Sabtu, Mei 10, 2014

Tragedi Ujian Nasional

Selama menjadi guru, Bakri sudah 4 tahun menjadi pengawas ujian nasional. Setiap tahun, ia punya banyak cerita yang beraneka. Dari cerita biasa-biasa hingga cerita yang luar biasa. Sebutlah cerita kenangan itu pada tahun pertama saat ia masih benar-benar fresh graduate dari universitas yang favorite dengan jargon pencetak guru masa depan. Ia ditugaskan oleh sekolah yang diampunya itu ke sekolah negeri yang paling maju di kota itu. Sebagai mantan aktivis kampus yang idealis, ia ingin menegakkan Ujian Nasional yang bersih dan jujur sebagaimana ia idam-idamkanya selama ini. Karena dengan Ujian Nasional yang bersih dan jujur, maka tolak ukur kredibiltas nilai siswa akan bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan ia akan sangat bangga bila kejujuran itu benar-benar terlihat di Ujian Nasional nanti, sebab dengan kejujuran pendidikan karakter yang sempat dipuja-pujanya itu akan mengejawantah dalam ranah praksis. Ia ingin melihat pendidikan ke depan itu akan menghasilkan manusia-manusia layaknya nabi Muhammad yang bergelar Al Amin. Manusia yang jujur. Manusia yang akan menghasilkan mentalitas baru menggantikan produk-produk pendidikam masa lalu yang gagal dengan melahirkan para pemimpin-pemimpin korup. Ia percaya bahwa untuk memutus generasi korup tidak ada jalan lain kecuali dengan pendidikan yang anti-kebohongan. Dengan alasan demikianlah ia rela menjadi guru walau di sekolah swasta dengan gaji minim.
“Saya berangkat bu!” Bakri berpamitan kepada istrinya yang berada di dalam rumah. Sang istri tergopoh-gopoh keluar dari rumah dan mencium tangan suaminya. Setelah itu Bakri menstarter sepeda bututnya yang sejak subuh telah ia siapkan di depan rumahnya. Ia menelusuri pagi buta itu dengan suasana ceria penuh dengan harapan yang membumbung.
Sampai di SMA yang dituju, Bakri memarkirkan sepedanya di halaman sekolah tersebut. Ia disambut oleh parker sekolah tersebut dengan sapaan akrab.
“Selamat pagi Pak! Silahkan sepedanya ditaruh di sebelah kanan” sapa Satpam sekolah sambil menunjukkan tempat parkir bagi para pengawas yang telah disediakan.
Bakri segera memarkir sepedanya di tempat parkir yang telah disediakan. Setelah memarkir sepedanya, ia langkahkan kakinya menuju tempat sekertariat. Sampai di sekertariat, suasana masih sepi. Belum ada pengawas lain yang datang. Hanya beberapa panitia sekolah yang sedang mempersiapkan naskah soal.
“Selamat pagi Pak, kok pagi-pagi sekali sudah datang? Mari silahkan masuk” Panitia ujian menyapa dan mempersilahkan Bakri duduk di dalam ruangan yang telah dipersiapkan khusus untuk pengawas.
Bakri melihat suasana sekertariat ini begitu nyaman. Jauh sekali bila dibandingkan dengan sekolahnya yang sederhana. Sekertariat di sekolah ini tertata dengan baik dan serasi. Paling depan berjejer meja-meja para panitia Ujian. Sedang meja para pengawas ditata melingkar, melingkari meja khusus untuk peletakkan naskah ujian.
“Silahkan diminum kopinya Pak!” Panitia ujian menyuguhkan segelas kopi dan telur ayam serta jajan-jajan tradisional yang ditaruh di lepek putih.
“Terima kasih-terima kasih, bu!. Kebetulan, saya tadi berangkat belum minum kopi” jawab Bakri terkesima dengan pelayanan panitia ujian yang ramah.
“Bila bapak ingin minum teh atau kopi susu bisa diambil di sebelah sana, Pak” ucap panitia ujian itu lembut, sambil menunjukkan tempat minum yang dijejer rapi disebelah pintu keluar.
“Terima kasih bu! Cukup ini saja. Ini sudah cukup” ucap Bakri, polos.
“Atau bila bapak ingin minum kopi sambil baca koran, bisa bapak ambil ditempat koran yang telah kami sediakan di dekat minuman itu” jelas Ibu panitia ujian menunjuk ke tempat koran yang telah dijejer rapi.
Bakri cukup terkesima dengan cara penerimaan para panitia ujian di sekolah ini. Ia mendapatkan keramah-tamahan yang luar biasa, yang ia tidak dapatkan di sekolahnya. Dari penyambutan awal, hingga penataan ruangan, kesediaan makanan dan minuman, serta bacaan koran untuk mengasupi gizi pengetahuannya tersedia semua.
Bukanlah Bakri kalau tidak haus membaca, ia pun segera mengambil koran yang telah disediakan. Tidak berapa lama ia hanyut dalam imajinasi-imajinasi berita yang membawanya ke awan idealisme tatanan masyarakat yang terbumbung penuh harapan. Terlebih manakala disampingnya tersedia jajan-jajan tradisional yang menjadi kesukaannya, menjadi lengkaplah kebahagiaan Bakri di pagi hari ini.
Namun tidak berapa lama kemudian, satu per satu para pengawas dari berbagai sekolah hadir dan menyalaminya sebagai bentuk ramah tamah. Bakri pun tidak bisa terkonsentrasi lagi untuk membaca, pasalnya beberapa pengawas yang duduk disampingnya, banyak yang menyapa dan bertanya tentang dirinya. “Darimana bapak?” “Bagaimana kabar sekolahnya?” dan pertanyaan basa-basi lainnya. Dan terpaksa Bakri menghentikan kegiatan membacanya. Ia tidak ingin menjadi orang yang tidak beradab. Diajak bicara malah asyik dengan membaca. Ia pun menjawab berbagai pertanyaan dari teman disebelahnya itu dengan seperlunya. Walau bagi Bakri, pertanyaan-pertanyaan itu tidak ilmiah, tidak mencerminkan diri sebagai orang terdidik, yang selama ini, bagi Bakri, seorang guru haruslah segala nada bicaranya ilmiah dan idealis sesuai dengan kurikulum.
Bagi Bakri, segala tindak tanduk, bahkan sampai nada bicaranya pun, guru haruslah berkurikulum. Sebab segala gerak gerik guru harus sesuai kurikulum. Karenanya semua harus di atur. Guru tidak boleh sembarangan dalam bertingkah.  Sebab tingkah laku guru adalah pendidikan bagi anak didiknya, pendidikan bagi orang disekelilingnya.
Ketersiksaan Bakri akhirnya tersudahi oleh kehadiran kepala sekolah. Kepala sekolah yang didampingi oleh pengawas perguruan tinggi dan pihak kepolisian duduk paling depan memberikan pembinaan dan arahan teknis pelaksanaan Ujian Nasional. Namun diantara ketiga pengarah itu, yang menjengkelkan bagi Bakri adalah pihak kepolisian. Bakri ingin menghabisi kehadiran polisi itu dengan memberondong pertanyaan. Kenapa anda disini? Apakah memang disini ada criminal? Apakah memang ujian nasional itu berbahaya sehingga harus anda jaga? Apakah sebegitu tidak percayanya anda dengan guru sehingga seakan anda menyatakan bahwa guru tidak becus menjalankan UNAS? Tidak becus menjaga anak didiknya sendiri untuk berlaku jujur? Dan sederetan pertanyaan lainnya. Tetapi hal itu urun dilakukan, manakala bel tanda masuk telah terdengar. Bakri buru-buru mengambil naskah sesuai dengan nomor ruangan yang telah terjadwal untuk dijaganya. Ia mendapati teman sebangkunya seorang guru laki-laki tua. Ia pun menyapa dengan sopan. Ia berjalan beriringan menuju ruangan kelas.
Dalam perjalanan, ia mengingat-ingat pesan-pesan kepala sekolah tadi selama pengarahan. Bahwa kepala sekolah mewanti-wanti agar pengawas dalam menjaga siswa-siswi di sekolah ini diperlakukan seperti anaknya sendiri. Kalimat “Menjaga seperti anaknya sendiri” itulah yang menjadi hal yang direnungkan oleh Bakri. Ia tidak mampu menafsirkan bahkan mena’wilkan kalimat itu. Pikirannya buntu. Ia ingin mengungkapkan kepada temannya, guru tua itu.
“Pak Bambang, maksud dari “menjaga seperti anaknya sendiri” itu bagaimana? Saya kok tidak paham dengan kalimat kepala sekolah tadi?” tanya Bakri kepada guru yang menjadi teman pendamping di ruangannya yang bernama Bambang.
Pak Bambang hanya tersenyum.

