Senin, Oktober 19, 2009

The Great Power Of Mother


Dari pengalaman mentraining ISQ (Islamic Spiritual Quetien) di beberapa sekolah SMP/SMA baik di Lamongan maupun di Mojokerto, banyak anak histeris ketika saya sampai pada perenungan tentang Ibu. Yang masih saya ingat, di SMA Negeri 3 ada 15 anak yang histeris, di SMA PGRI 1 ada 19 anak, di SMA Ngimbang ada beberapa anak, dan beberapa tempat lainnya, yang tidak bisa saya sebutkan bagaimana suasana training ISQ tersebut. Sebenarnya saya tidak menetapkan tujuan bahwa keberhasilan training terletak seberapa banyak anak yang menangis. Tetapi dengan perenungan ISQ tentang Ibu tersebut, dapat menjadi ukuran untuk melihat bagaimana tingkat hubungan seorang anak dengan kedua orang tuanya. Banyaknya anak yang histeris dapat saya simpulkan bahwa pertama, anak memiliki hubungan yang buruk dengan orang tuanya, kedua, anak merasakan kerinduan dengan kedua orang tuanya karena ayah atau bundanya telah meninggal atau telah bercerai atau kedua orang tuanya telah meninggalkannya nun jauh disana merantau dinegeri orang, ketiga, anak merasa terharu karena teringat dengan ayah bundanya yang begitu sayang kepada mereka. Pada tingkat pertama yang anak mengalami histeris bahkan pingsan, ketika kita berdialog dengan mereka, rata-rata mengaku bahwa mereka merasa sangat berdosa terhadap orang tuanya, atas perlakuan mereka yang “terlalu” kepada kedua orang tuanya. Mereka merasa dirinya sebagai anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Namun sering saya katakan, everything will change, masih ada waktu untuk memperbaiki dengan sungkem memohon maaf kepada kedua orang tuanya. Tentu, dengan setulus-tulusnya hati. Dan dengan catatan, melakukan perbuatan yang benar-benar mencerminkan perilaku baik kepada orang tua dalam kehidupan nyata.
Pengalaman saya sendiri sebagai trainer, hampir disetiap kali training, saya dijamin pasti meneteskan air mata. Karena di dalam perenungan itu, saya sendiri yang membayangkan sosok ibu saya. Sosok ibu yang benar-benar tulus mendidik saya, merawat, membina dan melakukan segala hal untuk saya. Anda bisa membayangkan, saya ini terlahir di sebuah desa terpencil di Lamongan, yang hampir dalam PETA tidak pernah tergambar. Tidak terbayang, dulu sosok ibu saya mengandung saya bagaimana? Di desa saya, di tahun 80-an keluarga saya masih serba kekurangan. Kekurangan makan dan minuman yang bergizi. Lalu bagaimana Ibu memberi sesuatu kepada buah hatinya yang ada dalam kandungannya? Sosok ibu yang ada di desa jelas berbeda dengan orang kota. Orang desa walau hamil sekalipun, mereka tetap bekerja di sawah. Mereka membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Padahal sosok ibu yang hamil, perutnya semakin lama semakin bertambah besar. Tapi sang ibu terus bergerak bekerja ke sawah walau dengan keadaan payah yang bertambah-tambah, untuk anaknya. Sampai dipenghujung menjelang kelahiranku, menurut ibuku, ibuku dibantu oleh seorang dukun beranak. Anda bisa membayangkan, bagaimana sakitnya seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya, dengan dibekali peralatan seadanya. Sakitnya, konon kata banyak wanita, bahwa melahirkan itu 1000 kesakitan menjadi satu. Bahkan yang lebih eskterim, melahirkan itu sama dengan mempertaruhkan hidup dan mati. Saya selalu membayangkan, bagaimana pas seorang wanita mau melahirkan waktu itu, perutnya sudah sakit, dukun beranaknya belum datang-datang. Soalnya, tempat dukun beranak jauh, dan untuk menjemputnya memakai sepeda onthel. Belum lagi, jika ada yang eror dalam kehamilannya, adakah operasi caesar seperti sekarang ini? Jelas tidak ada, makanya taruhannya hidup dan mati. Dan begitulah keadaan ibuku dengan segala pernak perniknya.
Waktu saya dilahirkan, kata ibu saya, ukuran tubuh saya kecil dan saya sering sakit-sakitan. Sering menangis, sering mencret jika ibu memakan hal-hal yang dilarang oleh dukun beranak. Puskesmas, dukun dan beberapa pengobatan sudah pernah dijelajah, tetapi toh tetap saya masih sakit-sakitan. Padahal sudah banyak uang dikeluarkan untuk pengobatanku. Karena keadaan itulah akhirnya ayahku berkonsultasi kepada dukun beranak yang membantu ibuku dalam proses kelahiranku dulu. Konon kata dukun itu, nama saya yang waktu itu bernama SUWONO, terlalu berat, maka harus diganti. Dukun tersebut menyarankan nama saya menjadi ISNO.
Tetapi, toh, meskipun sudah berganti nama saya masih sakit-sakitan. Sampai tubuh saya tidak bisa berkembang cepat. Ada tetangga saya sampai saya sudah dewasa tetap memanggil KUNTHENG (kecil). Begitulah aku, sosok anak kecil yang selalu digendong kemana-mana oleh ibuku. Masih teringat, waktu orang-orang desa melihat ludruk, maupun layar tancap atau apapun, saya selalu digendong oleh ibuku. Ibuku tidak peduli walau saya sudah berumur 6 tahun atau 7 tahun lebih saya masih tetap di gendong. Meskipun saya ini kecil, tetapi saya adalah sosok anak yang sangat berani. Saya masih teringat hampir anak-anak satu dusun di desaku, tidak berani dengan aku. Karena setiap kali bertarung saya selalu menang. Terkadang teman-temanku yang saya jadikan uji coba jurus-jurus yang aku imajinasikan dari sandiwara radio TUTUR TINULAR, Arya Kamandanu. Sehingga orang tua mereka melabrak saya. Saya menangis dan takut. Tetapi saya merasa aman berlindung dibelakang ibuku. Ibuku selalu membelaku entah salah entah benar.
Meskipun saya sudah dewasa, saya masih menyusui ibuku. Dan ibuku tidak keberatan. Namun suatu hari, ketika saya melihat ada anak yang disapih oleh orang tua yang ada di desaku, saya sangat ingin disapih. Karena saya melihat anak yang disapih itu diberi oleh ibunya telur ayam. Dan saya sangat ingin makan telur ayam. Akhirnya aku merengek-rengek kepada ibuku untuk disapih biar bisa makan telur ayam. Karena dalam imajinasiku waktu itu, hanya orang yang sudah disapih sajalah yang sudah boleh makan telur ayam. Dan telur ayam, di zamanku, lauk yang sangat langka dan bahkan tidak mungkin diberikan kepada saya kecuali pas hari raya idul fitri.
Masih teringat, pertama kali aku menjadi anak TK. Waktu itu saya paling kecil. Ibuku merasa bangga, melihat aku memakai baju seragam sekolah itu. Aku dibelikan buku, pensil, tas dan sepatu. Teringat pertama kali sekolah, aku diantar oleh ibuku memakai sepeda onthel. Aku menangis bertemu dengan teman yang tidak aku kenal. Dan ibuku menghiburku. Tiap hari aku diantar oleh ibuku. Terkadang saya dititipkan kepada tetangga, karena ibuku harus ke sawah. Saya merasa bangga, menjadi anak sekolahan. Apapun yang diajarkan oleh ibu guruku aku ceritakan kepada ibuku. Ketika aku diajarkan oleh ibu guruku menyanyi, akupun pas di rumah menyanyi sangat keras seperti yang diajarkan oleh guruku. Ibuku bangga melihat aku bisa menyanyi.
