“Kekuasaan itu tidaklah dipersempit hanya pada kekuasaan negara. Namun kekuasaan menemukan dirinya menyebar dimana-mana”
(Disarikan dari buah pikiran Michael Foucoult)
Sekilas Pandang
Pemberitaan diberbagai media tentang perang dingin kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangatlah menyita perhatian semua pihak. Pasalnya, Bibit dan Candra yang mewakili KPK, menurut masyarakat, diperlakukan sewenang-wenang. Mereka didakwah dengan tuduhan yang tidak jelas, dari kasus penyuapan sampai kasus melakukan penyalahgunaan wewenang. Dan pada titik puncaknya Polisi memasukkan Bibit dan Candra ke bui. Perlakuan polisi yang memperkarakan Bibit dan Candra, secara tidak langsung menohok KPK yang selama ini dipuja masyarakat sebagai Pahlawan pemberantas Korupsi. Penahanan Bibit dan Candra, yang meskipun menurut Polisi adalah penahanan individual bukan karena KPK-nya, tetap dianggap oleh masyarakat sebagai bentuk kriminalisasi KPK. KPK diserang. KPK dibonsai. KPK dikerdilkan.
Secara kasat nyata, kesewenang-wenanangan dan ketidakadilan yang dilakukan polisi, mengusik ulu kesadaran keadilan masyarakat. Rakyat menyuarakan harapan untuk melawan ketidakdilan polisi. Melalui Facebook, twiter, demo, unjukrasa, media, jaminan penahanan pun dilakukan. Bahkan beberapa tokoh nasional bersedia pasang badan untuk Bibit dan Candra.
Gelombang respon yang besar dari masyarakat itu menyebabkan Presiden memberi pernyataan untuk membentuk Tim pencari Fakta (TPF) terkait kasus perseteruan POLRI dan KPK. Sehari setelah dilantik, TPF bergerak dengan mendengarkan rekaman penyadapan KPK, yang sebelumnya diminta oleh Mahkamah Konstitusi untuk diputar dalam sidang. Dalam rekaman yang diperdengarkan melalui Media Televisi tersebut, menceritakan tentang kelihaian Anggodo, adik dari Anggoro pemilik perusahan MASARO yang sedang menjadi Buron KPK, mengatur-atur kepolisisan dan kejaksaan untuk menutup kasus yang menimpa sang Kakak, Anggoro. Sejumlah nama yang disebutkan dalam rekaman tersebut, Wakil Kejaksaan Agung AW. Ritonga, dan Kabareskrim Susno Djuadji, Wisnu, Ketut, putra revo dan beberapa nama lainnya. Diceritakan pula, Anggodo telah memberi milyaran rupiah untuk disebarkan kepada pejabat-pejabat baik di ring satu sampai bawahnya. Namun ternyata, entah bagaimana Bibit dan Candra tetap bersikukuh, dan pada akhirnya menyebabkan Anggodo marah, dan menyuruh pihak kepolisian untuk menangkap Bibit dan Candra. Dalam rekaman tersebut diceritakan pula, bahwa Anggodo akan melenyapkan Candra dipenjara nanti.
Rencana besar yang dilakukan Anggodo sampai pada rencana melenyapkan Candra, membuat bergidik semua orang. Bambang, Kuasa Hukum KPK, memohon kepada MK, agar mengeluarkan Candra dan Bibit dari tahanan Polisi. Permohonan Bambang ini, ditindaklanjuti oleh TPF, dengan merekomendasikan kepada Polisi untuk menangguhkan penahanan Bibit dan Candra. Pembebasan Candra dan Bibit disambut gempita oleh masyarakat. Bagitupun dengan aktivis-aktivis mahasiswa. Namun yang masih tersisa, anggodo otak dibalik rencana besar, setelah diperiksa oleh POLRI, masih belum dijadikan tersangka, padahal jelas-jelas dia mengakui kebenaran suara rekaman itu adalah dirinya. Bahkan santer terdengar, selama 24 jam, jika polisi belum menemukan bukti kuat, maka Anggodo akan dibebaskan.
Babak baru, perseteruan POLRI dan KPK, masih berlanjut. Setelah dipanggil oleh DPR, Polisi ternyata mengeluarkan Kartu baru dengan menggelindingkan statemen kepada DPR, bahwa mereka akan tetap melanjutkan pemeriksaan kepada Bibit dan Candra, karena mereka memiliki bukti kuat, bahwa Bibit dan Candra menerima suap. Lalu kelanjutannya bagaimana? Kita menunggu.
Relasi Kekuasan
Sebenarnya, perseteruan antara KPK dan POLRI, meskipun tidak diakui oleh kedua pemimpin dari masing-masing intitusi, jelas-jelas itu terjadi. Itu terbukti dari keganjilan sikap, kebijakan dan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya. Kenapa Kabareskrim Susno Djuadji begitu marah ketika ditanya tentang penyadapan KPK, yang kemudian secara tidak sengaja, melibatkan nama dirinya? Ada makna apa, dibalik kata “ Cicak melawan Buaya”? kenapa Polisi begitu ambisius memenjarakan Bibit dan Candra? Kenapa KPK berani mengeluarkan rekaman yang katanya merupakan rahasia negara kepada masyarakat? Kenapa pula POLRI akan tetap melanjutkan kasus Candra dan Bibit?