@@@

Sampai di ruangan, Bakri disambut oleh para siswa-siswi dengan sopan. Tanpa diperintah siswa-siswi berbaris dan berdoa di depan ruangan kelas. Setelah itu mereka mencium tangan sambil mengucapkan salam kepada Bakri dan Pak Bambang.
Mendapati keramah tamahan siswa-siswi itu, membuat Bakri terkagum-kagum. Bagaimana tidak, selama ini ia mengira sekolah negeri itu adalah sekolah yang dihuni oleh siswa-siswi yang sombong, gaul dan segala gelak kenakalan yang melekat padanya. Namun pandangannya itu sekarang salah, ia mendapati siswa-siswi sekolah negeri itu sopan santun, bahkan siswinya pun banyak yang berjilbab. Dan jilbabnya pun jilbab standar yang syar’i. Jauh berbeda dengan siswinya di sekolah swasta, jilbabnya seperti jilbabnya ibu-ibu yasinan.
Juga yang nampak dari siswa di ruangan yang ia jaga ini, memperlakukan pengawasnya dengan perlakuan yang istimewa. Di meja pengawas disediakan koran dan majalah. Selain itu juga disediakan makanan ringan dan minuman botol kemasan.
Bakri pun memperkenalkan dirinya sebagai pengawas di ruangan itu.
“Assalamualaikum adik-adikku semua”
Walaikumsalam” jawab semua siswa kompak.
“Tak kenal maka tak sayang. Demikian kata pepatah. Karenanya kami ingin memperkenalkan diri kepada kalian. Biar kalian bisa menyapa saya bila sewaktu waktu bertemu dengan kami. Saya sendiri namanya Pak Bakri, sedangkan teman saya namanya Pak Bambang. Saya sendiri dari sekolah  SMA Harapan Umat dan Pak Bambang sendiri? Monggo Pak Bambang diperkenalkan sendiri” Bakri mempersilahkan Pak Bambang untuk memperkenalkan dirinya.
“Selamat Pagi anak-anak”
“Selamat pagi” semua siswa menjawab.
“Perkenalkan nama saya Bambang. Kalian bisa memanggil saya dengan Pak Bambang. Jangan dipanggil sepenggal-penggal. Misalnya Pak Bam atau Pak Bang. Nanti jadinya lucu” ujar Pak Bambang.
Semua siswa tersenyum-senyum.
“Saya dari SMA Negeri 5. Dan saya di sini akan menjadi pengawas kalian. Jangan takut. Jangan tegang. Kerjakan soal dengan tenang” ucap Pak Bambang lagi.
Semua siswa mengangguk-angguk paham.
“Baik, saya kira perkenalan sudah selesai. Sekarang saya akan membacakan aturan tata tertib peserta UNAS” ucap Bakri.
Bakri pun dengan lantang membacakan tata tertib peserta Ujian Nasional satu persatu. Semua siswa mendengarkan dengan penuh seksama. Bakri meletakkan lembaran tata tertib setelah usai dibaca. Ia kemudian mengambil naskah soal dan dibagi-bagikannya kepada semua siswa dibantu oleh Pak Bambang.
Bakri kemudian memberikan petunjuk pengisian LJUN yang benar. Semua siswa mengikuti apa yang menjadi arahannya. Bakri kemudian mengecek satu persatu LJUN yang diisi oleh siswa. Ia sekali-kali menegur siswa yang arsirannya kurang tebal agar menebalkannya kembali. Juga memperingatkan kepada semua siswa agar berhati-hati dalam mengarsir agar jangan terlalu kuat sehingga nanti bisa menembus LJUN-nya sehingga menjadikan LJUN-nya rusak. Dan memperingatkan agar apabila ada kesalahan mengarsir segera dihapus, dengan cara menghapusnya yang bersih.
Setelah dikira semua siswa telah benar pengisian LJUN-nya, maka Bakri mengedarkan absen kehadiran kepada semua siswa. Dan setelah selesai pengisian absen kehadiran, bertepatan dengan itu pula bel tanda mengerjakan soal terdengar.
“Anak-anak, selamat mengerjakan. Semoga kalian semua diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soalnya” doa Bakri.
“Amin”   
Bakri kemudian melanjutkan pengisian berkas-berkas administrasi yang belum dituntaskannya. Melengkapi absen kehadiran siswa yang berjumlah tiga lembar, surat pakta integritas dan mengisi amplop besar yang akan menjadi tempat LJUN-nya.
Beberapa lama Bakri berasyik masyuk dengan melengkapi berkas administrasi itu. Pak Bambang telah larut dalam membaca koran hari ini yang telah disiapkan di mejanya. Setelah tugas administrasi selesai, Bakri kemudian mengikuti apa yang dilakukan oleh Pak Bambang. Membaca koran. Kebetulan pula ia ingin menuntaskan membaca korannya pagi tadi yang belum tuntas. Tidak berapa lama kemudian ia larut marut dalam membaca berita-berita kehidupan yang dihidangkan di koran yang sangat terkenal di Jawa ini.
Namun tidak berapa lama, Bakri mendengar ribut-ribut suara dari siswa. Ia buru-buru memperhatikan siswa yang ribut itu. Siswa itu pun kemudian tenang kembali. Bakri kemudian melanjutkan membaca korannya. Namun tidak berapa lama, siswa ribut-ribu kembali. Dan Bakri pun menoleh mencoba memperhatikan apa yang terjadi. Saat dia menoleh, siswa yang ribut itu kembali tenang. Bakri pun melanjutkan membaca. Hingga ketiga kalinya, siswa yang ribut sejak awal itu ribut kembali. Bakri pun menoleh dan dengan agak emosi ia menegur,
“Mas, jangan ramai-ramai. Kerjakan sendiri!” Bakri jengkel.
Siswa yang ditegur itu kemudian terdiam tenang. Karena sudah tenang, Bakri pun melanjutkan membacanya. Namun baru sebentar ia membaca sudah ada ribut-ribut lagi dari siswa paling pojok sebelah kanan. Bakri coba diam saja. Namun diamnya itu kemudian membawa beberapa siswa lain terinspirasi untuk ribut. Dan terpaksa Bakri menutup korannya dan melototkan matanya kepada siswa-siswi yang ribut meminta jawaban dari temannya yang lebih pandai.
“Kalau kalian ramai begini, kalian tidak akan cepat selesai. Ayo kerjakan dengan tenang. Kerjakan sendiri. Yang jujur! Fokus-fokus” Bakri menasehati.
Para siswa kemudian tenang kembali. Bakri akhirnya memutuskan untuk tidak membaca koran. Ia memutuskan untuk berkonsentrasi mengawasi gerak-gerik siswa. Setiap pergerakkan apapun yang dilakukan siswa diawasi oleh Bakri. Bahkan gerak jarum jam di tangan salah satu siswa pun di awasi oleh Bakri.
Agak lama Bakri memperhatikan para siswa, sehingga menjadikan kegaduhan yang sempat terdengar berkali-kali menjadi tenang dan hening. Hal demikian menjadikan Bakri bahagia. Sebab dengan ketenangan dan keheningan akan menjadikan siswa mudah berkonsentrasi untuk mengerjakan soal dengan baik.
Bakri melirik Pak Bambang yang masih asyik dengan membaca korannya. Ia seakan tidak perduli dengan riuh riah siswa yang ribut-ribut. Ia tetap membaca sambil sesekali memakan kacang yang disediakan siswa di atas meja. Ketika ia sudah selesai membaca koran, Pak Bambang dengan sifat diam dan cueknya keluar ruangan. Ia mencari teman berbincang dan mengajak merokok bersama.
Tentu saja, apa yang dilakukan Pak Bambang itu menjengkelkan hati Bakri. Tetapi Bakri tidak mungkin mengungkapkan kejengkelannya itu kepada Pak Bambang secara langsung. Ia menyadari bahwa Pak Bambang lebih senior sedangkan dirinya masih yunior. Ia masih berbau kencur untuk menasehati agar Pak Bambang bisa menjadi pengawas yang baik dengan memperhatikan siswa, tidak sekedar membaca koran, makan kacang, keluar kelas, bincang-bincang dan merokok.  Bakri menggerutu di dalam hatinya.
Bakri berdoa, semoga di jam berikutnya, ia tidak bertemu dengan pengawas seperti Pak Bambang. Ia ingin punya teman pengawas yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengawas. Tugasnya pengawas adalah mengawasi. Mengawasi agar para siswa bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan jujur.
Bagaimana kualitas kejujuran itu bisa di dapat, apabila pengawasnya tidak menjalankan tugas kepengawasannya dengan benar? Bukankah pengawas dibayar memang untuk mengawasi dengan benar? Dan bukankah mengawasi ujian tidak hanya sekedar mendapatkan bayaran, tetapi sebuah tanggungjawab sebagai guru untuk menjaga anak didiknya agar sukses dalam  mengerjakan soal juga tuntutan moral agar anak didik bersikap jujur dan berintegritas? Kalau para pengawasnya seperti Pak Bambang semua, bagaimanakah kualitas Ujian Nasional kelak? Apakah bisa menjamin bahwa nilai-nilai Ujian itu akan merepresentasikan kemampuan anak didik?
“Pak, izin ke belakang?” tukas seorang siswa meminta izin untuk ke belakang.
Bakri mengangguk. Siswa itu pun berlalu dari hadapan Bakri yang sendiri duduk di depan meja pengawas. Bakri memperhatikan siswa itu hingga tubuhnya menghilang dari pandangan. Bersamaan itu, muncul wajah Pak Bambang yang masuk ke dalam ruangan.
“Ndak ngantuk Pak Bakri?” tanya Pak Bambang.
“Mboten Pak,” jawab Bakri.
“Saya nguantuk! Tadi malam habis begadang. Ada tetangga yang punya gawe walimatur ursy[1]Jadi agar saya tidak sampai tertidur saya baca koran, dan merokok. Mohon maaf ya Pak Bakri saya tinggal tadi” ucap Pak Bakri.
Nggeh, mboten nopo-nopo Pak!”[2] jawab Bakri santun, menutupi kejengkelannya.
“Saya tak izin keluar lagi, Pak. Di dalam sumpek dan mengundang kantuk yang luar biasa,” ucap Pak Bambang, seakan merasa tidak bersalah.
Bakri pun tidak bisa berkomentar. Karena sebelum dia komentar, Pak Bambang telah keluar dari ruangan. Bersamaan dengan itu, masuklah siswa yang tadinya keluar untuk ke kamar kecil. Ia kembali duduk di tempatnya semula.
Bakri penasaran dengan keadaan di luar. Ia pun mencoba berlalu menuju pintu. Di luar, Bakri melihat bapak-bapak seusia Pak Bambang, sedang berkerumun sambil merokok. Sesekali terdengar tertawa mereka cekikikan. Hal demikian menyebabkan kejengkelan yang luar biasa pada diri Bakri. Bagaimana mungkin guru-guru senior melakukan perilaku demikian? Bagaimana mungkin para senior mencontohkan hal tidak baik pada guru yunior dengan mengawas asal-asalan. Bagaimana dengan siswa yang ada di dalam ruangannya? Apakah mereka tidak mencontek? Apakah mereka bisa berlaku jujur tanpa pengawasan? Dan bukankah dalam ulangan-ulangan biasa, anak-anak sering gagal berperilaku jujur?
“Gak usah takut sama pengawas!” teriak seorang siswa di belakang siswa yang baru keluar untuk ke kamar kecil tadi. Siswa yang ada di belakang terlihat oleh Bakri berusaha untuk merebut jawaban dari siswa di depannya. Namun karena siswa di depan itu takut ketahuan, ia akhirnya menyembunyikan jawabannya.
“Hai-hai ada apa ini ribut-ribut? Kalian sedang meributkan apa?” teriak Bakri membentak dua siswa yang sedang ribut itu. Ia kemudian menghampiri dan memeriksa kertas jawaban yang diperebutkan. Karena dihampiri dan ditanyai oleh Bakri menyebabkan siswa itu ketakutan. Ketakutan siswa tersebut menimbulkan ribuan kecurigaan Bakri. Bakri kemudian memeriksa kolong meja milik siswa tersebut. Dari kolong meja itu Bakri menemukan kertas berisikan jawaban yang di ketik rapi.
“Apa ini?” tanya Bakri kepada siswa tersebut.
“Anu…Pak!” siswa itu ketakutan.
Bakri segera merampas lembaran. Ia memeriksa lembaran yang penuh dengan jawaban itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba pening.
“Masya Allah! Saya kira setelah soal ada barcode-nya, tidak akan ada lagi yang bisa maling, tetapi ternyata maling selalu memiliki kepandaian untuk mencurinya, sesulit apapun. Apalagi maling-maling itu berseragam!”