Sampai satu tahun, ternyata pas kenaikan kelas, aku tidak naik kelas. Konon kata guru TK-ku, aku terlalu kecil dibanding dengan teman-teman kelasku lainnya. Namun ibuku tidak menerima alasan apapun yang disampaikan guruku. Ibuku memaki-maki guruku. Karena tega-teganya sang buah hatinya disakiti hatinya dengan tidak menaikkan kelas ke kelas SD. Aku melihat ibuku menangis. Aku tidak paham. Namun toh, akhirnya ibuku menerima keputusan itu walau dengan keberatan hati yang sangat. Keputusan untuk mengulang itu pada akhirnya menjadi keputusan yang begitu gemilang dalam sejarah hidupku. Aku menjadi sosok siswa anak petani yang mampu menjadi juara yang tidak tertandingi walau dengan anak pak lurah maupun anak guru yang menjadi pegawai negeri sekalipun. Kegagalanku, dan ketidakadilan dalam sistem kasta di Sekolah-ku menjadikan dendam arketipe untuk harus mengalahkan anak-anak orang kaya. Aku menjadi sosok yang beroposisi terhadap kemapanan sampai aku menjadi Mahasiswa. Dan begitulah spiritku.
Aku melihat wajah ibuku yang begitu lekat, manakala waktu aku dikhitan. Habis saya dikhitan oleh seorang dokter di kecamatan ploso Jombang, aku pulang diantar memakai sepeda motor tetangga. Tibanya di rumah, aku disuruh minum memakai jebor. Saya disuruh makan. Beberapa waktu, saya merasakan kesakitan di alat vitalku. Dan ibuku merawat aku dengan begitu sayangnya. Tiap pagi saya dimandiin memakai air hangat. Dan ibuku pula yang membersihkannya. Pada malam hari, manakala saya tidak bisa tidur, ibuku memelukku, dan mengibar ibaskan kertas agar ada air semilir yang menjadikan aku tertidur. Dan begitulah hari-hari proses kesembuhanku yang selalu ditemani oleh ibuku tercinta.
Sampai saya lulus SD, saya bersikeras untuk masuk ke SMP negeri. Namun ibuku berharap aku masuk SMP swasta. Karena melihat tekadku, akhirnya hati ibuku luluh. Aku masuk di SMP Negeri 1 Ngimbang Lamongan. Singkat cerita, sampai pada tahap lulus SMP. Ibuku kembali berharap agar aku tidak melanjutkan sekolah dan aku bisa membantu bapak ke sawah saja. Namun jiwa ilmuwan telah mendaging, aku ingin tetap menuntut ilmu setinggi langit. Akhirnya aku disekolahkan juga. Aku mengambil SMA Negeri di Kecamatanku. Waktu itu aku tidak memperdulikan uangnya darimana untuk menyekolahkanku??? dengan penghasilan sebagai petani? Aku tidak tahu. Yang jelas orang tua harus menuruti semua kamauan anak. Dan ibuku ternyata lebih memilih menuruti kemauan anak. Walau entah berapa juta uang yang telah dikeluarkan untuk membelikan seragam yang menuntut berganti-ganti, sepatu, tas, pensil, bulpoin, buku, LKS, uang jajan, de el el???????? Namun toh ibu lebih memilih menuruti kemauan anaknya. Asal anaknya bahagia. Walau ia harus membanting tulang siang dan malam, sebagai petani.
Ketahanan perasaan ibu untuk bertahan demi kebahagiaan anaknya, terkadang juga bisa jebol lantaran beban hidup yang semakin bertambah. Ketika aku menuntut ibuku untuk meng-kuliahkan aku, ternyata benar-benar tidak dituruti. Seluruh keluargaku menghakimi aku untuk tidak menyekolahkan aku. Tetapi aku benar-benar tidak bisa menerima semua alasan mereka. Aku memberontak. Aku lari ke surabaya. Di sana aku daftar di IAIN Sunan Ampel. Aku ingin membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku adalah anak yang bisa diandalkan untuk menjadi orang. Aku tidak butuh harta benda. Aku hanya butuh ilmu untuk menjadi warisan dalam menata kehidupanku yang akan datang. Hingga, ada kabar bahwa aku benar-benar diterima di fakultas Tarbiyah PAI, yang konon jurusan itu adalah jurusan terfavorit di IAIN. Ibuku hanya bisa menangis, dia tidak bisa memutuskan. Ia bagaikan makan buah simalakama. Mau mengkuliahkan aku, khawatir jangan-jangan nanti seluruh harta bendanya habis untuk kuliah saja, sedangkan anaknya tidak menjadi apa-apa/pengangguran, kemudian dicemooh masyarakat sebagaimana anak-anak kuliah dibeberapa desaku, yang menghabiskan sapi dan sawah, tetapi pekerjaan mereka hanya mengamen di pos-pos mengiringi orang-orang yang hendak pergi ke sawah, atau tidak mengkuliahkan aku, tetapi akan sungguh menyakiti hati aku yang sudah membaja tekadnya dan membuktikan kecerdasannya. Namun ibuku lebih memilih untuk tidak menyakiti hati aku. Aku dikuliahkan walau dengan kekhawatiran masa depanku nanti bagaimana.
Menjelang wisuda, aku sedikit khawatir bahkan mungkin ibuku lebih khawatir, apakah aku akan menjadi anggota pengangguran Indonesia (API) ataukah tidak? Walau belum ada kejelasan pada masa depanku, tetapi saya bertekad akan mencari apa saja asal saya tidak kembali ke desa dan dikatakan menjadi anak pengangguran. Setelah wisuda, aku memilih tinggal di Mojokerto menemani dosenku Dr. Wahib Wahab. Di sana aku banyak menyelesaikan penelitian-penelitian ilmiah yang bisa aku gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun begitu, ibuku tetap khawatir terhadap aku. Karena ketika di rumah, selalu ditanya apa pekerjaannya Isno??? Akhirnya ibuku menyuruh aku untuk bekerja. Aku stress belum ada pekerjaan yang mapan. Aku mencari-cari akhirnya saya bisa bekerja di KBIH, namun cuma satu bulan aku di sana. Akhirnya aku mencari lagi dan menemukan di SD Wates membutuhkan guru bahasa Inggris. Gajinya sangat kecil. Aku terus berusaha. Aku mendaftar di Jawa Pos untuk menjadi wartawan. Pada titik finalnya aku ditolak. Seorang teman memberitahu aku ada lowongan untuk masuk LSM, namun di luar jawa. Aku tidak peduli, yang penting aku bekerja. Sebelum berangkat ke sana, ada info lowongan PNS di beberapa kabupaten. Aku mendaftar di Lamongan dengan diiringi oleh kedua orang tua. Tetapi dengan berbagai kondisi aku membatalkan mendaftar PNS di sana, aku pindahkan mendaftar di Kota Mojokerto. Tidak ku duga, keputusan itu menjadi keputusan yang sangat bersejarah dalam kehidupanku. Pada pagi hari setelah subuh, aku mencari pengumuman di koran. Ternyata di sana terpampang namaku. Aku bersujud syukur. Aku sms ke ibuku. Konon, ibuku histeris dan menangis sejadi-jadinya. Ia bersyukur. Anaknya menjadi orang. Anaknya akan banyak dibanggakan orang. Perjuangannya tidak sia-sia.
