Minggu, Desember 18, 2011

Sahabat, Napoleon Hill, pengarang AS, mengatakan: "Suatu usaha akan memberikan hasil maksimalnya setelah seseorang yang melakukannya menolak untuk menyerah." Kita wajib berusaha keras dalam meraih cita-cita, karena hanya dengan cara demikian maka kita benar-benar dapat mengatakan itulah hasil yang paling maksimal yg kita dapatkan

Sahabat. Sebuah kata bijak mengatakan : "Rubba syahwatin sa'atan aurotsa huznan thowiilan." (Seringkali keinginan2 dan nafsu2 sesaat berakibat kesedihan atau penyesalan tak putus2nya). Sebuah peringatan agar selalu berfikir matang sebelum bertindak. Dan hendaknya tidak hanya karena dorongan nafsu angkara.

Memaknai Akhlak Mulia

Melihat berbagai fenomena mafia kejahatan yang terjadi disetiap sudut negeri ini membuat para pemerhati pendidikan mengurutkan dada seraya bertanya, apa yang terjadi dengan negeri ini? Apa yang salah dengan negeri ini? Kenapa gampang sekali orang berbuat kejahatan tanpa merasa bersalah? Apakah mereka tidak tahu bahwa setiap kejahatan itu adalah salah? Apakah mereka juga tidak tahu bagaimana cara mengikuti jalan yang benar?
Dilihat dari latarbelakang pendidikan, para pelaku mafia kejahatan (baca: Koruptor) bukanlah orang yang tidak berpendidikan. Terbukti gelar gelar mentereng mengiringi nama dibelakangnya. Jika kita lacak, maka mereka-mereka adalah jebolan sekolah atau universitas-universitas ternama di negeri ini. Namun kenapa perilakunya tidak lebih dari orang yang tidak berpendidikan. Yang tidak tahu mana itu wilayah kejahatan dan mana itu wilayah kebaikan.
Padahal menurut Imam Ghazali, perilaku kejahatan itu muncul disebabkan karena empat factor. Salah satunya adalah seseorang yang tidak mampu mendefinisikan makna perilaku baik dan buruk. Makna kebaikan baginya telah kabur sehingga keburukanlah yang dianggap baik. Perbuatan dosa dianggap biasa. Dan kejahatan dianggap sebagai pilihan hidup.
Sungguh orang yang pada posisi ini adalah cirri cirri orang yang tidak berpendidikan. Karena ia tidak pernah memahami perilaku kebaikan dan keburukan. Orang yang tidak paham adalah orang yang tidak pernah belajar. Sedangkan orang yang berpendidikan adalah orang yang memahami, mana itu perilaku kebaikan dan mana itu perilaku kejahatan. Karena ia telah belajar akan makna kedua wilayah tersebut, dibangku bangku pendidikannya. Namun kenapa justru orang yang berpendidikan dengan gelar mentereng justru menjadi pelaku kejahatan?


Lalu apa sebenarnya perilaku kebaikan itu?
Dari sudut definisi, beberepa tokoh sudah banyak mendefinisikan tentang makna kebaikan. Namun terjadi silang pendapat diantara mereka. Perbedaan definisi bukanlah sesuatu yang pokok. Karena perbedaan itu muncul disebabkan oleh latarbelakang atau pengalaman yang berbeda yang melingkupi kehidupan mereka.
Namun dalam tulisan ini, penulis tidak berpretensi untuk menjelaskan berbagai pendapat dikalangan ilmuwan yang mendefinisikan tentang makna kebajikan. Penulis cukup mencuplik pendapat dari Imam Ghazali, yang menurut penulis sudah cukup mewakili untuk menjelaskan makna kebaikan. Menurut Imam Ghazali perilaku kebaikan adalah sifat jiwa yang sudah meresap di dalam hati yang daripadanya muncul perbuatan perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pertimbangan proses berpikir terlebih dahulu. Dari definisi ini dapat diambil makna bahwa perilaku baik itu adalah perilaku jiwa yang sudah meresap, yang sudah menjadi kebiasaan. Yang namanya kebiasaan, ia tidaklah melalui sebuah proses rumit dalam diri kita. Tetapi ia telah menjadi. Contoh perilaku dermawan, orang yang disebut dermawan bila ia selalu memberi kepada orang yang membutuhkan dimana saja tanpa proses pertimbangan macam macam dalam pikirannya seperti untung dan ruginya. Bahkan tidak memikirkan apa manfaat dari ia memberi untuk dunia dan akheratnya.
Sebaliknya bila ada orang yang memberi, misalnya seperti pejabat atau calon-calon pemimpin disaat kampanye, yang memberi tetapi masih ada pertimbangan keuntungan secara politik, atau pencitraan, atau pengharapan dukungan pemilihan, maka itu belum dikatakan sebagai orang yang memiliki jiwa dermawan. Tetapi itu adalah perilaku dermawan yang dibuat buat.
Hal yang sama juga kita bisa mengambil dalam perilaku diri kita, bila perilaku-perilaku itu tidak istikomah, dalam bahasa jawa ajeg, kontinyu, maka itu belum meresap dalam jiwa. Ia hanya masih perilaku yang dipaksa, yang belum meresap menjadi kebiasaan sehari hari.

Lalu apa sebenarnya indicator perilaku baik itu?
Setelah kita mengetahui definisi perilaku kebaikan, maka kita perlu mencari indicator dari perilaku kebaikan itu, agar perilaku kebaikan itu menjadi terarah untuk kita lakukan.
Jika kita lacak dalam Hadis Nabi, perilaku baik itu memiliki tiga indikasi yakni Memberi kepada orang yang tidak pernah memberimu, menyambung hubungan silaturahmi yang memutus hubungan silaturahmi denganmu, dan memaafkan kepada orang yang dzolim kepadamu. Menurut Hasan Basri, perilaku baik itu meliputi tiga hal yakni belas kasih, menahan diri dari menyakiti makhluk, dan suka memberi pertolongan kepada orang lain. Menurut Imam Nawawi, Akhlak Mulia itu adalah Orang yang banyak memiliki rasa malu, tidak menyakiti orang, banyak kebaikannya, jujur, sedikit berbicara, banyak amalnya, sedikit kesalahannya, sedikit berbicara dari bicara yang berlebihan, berbakti kepada kedua orang tua, menjalin silaturahmi, tenang menghadapi kehidupan, banyak sabarnya, banyak rasa syukurnya, lemah lembut, banyak ridlonya, santun, suka menjaga diri dari perbuatan yang tidak pantas, belas kasih, tidak suka melaknat, tidak suka berkata kotor, tidak suka mengadu domba, tidak suka menggunjing, tidak suka tergesa gesa, tidak suka dendam, tidak kikir, tidak suka dengki, suka tersenyum lembut kepada setiap orang, memiliki jiwa social yang tinggi, mencintai teman karena Allah, membenci karena Allah, ridlo karena Allah, dan marah karena Allah. Sedang menurut Syekh Abdul Qodir al Jaelani terdapat 3 hal yang menjadi tanda sifat kemulyaan perilaku yakni sifat dermawan, tawadlu, dan belas kasih kepada sesama. Sedangkan menurut Syekh Junaid al Baghadadi terdapat 4 hal perilaku yang menghantar kepada kemulyaan agung, yakni sabar yang suka memaafkan, tawadlu, dermawan dan kemulyaan perilaku.
Demikian makna perilaku kebaikan yang didefinisikan dan dicontohkan oleh para ulama ulama kita. Sunggu bila kita bisa berlatih menjalankan perilaku perilaku kemulyaan yang didedahkan oleh para ulama tersebut, akan menghantarkan pada kemulyaan derajat disisi Allah. Bahkan Syekh Junadi memberi garansi, walau kita sedikit ilmu dan amal, namun bila bisa melaksanakan ke empat perilaku yang didedahkannya akan menghantarkan kepada kemulyaan agung. Tentu Syekh Junaid atau Ulama lain berani memberi garansi, karena perilaku perilaku yang telah dimaknainya, telah dilaksanakan dengan segenap jiwa, yang menghantarkan kepada kemulyaan sehingga menghantarkan mereka menjadi wali agung. Beliau beliau dalam memaknai ilmu tidak sekedar intertainment intelektual an sich, atau Intertainment Tasawuf an sich. Tetapi benar benar telah menjadi. Semoga menjadi bahan renungan dalam memaknai kebajikan.

Ditulis oleh
Muhammad Isno El Kayyis, S.Pd.I,

Rabu, Oktober 19, 2011

Pahlawan Kebersihan SMA N 3 Mojokerto

Masih sempat sempatnya tidur disaat yang lain bahagia akan diwisuda.....