@@@

Suara HP Bakri bergetar. Buru-buru Bakri mengangkat HP-nya. Ia kaget setelah mendapati nomor HP itu tertanda nama Kepala Sekolah.
“Assalamualaikum!” Sapa Kepala Sekolah terdengar di HP Bakri. Bakri pun menjawab salamnya.
“Ada apa Pak?” tanya Bakri.
“Saya mendapat laporan dari Kepala Sekolah yang Pak Bakri menjaga di sana. Bahwa Pak Bakri mengawasi ujian dengan sangat ketat bahkan Pak Bakri dilaporkan merampas lembar jawaban dan mengintimidasi siswa hingga ada siswa yang terkencing-kencing” ucap Kepala Sekolah.
Mendengar tuduhan-tuduhan tidak berdasar itu, Bakri muntab ingin marah. Tetapi ia mencoba menahan dengan dada tersengal-sengal. Ia mencoba menenangkan diri dengan duduk yang tenang.
“Bolehkah saya menjelaskan duduk perkaranya, Pak?” tanya Bakri.
Monggo” Kepala Sekolah mempersilahkan.
“Yang pertama saya katanya merampas lembar jawaban. Memang iya Pak, saya merampas lembar jawaban. Tetapi yang dimaksud lembar jawaban itu bukan LJUN, tetapi lembar jawaban contekkan siswa di sana. Sewaktu saya menjaga ada anak yang izin ke kamar kecil. Setelah ia dari kamar kecil, rupanya dia membawa kunci jawaban, entah yang memberi jawaban itu siapa? Ia menjawab dengan kunci jawaban itu. Teman-teman di sekelilingnya ingin mencontohnya. Namun karena dia sendiri belum selesai, ia tidak menggubris temannya. Lalu temannya marah dan memukul kepalanya dari belakang. Maka keributan terjadi. Saya segera melerai dan memeriksa apa sebenarnya yang terjadi. Ternyata dari hasil pemeriksaan saya, saya menemukan lembar jawaban penuh, enam mata pelajaran sekaligus. Sungguh kaget sekali saya. Soal yang saya kira tidak bisa bocor dengan adanya barcode, tetapi bocor juga. Maling selalu pandai untuk mengelabui. Dan betapa kagetnya, bapak! Setelah saya tanya kepada siswa tersebut, ternyata saya mendapati informasi bahwa siswa tersebut mendapatkan jawaban dari kurir-kurir hebat binaan sebuah lembaga. Dan mohon maaf bapak saya tidak bisa menyebutkan lembaga itu, saya harus menyembunyikan, agar tidak akan terjadi persoalan yang lebih besar nantinya. Siswa juga mengaku mereka iuran dua ratus ribuan. Jadi sangat mungkin, dua hari akan datang akan terjadi pola yang sama, yakni saling mencontek. Ini sudah mafia” jelas Bakri.
“Lalu bagaimana dengan tuduhan siswa yang terkencing-kencing itu?” tanya Kepala Sekolah.
“Pada jam kedua, akhirnya saya perketat Pak. Pasalnya saya belajar dari jam pertama yang kecolongan ada siswa yang mencontek. Terlebih dengan adanya penemuan lembar jawaban yang beredar. Dugaan kuat saya, pasti di ruangan lain akan ada pesebaran jawaban. Akhinya sejak awal, saya sudah mengawasi mereka dengan mengindahkan koran, majalah atau hal-hal lain yang membuat saya terkecoh. Karena saya selalu waspada, sehingga ada siswa yang sepertinya ketergantungan pada pesebaran jawaban tidak mengerjakan soal, ia menunggu bocoran jawaban beredar. Karena lama tidak beredar, padahal waktu sudah menunjukkan tanda-tanda mau habis, maka ia panik. Dan benar akhirnya terjadi, saat bel berbunyi tanda berakhirnya mengerjakan soal, ia belum selesai. Saya tidak perduli, sudah selesai atau belum selesai, tetapi waktu telah habis, maka saya harus sesuai dengan prosedur. Saya ambil semua LJUN. Termasuk milik dia. Dia memohon dengan sangat kepada saya, agar bisa menyelesaikan jawaban. Tetapi saya tidak mau. Segera saya ambil. Dia menangis-nangis, hingga terkencing-kencing. Saya tidak perduli” terang Bakri.
“Oh begitu ceritanya. Iya…iya saya paham” ucap Kepala Sekolah.
Bakri merasa lega karena Kepala Sekolah yang sedari awal menuduh tidak-tidak kepadanya akhirnya memahami persoalannya. Dengan pemimpin yang memahami persoalan anak buahnya, maka akan melahirkan kebijakan yang bijak. Setidaknya itulah harapan Bakri, selaku guru biasa yang berharap penuh pada kebijakan pengambil kebijakan dengan sebijak-bijaknya. Sedari awal, Bakri sudah diwanti-wanti oleh teman sesama guru maupun pengawas, agar berhati-hati dalam menjaga. Tidak usah galak-galak. Nanti malah menjadi masalah.
“Sekarang ini yang penting selamat. Gak usah macem-macem. Ada ketidakjujuran lebih baik diam saja. Merem saja. Yang penting selamat. Kita mau mengubah bagaimana, sedang hal ini sudah sistemik. Kita menjaga ketat, tidak akan bisa mengubah keadaan. Daripada begitu lebih baik diam saja. Yang penting selamat” demikian nasehat teman guru yang lebih senior di sekolah Bakri.
Tetapi bagi Bakri, menjadi pengawas adalah kewajiban yang dibebankan kepadanya selaku guru. Guru tidak hanya sekedar mengajar, tetapi harus mendidik. Karena memang demikianlah makna sesungguhnya menjadi guru. Bukankah makna guru secara kereto boso adalah digugu lan di tiruDigugu lan ditiru bermakna dicontoh dan ditauladani baiktutur maupun lakunya. Apa yang diucapkan oleh guru menjadi pedoman bagi murid. Dan apa yang menjadi tingkah laku guru, akan menjadi tauladan untuk ditiru dalam perilaku sehari-hari.
Namun guru bukanlah obyek pasif. Ia adalah subyek aktif untuk menjejalkan nilai-nilai luhur. Ia haruslah mengejawantahkan perannya untuk bertutursembur dan wuwurTuturbermakna guru haruslah sering-sering menasehati, memberi pendapat, opini, analisis akan berbagai hal yang menjadi persoalan sehingga murid mendapatkan pencerahan dari sang guru. Sedang sembur adalah sebuah makna kewajiban dari guru untuk mendoakan murid-muridnya, baik diminta atau tidak diminta. Karena dengan doa sang guru, akan menjadi awal membuka pintu gerbang ridlo Allah, untuk mensukseskan kehidupan murid mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang. Sedang wuwur, adalah upaya memberi dari guru kepada murid. Entah berupa kata hikmah atau sesuatu yang berharga untuk disuguhkan kepada sang murid.
Mengawasi dengan benar  adalah bentuk kewajiban guru menjejalkan nilai-nilai kejujuran dan sportivitas dalam ujian. Kejujuran memang pahit untuk diucapkan bahkan untuk ditindakkan apabila ada unsur kepentingan memuaskan nafsu hewaniah. Bagaimana tidak menyakitkan, apabila keinginannya untuk memperoleh hasil instan dengan tidak perlu capek-capek menghafal rumus atau mengeja kata, bisa dengan mudah di dapat hanya melihat HP atau lembaran jawaban? Modalnya cukup dua ratus ribu dengan media HP atau lembaran, maka siapapun, tidak perlu menunggu waktu tiga tahun, atau tidak perlu masuk ke lembaga-lembaga kursus yang mencapekkan. Dan juga tidak perlu bertitel anak rajin atau anak pandai, cukup dengan HP semua terjawab dengan tuntas dan benar.
Namun Bakri yakin, bahwa menyakiti hati murid adalah untuk kesembuhannya. Layaknya orang yang ingin sehat tetapi dengan disuntik terlebih dahulu, adalah upaya untuk menyembuhkan. Disuntik memang menyakitkan tetapi efeknya adalah kesembuhan. Begitu pun dengan murid, memang merampas HP atau lembaran jawaban itu menyakitkan, namun kelak, apabila dia menyadari ternyata akan menyembuhkan dari jerat jerat penyakit kebohongan dan berpikir instan. Bukankah apa yang menjadi perilaku itu adalah hasil dari belajar?
Saat ini, banyak orang berpikir instan, untuk menjadi seorang caleg, berani melakukan apa saja asalkan bisa menjadi, termasuk melakukan suap. Untuk menjadi pegawai negeri, orang berani menyuguhkan rupiah dengan nilai fantastis kepada calo-calo berseragam. Untuk menjadi seorang artis, terkadang mereka rela mengganti harga dirinya hanya demi popularitas. Jangan-jangan pola berpikir instan ini adalah hasil dari belajar di sekolahnya dulu?
Lihatlah bagaimana murid-murid berupaya mendapatkan nilai baik, namun ditempuh dengan perbuatan yang tidak baik. Mereka mencontek demi mendapatkan nilai baik. Mereka berpikir instan. Daripada repot-repot dan berusah capek dengan belajar, lebih baik mencontek saja, lebih mudah dan ternyata juga tidak bersiko. Para pengawasnya tidak sampai tega untuk bertindak tegas. Dan guru-gurunya pun tidak akan sempat bertanya, bagaimana ia mendapatkan nilai itu, tetapi yang mereka tahu hanyalah nilai itu berjumlah sekian. Orang tuanya pun tidak akan bertanya, “kamu mengerjakan dengan jujur ataukah tidak?” tetapi mereka hanya bertanya “berapa nilaimu?” “rangkingmu berapa?” Orang tua hanya mengetahui nilai jadi. Mereka akan bangga apabila anaknya mendapatkan rangking sekian, tanpa memperhatikan proses.
“Ah tidak, tidak, itu harus diberangus, guru harus berjibaku untuk memberantas pola-pola merusak akhlak itu. Guru harus mendidik dengan benar. Menuntun murid untuk bertindak benar sesuai dengan agamanya. Jangan sampai guru diam dan tidak mengajarkan nilai kebajikan. Bagaimanakah kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah atas apa yang dia didikkan? Ah aku tidak ingin menjadi guru seperti itu” kata Bakri di dalam hati.
“Pak Bakri, saya tahu bagaimana prinsip Pak Bakri. Tetapi anda ini guru baru, guru yunior dan juga guru swasta, jadi perlu banyak belajar akan keadaan. Saya minta, saya selaku kepala sekolah, agar Pak bakri tidak ketat-ketat menjaga siswa di sana. Yang akan menjadi korban itu banyak, tidak hanya Pak Bakri saja. Tetapi siswa-siswi di sini pula. Bisa saja Kepala Sekolah di tempat Pak Bakri menjaga, memerintahkan guru-gurunya yang ada di sekolah sini untuk membalas perbuatan Pak Bakri. Mereka akan mengawasi ketat, yang mana hal ini akan menimbulkan kekurangnyamanan pada siswa di sini. Padahal Pak Bakri tahu sendiri, bahwa sekolah kita itu sekolah swasta. Apabila beberapa siswa ada yang tidak lulus, bagaimanakah nasib kelak sekolah kita? Oleh karenanya tolong hal ini dipikirkan. Saya tidak tahu bagaimana caranya Pak Bakri harus bersikap, tetapi saya hanya minta janganlah mengorbankan anak didik kita. Sekian. Wassalamualaikum” pungkas Kepala Sekolah.
Bakri termenung dengan ucapan terakhir kepala sekolahnya tersebut. Bagaimanakah mungkin alur berpikir kepala sekolahnya itu bisa se-pragmatis itu? Ia hanya memikirkan keselamatan lulus dan tidak lulus siswanya, tetapi tidak memikirkan bagaimana mendidikkan hal yang baik kepada siswanya. Apabila kepala sekolah atau guru membenarkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh siswa, maka kelak itu akan menjadi pembenar atas perbuatan buruknya itu. Itu sebahaya-bayahanya dalam dunia pendidikan. Membenarkan perbuatan tidak benar. Dan anehnya itu tanpa sengaja dididikkan oleh guru-guru, yang konon mengajarkan kebajikan-kebajikan.
Dan membedakan Bakri sebagai guru yunior dengan guru senior itu sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, bila dipahami secara bahasa, seakan guru yunior itu tidak tahu apa-apa,plonga plungo, sedang guru senior lebih pinter dan lebih boleh melakukan hal lainnya. Seakan guru senior tidak bisa salah dan akan selalu benar apabila mereka bicara atau diamnya. Sedangkan guru yunior diam atau bicara harus memahami dulu keadaan, kira-kira guru senior ridlo apakah tidak. Ah ini sungguh menyakitkan Bakri. Terlebih ia diminta selaku guru swasta untuk tahu diri. Memang ada apa dengan guru swasta? Keluh Bakri. Guru negeri dan guru swasta toh sama-sama guru. Lalu apa yang membedakan? Bukankah fungsi dan tujuannya sama yakni sama-sama mendidik. Bila urusannya adalah mendidik, maka menyandingkan guru negeri dan guru swasta adalah kesalahan yang tidak terampuni. Ah ada apa dengan dunia pendidikan ini? Lirih Bakri.