Sambil menunggu SK datang. Aku memilih pulang di kampung halaman. Di sana aku berharap bisa berkumpul bersama keluarga sekalian membantu orang tua bekerja di sawah. Namun SK-nya ndak datang-datang. Hampir enam bulan aku menunggu. Lamanya aku menunggu ternyata, menjadikan guncingan di sana sini. Apa benar Isno menjadi PNS? Atau ceritanya hanya bohongan untuk menutupi ketidakbecusannya mencari pekerjaan? Mana mungkin anak petani menjadi PNS? Menjadi PNS mestinya bayar? Dll. Ibuku tidak tahan. Ia menangis di depanku menyuruh aku kembali ke Mojokerto. Aku menuruti saja. Kebetulan aku punya agenda di Pasuruan. Pada waktu di Pasuruan, aku ditelpon oleh BKD, bahwa SK telah datang, dan aku disuruh siap-siap untuk diklat. Alhamdulillah aku panjatkan. Setelah menempuh 6 hari diklat, aku resmi mendapat SK dan ditempatkan di SMA Negeri 3 Mojokerto. Aku memberitahukan ke ibuku. Kemudian ibuku mengundang seluruh warga kampung untuk melaksanakan tasyakuran. Pasca tasyakuran, aku mengucapkan alhamdulillah ternyata aku dimampukan oleh Alloh untuk membuktikan kebenaran ucapanku. Semua orang kemudian memanggil namaku “Pak Guru”. Aku melihat linangan air mata ibuku.
Setelah satu tahun aku menjadi “Umar Bakrie” aku mempersunting gadis di desaku. Waktu mau berangkat untuk ijab qobul, aku masih teringat, ibuku tidak kuat menahan tangisnya. Ia memelukku. Semua keluarga terharu. Ibuku bilang teringat dengan semua ke-nekadanku. Ia teringat masa kecilku. Ia teringat semua nestapa hidupku. Akhirnya ibuku bisa menghantarkan aku menuju ke pernikahan. Itulah ibuku. Ia adalah orang yang sangat bangga terhadap aku. Ucapan-ucapanku menjadi dalil dalam pembicaraan-pembicaannya dengan tetangga-tetangga. Tangisnya selalu mengiringku, jika aku curhat terhadap problem-problem kehidupanku. Itulah spirit dalam kehidupanku. Aku ingin mempersembahkan yang terbaik untuk ibuku. Aku ingin melihat sesungging senyum pada bibirnya. Aku ingin mempersembahkan seluruh hidupku untuk memberikan yang terbaik dalam kehidupannya.
Kawan, itulah gambaran “the great power of mother”. Bahwa kasih sayang ibu yang merupakan cerminan dari rohman dan rohimnya ALLOH yang ditiupkan ke dalam hati ibu, mampu menjadi sebuah loncatan energi yang sangat luar biasa. Dan saya telah membuktikannya. Jika kamu ingin menjadi sukses maka jangan lupakan ibumu. Karena surga ada di telapak kaki ibu. Artinya kebahagian atau kesuksesan sebenarnya terletak pada restu dan ridlonya ibu kita.
Dulu, saya pernah berjanji, saya tidak akan pacaran sebelum aku menjadi orang sukses. Biar aku bisa menjadi anak yang dibanggakan ibu dulu dengan kesuksesan itu. Ternyata spirit itu begitu kuat, aku benar-benar tidak pacaran selama aku kuliah. Selanjutnya, demi kesuksesan itu pula, aku harus berdarah-darah hidup di Surabaya dan Mojokerto. Aku berpindah dari Masjid ke Masjid lainnya. Dari bekerja satu ke bekerja lainnya. Saya pernah menjadi kuli bangunan, pernah menjadi penjaga wc, tukang ngrental, tukang nggarap skripsi, jualan kambing, kerja di KBIH, tukang bersihin Masjid, ngelesi de el el. Dan ternyata ALLOH menjawab semua itu dengan dihadiahi menjadi PNS. Semua adalah spirit Ibu. Spirit ingin melihat senyum ibu mengembang penuh kebahagiaan.
Perhatikan firman-firman ALLOh di bawah ini.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. ( Lukman : 14)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Al-Ahqaaf: 15)


Silahkan pembaca sekalian untuk menuliskan emosi yang timbul setelah membaca tulisan pada pesan di shout mic ini. Sekalian saya menyarankan anda juga menulis kapan ibu anda tersenyum penuh dengan kebahagiaan dan kapan ibu anda menangis. Trims

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*