Dari sudut kekuasaan, kita akan memahami bahwa sebenarnya antara Polisi dan KPK, sama-sama memiliki kekuasaan, aparatus penegak hukum. KPK bergerak dalam ranah pemberantasan Korupsi dan Polisi bergerak dalam ranah baik hukum pidana maupun hukum perdata atau hukum-hukum lainnya yang sesuai perundang-undangan, ditangani oleh Polisi. Namun dalam perjalanannya, kedua institusi itu, bagaimanapun akan ada gesekan kekuasaan bahkan kewenangan. Hal ini karena kekuasaan yang ditafsirkan, menurut sudut mereka masing-masing. Kasus-kasus korupsi yang bisa jadi banyak terjadi di institusi Polisi, bisa menjadi bahan ganyangan KPK kepada POLRI. Dan kesalahan-kesalahan pidana yang dilakukan oleh perorangan yang dibuat oleh seluruh warga Indonesia termasuk anggota KPK, bisa jadi juga akan menjadi bahan Polisi untuk menangkapnya. Hal ini ditafsirkan dengan cantik oleh keduanya setelah berseteru. KPK bisa jadi ke depan akan menangkap Susno Djuadji, bahkan mungkin akan membuka bobrok korupsi di tubuh POLRI dan POLRI sendiri akan menjebloskan Candra dan Bibit atau sejumlah pemimpin di KPK, dengan alasan penyalahgunaan wewenang. Jika Konflik itu diteruskan!!!!!
Kekuasaan dalam kekuasaan
Memang kekuasaan bergerak sebagaimana mereka memiliki kekuasaan untuk menafsirkan pengetahuan, baik kesalahan maupun kebenaran atau lainnya. Menurut Foucault, kekuasaan menentukan pengetahuan dalam arti: “menetapkan” tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang “works”; “menetapkan” mekanisme dan patokan yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; “menetapkan” teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; “menetapkan” status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar.
Ukuran kebenaran maupun kesalahan ditentukan oleh kuasa pengetahuan yang menjadi kekuasaan mereka. POLRI memiliki ukuran kesalahan dan kebenaran, KPK juga memiliki ukuran untuk menyatakan kesalahan dan kebenaran masing-masing. Dari sudut POLRI bisa jadi KPK salah, dari sudut KPK, bisa jadi pula POLRI yang salah. Lalu kebenaran dan kesalahannya dimana? Dari sudut birokrasi kekuasaan, yang jelas ukuran kebenaran dan kesalahan terletak pada Undang-undang. Namun Undang-undang adalah benda yang mati yang tidak akan hidup jika tidak ditafsirkan. Dalam menafsirkan Undang-undang, siapa yang memiliki otoritas kekuasaan untuk menentukan kebenaran dan kesalahan? Dasar pijakan KPK juga menggunakan Undang-undang, begitupun juga dengan POLRI.
Karenanya, diperlukan kekuasaan yang lebih tinggi untuk menentukan dan menafsirkan dari kebenaran dan kesalahannya. Karena logika kekuasaan adalah yang menguasai dan yang dikuasi. Dalam sistem birokrasi, yang jelas antara KPK dan POLRI, berada dalam kekuasaan presiden. Karenanya, Presiden tidak bisa melepas tangan dalam kasus itu. Presiden harus memiliki kebijakan untuk melerai dua lembaga dibawahnya itu bertengkar. Seperti halnya seorang ibu yang memiliki dua anak yang bertengkar, tidak mungkin Ibu hanya diam, menunggu anaknya yang bertengkar itu kalah dan menang, tetapi harusnya ketika anaknya bertengkar, segera melerai dan mendudukkan persoalannya.
Presiden dalam konteks kekuasaan memiliki hak-hak dan kewenangan untuk melakukan apapun asal tidak bertentangan dengan Undang-undang. Jika toh nanti ada kesalahan maka dia akan berhadapan dengan DPR atau jika diteruskan akan berhadapan dengan Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan lembaga yang langsung berada di bawahnya, presiden seharusnya segera memiliki keputusan jelas semacam PERPU. PERPU yang diharapkan akan menjadi dasar pijakan bagi lembaga negara yang berseteru. Dibentuknya TPF adalah kebijakan lain yang perlu disambut dalam meredam konflik KPK dan POLRI. TPF seharusnya dihargai oleh semua orang, karena apapun yang diputuskan TPF, itu sebenarnya adalah keputusan Presiden. Jika keputusan TPF tidak dihargai, maka jelas tidak menghargai Presiden.
Kebijaksanaan Kekuasaan
Kekuasaan adalah amanah. Karena kekuasaan adalah sebuah pelimpahan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada beberapa orang untuk mengatur hamba Alloh yang mengharap dengan adanya kekuasaan itu akan mampu meningkatkan kestabilan kehidupan mereka. Karena amanah, maka kekuasaan memiliki dampak baik di dunia dan akherat. Jika amanah itu disia-siakan maka dia pada hakekatnya menghianati amanah Tuhan. Karenanya dalam mengemban itu harus digunakan dengan sebaik-baiknya khususnya demi menjaga kedamaian di alam dunia Indonesia yang konon katanya adalah rahmatnya termulia yang diberikan kepada kita semua ini. Pemegang kekuasaan, baik di KPK maupun POLRI, seharusnya mengedepankan amanah ini. Sehingga diharapkan akan memunculkan kearifan dalam bertindak. Bukannya Nafsu yang terselelip dalam kebijakan kekuasaan yang diemban.
Salam.....
Hamba Alloh Yang Sedang Jatuh Cinta kepada Alloh
Sabtu, November 07, 2009
KPK VS POLRI : Pertarungan Kekuasaan
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Pemikiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar