..” Patimah menjawab.

“Ya Allah, cucuku….dimana kamu, ngger? Dimana?” Ibunya Menik terus menangis meraung raung. Sang kakek tidak bisa bersuara. Ia hanya diam, merenungi nasib anak dan kedua cucunya itu. Namun setelah itu dia pingsan kembali. Para tetangga menggotongnya masuk ke pembaringan di balai rumah.

Semua orang merasakan haru biru derita yang menimpa Menik dan keluarganya. Dan tiba-tiba pula semua orang mengumpatkan kekesalannya kepada Samuri, suami Menik yang telah meninggalkan Menik dan kedua anaknya.

“Suami cap apa itu? Punya istri punya anak malah gentayangan ke Malaysia. Sudah menghabiskan sawah, tidak pernah kirim uang, terus maunya itu apa? Manusia kok tidak punya otak. Otaknya ditaruh mana coba? Kalau sudah tahu istrinya begini, terus bagaimana ini? Dasar manusia yang tidak punya perasaan. Tega-teganya ia malah beristri lagi disana. Otaknya lho ditaruh dimana? Ya kalau ganteng begitu neko-neko rodok pantes! Sudah pendek, hitam, jelek…kakean polah! Masya Allah, moga-moga anak sak keturunanku tidak ada yang memiliki sifat seperti dia” umpat salah satu warga yang terdegar keras diantara suara tangisan.

Namun suara tangisan itu segera buyar dengan kehadiran Sukidi, suami Patimah, yang membawa Hadi dan Haryo dengan sepeda motornya. Semua orang, berkerumun mengerumuni Hadi dan Haryo. Hadi dan Haryo diciumi oleh neneknya. Isak tangis tidak terbendung lagi. Semua orang menitikkan air mata.

“Duh kasihan kedua anak malang ini. Sudah ditinggal Ayahnya, sekarang ditinggal mati oleh ibunya. Terus bagaimana kelak anak ini? Sedang neneknya sudah miskin dan tidak kuat bekerja lagi” terdengar suara orang di tengah kerumunan banyak orang mengitari Hadi dan Haryo.

“Ya kita rawat sama-sama. Ini kan kewajiban kita semua sebagai tetangga” Jawab salah satu orang.

@@@

“Kamu tidak apa-apa Nak? Kamu tidak apa-apa?” tanya nenek beruntun kepada kedua cucunya.

“Tidak apa-apa, Nek. Saya baik-baik saja. Tapi ibu, Nek! Ia tidur ndak bangun-bangun!” jawab Hadi polos, diiringi dengan lirihan tangis yang terisak.

Jawaban Hadi justru membuat ledakan tangis neneknya tidak bisa dibendung. Ia menangis sejadi-jadinya. Kakek yang mendengar suara cucunya, tidak bisa bersuara. Ia pingsan lagi. Semua orang pun ikut menitikan air mata. Keharubiruan itu dibangunkan oleh suara auman ambulan yang menjerit-jerit memasuki desa.

Tepat di depan rumah Menik, ambulan itu berhenti. Seakan sudah mampu membaca tanda apa yang terjadi, semua orang yang sudah agak lerai dari tangisan yang menyayat itu, tiba-tiba ikut menangis keras. Suara gemuruh tangisan seakan-akan hendak menjebol genting-genting retak di atas rumah Menik itu. Ibunya Menik sudah tidak berdaya lagi. Seakan air matanya sudah terhenti. Tak satupun air matanya yang keluar. Hanya sayatan kata yang pelan-pelan terdengar penuh keharu-biruan. Sang kakek setelah tersadar dari pingsannya yang kesekian kali, tak mampu berucap satu katapun, bahkan mendesis pun ia tak mampu. Ia terbengong, layaknya orang yang sangat putus asa dengan kehidupan ini.

“Ya Allah, dosa apa yang aku perbuat, sehingga mendapati keadaan seperti ini” lirih sang kakek.

Tetapi beruntunglah, para tetangga tidak terlalu hanyut dalam kesedihan. Mereka disadarkan akan kewajiban untuk segera mengurus jenazah. Tanpa diperintah mereka pun bergerak menyiapkan tempat untuk mensholatkan jenazah. Jenazah tidak perlu lagi dimandikan, sebab dari rumah sakit telah berpesan agar jenazah tidak dimandikan. Karenanya para tetangga tidak perlu repot repot mengambil air ke sumur. Mereka mempersiapkan sholat dan pengkuburannya. Semua santri segera masuk ke rumah Menik yang sempit. Sholat dipimpin langsung oleh Pak Modin. Setelah selesai mensholatkan, jenazah segera dipikul untuk diberangkatkan ke pemakaman. Sebelum jenazah diberangkatkan, Pak Modin berkhutbah,

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, sebelum kita berangkatkan jenazah ini, saya ingin meminta kesaksian kepada para hadirin sekalian. Menik ini termasuk orang Islam apa bukan?” tanya Pak Modin kepada seluruh orang yang hHadir akan kesaksian Menik selama hidupnya

“Islam” semua orang menjawab.

“Selama hidupnya Menik ini termasuk orang baik atau tidak?”

“Baik”

“Terima kasih atas kesaksiannya. Mudah-mudahan amal perbuatannya diterima oleh Allah. Dan segala kesalahan yang pernah diperbuat diampuni oleh Allah. Serta mudah-mudahan  keluarga yang ditinggalkanya diberi ketabahan dalam menghadapi cobaan dari Allah ini”

“Amin”

“Dan saya mewakili keluarga, bila ada kesalahan dalam pergaulann saudari Menik selama hidupnya, dimohon keikhlasannya untuk memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Dan apabila ada sangkut pautnya dengan masalah hutang-piutang, dimohon untuk menghubungi ahli warisnya. Terima kasih, mari kita berangkatkan bersama-sama! Kita antarkan dengan bacaan kalimat Tauhid” terang Pak Modin.

“Lailahailallah….Lailahailallah”

“Lailahailallah….Lailahailallah”

“Lailahailallah….Lailahailallah”

Suara tahlil itu menggema disepanjang jalan mengiringi kepergian Menik ke liang kubur.

@@@

Beberapa hari pasca kematian Menik, banyak tamu yang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Diantaranya, perwakilan dari para buruh Gudang Garam dan jasa raharja. Mereka memberikan bantuan sumbangan atas kecelakaan yang menimpa Menik. Juga dari pihak penabrak, ia datang dengan ucapan seribu permintaan maaf atas apa yang terjadi. Pihak keluarga Menik pun menerima permintaan maafnya.

“Semuanya adalah Takdir dari Allah. Kami sesadar-sadarnya meyakini bahwa penyebab kecelakaan itu bukan faktor kesengajaan. Memang takdirnya Menik sudah begitu. Jadi kami sudah mengikhlaskan dengan apa yang terjadi. Kami menerima permintaan maaf daripanjenengan. Semoga apa yang terjadi bisa menjadi pelajaran bagi kita semua” ucap Sukidi, suami Patimah, mewakili keluarga Menik.

Matur suwun,[6] atas kelegaan keluarga memaafkan atas kesalahan dan keteledoran kami dalam berkendaraan. Ini tidak akan kami lupakan atas kelapangan dada panjenengan semua memberi maaf kepada. Matur suwun….matur suwun!”

“Sebagai ucapan matur suwun kami, ini harap diterima. Ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang menimpa keluarga dik Menik” tamu penabrak Menik itu memberi sumbangan segepok uang.

Mboten…..mboten. Kami sudah ikhlas. Kami tidak perlu sumbangan untuk kematian Menik” Tolak Sukidi.

“Kami tidak bermaksud menggantikan nyawa dik Menik, Pak. Tetapi ini bentuk bela sungkawa dan terima kasih kami. Anggap saja ini adalah ucapan terima kasih kami. Mudah mudahan ini bermanfaat bagi Hadi dan Haryo” ucap Tamu tersebut.

“Baiklah kalau begitu. Sumbangan ini kami terima. Dan insya Allah akan digunakan untuk membiayai Hadi dan Haryo melanjutkan pendidikannya” jawab Sukidi.

“Terima kasih….terima kasih, telah diterima sumbangan kami”

Tamu itu pun menyalami satu persatu keluarga Menik. Ia berkali-kali meminta maaf. Dan keluarga Menik pun memaafkan. Tidak ada tuntutan. Semua sadar bahwa apa yang terjadi adalah kehendak Allah. Walau hendak menuntut, uang apalagi yang akan dipergunakan untuk memperkarakan kecelakaan itu? Orang miskin tidak perlu menuntut, demikian ungkapan orang yang pesimis dengan kemiskinan. Untuk menuntut harus punya uang banyak. Menyewa pengacara tidaklah memakai uang daun. Membiayai peradilan juga butuh uang. Belum lagi untuk membiayai berbagai ocehan-ocehan para birokrat yang penuh dengan keribetan dan keculasan untuk memeras orang miskin supaya lebih miskin lagi. Cukuplah sudah dengan memasrahkan apa yang terjadi. Memasrahkan keadilan kepada Tuhan, itulah jalan yang terbaik. Biarkan Tuhan yang berbicara atas nama keadilannya.

Selang beberapa waktu kemudian, datanglah orang yang sudah dikenal akrab dengan keluarga Menik. Ia mengucapkan salam, “Assalamualaikum”.

“Walaikumsalam” semua orang yang hadir di balai rumah Menik menjawab salam tersebut. Betapa kagetnya orang-orang tersebut demi melihat wajah orang tersebut yang tiba-tiba hadir dihadapan mereka.

“Sumari? Kamu pulang? ” tanya Sukidi kaget melihat Sumari yang tiba-tiba muncul ke rumah Menik tersebut.

“Bapaaaaakkkkk” Hadi dan Haryo kegirangan melihat bapaknya pulang. Mereka berdua merangkul bapaknya. Adar rasa haru menggerogoti hati kedua anak itu. Sumari pun menyambut kedua anaknya itu dengan kerinduan sebagai seorang bapak.

“Buat apa kamu kemari? Kalau kehadiranmu hanya menyisakan luka panjang kami. Kamu datang setelah kematian Menik. Kamu datang setelah semuanya hancur. Untuk apa kamu kemari?” hardik sang nenek kepada Sumari.

Sumari hanya diam.

“Apa kamu tidak punya malu? Berani-beraninya kamu datang kemari! Mana tanggungjawabmu sebagai suami? Mana tanggungjawabmu sebagai bapak? Mana tanggungjawabmu sebagai kepala keluarga disini?”

Sumari tetap diam.

Tiba-tiba Hadi dan Haryo menangis. Anak sekecil itu paham bahwa bapaknya sedang bermuram durja dikarena kemarahan neneknya. Mereka berdua merangkul erat bapak yang telah sekian lama dirindukannya itu.

“Sudahlah Nek! Tidak usah memarahi Sumari. Yang sudah biarlah sudah. Barangkali ia berubah dengan kejadian ini. Ia datang kemari membuktikan bahwa ia akan berubah. Ia juga berarti telah menunjukkan tanggungjawabnya.” ucap sang Kakek

“Kamu itu bagaimana sih Kek? Anak kurang ajar begini diberi hati. Ia sudah kurang ajar terhadap anak kita!” ucap sang nenek dengan nada tinggi.

“Yang sudah biarlah sudah, Nek. Jangan diungkit-ungkit lagi. Sekarang lihatlah cucumu! Mereka butuh kehadiran bapaknya setelah kematian ibunya. Kamu tega cucumu menderita? Kamu lihat cucu kita apabila kamu tidak mau melihat ayahnya” ucap sang kakek.

Ucapan sang kakek itu mampu meredam gejolak emosi yang mengombak sang nenek. Sang nenek terdiam dengan dada yang tersengal sengal menahan marah. Namun demi melihat air mata kedua cucunya yang meleleh dikedua pipinya, sang nenek pun menghentikan segala sumpah serapah kepada menantunya yang dianggap kurang ajar dan sumber kehancuran anak dan keluarganya.

Sumari, meski masih dengan bahasa diam, ia melangkahkan kakinya ke hadapan sang nenek. Ia sungkem mencium kaki sang nenek.

“Maafkan anakmu ini, bu! Saya sudah mengecewakan ibu dan dik Menik. Maafkan saya bu…..” Sumari sungkem dihadapan ibu mertuanya itu. Sang nenek diam seribu bahasa. Ia memalingkan wajah tebalnya dihadapan mertuanya itu.

Sumari kemudian beralih ke hadapan bapak mertuanya. Ia melakukan hal yang sama sebagaimana dihadapan ibu mertuanya. Ia sungkem dihadapan bapak mertuanya. Ia tenggelamkan kepalanya dibawah kaki bapak mertuanya. Ada isakan tangis lirih terdengar. Manakala wajah Sumari diangkat terlihatlah oleh banyak orang, pipinya basah oleh air mata penyesalan.

“Sudahlah le! Bapak sudah memaafkan kesalahanmu. Yang sudah biarlah sudah. Tidak usah diungkit ungkit lagi. Yang terpenting saat ini, kamu bisa kembali dan merawat kedua anakmu ini” ucap sang kakek.

“Terima kasih Pak. Terima kasih masih mau menerima saya sebagai bagian dari keluarga ini lagi. Terima kasih telah memaafkan segala kesalahan saya. Saya berjanji pak, akan merubah sikap saya. Saya akan lebih menatap ke depan, membesarkan kedua anak saya Hadi dan Haryo” ucap Sumari.

Bapak dan menantu itu pun saling berangkulan. Ada ketersambungan rasa kembali atas rasa yang telah pupus sekian lama. Sang kakek, sebagai bapak, tentu memiliki kebijaksanaan yang lebih mendalam. Ia telah banyak makan garam kehidupan. Ia tahu berbagai lakon kehidupan yang terkadang diawali dengan kesalahan-kesalahan yang dikemudian hari diakhiri dengan kebajikan-kebajikan yang terwujud. Ia berharap sang menantu adalah lakon kehidupan itu. Kesalahannya akan terhapus atas taubatnya. Bukankah banyak lakon kehidupan, diakhir masanya kemudian menjadi orang hebat, padahal awal kehidupannya seorang yang berlumur lumpur?

Inilah barangkali yang dijadikan pedoman sang kakek. Siapapun akan bisa berubah, tidak terkecuali penjahat kelas kakap sekalipun. Bahkan bukankah dalam kisah-kisah yang sering didengungkan oleh para ustad, seorang pelacur kelas kakap pun bisa masuk surga? Dan bukankah juga ada cerita, pembunuh kelas kakap pun juga bisa masuk surga? Tentu dengan taubatan nasuha sebagai niaganya.

Siapapun bisa berubah. Siapapun boleh berubah. Tidak ada satu orang pun bisa menghalangi perubahan itu. Terlebih dalam hal taubat. Bukankah yang berhak menerima taubat itu adalah Allah? Manusia tidak bisa mengadili seseorang sedang ia bukanlah hakim pemutus atas kesalahan-kesalahan orang. Tentu Allah adalah Maha Hakim itu sendiri. Yang berhak mengadili. Yang berhak untuk menyatakan orang itu bersalah ataukah tidak. Yang berhak menempatkan orang itu dalam surga atau neraka. Manusia sekali-kali tidak memiliki hak untuk campur tangan terhadap manusia lainnya.

@@@

Sumari menunjukkan penyesalan yang mendalam atas apa yang diperbuat sebelumnya. Kini hari-harinya diisi dengan ngemong dua buah hatinya. Hadi dan Haryo terlihat lengket dengan bapaknya. Hal ini menjadikan hati sang nenek luruh. Ia tidak tega melihat dua cucunya terluka lagi. Sang nenek mengesampingkan perasaan kebenciannya kepada Samuri. Ia kini mau berdialog bahkan menyediakan makanan untuk sang menantunya.

Hal ini pula yang menyebabkan para tetangga yang sedia awalnya membenci Sumari, menjadi berubah. Mereka tersentuh dengan apa yang dilakukan Sumari. Sumari setiap hari menggendong Hadi yang masih sakit akibat kecelakaan. Begitupun juga dengan Haryo. Sumari menampakkan kasih sayang yang sangat mendalam terhadap dua buah hatinya. Ia dengan telaten menyembuhkan luka trauma akibat kematian ibunya.

Namun anak kecil adalah anak kecil, meski sudah ada ayah disampingnya, lambat laun ia juga merindukan ibunya. Ditengah malam, Hadi berteriak, “Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”. Semua orang terbangun. Hadi menangis.

“Ada apa le?” tanya Sumari mendekap dengan penuh kasih sayang.

“Aku kangen Ibu, bapak!” jawab Hadi.

Sumari terdiam.

“Ibu sudah meninggal Mas Hadi. Sampean ndak boleh nangis. Ibu sudah meninggal” jawab Haryo yang ikut bangun dan menjawab ucapan kakaknya, polos.

“Ibuuuuuuuuuu” Hadi menyebut ibunya kembali.

Haryo kemudian memeluk Hadi. Dua anak kecil itu saling berangkulan.

“Mas Hadi tidak boleh nangis lagi. Nanti ibu sedih di alam kuburnya. Mas Hadi harus berjanji tidak boleh nangis lagi” ucap Haryo menasehati kakaknya.

Haryo terlihat lebih tegar daripada kakaknya. Selang beberapa hari kematian Menik, yang sering menangis justru adalah Hadi. Sedang Haryo meski ia lebih kecil, sangat jarang menangis. Bahkan kerapkali dialah yang sering menasehati Hadi agar tidak cengeng menghadapi kematian Ibunya.

“Sudah….sudah…ayo kita tidur lagi! Sebelum tidur mari kita berdoa, kita doakan mudah-mudahan ibu kalian bahagia di alam sana” ucap Sumari lembut kepada kedua anaknya.

Kedua anak itu pun kemudian menengadahkan tangannya. Entah apa bunyi doanya, tiba-tiba saja mereka sudah mengusap mukanya. Setelah itu mereka naik ke ranjang lagi dan mengambil selimut dan berusaha untuk memejamkan mata. Sumari tidur-tiduran disamping kedua anaknya itu. Ia mengipas-kipaskan sarungnya ke atas kedua anak itu agar hawa dingin mengusir hawa panas pada tubuh mereka. Tidak berapa lama, kedua anak itu tertidur. Sumari melihat kedua anaknya itu begitu iba. Namun tiba-tiba ada suara pelan dari Haryo dalam tidurnya, “Ibuuuuuu”…..

@@@

Semua orang merasa tersentuh dengan kisah Hadi dan Haryo. Semua sepakat ingin memberikan donasi kepada mereka berdua. Namun terjadi silang pendapat diantara para tetangga tersebut mengenai status kedua anak itu. Apakah mereka itu dikategorikan sebagai orang miskin ataukah anak yatim? Takmir Masjid berkumpul di serambi Masjid untuk menyelesaikan desas-desus yang berkembang di Masyarakat tersebut. Pak Nusron selaku takmir Masjid membuka musyawarah para takmir tersebut,

“Bapak-bapak, kita berkumpul di sini, ingin menjawab desas-desus yang berkembang di masyarakat kita saat ini. Hal ini terkait dengan apa yang menimpa ananda Hadi dan Haryo. Warga ingin memberikan sumbangan kepada kedua anak itu. Namun masih banyak yang bingung dengan status Hadi dan Haryo ini, apakah dia itu anak yatim ataukah tidak? Kita tahu bahwa dia itu sudah kehilangan ibunya, namun dia masih punya bapak, apakah dengan kehilangan ibunya itu sudah bisa disebut anak yatim?” Pak Nusron membuka musyawarah antar Takmir Masjid.

“Kalau mereka berdua anak Yatim, maka para warga akan sangat siap membantu mereka. Nah disini, saya perlu masukkan dari bapak sekalian atas kasus ini. Saya juga masih awam dalam hal menentukan permasalahan anak yatim itu bagaimana. Maklum pendidikan saya hanya umum semua. Namun kita perlu merumuskan tentang definisi anak yatim itu bagaimana? Biar kelak apabila ada kasus-kasus seperti ini kita sudah punya aturan jelas.”

“Ini adalah kasus pertama sejak berdirinya Masjid di sini. Dulu-dulunya kita tidak pernah peduli dengan anak yatim. Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran beragama warga di sini, menjadikan para warga semakin sadar, bahwa hidup itu untuk berbagi. Terlebih berbagai kepada anak Yatim. Dengan berbagi kepada anak Yatim, maka hidup akan menjadi berkah. ” Lanjut Pak Nusron.

“Kalau menurut saya, ia termasuk anak Yatim, Pak Nusron” Jawab Pak Warito, Sekertaris Takmir Masjid,  “Memang secara lahiriah, mereka berdua masih punya bapak. Tetapi secara hakekat, ayahnya telah tidak berfungsi sebagai ayah. Coba kita lihat, ayahnya ke Malaysia, ia tidak pernah mengirim uang, sehingga istrinya, Menik, mencari nafkah sendiri untuk kedua anaknya. Hingga kemudian merenggut nyawanya. Sumari, ayah Hadi dan Haryo kemudian datang, dan konon dia tidak membawa uang dari hasil kerja di Malaysia sana. Di sini tiap hari pekerjaannya hanya ngemong kedua anaknya. Tidak bekerja dan mencari nafkah untuk kedua anaknya. Secara hakekat, peran dia sebagai ayah telah hilang. Hadi dan Haryo adalah anak Yatim. Karenanya, menurut saya, mereka berdua patut kita beri santunan. Dan bukankah kehidupan mereka juga susah dan miskin? Jadi saran saya kita harus membuat rekomendasi kepada warga, untuk memberikan sumbangan kepada Hadi dan Haryo sebagai anak yatim”

“Sebentar Pak Warito, jangan berbicara hakekat-hakekat bila syariatnya tidak perlu kita ketahui terlebih dahulu” sela Pak Abdul Wahab, Takmir masjid seksi dakwah, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang ketat dalam menjalankan syariat agama, “Secara syariat, Hadi dan Haryo bukanlah anak Yatim. Sebab definisi anak yatim itu adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Sedangkan Hadi dan Haryo, masih punya bapak”

“Tetapi, bukankah Hadi dan Haryo juga ditinggal oleh Ibunya, apakah itu juga bukan termasuk anak Yatim?” tanya Pak Warito.

“Bukan! Syariatnya mengatakan ditinggal oleh Ayahnya” Jawab Pak Abdul Wahab.

“Lalu bagaimana dengan penyebutan piatu?”

“Itu hanya dikenal di Indonesia. Tidak di syariat” Jawab Pak Abdul Wahab.

“Kalau begitu kasihan juga, ya? Bukankah ditinggal salah duanya, Ayah atau Ibu, juga akan berakibat terputusnya kasih sayang? Ditinggal ibu, saya kira malah jauh lebih sulit dibanding ditinggal ayah. Bukankah Hadi dan Haryo selama satu tahun ini, meski ditinggal oleh Ayahnya, ia tetap bahagia. Ia selain mendapat kasih sayang dari Ibunya, ia juga tidak kekurangan apabila hanya sekedar untuk makan sehari-hari. Ibunya benar benar mampu menggantikan sosok Ayah sekaligus sosok Ibu. Coba Pak Abdul Wahab bandingkan apabila  ditinggal ayahnya, apakah Hadi dan Haryo akan mendapatkan hal yang sama seperti Ibunya waktu masih hidup?” tanya Pak Warito.

“Jangan suudzon terlebih dahulu, Pak Warito! bukankah agama kita melarang suudzon? Saya kira banyak  laki-laki yang ditinggal istrinya kemudian bisa membesarkan kedua anaknya. Ia juga bisa berperan sebagai ayah sekaligus sebagai seorang ibu” ucap Pak Abdul Wahab.