### 

“Selamat mengerjakan anak-anak sekalian. Silahkan dikerjakan sendiri. Kerjakan dengan jujur. Karena dengan kejujuran kita akan menjadi orang sukses dunia dan akherat” ucap Bakri menandai mengerjakan soal di hari kedua.
Sebagaimana tekad Bakri untuk menjadi pengawas yang sebenar-benarnya pengawas, ia akan selalu mengawasi peserta ujian. Ia berpuasa untuk tidak membaca koran, atau bermain-main dengan HP-nya. Ia memelototi satu per satu peserta ujian.
Di waktu awal, tidak ada riak-riak kegaduhan pada peserta ujian. Namun setelah satu jam berjalan sudah mulai ada kegaduhan. Buru-buru Bakri meminta kepada seluruh peserta ujian untuk diam dan berkonsentrasi lagi dengan mengerjakan soal-soal. Seluruh peserta ujian diam. Namun tidak berapa lama akhirnya mereka berulah lagi. Bakri meminta kembali kepada peserta untuk ujian. Setelah diam, mereka berulah lagi. Bakri pun berteriak keras,
“Hai kalian bisa diam tidak? Ini ujian bukan diskusi!” teriak Bakri.
Semua siswa terdiam. Mereka tidak berani bersuara lagi. Kemungkinan mereka menduga bahwa Bakri itu sama dengan pengawas-pengawas sebelumnya yang cuek bebek meski mereka ramai dan saling mencontek. Dihadapan Bakri, mereka menjadi mati kutu. Tetapi meski demikian, ada saja satu dua anak yang memiliki mental kuat, mencoba mencari peruntungan dengan mencontek isi HP yang diselipkan di sorokan meja mereka.
Bukanlah Bakri bila tidak mengetahui bahasa tubuh siswa tersebut. Ia paham dengan bahasa tubuh manusia. Ia pernah belajar psikologi meski hanya membaca-baca buku di perpustakaan kampusnya. Ilmu psikologi yang ia gandrungi adalah ilmu psikologi dari china tentang bentuk tubuh manusia dan ciri kepribadiannya. Kepribadian rambut kriting, rambut lurus, rambut ikal, dan lain sebagainya, memiliki ciri kepribadian yang berbeda. Begitu pun dengan bentuk hidung, warna kulit, bentuk kaki hingga gerak gerik tubuh, memiliki bahasa makna tersendiri. Bahkan, menurut para pakar, bahasa tubuh itu lebih memiliki makna lebih dalam ketimbang kata-kata.
“Mas, mana HP-nya? Sini saya ambil!” ucap Bakri saat mendekati siswa yang mencontek dengan HP-nya.
“Maaf Pak”
Siswa itu ketakutan. Ia menyerahkan HP yang disembunyikan di sorokan mejanya itu kepada Bakri. Bakri langsung mengambil HP dari siswa tersebut. Ia membawa ke meja depan. Ia buka HP siswa tersebut. Ia terkejut. Ia melihat seluruh isi jawaban ada di sms yang berukuran panjang dalam HP tersebut.
“Masya Allah” ucap Bakri lirih.
Bakri memutuskan untuk mengirim ulang pesan berisi jawaban itu ke nomor HP-nya. Ia ingin punya bukti, bahwa pelaksanaan UNAS di sekolah ini benar-benar tidak jujur. Tidak berapa lama sms itu terkirim.
Bakri hanya bisa mengelus dada.

###

“Mohon maaf Pak Bakri. Saya selaku Kepala Sekolah memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Pak Bakri selaku pengawas di sini, atas ulah anak-anak kami. Tetapi mohon kepada Pak Bakri untuk menyadari, bahwa anak-anak disini itu banyak. Jadi kami tidak bisa mengendalikan semua. Anak-anak kami ada yang patuh juga ada anak yangndablek. Dan anak-anak yang Pak Bakri temukan dengan tindak kecurangan itu barangkali anak-anak ndablek tadi. Kami sudah mewanti-wanti agar apabila anak-anak mengerjakan UNAS haruslah dengan jujur, percaya diri dan mengerjakan sendiri. Tetapi maklumlah Pak, mereka itu masih anak-anak” ucap Kepala Sekolah memohonkan maaf atas ulah siswanya yang dipermasalahkan oleh Bakri setelah selesai pelaksanaan ujian di hari kedua ini.
“Saya menemukan banyak siswa-siswa bapak yang berbuat curang. Tidak hanya sekedar satu dua orang, tetapi hampir rata-rata. Saya sendiri sebenarnya sulit mengendalikan, tetapi karena lantaran saya melakukan shock therapy psikis agar mereka bisa tenang dan tidak curanglah sehingga menyebabkan kelas itu bisa terkendali. Namun begitu, tetap saja ada beberapa anak yang mencoba-coba peruntungan dengan mengeluarkan HP yang disembunyikan di saku celananya. Anak-anak yang seperti inilah yang saya tindak Pak. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada anak-anak perempuan yang menaruh contekkannya di pahanya. Ini kan keterlaluan. Jadi mohon saya diberi petunjuk, apakah saya menindak anak-anak yang seperti ini salah? Terus terang saya menyayangi mereka. Saya menyayangi mereka agar mereka tidak terjurumus dalam kecurangan-kecurangan. Bukankah ini tugas saya sebagai pengawas, bapak?” terang Bakri.
“Saya memaklumi kondisi Pak Bakri. Tetapi kami mohon kepada Pak Bakri juga memahami kondisi anak-anak. Anak-anak dalam kondisi takut tidak lulus. Jadi barangkali mereka akan melakukan berbagai hal yang tidak terkendali. Pahamilah kondisi anak-anak kami”
“Iya Pak. Saya memahami kondisi mereka. Tetapi ini tugas saya sebagai pengawas. Saya harus mengawasi dengan benar. Bukankah saya juga sudah ada tupoksi yang jelas? Dan saya melakukan hal itu sesuai dengan tupoksi yang diberikan” ucap Bakri percaya diri.
“Terserah Pak Bakri. Tetapi saya tetap meminta kepada Pak Bakri untuk menjaga kondusifnya ruang kelas. Jangan sampai anak-anak panic dan tidak bisa mengerjakan soal dengan tenang” pinta Kepala Sekolah.
“Siap Pak! Dan saya juga bisa bernegoisasi dengan bapak, anak-anak yang curang tidak saya masukkan ke berita acara. Cukup saya sampaikan ke Bapak saja. Tetapi mengenai HP-HP ini, akan saya bawa pulang. Saya tidak mau menyerahkan HP ini sebelum ujian usai” tegas Bakri.