Percaya diri menyandang gelar M.Pd.I

Saat Wisuda Bersama Bintel......

Minggu, Juli 24, 2011

Janganlah sekali-kali engkau menjadi orang yang keburukannya lebih kuat daripada kebaikannya, kekikirannya lebih kuat daripada kedermawanannya, dan kekurangannya lebih kuat daripada kebajikannya

Semulia-mulia raja adalah yang tidak dicampuri kesombongan dan tidak menyimpang dari kebenaran. Sekaya-kaya orang adalah yang tidak tertawan oleh ketamakan. Sebaik-baik kawan adalah yang tidak menyulitkan kawan-kawannya. Dan sebaik-baik akhlak yang paling dapat membantunya dalam ketakwaan dan ke-wara `-an (kehati-hatian dalam beragama).

Pelangi di Desaku

Pelangi di Desaku

Jika orang sibuk berbicara tentang Bhineka (baca: Plural, Multikultur), maka tengoklah desa-desa di daerahku, Ngimbang Lamongan. di Daerahku menampung beragam budaya yang kaya dan unik. dan juga menampung beragam aliran, agama dan kepercayaan lainnya. Ada NU, Muhammadiyah, LDII, Kristen, Kejawen dan lain sebagainya.
Semua kepercayaan berpadu dalam kerukunan dengan meninggalkan letupan konflik yang bisa saja terjadi jika ada "korek api". Namun sejak kecil saya belum pernah menyaksikan konflik konflik itu. mayoritas masyarakat dirumahku adalah "NU Kultural". Kenapa saya katakan demikian? karena kami tidak mengetahui apa itu NU? Peran NU? Fungsi Nu? Bahkan kiprah Nu di masyarakat sendiri tidak ada......Yang terpenting, yang kami pegang, amal ibadah yang diajarkan guru guru kami, ada qunut, tahlilan, dzikir bersama habis sholat, ikut kendurian, manaqiban. Baru saya benar benar tahu bahwa itu semua amaliah Nu, setelah kuliah.
Tetangga sawah saya, adalah orang Muhammadiyah. dia kupanggil Mbah Yun. Kami akrab dengan beliau. kami sering diskusi dengan beliau. Yang pada titik akhirnya, pendapatmu silahkan pendapatku silahkan......
Tetapi anehnya orang Muhammadiyah ini ahli dzikir. Kemana mana bawa tasbeh. Sampai yang membuatku heran, waktu kuliah dulu, saya diramal bakal menjadi PNS, dan anehnya benar.
Tetapi rata rata kita tidak pernah berkonflik dengan orang Muhammadiyah. Persepsi masyarakatku hanya membedakan bahwa orang Muhammadiyah itu tidak mau Tahlilan, ndak ada Qunut subuh, Tarawehnya cuma sedikit, menghalalkan makan YUYU, dan lain sebagainya.
Jika ada orang Muhammadiyah meninggal, yang barangkali tidak seguyub (rukun) yang ada di NU, yakni semua tetangga berkumpul.........

LDII, meskipun oleh Ustad Hartono Jaiz disesatkan, tetapi bagi kami mereka tetap tetangga kami. Yang kami bermuamalah dengan mereka. Urusan sawah, tokoh, jual beli, bahkan jodoh sekalipun, semuanya baik baik saja. Masyarakatku, menilai LDII, itu jilbabnya aneh. Terus kalau habis Adzan ndak ada pujian..........
Mengenai pujian, saya punya cerita menarik. Dulu waktu saya masih SMA, saya disuruh kyai saya menangai anak "Idiot", pokoknya setengah sadar. Waktu sholat ashar di jalan jalan di depan Masjid LDII. karena belum adzan adzan, dia segera masuk Masjid LDII dan mengumandangkan adzan. Setelah Adzan dia langsung pujian di speaker. Apa yang kemudian terjadi????? Seluruh orang LDII keluar semua......wk wk wk.......


Orang Kristen. Meskipun kita berbeda keyakinan tetapi masyarakatku tetap bermuamalah baik dengan mereka. Terbukti mertua saya juga mau meminjami sawahnya untuk dikerjakan orang Kristen karena ia termasuk golongan orang tidak mampu dan tidak punya sawah. Tetapi memang terkadang ia sering mendakwahkan agamanya, namun semua orang kampungku, meskipun mereka tidak sholat, semua menolak ocehannya. Tetapi memang pernah ada yang masuk ke agama mereka, tetapi itu bukan urusan aqidah tetapi urusan EKONOMI.
Kejawen. Meskipun masih bercokol kuat, sekarang sudah banyak yang diusia senja mereka akhirnya mereka banyak yang sholat. Alhamdulillah.

dan perlu saya gambarkan, pernah di desaku dimasuki oleh Jamaah Tabliq (yang pake jubah jubah putih) tetapi masyarakatku menolaknya, karena mereka cenderung konfrontasi dengan masyarakat sekitar. Mereka kurang memahami unggah ungguh sebagai tamu.

Sekilas gambaran diatas, menggambarkan bahwa pluralitas itu adalah keniscayaan (maaf ini bukan pluralisme), karena bagaimana kemudian kita menyadari keberbedaan itu. untuk dipahami dan dimengerti. sehingga setelah memahami kita akan menjadi sebuah masyarakat yang rukun yang saling memahami. Sekali lagi memahami warna warni, yang tentu itulah keindahan pelangi.

salam damai

Orang yang berfikir (sebelum melakukan sesuatu) akan berhasil mencapai tujuan atau hampir, sedangkan orang yang tergesa-tergesa akan menemui kegagalan atau hampir.

Tahanlah dirimu dari suatu jalan jika engkau khawatir akan tersesat di dalamnya. Sebab, menahan diri ketika ragu akan tersesat lebih baik daripada menaiki sesuatu yang menakutkan.

Sebuah kata mutiara dari Romawi Kuno mengatakan: "Suppressio veri suggestio falsi." (Menindas sebuah kebenaran adalah rekomendasi yang palsu). Kebenaran memang bisa saja ditindas, dintimidasi, dan bahkan coba dibunuh. Namun semuanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kepalsuan belaka.

Tadzkiyatun Nafs Pacet

ang Tersisa dari Tadzkiyatun Nafs

Alhamdulillahirobbil alamin kami panjatkan puji syukur kepada Allah. Acara Tadkiyatunnafs SKI berjalan dengan lancar.
Sabtu, 25-06-2011, rombongan SKI berangkat pukul 15.00 wib. keberangkatan yang direncanakan jam 14.00 molor gara-gara Truknya harus tambal ban. lama menunggu akhirnya kita bisa berangkat juga. Pukul 16.00 rombongan tiba di Vila rumah Bapak Adnan. Panitia putri dengan gesit langsung masak dan peserta lainnya bersegera sholat ashar. Saat Maghrib berkumandang, seluruh peserta saya wajibkan untuk sholat berjamaah di Vila diteruskan dengan dzikir bersama dan melaksanakan sholat rawatib ditambah dengan sholat sunnah awwabin 6 rakaat. Setelah selesai prosesi sholat sunnah awwabin, peserta mengambil al Quran dan melakukan semaan mengaji bersama. Acara kemudian disambung dengan sholat Isya', dzikir dan sholat sunnah rawatib dan kemudian saya isi dengan kultum. Dalam kultum itu saya mengambil tema "Padange Ati". Selain kultum saya selipkan kewajiba peserta selama mengikuti tadzkiyatun Nafs, yakni wajib sholat berjamaah, dzikir, sholat sunnah rawwatib, sholat sunnah awwabin, sholat dhuha, dan sholat tahajut -witir. Setelah Isya, peserta makan malam. Pukul 20.00 seluruh peserta digiring ke Lapangan. Di lapangan, peserta di setting untuk bisa cair hubungan dengan panitia, dan alumni yang kebetulan waktu itu ada beberapa yang datang baik dari Surabaya, Malang maupun dari Mojokerto sendiri.
Pukul 21.00, peserta digiring ke ruang utama untuk nonton bareng Film "Sang Pencerah" karya Hanung Bramantyo, yang menceritakan perjuangan Ahmad Dahlan. Pemutaran film berlangsung selama 2 jam. Tepat pukul 23 film selesai. peserta kemudian tidur.
Panitia sendiri belum banyak tidur. Saya kedatangan beberapa tamu dari kolega kolega yang peduli dakwah Islam. Kami diskusi tentang dunia Islam saat ini hingga pukul 01.30. Setelah sangat mengantuk, kami semua tidur. Pukul 03.00 panitia membangunkan aku untuk sholat tahajut, tetapi mataku terasa berat sekali. Setengah jam aku belum bisa pulih kesadaran untuk "melek". Pukul 03.30 aku bangun dan bersegera untuk membangunkan peserta untuk melaksanakan sholat tahajud dan witir. Saat peserta melaksanakan sholat tahajut panitia putri masak untuk persiapan sarapan pagi.
Setelah selesai sholat subuh, peserta digiring untuk jalan jalan menyusuri kali kremong Pacet dan dibawah jembatan kami melakukan senam bersama. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan berikutnya. Pukul 08.00 kami tiba di Vila kembali. di Vila saya disambati panitia bahwa nasinya tidak bisa matang. Saya memutuskan untuk membeli nasi saja. tetapi setelah selesai membeli nasi, nasi yang masih ada dalam tungku ternyata sudah masak setelah dicicipi lagi....
Peserta diberi suguhan makan dengan nampan. setiap nampan terdiri dari 5 orang. Mereka harus makan bersama. Tidak pakai sendok. Harus "Muluk" pake tangan. dan tidak lupa berdoa bersama sama.
Setelah makan, peserta mandi. Khusus untuk mandi tidak berjamaah??????. sendiri sendiri, bisa berbahaya. ........
Pukul 08.30 kami melaksanakan sholat dhuha berjamaah 4 rakaat. Habis sholat dhuha, peserta digiring kembali ke lapangan untuk mengikuti OUT BOUND yang dipandu oleh Hari Achmadi. Saya pun ikut menjadi peserta OUT BOUND. Bermain bersama anak-anak, tidak akan menjatuhkan martabat saya sebagai seorang guru, demikian tuturku dalam hati. Karena kehormatan tidak diukur dari bermain bersama anak anak. Aku adalah kawan mereka........
Pukul 12.30. seluruh peserta melaksanakan sholat dhuha bermajaah. dan tepat pukul 13.00 Bapak Harjono mantan pendeta telah datang dan segera aku haturkan untuk segera mengisi acara tersebut. Acara cukup meriah. Karena beliau dengan terang terangan mengobrak abrik cara berpikir kaum Nasrani terhadap teologinya. Semua peserta tertawa dan riuh sekali. Sekaligus haru.
Pak Harjono, menceritakan hidayahnya ketika tahun 70-an, saat menggendong anaknya, anaknya selalu menangis. anaknya berhenti menangis setiap mendengarkan adzan. Karena beberapa kali kejadian akhirnya membuat Harjono penasaran dengan adzan yang dikumandangkan ummat Islam itu. Ia belajar adzan. Ia sering mengumandangkan adzan kepada anaknya saat anaknya menangis, anehnya setiap kali itu pula anaknya berhenti menangis. Hal ini membuat hatinya bertanya tanya sebenarnya arti adzan itu seperti apa. Ia kemudian mempelajari makna adzan. Di situ ia berkenalan dengan lafadz La Ila Ha ilalloh. Ia semakin penasaran. Ia mencari buku dan kebetulan pula saat ia mencari ia menemukan buku yang berjudul "Ilmu Tauhid" dalam bahasa jawa. Halaman pertama mengupas tentang makna Al Ikhlas. Mempelajari buku itu akhirnya ia berusaha membanding bandingkan dengan agamanya. konsep ketuhanan dalam agamanya, menurutnya, bertentangan sekali dengan Islam. Akhirnya ia selalu bertanya kepada pendeta, namun jawabannya tidak membuat ia puas. Dalam kelimpungan pemikiran itu, ia kemudian ikut puasa ramadhan yang dilakukan umat Islam dengan harapan ia ingin mendapatkan petunjuk "siapa Tuhannya yang sebenarnya?????"....sampai hari ke 20, ia bertanya tanya kenapa belum ada petunjuk???? namun pada malam ke 21 habis berbuka, saat di di kamar, tiba tiba tubuhnya terangkan satu kilan. antara sadar dan tidak, ia mendapatkan bisikan halus "Aku manusia"....
mendapatkan peristiwa itu membuat ia bersemangat untuk berpuasa. Pada malam ke 27, dengan peristiwa yang sama, namun tubuhnya terangkat 2 kilan, ia mendapatkan suara " Sesungguhnya aku manusia biasa". dan pada malam terakhir puasa dengan jelas saat tubuhnya terangkat satu meter, ia mendapatkan bisikan "La Ila Ha illalloh Muhammadarosulullah Isa Rosulullah"........pudarlah keimanannya yang menyatakan Isa adalah Tuhan.
Seiring perkembangan imannya itu, ia dengan keberanian dirinya, minta izin kepada ayahnya yang seorang pendeta, agar ia diperkenankan mendalami Islam dan mengikuti agama Islam. Tetapi oleh ayahnya, dimarahi dengan kemarahan yang besar, sehingga berujung pada pengusiran Pak Harjono dan istrinya dari rumah ayahnya.
Pak Harjono pindah ke Malang. Di Malang, ia sering mendapat terror. Sering ia mendapati utusan dari ayahnya, beberapa suster cantik. Namun hatinya tidak tergoyahkan demi mempertahankan imannya. Beberapa utusan selalu gagal. Karena beberapa kali gagal, sang ayah datang sendiri. Ke rumah pak Harjono, sang ayah membawa 8 kitab injil untuk di adu dengan kitab al Quran yang menjadi pedoman umat Islam. Selama satu bulan penuh, sang ayah, dipersilahkan untuk tinggal dirumah pak harjono. Dan sang ayah di lantai 2 tidak keluar keluar selain membandingkan antara injil dan kitab al-Quran. Setelah satu bulan penuh, sang ayah kemudian bilang kepada Pak Harjono, “ Setelah aku bandingkan ternyata 8 kitab injil ini tidak ada apa apanya dibanding dengan kitabmu itu”. “Apa bapak mau masuk Islam?” sahut Pak Harjono. ”Sebentar dulu, tak pikir pikir dulu”…….
Tahun 1991, Pak harjono secara resmi masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia bermunajat kepada Allah dengan manja, “Ya Allah, sekarang saya sudah masuk Islam. Aku ingin engkau menunjukkan kebenaran dirimu yang aku sembah sekarang. Aku ingin naik haji dengan syarat kondisi saya yang tidak punya uang seperti sekarang ini”
Doa ini dijawab dengan mimpi yang menyuruh Pak Harjono untuk mewakafkan tanah yang dia beli ke Masjid. Padahal kondisi dulu, kata pak harjono, ia belum punya rumah. Namun demi imannya ia rela. Tidak berapa lama, wakaf Pak Harjono ini, diganti dengan kemampuan ia membeli rumah seharga 6 juta. Namun ia mendapatkan isyarat kembali dalam sebuah mimpi bahwa rumah yang baru dia beli itu harus dijual. Pak harjono terbengong. Namun kebengongannya itu sirna manakala pagi pagi ada seseorang yang juga atas nama mimpi disuruh membeli rumah pak Harjono dengan harga 20 juta. Dengan 20 juta itu Pak Harjono naik haji.
Di Mekkah, ia terkena penipuan sehingga menyebabkan hilangnya uang. Kehilangan itu membuatnya bersedih hati. Hingga ia mengadu kepada Allah “ Ya Allah kalau engkau mampukan aku naik haji, namun disini engkau menjadikan aku bersedih hati, lalu buat apa? Ya Allah berilah ganti sehingga aku bisa kembali ke tanah air”
Tiba tiba dari arah belakang, ia ditepuk oleh seseorang dan menyuruh pak harjono untuk mengobati keluarganya yang sakit. Pak harjono menolak. Namun orang itu memaksa. Dengan terpaksa ia membaca surat al Ikhlas dan ditiupkan ke dalam air putih. Seketika itu keluarga orang itu sembuh. Berita kehebatan pak harjono pun meluas, sehingga banyak jemaah yang berobat kepadanya bahkan para tentara Saudi juga.
Di Mekkah ini, ia berdoa kepada Allah agar keluarganya bisa masuk Islam. Saat pulang, ia mendapati keluarganya yang masih non sudah berkumpul dirumahnya. Saat itu ibunya, minta agar diIslamkan. Betapa bahagianya pak harjono.
Beberapa saudaranya yang awal awal memusuhinya juga masuk Islam. Dan yang paling bahagia adalah ketika sang ayah saat ditemui dirumahnya Jogya, minta dipangku. Saat dipangku sang ayah minta kepada pak harjono menjadi saksi keIslaman ayahnya, saat selesai membaca sahadat, Bapak Pak Harjono meninggal dunia.
Begitulah ceritanya. Sekarang Pak Harjono di usia yang ke 60 tahun, telah off dari dunia mengajar di UNM diganti dengan kesibukannya berdakwah dan menciptakan lagu. Salah satu karyanya, yang pernah dibeli orang 6 juta, sekarang telah dinyayikan oleh Band papan atas di Indonesia………Syukuri apa adanya…….pokoknya itu penggalan syairnya.

Setelah selesai cerita banyak pertanyaan pertanyaan dari peserta, peserta begitu antusias. Tepat pukul 15. 00 acara selesai.
Dilanjutkan dengan Asyar berjamaah. Ba’da Asyar peserta aku bebaskan untuk bermain dengan menitipkan tugas, untuk mencari kenalan sebanyak banyak disekitar desa Sajen. Setelah maghrib dan Isya sebagaimana acara hari pertama, yakni sholat dan mengaji al Quran, kudekatkan lagi hubungan antara anak anak SKI dan alumni alumni. Mereka curhat curhatan sampai pukul 21.00. Pukul 21.00 kita bersholawatan bersama, menyanyikan lagu wajib SKI. dan kemudian pukul 22.00 peserta tidur.
Pada pukul 01.00 dini hari seluruh peserta dibangunkan untuk menjalankan acara Up greading. Setiap peserta harus melewati pos pos. dan disetiap pos peserta diberi pertanyaan pertanyaan tentang berbagai hal. Acara up greading selesai bertepatan dengan adzan sholat subuh. Setelah sholat subuh berjamaah, secara resmi acara saya tutup dengan menitipkan pesan, agar sholatnya dirumah dijaga. Pukul 06, acara bersih bersih. Setelah truknya datang, kemudian kita pulang.
Mudah mudahan barakah manfaat……….

Hadis Miroj

(BUKHARI - 336) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik berkata, Abu Dzar menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saat aku di Makkah atap rumahku terbuka, tiba-tiba datang Malaikat Jibril Alaihis Salam. Lalu dia membelah dadaku kemudian mencucinya dengan menggunakan air zamzam. Dibawanya pula bejana terbuat dari emas berisi hikmah dan iman, lalu dituangnya ke dalam dadaku dan menutupnya kembali. Lalu dia memegang tanganku dan membawaku menuju langit dunia. Tatkala aku sudah sampai di langit dunia, Jibril Alaihis Salam berkata kepada Malaikat penjaga langit, 'Bukalah'. Malaikat penjaga langit berkata, 'Siapa Ini? ' Jibril menjawab, 'Ini Jibril'. Malaikat penjaga langit bertanya lagi, 'Apakah kamu bersama orang lain? ' Jibril menjawab, "Ya, bersamaku Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.' Penjaga itu bertanya lagi, 'Apakah dia diutus sebagai Rasul? ' Jibril menjawab, 'Benar.' Ketika dibuka dan kami sampai di langit dunia, ketika itu ada seseorang yang sedang duduk, di sebelah kanan orang itu ada sekelompok manusia begitu juga di sebelah kirinya. Apabila dia melihat kepada sekelompok orang yang di sebelah kanannya ia tertawa, dan bila melihat ke kirinya ia menangis. Lalu orang itu berkata, 'Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.' Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah dia? ' Jibril menjawab, "Dialah Adam Alaihis Salam, dan orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya adalah ruh-ruh anak keturunannya. Mereka yang ada di sebelah kanannya adalah para ahli surga sedangkan yang di sebelah kirinya adalah ahli neraka. Jika dia memandang ke sebelah kanannya dia tertawa dan bila memandang ke sebelah kirinya dia menangis.' Kemudian aku dibawa menuju ke langit kedua, Jibril lalu berkata kepada penjaganya seperti terhadap penjaga langit pertama. Maka langit pun dibuka'." Anas berkata, "Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bahwa pada tingkatan langit-langit itu beliau bertemu dengan Adam, Idris, Musa, 'Isa dan Ibrahim semoga Allah memberi shalawat-Nya kepada mereka. Beliau tidak menceritakan kepadaku keberadaan mereka di langit tersebut, kecuali bahwa beliau bertemu Adam di langit dunia dan Ibrahim di langit keenam." Anas melanjutkan, "Ketika Jibril berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia melewati Idris. Maka Idris pun berkata, 'Selamat datang Nabi yang shalih dan saudara yang shalih.' Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah dia? ' Jibril menjawab, 'Dialah Idris.' Lalu aku berjalan melewati Musa, ia pun berkata, 'Selamat datang Nabi yang shalih dan saudara yang shalih.' Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah dia? ' Jibril menjawab, 'Dialah Musa.' Kemudian aku berjalan melewati 'Isa, dan ia pun berkata, 'Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.' Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah dia? ' Jibril menjawab, 'Dialah 'Isa.' Kemudian aku melewati Ibrahim dan ia pun berkata, 'Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.' Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah dia? ' Jibril menjawab, 'Dialah Ibrahim shallallahu 'alaihi wasallam.' Ibnu Syihab berkata, Ibnu Hazm mengabarkan kepadaku bahwa Ibnu 'Abbas dan Abu Habbah Al Anshari keduanya berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kemudian aku dimi'rajkan hingga sampai ke suatu tempat yang aku dapat mendengar suara pena yang menulis." Ibnu Hazm berkata, "Anas bin Malik menyebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kemudian Allah 'azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, 'Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? ' Aku jawab: 'Shalat lima puluh kali.' Lalu dia berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup! ' Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. Tapi ia berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.' Aku lalu kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.' Kemudian aku kembali menemui Musa, ia lalu berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.' Maka aku kembali menemui Allah Ta'ala, Allah lalu berfirman: 'Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku! ' Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata, 'Kembailah kepada Rabb-Mu! ' Aku katakan, 'Aku malu kepada Rabb-ku.' Jibril lantas membawaku hingga sampai di Sidratul Muntaha yang diselimuti dengan warna-warni yang aku tidak tahu benda apakah itu. Kemudian aku dimasukkan ke dalam surga, ternyata di dalamnya banyak kubah-kubah terbuat dari mutiara dan tanahnya dari minyak kesturi."

Hakekat Khidir

(BUKHARI - 4356) : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Telah menceritakan kepada kami Sufyan Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Jubair dia berkata; "Saya berkata kepada Ibnu Abbas bahwasanya Nauf Al Bikali menganggap bahwa Musa 'Alaihis Salam yang berada di tengah kaum Bani Israil bukanlah Musa yang menyertai Nabi Khidhir." Ibnu Abbas berkata; 'Berdustalah musuh Allah. Telah menceritakan kepadaku Ubay bin Ka'ab bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Suatu ketika Nabi Musa 'Alaihis Salam berdiri untuk berpidato di hadapan kaum Bani israil.' Setelah itu, seseorang bertanya kepadanya; 'Hai Musa, siapakah orang yang paling banyak ilmunya di muka bumi ini? ' Nabi Musa menjawab; 'Akulah orang yang paling banyak ilmunya di muka bumi ini.' Oleh karena itu, Allah sangat mencela Musa 'Alaihis Salam. Karena ia tidak menyadari bahwa ilmu yang diperolehnya itu adalah pemberian Allah. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa; 'Hai Musa, sesungguhnya ada seorang hamba-Ku yang lebih banyak ilmunya dan lebih pandai darimu dan ia sekarang berada di pertemuan dua lautan.' Nabi Musa 'Alaihis Salam bertanya; 'Ya Tuhan, bagaimana caranya saya dapat bertemu dengan hambaMu itu? ' Dijawab; 'Bawalah seekor ikan di dalam keranjang dari daun kurma. Manakala ikan tersebut lompat, maka di situlah hambaKu berada.' Kemudian Musa pun berangkat ke tempat itu dengan ditemani seorang muridnya yang bernama Yusya' bin Nun. Nabi Musa sendiri membawa seekor ikan di dalam keranjang yang terbuat dari daun kurma. Keduanya berjalan kaki menuju tempat tersebut. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, maka keduanya pun tertidur lelap. Tiba-tiba ikan yang berada di dalam keranjang tersebut berguncang keluar, lalu masuk ke dalam air laut. lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu, (Al Kahfi: 61). 'Allah telah menahan air yang dilalui ikan tersebut, hingga menjadi terowongan. Akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanannya siang dan malam. Rupanya murid Nabi Musa lupa untuk memberitahukannya. Pada pagi harinya, Nabi Musa berkata kepada muridnya; 'Bawalah makanan kita kemari! Sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan kita ini.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Belum berapa jauh Musa melewati tempat yang diperintahkan untuk mencarinya, muridnya berkata; 'Tahukah Anda tatkala kita mencari tempat berlindung di batu besar tadi, maka sesungguhnya saya lupa menceritakan tentang ikan itu dan tidak ada yang membuat saya lupa untuk menceritakannya kecuali syetan, sedangkan ikan tersebut mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa berkata; 'Itulah tempat yang sedang kita cari.' Lalu keduanya kembali mengikuti jalan mereka semula. 'Kemudian keduanya menelusuri jejak mereka semula.' Setelah keduanya tiba di batu besar tadi, maka mereka melihat seorang laki-laki yang sedang tertidur berselimutkan kain. Lalu Nabi Musa 'Alaihis Salam mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khidhir bertanya kepada Musa; 'Dan dari manakah salam di negerimu? ' Musa berkata; 'Saya adalah Musa.' Nabi Khidhir bertanya; 'Musa Bani Israil.' Nabi Musa menjawab; 'Ya.' Musa berkata kepada Khidhir; Aku mendatangimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? ' Nabi Khidhir menjawab; 'Sesungguhnya sekali-kali kamu tidak akan sanggup dan sabar bersamaku. Bagaimana kamu bisa sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? ' Musa berkata; 'Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai orang yang sabar dan aku pun tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.' Khidhir menjawab; 'Jika kamu tetap mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan sesuatu hingga aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.' Musa menjawab; 'Baiklah.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Kemudian Musa dan Khidhir berjalan menyusuri pantai. Tak lama kemudian ada sebuah perahu yang lewat. Lalu keduanya meminta tumpangan perahu. Ternyata orang-orang perahu itu mengenal baik Nabi Khidhir, hingga akhirnya mereka mengangkut keduanya tanpa meminta upah.' Lalu Nabi Khidhir mendekat ke salah satu papan di bagian perahu itu dan setelah itu mencabutnya. Melihat hal itu, Musa menegur dan memarahinya; 'Mereka ini adalah orang-orang yang mengangkut kita tanpa meminta upah, tetapi mengapa kamu malah melubangi perahu mereka untuk kamu tenggelamkan penumpangnya? ' Khidhir menjawab; 'Bukankah telah aku katakan kepadamu bahwasanya kamu sekali-kali tidak akan sabar ikut bersamaku.' Musa berkata sambil merayu; 'Janganlah kamu menghukumku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.' Tak lama kemudian, keduanya pun turun dari perahu tersebut. Ketika keduanya sedang berjalan-jalan di tepi pantai, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya yang lain. Kemudian, Nabi Khidhir segera memegang dan membekuk kepala anak kecil itu dengan tangannya hingga menemui ajalnya. Dengan gusarnya Nabi Musa berupaya menghardik Nabi Khidhir; 'Mengapa kamu bunuh jiwa yang tak berdosa, sedangkan anak kecil itu belum pernah membunuh? Sungguh kamu telah melakukan perbuatan yang munkar? ' Khidhir berkata; 'Bukankah sudah aku katakan bahwasanya kamu tidak akan mampu untuk bersabar dalam mengikutiku. Dan ini melebihi dari yang sebelumnya.' Musa berkata; 'Jika aku bertanya kepadamu tenteng sesuatu setelah ini, maka janganlah kamu perbolehkan aku untuk menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur (maaf) kepadaku.' Selanjutnya Nabi Musa dan Khidhir melanjutkan perjalanannya. Ketika kami berdua tiba di suatu negeri, maka keduanya pun meminta jamuan dari penduduk negeri tersebut, tapi sayangnya mereka enggan menjamu keduanya. Lalu keduanya mendapatkan sebuah dinding rumah yang hampir roboh dan Nabi Khidhir pun langsung menegakkannya (memperbaikinya). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Dinding itu miring (sambil memberi isyarat dengan tangannya) lalu ditegakkan oleh Khidhir.' Musa berkata kepada Khidhir; 'Kamu telah mengetahui bahwa para penduduk negeri yang kita datangi ini enggan menyambut dan menjamu kita. Kalau kamu mau, sebaiknya kamu minta upah dari hasil perbaikan dinding rumah tersebut. Akhirnya Khidhir berkata; 'Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan beritahukan kepadamu tentang rahasia segala perbuatan yang kamu tidak sabar padanya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Sebenarnya aku lebih senang jika Musa dapat sedikit bersabar, hingga kisah Musa dan Khidhir bisa diceritakan kepada kita dengan lebih panjang lagi. Sa'id bin Zubair berkata; 'Ibnu Abbas membacakan ayat Al Qur'an yang artinya; 'Di depan mereka ada seorang penguasa yang merampas setiap perahu yang bagus. Ibnu Abbas juga membacakan ayat Al Qur'an yang artinya; 'Anak kecil yang dibunuh Nabi Khidhir itu adalah kafir sedangkan kedua orang tuanya mukmin.'

Jika untuk masuk surga harus melalaui partai, maka saya orang pertama yang tidak mau masuk surga (Thomas Jefferson)

Bila anda mendengarkan ilmu pengetahuan, dan anda mengamalkan, lalu anda mengajar, anda mendapat dua pahala: Pahala ilmu dan pahala belajar.
Dunia ini gelap. Cahayanya adalah ilmu. Siapa yang tidak berilmu ia akan tersesat di kegelapan, dan kehancurannya lebih banyak disbanding kebaikannya

Pudarnya Aura Guru

Guru Mengajar Tanpa Tuah Tanpa Wibawa

Merasa jadi sasaran kritik dan kecaman para sufi, pada Sabtu sore sekumpulan kepala sekolah SMA,SMK, MA, SMP, dan MTs dipimpin Dindang Lobha mendatangi pesantren sewaktu para sufi sedang berbincang di teras musholla. Para kepala sekolah yang semula akan memprotes Guru Sufi dan para sufi yang suka mengkritik sekolah mereka, tiba-tiba kebingungan sewaktu berhadapan dengan Guru Sufi. Alih-alih akan protes, Dindang Lobha bersama teman-temannya justru menyampaikan keluh-kesah kepada Guru Sufi tentang bagaimana sulitnya mendidik anak-anak jaman sekarang yang cenderung egois, hedonis, pragmatis, individualis, malas, suka membolos, tidak patuh, bahkan berani menentang guru. “Beda dengan zaman dulu, Mbah Kyai, murid-murid sekarang ini sulit diatur dan menolak patuh pada guru. Kalau guru mendidik dengan keras, katanya melakukan kekerasan lalu dihujat rame-rame,” kata Dindang Lobha.

“Zaman memang sudah berubah, segala sesuatu juga berubah,” sahut Guru Sufi.

“Itulah sulitnya menjadi guru di zaman ini, Mbah Kyai,” kata Dindang Lobha.

“Tapi dalam tradisi belajar-mengajar, ada hal-hal yang tidak berubah tetapi hanya menyesuaikan dengan keadaan,” sahut Guru Sufi mulai memancing bahasan.

“Maksudnya tidak berubah tapi hanya menyesuaikan dengan keadaan itu bagaimana, Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang, kepala SMA SBI ingin penjelasan.

“Ya itu yang menyangkut nilai-nilai keguruan yang pelaksanaannya menyangkut citra mulia sosok guru sebagai pendidik, sebagaimana tidak berubahnya orang melakukan sholat yang di zaman apa pun seperti itu syarat-syarat dan rukunnya serta amaliahnya,” kata Guru Sufi.

“Dalam kaitan dengan guru, bagaimana Mbah Kyai?” tanya Bawi Grangsang.

Guru Sufi tidak menjawab. Setelah diam sejurus, ia mengumandangkan tembang dhandanggula yang dicuplik dari Serat Wulang Reh, sebagai berikut:

“Lamun angguguru kaki/ amiliha manungsa kang nyata/ ingkang becik martabate/ sarta kang wruh ing ukum/ kang ngibadah lan kang wirangi/ sukur oleh wong tapa/ ingkang wus amungkul/ tan mikir pawehing liyan/ iku pantes sira guronana kaki/ sartane kawruhana//”

(Jika engkau mencari guru, pilihlah manusia sejati, yang baik martabatnya, yang tahu hukum, yang menjalankan ibadah dan teguh menjalankan pantangan (wara’), syukur jika mendapat seorang pertapa, yang tidak terikat duniawi, tidak memikirkan pemberian orang, itulah yang pantas engkau jadikan guru, hendaknya ini engkau ketahui).

“Menurut Kangjeng Susuhunan Paku Buwono IV yang menulis Serat Wulang Reh, ciri-ciri guru yang luhur dan mulia itu meliputi: manusia sejati, yang ditandai ciri (1) bermartabat baik; (2) memahami hukum; (3) menjalankan ibadah; (4) teguh menjalankan pantangan; akan lebih baik jika ketemu guru berwatak pertapa, yang dicirikan watak (5) tidak terikat duniawi jiwa dan pikirannya; (6) tidak memikirkan pemberian orang lain. Enam kriteria yang ditetapkan sebagai watak guru itulah yang diusahakan untuk tidak berubah pada zaman apa pun, karena itu bersangkut-paut dengan citra keberadaan seorang guru dalam makna yang utuh. Jika keenam ciri guru itu dilanggar, maka hilanglah ruh guru dari jiwa seseorang meski dia berkedudukan formal sebagai guru.”

“Tapi Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang memprotes,”Kalau kriteria guru yang ditetapkan orang-orang zaman kuno itu harus dipakai sekarang, mana mungkin bisa dijalankan. Karena menjadi guru akan bermakna menjadi orang miskin yang sengsara dan serba kekurangan.”

“Sampeyan pernah dengar lagu Omar Bakri?” tanya Guru Sufi memancing.

“Pernah Mbah Kyai, tapi itu lagu zaman kuno. Itu citra mengerikan dari sosok guru.”

“Pernah dengar sebutan pahlawan tanpa tanda jasa?” tanya Guru Sufi.

“Ee pernah, Mbah Kyai.”

“Bagaimana kalau citra Omar Bakri itu dihilangkan dari citra guru dan juga sebutan pahlawan tanpa tanda jasa juga dicabut dari citra guru? Setujukah citra Omar Bakri diganti menjadi citra Gayus Tambunan dan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa diubah menjadi debt-collector pengeksploitasi jasa?” tanya Guru Sufi.

Bawi Grangsang, Dindang Lobha dan teman-temannya terdiam. Sejurus suasana hening. Sesaat kemudian An’am Thoma’, kepala sekolah MTs menyahuti,”Sistemnya sudah membentuk aturan yang profesional, Mbah Kyai. Sulit rasanya untuk diputar balik ke ideal guru masa lampau.”

“Benar Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang menukas,”Sekarang ini sekolah-sekolah sudah berlomba menjadi SBI – Sekolah Bertaraf Internasional, yang dikelola secara profesional sesuai kemajuan zaman.”

“Bertaraf Internasional? Profesional?” sahut Guru Sufi dengan suara ditekan tinggi,”Itu semua slogan kosong tak bermakna, program menipu masyarakat untuk memperkaya diri. Setahuku, belum ada sekolah bertaraf internasional di negeri ini.”

“Lho bagaimana sampeyan bisa menyatakan SBI sebagai program menipu masyarakat? Bagaimana sampeyan bisa menyatakan di negeri kita belum ada SBI? Bukankah faktanya banyak SBI?” sergah Bawi Grangsang marah.

“Pak Bawi Grangsang, Anda kepala SMA Internasional yang marah disebut menjalankan program menipu masyarakat. Sekarang saya mau tanya, kurikulum SMA internasional mana yang Anda terapkan dalam PBM di sekolah yang Anda pimpin? Karena setahu saya, Diknas belum memiliki kurikulum SMA internasional. Yang kedua, berapa jumlah guru di SMA internasional yang Anda pimpin yang sudah memiliki sertifikasi mengajar internasional? Karena menurut peraturan internasional, seorang sopir untuk mengemudi di luar negeri harus memiliki SIM internasional apalagi guru yang mendidik manusia, tentu wajib punya sertifikasi mengajar internasional, dan tentu saja proses belajar-mengajar disampaikan dengan bahasa internasional,” kata Guru Sufi memberondong.

Bawi Grangsang diam. Ia sadar bahwa guru-guru di sekolahnya tidak ada satu pun yang memiliki sertifikasi mengajar internasional. Bahkan kurikulum yang digunakan pun bukan kurikulum internasional. Itu sebabnya, ia memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Guru Sufi.

An’am Thoma’ yang tersinggung dengan ucapan Guru Sufi berusaha membalas dengan menanyakan soal kemungkinan tidak diikutinya kriteria guru ideal menurut Serat Wulang Reh,”Maaf, Mbah Kyai. Kalau enam kriteria ideal guru yang ada di dalam Serat Wulang Reh itu tidak dijalankan, memangnya ada resiko tidak baik bagi guru?”

“Namanya juga kriteria baku guru, pasti ada resiko-resikonya,” kata Guru Sufi.

“Apa kira-kira resikonya?” tanya An’am Thoma’ dengan nada mengejek,”Kami selama ini tidak pernah mengikuti keenam kriteria yang Mbah Kyai tembangkan tadi.”

“Benar Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang dan teman-temannya.

“Lha apa kalian tidak sadar dengan yang dikeluhkan saudara Dindang Lobha di awal pembicaraan tadi?” tanya Guru Sufi dengan suara merendah.

“Pembicaraan yang mana, Mbah Kyai,” tanya Dindang Lobha heran.

“Saudara tadi kan mengeluhkan murid-murid yang menurut saudara egois, hedonis, pragmatis, individualistis, malas, suka membolos, tidak patuh, dan bahkan melawan guru? Tidakkah saudara sadar bahwa apa yang saudara keluhkan itu bukan kesalahan murid-murid, tapi sebaliknya itu adalah kesalahan saudara sebagai guru yang sudah tidak memiliki ruh guru, yaitu ruh Ilahi yang mengajarkan kepada manusia lewat qalam pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui manusia?” kata Guru Sufi dengan nada tanya.

“Lha kok kami para guru disalahkan?” sahut An’am Thoma’ tidak terima,”Bagaimana Mbah Kyai bisa menilai kami yang salah, padahal semua orang tahu itu semua akibat murid-murid yang bandel, liar, nakal, tidak patuh, dan berani melawan guru.”

“Jika murid-murid saudara melawan, itu bukan karena mereka bandel, liar, nakal, tidak patuh, dan berani melawan guru. Ketahuilah, bahwa ucapan-ucapan saudara dalam menyampaikan pengetahuan tidak memiliki tuah. Saudara tidak punya wibawa guru. Ibarat ampas kelapa, kata-kata saudara sudah tidak ada saripati santannya lagi. Sekedar ampas. Hampa. Kosong tanpa makna.Saudara hanya seorang pengajar, bukan guru. Sebab ciri utama seorang guru sejati sosoknya diliputi wibawa dan kata-katanya memiliki tuah, sehingga dia dimintai pe-tuah oleh murid-murid maupun orang tua murid. Dan harap diketahui, hilangnya tuah dari seorang guru adalah dikarenakan guru-guru telah melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai keguruan yang suci.”

“Asal saudara-saudara tahu, bahwa istilah guru dipungut dari nama Syiwa Mahaguru. Itu sebabnya, di masa lampau seseorang yang menjadi guru wajib suci dari nafsu duniawi karena ia menjadi representasi Syiwa dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Siswa-siswa yang menuntut ilmu dari guru, karenanya harus didiksha (disucikan) lebih dulu. Dari kata didiksha, lahirlah kata didik yang menjadi akar kata pendidikan. Jadi dari latar sejarah, istilah guru, siswa dan pendidikan memiliki makna ruhani. Nah, kalau makna ruhani itu saudara langgar dan saudara injak-injak dalam rangka memenuhi nafsu rendah duniawi, maka jangan disalahkan jika ruh guru akan tercabut dari sosok saudara, dan tidak cukup itu, Syiwa selaku Sang Perusak akan menghancurkan siapa pun di antara guru-guru yang merusak kesucian-Nya.”

“Tapi kami ini muslim, Mbah Kyai,” sahut An’am Thoma’ dengan suara mulai merendah, “Kami tidak ada hubungan dengan Syiwa.”

“Kalau pandanganmu seperti itu, maka jangan lagi kalian pakai sebutan guru karena itu nama Syiwa. Pakai saja istilah teacher, pengajar, tutor, atau ustadz. Jangan juga dipakai istilah siswa, karena itu berkaitan dengan istilah kuno bersifat spiritual tapi pakai istilah student, pupil, tilmid. Begitu juga istilah pendidikan, gantilah dengan istilah lain seperti edukasi, instruksi, training, dll. Gantilah semua istilah spiritual itu dengan istilah pagan yang lebih sesuai menurut saudara,” kata Guru Sufi menjelaskan.

Para kepala sekolah terdiam. Mereka mencari-cari argumen untuk mendebat semua yang dikemukakan Guru Sufi. Tetapi sebelum perbincangan dilanjutkan, tiba-tiba HP Dindang Lobha berbunyi. Buru-buru ia angkat dan dengarkan call dari seorang guru. Beberapa jenak, wajah Dindang Lobha terlihat pucat. Lalu sambil memasukkan HP ke saku celananya, ia berpamitan buru-buru untuk balik ke sekolah.

“Ada apa kok kelihatannya gawat?” sahut Guru Sufi menebak,”Ada guru les dikeroyok siswa ya, karena suka nempelengi siswa kalau omongannya tidak digubris?”

“Lha, kok Mbah Kyai tahu?” sergah Dindang Lobha heran.

“Saya tahu karena saya masih seorang guru,”sahut Guru Sufi tegar.

Oleh : Agus Sunyoto

Dalil Diperbolehkannya Dzikir Berjamaah

Apa makna/arti Dzikir yang selalu disebut-sebut dalam ayat al Qur’an dan hadits? Menurut pendapat para ulama yang dimaksud Dzikir ialah ‘mengingat pada Allah swt.. Makna ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada Allah swt. dan Rasul-Nya, misalnya sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya,sifat-sifat keindahan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya, membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah swt sehingga kita mencintai dan dicintai Allah swt. dan Rasul-Nya.

Firman-firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi mau pun petang!”. Dalam surat Al-Baqarah :152 Allah berfirman:

فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ………..

“Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” (Al–Baqarah :152)

اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم

“…Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”. (Ali Imran :191)

وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا

“Dan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”. (Al-Ahzab :35)

الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.

“Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”. (Ar-Ro’d : 28)

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasulallah saw. bersabda : Allah swt.berfirman :

اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي

وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا

وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة.

Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekat- kan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’

Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي

“Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “. (HR. Thabrani).

At-Targib wat-Tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata: ‘Isnad hadits diatas ini baik/hasan. Sama seperti pengambilan dalil yang dikemukakan tadi bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya ialah berdzikir secara jahar ’ !

Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:

سَبَقَ المُفَرِّقُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)

“Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).

Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra sabda Rasulallah saw.:

‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).

Dalam riwayat Muslim: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.

Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :

لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

“Tidak satu kaum (kelompok) pun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

Hadits dari Mu’awiyah :

خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟

قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ

بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا

اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي

جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.

“Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya; ‘Mengapa kamu duduk disini?’ Ujar mereka: ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw.; ‘Demi Allah tak salah sekali ! Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka berkata; Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim)

Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :

إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟

قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.

“Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut ber- cengkerama! Tanya mereka; ‘Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah’? Ujar Nabi saw.; ‘Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا

يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ

فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ

وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ

تَمْجِيْدًاوَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ :

كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ :

فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ :

لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ :

فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.

“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru: ‘Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan’. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka ber- tanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yang lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman: ‘Darimana kalian semua’? Malaikat berkata: Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.

Allah berfirman; ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Seandainya mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata; Andai mereka pernah melihat-Mu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih pada-Mu. Allah berfirman; ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata; Mereka minta sorga kepada-Mu.

Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat sorga’? Malaikat berkata; Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya’? Malikat berkata; Andai mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan ber- tambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman; ‘Dari hal apa mereka minta perlindungan’? Malaikat berkata; Dari api neraka. Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Tidak pernah!

Allah berfirman: ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman; ‘Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka’. Salah satu dari malaikat berkata; Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia akan diampuni juga?). Allah berfirman; ‘Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa’ “. Sedangkan dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir: ‘Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka’.

Empat hadits terakhir diatas, jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Al-Baihaqiy meriwayatkan Hadits dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. bersabda:

لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي

“Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”

Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari sholat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak.’

Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasulallah saw bersabda :

يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي

“Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yg bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.

Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allah dan Shalawat atas Nabi saw.

Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :

مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن

“Tiada suatu golonganpun yang duduk menghadiri suatu majlis tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :

وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً

‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan… “.

Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut diatas menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.

Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda yang artinya :

قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ وَعَنْ اَبِي هُرَيْرَة (ر)

.صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه ابو داود

“Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)

Hadits-hadits diatas mengenai kumpulan/lingkaran majlis dzikir, itu sudah jelas menunjukkan adanya pembacaan dzikir bersama-sama dengan secara jahar, karena berdzikir sendiri-sendiri itu akan dilakukan secara lirih (pelan). Lebih jelasnya mari kita rujuk lagi hadits-hadits yang membolehkan dzikir secara jahar. Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata:

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ

“Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata : Sesungguhnya dia orang gila’ “ (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman , Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)

Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda :

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ

“Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani)

Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”

Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ :

يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

“Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata; ‘Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata; Tidak ! ‘Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu kepada Allah)’ ”. (HR.Baihaqi)

Lihat hadits ini Rasulallah saw. tidak melarang orang yang dimasjid yang sedang berdzikir secara jahar (agak keras). Malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu pada Allah (beriba hati dan menyesali dosanya pada Allah swt.) Sifat menyesali kesalahan pada Allah swt itu adalah sifat yang paling baik !

Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain; “Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah”. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul- Bijaadain sering berdzikir secara jahar).

Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata: “Aku dikabari oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata:

اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)”. (HR.Bukhori Muslim)

Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.

Sedangkan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai berdzikir secara jahar seusai sholat sebagai berikut:

Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: “Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulallah saw. dengan ucapan beliau “takbir”.

Hadits nr. 358: Dari Ibnu Abbas, katanya; “Bahwa dzikr dengan suara jahar/agak keras seusai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw. Kata Ibnu Abbas, jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang”.

Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya; “Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:….” Kata Abdullah bin Zubair, Adalah Rasulallah saw. mengucap- kannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang“.

(Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab “Terjemahan hadits Shahih Muslim” jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.)

Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:

“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan mengangkat suara dikala para jema’ah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasulallah saw.. Ibnu Abbas berkata, ‘Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir’ (yang disuarakan dengan nyaring) “. (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).

Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya’rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata; ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.

Dan masih banyak lagi dalil mengenai keutamaan kumpulan berdzikir yang tidak kami cantumkan disini tapi insya Allah dengan adanya semua hadits diatas cukup jelas bagi kita dan bisa ambil kesimpulan bahwa (kumpulan) berdzikir baik dengan suara lirih maupun jahar/agak keras itu, tidaklah dimakruhkan atau dilarang bahkan didalamnya justru terdapat dalil yang menunjukkan kebolehannya, atau kesunnahannya!!

Demikian juga dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapat kan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir- jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood mengatakan sebagai berikut: “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu di majlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan ber- dasarkan hadits (qudsi) Nabi saw.: ‘Barangsiapa berdzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200) bisa juga dijadikan sebagai dalilnya.(dalil jahar) “

Agama hanya memakruhkan dzikir jahar yang terlalu keras, begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila sampai mengganggu orang yang sedang tidur atau sedang shalat atau menyebabkan dirinya riya’ serta mensyariatkan/ mewajibkan dzikir jahar ini. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan atau disyariatkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad- Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

Kalau kita baca ayat-ayat al-Qur’an,hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan tadi, jelas bahwa berdzikir baik orang berdzikir sendirian, berkelompok, secara sir atau jahar/agak keras itu semua baik/ mustahab dan sebagai anjuran syari’at Islam. Bagaimana tercelanya saudara kita yang selalu menteror, mencela dan mensesatkan kumpulan dzikir (tahlilan/yasinan, istighotsah dan sebagainya) yang mana disitu selalu dikumandangkan pembacaan diantaranya; ayat-ayat Al-Qur’an, sholawat pada Nabi saw., pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan saudara muslimin baik yang masih hidup atau yang sudah wafat? Bacaan yang dibaca didalam majlis tersebut, semuanya tidak ada larangan syari’at, malah sebaliknya banyak hadits Rasulallah saw. yang menunjukkan kebolehannya, atau kesunnahannya!!

Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad; “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi ”. Menurut ulama’ diantaranya Imam as-Suyuthi, kata-kata Sebaik-baik dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan yang lebih utama. Jadi hadits terakhir ini bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.

Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat Imam Suyuthi dan lainnya.

“Imam As-Suyuthi didalam Natijatul/fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh) ! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain ter- gantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.

Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahar/ jahran dan lirih/sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.

‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:

1. Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Makkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini:

وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً

‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya…’ (Al Isra’:110).

Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahar), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah (oleh Allah) untuk meninggalkan cara jahar guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuat- an untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Qur’an. Nabi saw. menerima perintah jahran (agak keras) membaca Al-Qur’an sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya diwaktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkannya…’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Qur’an yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.

3. Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulallah saw., karena beliau saw. manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh berbagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka berdzikir secara agak keras/jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan, lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.

Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:

‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya di ucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholat- nya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yang serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir Jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’.” Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.

Pendapat Ibnu Taimiyyah yang dijuluki Syaikhul Islam mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu ‘al fatawa edisi King Khalid ibn ‘Abd al-Aziz. Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis, sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari’a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a….’ “ Pertanyaan ini berkaitan dengan kelompok/majlis dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah.

Ibnu Hajr mengatakan, bahwa pembentukan jama’ah-jama’ah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab ber- kumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu di tengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jama’ah yang lebih baik’.

Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjuk- kan dzikir tersebut dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasulallah saw.?, karena berdzikir secara sirran/lirih sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagai- mana katanya: Membaca Al-Qur’an maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.

Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaat- nya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar/jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara lirih/sirran. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara jahar dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut:

“Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”. Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang/mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah munkar !

Mari kita rujuk lagi riwayat hadits bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana juga bacaan yang dibaca pada kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagainya).

Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw.; ‘jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.

Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswas, yaitu membisikkan bisikan jahat “.

Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal dan dua hadits diatas bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka. Walaupun hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an pada waktu sholat malam hari serta bacaan adzan dan iqomah, tapi intinya sama yaitu pembacaan ayat Al-Qur’an dan bacaan kalimat-kalimat tauhid dan dzikir secara jahar.

Perbedaannya adalah satu didalam keadaan sholat membacanya yang lain diluar waktu sholat, yang mana kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Juga berdasarkan hadits-hadits yang telah di kemukakan tadi, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa di dengar oleh setan-setan tersebut. Maka dari itu Allah swt. sering memper -ingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu berdzikir pada-Nya.

Orang dianjurkan berdzikir setiap waktu baik dalam keadaan junub, haid, nifas maupun dalam keadaan suci (kecuali bacaan ayat Al-Qur’annya), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. diantaranya surat An-Nisa:103, karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus.!! Lain halnya dengan sholat ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub ( harus mandi dulu), sholat sunnah yang hanya niat sholat saja setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haidh, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.

Mereka berdzikir dengan suara yang jahar tapi bila ditempat mereka dzikir terdapat orang yang merasa terganggu umpama orang sedang sholat, atau ada orang tidur maka mereka akan melirihkan suaranya. Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras/jahran untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama dzikir yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang dijadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantara- nya masjid Ar Ribath .

Bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (meng- harap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal. Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasulallah saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata Rasulallah saw. membenar- kan mereka berdua ini !

Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpul an ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol. Jadi kedua macam cara itu dibolehkan!!

Aturan/adab (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy, dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan antara lain sebagai berikut: “Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt…”.

Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa. Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab yang kalau dibakar asapnya berbau wangi, karena disamping bau-bauan ini lebih mengkhusyukkan/ mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang itu atau para hadirin, juga menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada di ruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Makkah, Madinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah saw. mengasapi dirinya’.”

Begitu juga tahun 2001 bulan suci Ramadhan kami ziarah ke makam Rasulallah saw. di Madinah, disana setiap usai sholat Isya’ terutama pada di tempat sekitar Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasulallah saw.) dan disekitar Mimbar Rasulallah saw. selalu di asapi kayu gahru. Bagi orang-orang yang pernah hadir di tempat ini pada waktu tertentu itu insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Padahal kalau kita lihat negara Saudi Arabia banyak disana golongan wahabi/salafi yang sering mengeritik dan membuat ceritera khurafat atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir. Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain !

Tetapi kalau kita baca hadits Nabi saw., setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengadakan majlis dzikir. Lihatlah, karena kedengkian golongan tertentu pada majlis dzikir ini, mereka membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang dikarang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut. Mengapa golongan pengingkar ini tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Makkah dan Madinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?

Dalil-dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar

Dengan adanya riwayat-riwayat yang dikemukakan tadi, buat kita insya Allah sudah cukup jelas mengenai dibolehkannya dzikir baik secara lirih maupun secara jahar. Tetapi bagi golongan pengingkar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut paham mereka sebagai larangan/haramnya orang ber- kumpul berdzikir secara jahar. Mari kita baca dalil mereka untuk masalah ini:

Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204): ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang pem- bacaan Al-Qur’an secara bersama, yang di amalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).

Sudah tentu pemikiran seperti ini adalah paham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini di anjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Qur’an dalam kumpulan majlis dzikir ! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an baik membacanya secara berkelompok maupun perorangan, serta tidak ada nash baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang melarang mem- baca Al-Qur’an secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya !.

Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi: ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.

Ayat diatas juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar. Sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Qur’an yang sedang dibaca oleh orang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang telah dikemukakan yaitu surat Al-A’raaf : 204. Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 tadi adalah: ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati wahai orang yang memperhati- kan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara…’.

Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya: Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt., maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)

Malah menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga ‘…dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Al-Isro’: 110 yang berbunyi: ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.

Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata:

“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘ Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’ “.

Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam. Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasulallah saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga…? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata: Ini adalah hadits yang shohih.

Golongan ini berkata: “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir…?, padahal hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas memerintahkan untuk merendahkan suara di ketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasan-Nya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggangan kita !

Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan !

Kalau sekiranya Rasulallah saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras pada waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena per- buatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasulallah saw.. Padahal kesunnahan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. Mengeraskan dzikir pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar seperti itu tidak ada mashlahatnya/kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.

Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak ! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan (jerat-jerit) sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.

Begitu juga bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar maka akan ber- benturan dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir secara jahar (silahkan baca keterangan sebelumnya).

Sebelum ini telah kami kemukakan sebagian fatwa seorang ulama yang di andalkan juga oleh golongan ini yaitu Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Majmu’at fatawa edisi Raja Saudi Arabi Malik Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai berikut: “Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir (secara jahar), membaca al-Qur’an berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun menunjuk-nunjukkan diri, tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah swt. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab, ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari’a (agama) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a’.”

Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan ber- dalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan berdalil pada hadits ini, mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.

Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasulallah saw.. Tidak ada penentuan/kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a, boleh dilakukan secara berkumpul atau pun secara individu !

Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah! Disamping itu riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat dzikir (lingkaran dzikir) !

Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Maghrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.”

Riwayat diatas itu dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pem- beritahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasulallah saw. sendiri meridhoi dan memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berdzikir. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau mensyari’atkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !!

Jadi janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar dengan alasan sebagian sahabat telah melarangnya pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat Nabi tersebut. Dengan demikian kita tidak akan ke bingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasulallah saw. lainnya yang mengarah kepada kebolehan dan kesunnahan untuk berdzikir baik secara individu maupun berkelompok, baik secara lirih maupun jahar sebagaimana yang telah dijelaskan juga oleh ulama-ulama pakar, Imam Nawawi, Ibnu Hajr, Imam Suyuthi serta lain-lainnya.

Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.

Kami tambahkan lagi hadits yang shohih menganjurkan manusia untuk membaca Talbiyah dan Tahlil secara jahar pada waktu musim haji, yang mana Talbiyah dan Tahlil juga termasuk dzikir pada Allah swt. Hadits dari Khalad bin Sa’id Al Anshori dari Bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:

“Jibril datang kepadaku lalu menyuruhku untuk memerintahkan kepada sahabatku atau kepada orang-orang yang bersamaku agar mengeraskan suara dengan Talbiyah dan tahlil ”. ( Riwayat Abu Dawud nr.1797, Tirmidzi nr.829, Nasa’i dalam bab mengeraskan suara ketika ber ihram, Ibnu Majah nr.2364, Imam Malik dalam Al Muwattha hadits nr.34). Menurut Imam Syafii Takbir dan Tahlil dalam haji ini boleh diamalkan secara jahar baik dimasjidil Haram atau dilapangan.

Kalau dzikir Talbiyah dan Tahlil secara jahar yang dilakukan oleh berjuta-juta jama’ah haji secara berkelompok-kelompok malah dianjurkan dan tidak di- larang, apalagi dzikir secara jahar yang hanya dilakukan oleh kelompok jauh lebih sedikit jumlahnya dari itu, apa salahnya dalam hal ini..?. Wallahu a’lam.

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*