“Tetapi begini Pak Abdul Wahab” Pak Jamal, seksi humas, mencoba menengahi perbedaan pandangan kedua temannya itu, “Kenyataan di desa kita ini, apabila ada ada seorang istri ditinggal suaminya, maka istri tidak mau menikah sebelum anaknya menjadi orang. Sebaliknya apabila laki-laki ditinggal istrinya, belum genap 100 harinya suami tersebut sudah menikah dengan wanita lain. Ia berargumen bahwa ia ingin menghindari zina. Ini artinya, ia mementingkan dirinya sendiri dibanding kepentingan anaknya. Bukankah kepentingan anaknya jauh lebih utama dari mementingkan syahwatnya?”

“Ini kan di kampung sini Pak Jamal, dikampung lain kan tidak! Masyarakatnya sini saja yang tidak beradab. Dan berbicara syariat tidak berbicara contoh kasus. Tetapi bicaranya hukum. Ini tidak bisa di otak-atik. Sekali syariat mengatakan bahwa anak yatim itu adalah anak yang ditinggal ayahnya dimana sang anak masih belum baligh, maka hal itu tidak bisa diganggu gugat. Apabila ada yang mempertanyakan syariat tersebut itu berarti menentang syariat. Dan tahukah panjenengan, hukuman bagi orang yang menentang syariat? tentu akan sangat berat baik di dunia maupun di akherat” Jawab Pak Abdul Wahab tegas.

“Sebentar Pak Abdul Wahab, sebenarnya tujuan adanya syariat itu untuk apa? Bukankah agama hadir itu untuk menyelesaikan persoalan umat manusia. Apabila ada kasus-kasus yang berkembang di masyarakat kita seperti ini, apakah kita cukup hanya mengatakan patuhi syariat, tanpa ada usaha-usaha penyelesaiannya. Bagi saya agama itu adalah solusi atas berbagai persoalan umat. Apabila kita menyelesaikan persoalan hanya dengan menyuguhkan definisi, dan definisi itu terbatas, maka apakah kita akan memaksa orang agar sesuai dengan definisi itu? Bukankah definisi yang Pak Abdul Wahab tadi itu bukanlah hal mutlak? Karena sebenarnya definisi itu terkait dengan sosiokultural masyarakat Arab yang memiliki budaya patriarki yang kuat. Bahwa pelindung itu hanya dari Ayah. Sedang seorang anak apabila ditinggal mati oleh ayahnya maka tidak ada lagi yang melindungi, sebab posisi ibu atau wanita dalam masyarakat Arab sangat lemah. Hal ini berbeda dengan masyarakat kita, dimana para perempuan juga mampu memiliki kemandirian yang tinggi. Ia mampu menjadi pelindung bagi anak-anaknya, walau tanpa kehadiran suaminya. Bahkan secara psikis, sang anak lebih memiliki kecondongan ke ibu daripada ayah. Jadi artinya bisa saja kita katakan bahwa Hadi dan Haryo yang telah kehilangan ibunya, juga termasuk anak Yatim, dengan tidak mengesampingkan secara kultural di masyarakat Indonesia sebagai piatu, dengan menyebut apabila anak telah kehilangan kedua orang tuanya dengan sebutan anak yatim piatu” jelas Pak Jamal, panjang lebar.

“Kalau begitu menurut Pak Jamal, apa itu definisi anak yatim?” tanya Pak Abdul Wahab.

“Bukankah sudah saya jelaskan?” jawab Pak Jamal.

“Kalau saya, pendapat saya begini” “Sela Pak Warito, “sebagaimana tadi juga saya jelaskan, saya tetap berpendapat bahwa Hadi dan Haryo adalah anak Yatim. Dan hakekatnya memang mereka adalah anak yatim. Tanpa harus melihat sebagaimana keterangan Pak Jamal tadi. Siapapun anak, apabila memiliki ayah atau ibu tetapi tidak bisa memiliki fungsi sebagai ayah dan ibu, maka anak itu adalah anak yatim. Sebab hakekatnya, ayah dan ibunya hanya berperan secara biologis saja. Mereka hanya perantara kelahiran saja. Dan bukankah menjadi ayah atau ibu tidaklah sekedar melahirkan? Mereka harus mendidik, membimbing, menyayomi, memberi nafkah dan sederet tugas mulia lainnya sebagai orang tua. Apabila itu tidak dilakukan, berarti ia hakekatnya telah mati. Anaknya menjadi anak yatim”

“Menurut saya, pengertian dari Pak Warito itu terlalu luas. Kalau itu yang dijadikan rujukan, bisa-bisa anak dikampung ini dikategorikan sebagai anak yatim. Bahkan tidak hanya di kampong ini saja, bisa se-Indonesia. Sekarang ini banyak orang telah telah menghilang perannya sebagai orang tua. Mereka ada, tetapi keberadaanya seakan tiada. Mereka sibuk bekerja siang malam. Sehingga kasih sayang sebagai orang tua menghilang kepada anaknya. Bukankah anak yang telah hilang kasih sayang dari orang tuanya adalah anak Yatim? Tetapi, apa yang disampaikan Pak Warito sesungguhnya menarik dan menyentil ulu kesadaran kita sebagai orang tua. Selama ini mungkin kita tidak menyadari bahwa kita pelan namun pasti mengantarkana anak kita menjadi anak yatim. Yatim hakekat!” Pak Nusron menengahi.