@@@ 

“Assalamualaikum. Betulkah ini rumahnya Pak Bakri?” ucap seorang laki-laki bersama istrinya yang tiba-tiba muncul di depan rumah Bakri.
“Walaikumsalam. Iya saya sendiri Pak! Ada apa?” ucap Bakri sambil memandangi dua tamu yang asing baginya itu. Ia memandang lekat. Seumur-umur baru kali ini ia mendapatkan tamu berkendaraan mobil mewah. Ini sebuah kebanggaan tersendiri. Tetangga kanan kirinya pasti terheran-heran, seorang Bakri, guru miskin, mendapatkan tamu orang kaya.
“Mohon maaf mengganggu waktunya Pak Bakri. Perkenalkan terlebih dahulu, saya ini orang tuanya Shella. Nama saya Pak Sugeng, dan ini istri saya!” orang itu memperkenalkan dirinya dan istrinya. Mendengar nama Shella, Bakri menjadi mafhum akan kedatangan dua orang ini. Terlebih pula dengan bawaan buah-buahan yang banyak, yang diberikan kepadanya, menjadi pertanda akan ingin “damainya” orang ini dengannya. Shella adalah anak di ruang 13 yang telah dirampas HP-nya oleh Bakri. Ia mempertunjukkan perilaku yangover dengan mencontoh HP di atas meja, tanpa memperdulikan mata Bakri yang memelototinya. Sebenarnya Bakri sudah agak kendur dalam pengawasannya. Ia telah jengah dengan berbagai kecaman kepadanya. Ia ingin seperti pengawas lainnya, membiarkan anak mencontoh asal tidak keterlaluan. Tetapi Shella sungguh sangat keterlaluan. Mencontohnya sangat terbuka. Ia dengan enak tanpa merasa sungkan, langsung menaruh HP di atas meja. Ia juga tidak memperdulikan lirikan mata Bakri. Dan dengan terpaksa Bakri mengambil HP Shella, dan berjanji tidak akan dikembalikan sebelum Ujian selesai.    
 “Kami mohon maaf kepada Pak Bakri atas tingkah laku anak kami yang tidak berkenan di hati Pak Bakri. Anak saya ini memang begitu. Entahlah Pak, mohon dimaklumi. Kami juga sudah mewanti-wanti, memperingatkan agar ia mengerjakan UNAS ini dengan jujur. Tetapi yang namanya anak, kami tidak bisa mengendalikan seratus persen” ucap Pak Sugeng.
“Oh iya Pak, saya menyadari akan hal itu. Yang namanya anak memang demikian. Bila tidak didik terus menerus, tidak diingatkan terus menerus, ia akan lupa. Lupa dengan apa yang harus dilakukan. Sama juga dengan kita, apabila kita tidak ada yang mengingatkan biasanya kita ini bawaannya lupa terus. Bukankah manusia itu tempatnya lupa dan salah? Karenanya di dalam agama kita ada ayat yang menjelaskan untuk bernasehat-nasehat dalam kebaikan dan kesabaran. Dan saya kira apa yang saya lakukan itu, mohon maaf bapak, merampas HP putri bapak, adalah sebentuk nasehat kepadanya.” terang Bakri.
“Benar apa yang Pak Bakri katakan, kita ini harus saling nasehat menasehati. Juga tolong menolong, bukankah demikian Pak Bakri?”
“Betul Pak”  jawab Bakri lantang.
“Maksud kedatangan kami ke sini, sebenarnya mau minta tolong kepada Pak Bakri. Agar sudi kiranya mengembalikan HP anak kami. Pasalnya anaknya kami menangis terus di rumah. Ia tidak mau bicara kepada kami, dan saya khawatir dia tidak bisa konsentrasi untuk mengerjakan soal besok pagi.”
“Sampai sebegitunya ya Pak” Bakri garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Tolonglah Pak Bakri! Kami memohon kepada Pak Bakri sudi kiranya mengembalikan HP kesayangan anak kami. Biar anak kami nanti tidak terbebani dalam mengerjakan soal UNAS besok”
“Begini saja Pak. Panjenengan katakan kepada Shella, agar tidak usah khawatir bahwa HP-nya akan saya sita. Dan tidak usah khawatir pula, apabila kasusnya itu akan saya tulis di berita acara. Saya tidak akan tega melakukan itu Pak. Hanya saja ini pendidikan bagi dia. Bila bapak sayang kepada Shella, biarkan HP ini tetap masih saya bawa. Saya akan mengembalikan besok. Toh dengan HP di tangan saya, tidak akan saya apa-apakan”
“Dan mohon maaf Pak Sugeng. Saya meminta maaf beribu ribu maaf, saya bukannya tidak menghargai maksud kedatangan bapak ke rumah saya ini. Tetapi ini soal prinsip sebagai pendidik. Saya ingin ini menjadi pendidikan bagi putri bapak, agar apabila melakukan sesuatu, sesulit apapun itu, hendaknya ia melakukannya dengan jujur. Karena kejujuran saat ini, di negeri kita ini, sangat langka. Bagaimana mendidikan kejujuran bila tidak kita laksanakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan? Mohon Pak Sugeng menyadari” terang Bakri.
“Terima kasih Pak atas nasehatnya. Akan saya sampaikan kepada putri saya. Mudah-mudahan dengan keterangan bapak ini, menjadikan putri saya ceria lagi. Oh iya Pak, kami pamit dulu. Ini Pak oleh oleh kami” Pak Sugeng menyerahkan tas hitam berisi buah-buahan.
“Mohon maaf Pak. Saya tidak bisa menerima pemberian bapak. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada bapak, lebih baik, buah ini, panjenengan berikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Oleh-oleh ini akan saya terima apabila tidak ada kasus. Putri bapak dengan saya ada kasus yang harus dituntaskan, Karena ada kasus, saya khawatir, apabila saya menerima pemberian bapak, akan tergerus ketulusan hati dalam memutuskan sesuatu. Apabila suatu saat, tanpa ada kasus, bapak ke sini, dan memberikan oleh-oleh akan dengan sangat senang hati saya akan menerima. Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya”
“Oh tidak apa-apa Pak. Atau mungkin diberikan kepada tetangga Pak Bakri?”
“Kalau panjenengan langsung memberikan kepada mereka silahkan Pak. Itu bentuk shodaqoh panjenengan. Dan bapak pun tidak memiliki masalah dengan mereka. Tentu pemberian bapak itu tulus ikhlas untuk berbagi.”
“Oh kalau begitu saya bagikan di tetangga saya saja Pak Bakri. Soalnya tetangga saya juga banyak yang membutuhkan”
“Oh tidak apa-apa Pak. Monggo sak kerso” ucap Bakri sambil tersenyum.