“Tetapi kita butuh jawaban yang jelas dan sesuai aturan!” lanjut Pak Nusron.

“Kalau ingin sesuai aturan, berarti Hadi dan Haryo bukanlah anak yatim! Jadi Hadi dan Haryo tidak perlu diberi sumbangan sebagai anak Yatim. Hanya anak yatimlah yang berhak mendapat sumbangan, yakni anak yang ditinggalkan oleh ayahnya” jawab Pak Abdul Wahab.

“Kalau Pak Abdul Wahab tetap bersikukuh bahwa hanya anak yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya saja yang disebut anak yatim, dan yang berhak menerima juga anak yang ditinggalkan ayahnya saja tanpa melihat latar dan sisi lain dari anak tersebut, maka saya ingin menyodorkan sebuah kasus. Haryono anak almarhum Yateno, itu adalah anak Yatim, sebagaimana definisi Pak Abdul Wahab, sebab ia ditinggal mati oleh ayahnya. Namun Yateno mewariskan harta banyak. Bahkan ibunya Haryono sekarang ini juga dinikahi oleh laki-laki kaya raya. Kita bandingkan dengan kasus Hadi dan Haryo, meski bapaknya masih ada, tetapi ia sudah tidak punya ibu dan tinggal dalam keadaan miskin bersama kakek neneknya, kira-kira kita lebih baik memberikan santunan ke siapa? Ke Haryono ataukah Hadi dan Haryo?” tanya Pak Warito.

“Menurut saya, tetap kepada Haryono. Karena ialah sesungguhnya anak Yatim” Jawab Pak Abdul Wahab.

“Walau ia kini telah berhias harta benda? Walau ia sekarang telah ada pelindungnya?” tanya Pak Warito lagi, ingin memastikan.

“Iya” Jawab Pak Abdul Wahab tegas.

“Ah, saya berbeda pandangan dengan anda, Pak Abdul Wahab. Saya lebih melihat hakekat sebenarnya anak yatim itu daripada hanya sekedar melihat legal formal tentang definisi anak yatim” ucap Pak Warito.

Pak Warito kemudian diam. Dia merasa kecewa dengan model berpikirnya Pak Abdul Wahab yang legal formal. Padahal di desanya, banyak anak-anak yang sesungguhnya perlu disantuni, namun terkendala apabila didasarkan pada definisi sebagaimana definisi yang disampaikan Pak Abdul Wahab. Sehingga sumbangan yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan oleh anak-anak yang memerlukan tidak pernah tersampaikan dengan semestinya lantaran fatwa yang hanya melihat legal formal. Pak Warito sesungguhnya ingin memperbaiki pola pikir para Takmir Masjid. Namun cara-cara berpikir Pak Abdul Wahab lebih mengemuka daripada dirinya. Ia sendiri, dengan gaya berpikir hakekat, malah justru sering di Bully sebagai orang yang berpikiran liberal. Orang yang tidak sepantasnya berada dilingkungan Masjid yang mengedepankan segala tindak tanduk harus dituntun dengan panduan ayat suci.

Pak Nusron selaku ketua Takmi merasa bingung dengan silang pendapat yang terjadi. Antara Pak Abdul Wahab dan Pak Warito sesungguhnya pendapatnya sama-sama berdasar. Dan ditengah-tengah dua pendapat itu ada Pak Jamal yang menyatakan bahwa, ditinggal ibunya sudah menjadi prasyarat bahwa Hadi dan Haryo adalah anak Yatim. Namun bukanlah Pak Nusron bila tidak memiliki cara. Ia yang sangat terobsesi untuk menjadi anggota legislating yang mengagung-agungkan cara-cara demokrasi, mengambil inisiatif untuk melakukan voting pada para pengurus yang hadir di serambi Masjid tersebut.  

“Bapak-bapak, diantara tiga pendapat ini, kira-kira, siapakah yang paling banyak dukungannya, mohon siapa yang mendukung Pak Abdul Wahab angkat tangan?” pinta Pak Nusron.

Lima pengurus Takmir Masjid mengangkat tangan membuktikan dukungannya kepada Pak Abdul Wahab. Dari lima pengurus ini diketahui mereka memang sangat dekat dengan Abdul Wahab, bahkan dari golongan merekalah kini jumlah yang paling dominan sebagai pengurus, menggantikan pengurus takmir masjid lama yang sudah tua-tua.

“Lalu siapa yang mendukung pendapat Pak Jamal?”

Tiga orang mengacungkan tangannya. Mereka adalah para sesepuh takmir yang masih mengabdikan diri sebagai takmir masjid.

“Lalu siapa yang mendukung pendapat Pak Warito?” tanya Pak Nusron.

Tak satu pun yang mendukung.

“Kalau begitu, kita sepakati pendapat Pak Abdul Wahab sebagai rekomendasi ke masyarakat” putus Pak Nusron.

Semua mengangguk setuju, kecuali Pak Warito.

@@@

“Bapaaaaaaaaaakkkk!!!!!! Bapaaaaaakkkkkkkk!!! Bapaaaaaaaak” suara teriakan diiringi tangisan menggegerkan seluruh warga.

“Bapaaaaaaaaaakkkk!!!!!! Bapaaaaaakkkkkkkk!!! Bapaaaaaaaak!! Dimana engkau bapaaaak??” Suara Hadi dan Haro saling bersahutan mencari bapaknya yang tiba-tiba menghilang. Hadi dan Haryo berlarian mengelilingi desa sambil memanggil bapaknya. Namun tak sepatah pun ada jawaban dari teriakan-teriakannya. Semua warga memandangi tingkah kedua anak itu. Ada lesakkan haru dalam dada mereka melihat kedua anak itu menangis sambil berlarian.

“Le, bapakmu sudah berangkat kerja! Ia mencari uang untuk kamu” kata Sang nenek sambil berlarian meraih tubuh dua cucunya itu.

“Bapaaaaaaaaaakkkk!!!!!! Bapaaaaaakkkkkkkk!!! Bapaaaaaaaak” dua anak itu masih terus berteriak-teriak memanggil bapaknya.

“Ayo pulang, le! Bapakmu dah berangkat. Ndak usah ditangisi. Nanti ia akan pulang lagi” rayu neneknya.

“Ada apa toh Mbah?” tanya orang-orang yang mengerumuni dua anak itu.

“Ini, bapaknya sudah berangkat ke Malaysia lagi. Nah si Tole ini mencari-cari bapaknya. Sudah saya beritahu, tetapi mereka tidak percaya, dan mencari kemana-mana bapaknya” terang Nenek Hadi dan Haryo tersebut.

“Wis, ndak papa le. Bapakmu cari uang yang banyak untuk kamu nanti. Biar bisa beli jajan. Ayo sudah hapus air matamu!” ucap salah satu warga.

Hadi dan Haryo kemudian menghapus air matanya. Ia menurut saat neneknya menggandeng tangannya. Terlihat masih ada sisa-sisa rembesan air matanya. Sesekali suara sesak tangisnya masih terdengar. Warga yang melihat sesungguhnya sangat bersimpatik dengan kedua anak itu. Namun fatwa para takmir Masjid yang tidak merekomendasikan untuk menyatakan bahwa Hadi dan Haryo adalah anak Yatim, menjadikan mereka enggan untuk menyumbangkan hartanya. Padahal, manakala mereka menyumbang kepada anak Yatim, mereka mengharap anugerah pahala yang berlimpah, sebagaimana keterangan dari para ustad yang mendektekan akan keagungan peduli kepada anak Yatim,

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : barang siapa yang memberi makan dan minum seorang anak yatim diantara kaum muslimin, maka Allah akan memasukkannya kedalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa yang tidak diampuni.



Dari Abu Umamah dari Nabi saw berkata: barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan  tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia disurga seperti ini, beliau mensejajarkan dua jari-nya.

@@@

Selang beberapa bulan kemudian, terkuak kabar, bahwa Saemuri, ayah Hadi dan Haryo, keberangkatannya ke Malaysia telah membawa uang dari sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh perusahaan tempat Menik bekerja dan juga penabrak yang terkumpul puluhan juta. Ia dengan kepandaian bermanis rupa dihadapan sang kakek telah mampu merayu untuk memberikan uang kepadanya. Dan benarlah kemudian sang kakek, yang memiliki sifat tidak tega, memberikan uang itu kepada Sumari, untuk berangkat ke Malaysia. Dan seperti sebelumnya, hingga berbulan-bulan, ia tidak mengirim uang kepada anak-anaknya. Maka gegerlah para warga. Mereka menanyakan hal itu lagi kepada Para Takmir Masjid. Mereka ingin memiliki rekomendasi atas apa yang menimpa Hadi dan Haryo yang terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. Namun Takmir Masjid yang telah dikuasai oleh cara berpikir Pak Abdul Wahab tetap tidak bergeming. Hal ini membuat Pak Warito mencak-mencak. Dihadapan para takmir, Pak Warito berteriak,

“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama, itulah orang yang menghardik anak  yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin “ {QS. Al-ma’un : 1-3}

  “Maka terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap   pengemis janganlah menghardik”.{QS.  Ad-Dhuha : 9 – 10 )

Jogodayoh, 9: 54 PM, 7 April 2014
ISNO EL KAYYIS

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*