###    

Di hari terakhir, Bakri mendapatkan peristiwa yang menjengkelkan hati. Ia tiba-tiba ditaruh menjadi cadangan oleh panitia. Padahal sebelumnya, sebagaimana jadwalnya, ia akan menjadi di ruang 07. Tetapi entah mengapa tiba-tiba ia dijadwal menjadi cadangan. Ia menggerutu. Ia memaki-maki panitia di dalam hati. Ia menuga-duga bahwa itu ada kaitanya dengan sifat tegasnya untuk menjadi pengawas yang sebenar-benarnya pengawas.
Tetapi tidak berapa lama, tiba-tiba panitia menghubungi Bakri lagi, “Mohon maaf Pak Bakri!Panjenengan dijadwal lagi, tetapi tidak di ruang 07, tapi di ruang 13”
“Kenapa kok berubah-ubah setiap saat begini sih jadwalnya?” tanya Bakri jengkel.
“Mohon maaf Pak, saya hanya menjalankan tugas!” jawab seorang Ibu yang menjadi panitia.
“Ah, sekolah negeri kok ndak jelas! bagaimana sih?” Bakri masih terus melampiaskan kejengkelannya.
“Bagaimana Pak Bakri? Apakah Pak Bakri bersedia untuk menjadi pengawas di ruang 13?” tanya ibu panitia mengalihkan perbincangan. Ia menyadari akan sangat lama dan ruwet bila meladeni seorang Bakri yang di dalam internal kepanitiaan sudah menjadi bahan perbincangan beberapa kali. Ia bisa mengukur daya idealisme seseorang. Dan berhadapan dengan guru idealis semacam makhluk bernama Bakri ini akan membutuhkan tenaga yang besar. Daripada berlama-lama dengan perdebatan, maka ia mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya dapat dijawab dengan dua pilihan, ya atau tidak.
“Baiklah kalau begitu. Tidak apa-apa. Toh saya ini hanya prajurit!” jawab Bakri singkat yang disambut dengan nafas lega ibu panitia tersebut. Panitia sudah mumet kepalanya untuk mengganti guru-guru yang berhalangan hadir. Semua cadangan telah dipasang. Sedang ada satu ruangan yang pengawasnya masih satu, sebab pasangannya berhalangan hadir juga. Mau tidak mau harus ada pengawas lain untuk menggenapkan menjadi dua pengawas untuk satu ruangan tersebut. Tinggal Bakri seorang yang bisa dipasang. Padahal sebelumnya Bakri oleh para panitia telah diberitahu, ia tidak akan dipasang menjadi pengawas lagi.
Panitia berebut tidak mau meminta kembali Bakri untuk menjadi pengawas. Mereka malu dengan apa yang telah dilakukannya. Terlebih bila berhadapan dengan Bakri, seorang guru swasta yang garang penuh dengan idealisme yang meluap-luap yang tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan dikalangan panitia. Namun ibu setengah baya yang menemui Bakri itulah yang bersedia untuk membujuk Bakri, meski dengan memendam rasa cemas. Namun sang ibu tadi berkeyakinan, Bakri bisa memiliki sifat demikian, kemungkinan karena kurang kasih sayang. Maka ia menampakkan dirinya dengan selimut kasih sayang seorang Ibu. Dengan kasih sayang seorang Ibu, maka siapapun laki-laki, akan berlekuk lutut dihadapan wanita. Dan memang demikianlah kodratnya, dibalik kelembutan wanita terdapat kekuatan yang menaklukan  kegarangan kaum lelaki.

@@@

“Kamu mendapatkan kunci jawaban darimana?” tanya Bakri kepada siswi berjilbab yang ketahuan mencontek dengan membawa HP dan lembaran contekan setelah usai UNAS di hari ketiga.
“Mohon maaf Pak! Benar-benar saya mohon maaf! Saya sebenarnya tidak mencontek, Pak. Saya hanya baru buka, namun bapak tiba-tiba datang ke saya dan merampas lembaran itu. Saya mau menangis Pak. Terlebih kata teman saya, nama saya panjenengan catat di berita acara, benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan UNAS saya Pak?” seorang siswi berjilbab yang menangis sesenggukan
“Tidak….tidak dek! Saya tidak memasukkan namamu ke berita acara. Saya hanya mengamankan lembaran contekanmu” jawab Bakri iba.
“Benarkah? Saya mohon maaf ya Pak. Ini peringatan buat saya agar saya bisa berlaku jujur. Ini mungkin peringatan bahkan teguran dari Allah. Sebelumnya saya, jujur Pak, saya tidak pernah mencontek. Namun karena ada edaran dari teman-teman, dan terlebih soal yang dibuat sangat sulit, maka hati saya tergoda untuk membuka lembaran contekan yang berisi kunci jawaban itu”
“Nduk…nduk! Kamu itu berjilbab, kenapa masih suka mencontek juga?”
“Maaf Pak. Saya khilaf. Ini semua karena keadaan”
“Jangan salahkah keadaan. Salahkan dirimu yang tidak tahan dengan keadaan.” Ujar Bakri
“Iya Pak” jawab siswi tersebut.
“Sekarang saya ingin bertanya kepadamu, darimana kamu mendapatkan kunci jawaban itu? Jawablah dengan jujur. Saya tidak akan memberitahukan  kepada siapapun.” tanya Bakri mengintrograsi.
“Dari teman-teman, Pak” jawab siswi tersebut.
“Temanmu darimana?”
“Kami semua iuran Pak. Setiap anak di tarik iuran Rp. 200.000 per-anak”
“Dua ratus ribu?” Bakri kaget.
“Iya Pak. Uang kemudian dikumpulkan oleh satu teman. Dan teman itu membeli jawaban pada sebuah lembaga bimbingan yang memang menawarkan diri menyediakan jawaban kepada kami. Antar kelas bisa jadi berbeda jawabannya Pak. Maksudnya antar kelas, bisa jadi beli kunci jawabannya berbeda lembaga bimbingan. Karenanya, apabila bapak mengamati, kunci jawabannya akan berbeda warnanya”
“Iya….. benar-benar! Saya merampas, ada yang berwarna merah, biru dan hitam” Bakri mengingat-ingat lembaran-lembaran kunci jawaban yang ia rampas yang berwarna-warni.
“Memang demikianlah Pak. Tetapi ada juga dengan system sms seperti yang diberikan kepada saya. Saya mendapatkan lembaran juga sms Pak. Sms diberikan satu jam sebelum ujian di mulai. Bahkan apabila siswa mau membeli mahal, bisa langsung mereka memberi semua kunci jawaban enam mata pelajaran sekaligus. Beruntunglah antar satu teman dengan lainnya kompak. Anak orang-orang menengah ke atas, yang punya uang dan beroleh jawaban, menyebarkan isi jawaban itu kepada semua siswa dengan mengirim sms. Dan apabila mendapatkan lembar kunci jawaban, anak-anak yang miskin seperti saya, akan memfoto copynya” jawab siswi tersebut jujur.
“Sebentar…sebentar! Kamu tadi mengatakan bahwa setiap siswa, maksudnya ekonomi menengah ke atas,  di tarik iuran dua ratus ribu? Bagi siswa uang itu pasti besar. Gaji saya saja sekitar itu. Artinya orang tua juga tahu dong?” tanya Bakri.
“Jelas tahu Pak! Orang tua mereka mendukung. Buktinya mereka semua diberi uang dan bisa membeli kunci jawaban itu” jawab siswi tersebut.
“Masya Allah begitu ya?” Bakri terbengong-bengong keheran-heranan, “parah-parah, rusak-rusak” Bakri misuh-misuh dalam hatinya.
“Jangan heran, Pak! Tidak hanya orang tua kami, guru-guru disini pun juga mendukung. Sebelum-sebelumnya kami telah diberi nasehat serta petunjuk agar kami senantiasa menjaga kekompakan. Kami menafsirkan kekompakkan itu dengan saling tolong menolong antar satu dengan teman lainnya. Setiap hari selama UNAS berlangsung, kita senantiasa evaluasi atas apa yang terjadi, dan guru memberikan arah-arahan menghadapi permasalahan, dan bukankah permasalahan kami adalah ketahuan menconteknya? Artinya secara tersirat kami menangkap bahwa guru-guru menghendaki kami untuk mengerjakan UNAS ini dengan sukses” ucap siswi tersebut.
“Sehingga, janganlah salahkan kami Pak, melakukan seperti ini. Karena keadaan memang mendukung. System Unas mendukung, orang tua, guru, bahkan kemungkinan pemimpin-pemimpin daerahnya pun turut mendukung perilaku mencontek kami. Bayangkan saja Pak, soal-soal yang diberikan itu sulit sekali. Lebih sulit dari try out yang diberikan. Bagaimana kami tidak tergoda mencontek, sedang soal-soal yang ada sangat sedikit yang kami kuasai? Kami ingin lulus juga Pak! Kami sedikit pun tidak ragu dengan jawaban yang beredar itu sebagai sebuah jawaban palsu. Kami sangat yakin itu asli. Di lembaga-lembaga bimbingan, para tutor-tutornya adalah orang-orang cerdas yang sangat kami kagumi. Mereka memberikan jalan pintas dengan trik-trik yang tidak dipunyai oleh guru-guru sekolah. Jadi sangat kecil kemungkinan apabila mereka itu salah dalam mengerjakan bocoran soal dan memberikan jawaban kepada kami. Dan bukankah sekolah juga sangat percaya kepada mereka? Bahkan mereka dilibatkan sebagai pembimbing bahkan yang menangani salah satu try out di sekolah? Artinya sekolah mengakui kehebatan mereka daripada para guru reguler.”
“Benar, kamu?” jawab Bakri mengagumi kecerdasan siswi dihadapannya itu.
“Sebenarnya kami tidak ingin mencontek Pak. Jujur saya juga diajarkan oleh guru agama kami untuk menjadi anak yang jujur. Tetapi bagaimana apabila kita dihadapkan pada kondisi-kondisi seperti ini? Dibelakang kami, kami menjaga nama baik orang tua, nama baik sekolah, bahkan nama baik daerah kita ini, pun juga nama negara ini. Bagaimanakah kami akan tega melukai hati kedua orang tua kami dengan mencemarkan kedua orang tua kami, bahwa kami anaknya, tidak lulus, dan akan menjadi buah bibir dikalangan masyarakat? Bagaimana kami tega menyayat hati mereka, dengan kegagalan di ujian ini? Bagaimana kami akan mencemarkan sekolah ini yang sering diagung-agungkan sebagai sekolah terhebat di daerah ini? Ini berat Pak. Ini sungguh sangat berat. Maka mau tidak mau, mencontek adalah sebuah pilihan. Karena ia menjanjikan sebuah pertolongan dari beban itu. Kami tidak perduli bahwa perbuatan itu dosa. Tetapi apakah mereka pernah bertanya, bagaimana kamu mengerjakan ujiannya? Tidak sekali lagi tidak. Mereka hanya tahu, berapa nilaimu? Berapa rangkingmu? Kamu lulus ataukah tidak? Sehingga manakala saya sodorkan nilai-nilai di raportku atau NEM ku kelak, mereka tersenyum bahagia penuh kebahagiaan, tanpa mereka tahu bahwa sebenarnya nilai-nilai itu dihasilkan dari kecurangan-kecurangan.”
“Guru-guru dan teman-teman disini pun bukankah juga demikian, mereka sangat bangga dengan anak yang mendapatkan nilai tinggi, tetapi tidak memberi penghargaan kepada anak yang mengerjakan dengan jujur. Maka sudah menjadi perbincangan bahwa jujur itu ajor? Mau tidak mau, saya harus mengakui, bahwa dalam kondisi ini, kata-kata itu ada benarnya.” Ucap siswi tersebut.
“Tidak…tidak nduk! Jujur itu akan menjadikan kamu mulia. Kamu muslimah, kamu berjilbab, sangat tidak logis bila kamu mengabaikan kejujuran yang sangat diagungkan oleh nabi kita. Kamu harus yakin se-yakinnya bahwa kejujuran itu yang akan menjadikan wasilah mencapai derajat tinggi. Memang secara hitung-hitungan rasional manusia, analisismu itu benar semua, orang jujur akan ajur. Tetapi Tuhan memiliki logika sendiri untuk memuliakan manusia” Bakri memberi nasehat.
“Tetapi berat Pak. Terlalu berat dengan kondisi saat ini. Sistem pendidikan kita bobrok. Pendidikan kita ini bobrok. Mentalitas kita ini bobrok. Semua bobrok. Dan kebobrokan itulah yang sekarang ini dianggap kebaikan. Dan saya pun telah tertular menyatakan bahwa kebobrokan itulah kebaikan”
“Jangan pesimis seperti itu. Orang beriman itu tidak boleh putus asa. Kita harus merubah keadaan bobrok menjadi baik. Mulailah dari diri sendiri. Dengan memulai dari diri sendiri kemudian kita tularkan kepada orang-orang dekat kita, pelan tetapi pasti, insya Allah akan terjadi perubahan. Kita ini harus mewarnai kehidupan kita dengan kebaikan. Bukannya kita ini diwarnai dengan kejelekan-kejelekan. Dan janganlah sampai kita terbawa arus. Tetapi juga bukan berarti melawan arus. Kita harus belajar agar mampu berenang menghindari benturan-benturan karang yang menghancurkan”
“Memang saya harus akui bahwa keadaan ini memang bobrok, sebagaimana kamu jelaskan. Dari sistemnya, pemimpin-pemimpin kita, sekolah, guru, orang tua bahkan teman kita. Tetapi itulah PR kita untuk membenahi. Lihatlah saya, meski teman-teman saya yang menjadi pengawas tidak menjalankan sebagai fungsi kepengawasan. Tetapi saya menjalankan diri sebagai pengawas dengan mengawasi se-awas-awasnya. Kita harus mempertahankan idealisme kita. Karena orang yang memiliki idealismelah orang yang berharga. Ia berbeda dengan orang lain yang hanya anut grubyuk. Orang idealisme memiliki keyakinan. Mereka memiliki pedoman. Tidak mudah tergoda oleh iming-iming yang memuasi nafsunya. Ia tetap bertahan. Hingga kelak ia akan menghadap Tuhannya dengan idealismenya itu”
“Iya Pak. Terima kasih atas pencerahannya”
“Semoga kamu lulus, dan bisa melanjutkan studi kamu. Tetapi pesan saya, raihlah dengan kejujuran. Karena itulah kunci kemuliaan. Rasulullah diangkat derajatnya oleh Allah menjadi nabi, diawali dengan kejujuran beliau. Maka sangat mengherankan apabila ummatnya tidak mau meniru sifat agungnya. Semoga kamu diangkat derajatnya di dunia dan akherat” doa Bakri.
“Amin. Terima kasih Pak” siswi itu berpamitan kepada Bakri dengan mencium tangannya.
Bakri menghela nafas berat. Ia merenungi kata-kata siswi tersebut. Sebuah kebenaran yang muncul dari kejujurannya, dari perspektif siswi. Memang demikianlah kondisi saat ini. Semua mendukung untuk tidak jujur. Sebagai pengawas saja, Bakri merasa terkucilkan manakala ia mendukung kejujuran. Bahkan ia dianggap sebagai orang yang berbahaya di sekolah ini. Hingga tadi pagi ia harus dicadangkan. Tetapi hal itu masih mending. Ada beberapa pengawas dari sekolah  lain, yang dianggap killer, tidak diberi jadwal sama sekali. Bahkan ada pula yang di rumahkan. Sungguh itu ironi sekali. Pengawas-pengawas yang benar benar menjadi pengawas malah tidak digunakan.
Ah, Bakri sendiri bingung. Bagaimana ia harus merubah keadaan ini? Ketika ketidakjujuran telah menjadi hal biasa dalam dunia pendidikan, bagaimanakah ia bisa menelurkan pendidikan karakter jujur kepada anak didiknya? Ketika orang-orang jujur malah ajor, bagaimanakah nasib kelak bangsa ini? Ah tidak-tidak. Bakri yakin bahwa itu akan bisa dirubah. Pilihanya menjadi guru adalah panggilan jiwanya. Ia akan mengabdi. Ia akan mengubah. Walau ia harus berlepotan dengan lumpur-lumpur hitam yang menghadang.
Bakri pun berjalan ke ruang sekertariat. Ia berpamitan dan meminta maaf kepada para panitia. Kepala sekolahnya pun ia salami. Ia tidak mau menanam kebencian di sekolah ini. Ia harus pulang dengan hati yang lapang tanpa ada beban di dalamnya.
Bakri menstarter sepeda motor bututnya. Sebelum melaju, tiba-tiba HP nya berdering. Sebuah sms masuk di HP-nya. Bakri pun membuka pesan tersebut,
“Salam. Pak Bakri, mulai besok, anda tidak diperkenankan lagi untuk mengajar di SMA HARAPAN UMMAT. Terima kasih telah pernah mengabdi di sekolah ini. Tetapi sekolah ini tidak menerima guru yang mencermarkan nama baik sekolah ”

M. Isno El Kayyis, Hotel Utama (2 Mei 2014)

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL     



[1] Acara pernikahan. Biasanya kalau di desa, dilakukan dua hari dua malam. Malam pertama diadakan begadang bersama.

[2] Tidak apa-apa

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*