Senin, Mei 17, 2010

Ideologi Perubahan

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar-Radu ayat 11)
Ayat tersebut adalah ayat yang bisa dilihat dari berbagai sudut. Kalau ditafsirkan model Mu’tazilah atau qadariyah, Allah tidak akan merubah nasib manusia kecuali manusia itu sendiri yang merubahnya. Jadi titik perubahan nasib manusia, itu ditentukan oleh manusia. Allah tidak bisa cawe-cawe merubah nasib manusia. Seakan-akan Allah tidak tahu menahu dan tidak bisa campur tangan terhadap nasib manusia. Jelek tidaknya nasib manusia itu ditentukan tangan manusia, bukan Allah.
Penafsiran macam ini, memang menjadikan manusia menjadi progresif, karena jika mereka sendiri tidak merubah keadaan mereka tidak akan menjadi lebih baik. Karenanya mereka bekerja keras mati-matian untuk berubah menjadi yang lebih baik. Namun kelemahan dari penafsiran ini, manusia cenderung percaya diri dan mengesampingkan peran Allah. Pertanyaan mendasarnya, apakah setiap manusia ketika mengupayakan nasibnya dengan bekerja keras, semua bisa berubah? ada 10 orang bekerja ke Jakarta, mereka ingin merubah nasibnya. Mereka akhirnya sama-sama bekerja keras, namun kenapa ke sepuluh orang tersebut berbeda-beda nasibnya? Kenapa seluruh lulusan SMAN 3, atau UNESA, atau IAIN, memiliki nasib yang berbeda, padahal mereka sama-sama satu lulusan/angkatan, yang sama-sama ingin merubah nasibnya? Lalu dimanakah letak kehebatan tangan manusia merubah nasibnya? Kenapa tidak semua keinginan dan cita-cita itu terwujud? Kenapa orang yang berharap dengan bekerja keras dan ikhtiar sekuat tenaga, tidak selalu sesuai dengan harapannya?
Penafsiran lainnya, dari sudut Jabariyah, menyatakan bahwa yang bisa merubah apapun itu bukan manusia, tetapi hanya Allah saja jualah. Kalau Allah sudah menetapkan seseorang menjadi maling, bagaimanapun manusia akan tetap menjadi maling. Manusia tidak akan bisa merubahnya. Begitupun jika Allah telah menetapkan dia menjadi ahli surga, ahli korupsi, ahli jambret, ahli quran, semuanya telah ditetapkan dan manusia tidak cawe-cawe. Manusia seperti wayang di tangan dalangnya. Kelemahan dari pendapat ini, manusia kurang diberi kepercayaan untuk merubah keadaannya menjadi lebih baik. Seakan ikhtiar tidak guna. Dan usaha apapun tidak ada gunanya. Lalu buat apa ada dosa dan pahala? Surga neraka?
Lalu bagaimanakah kita menyikapinya? Yang mana yang benar dan yang mana yang salah? Menurut Prof. Zahro, dalam urusan Aqidah Islan dan Non Islam, harus ada benar dan salah. Kalau Islam benar berarti lainnya wajib salah. Tetapi kalau dalam intern Islam sendiri, misalnya antara ke empat Madzab fiqh yang sama-sama berpendapat dan berbeda, bisa diterapkan ke empat-empatnya adalah benar. Begitupun dengan Mufasir, diantara mereka bisa dibenarkan. Tentu autokritik tetap harus dimasukkan di dalamnya.
Kalau kita lihat diantara dua kutub Mu’tazilah dan Jabariyah, sama memiliki koleksi ayat yang beragam dan sama-sama kuat. Sama-sama mendukung pendapat free act dan apatisme. Ya begitulah. Kalau ingin mendalami, silahkan dalami ilmu-ilmu kalam atau teologi Islam.
Namun menarik, apa yang diungkap oleh KH. Djamal, beliau berpendapat, bahwa yang perlu dirubah itu bukan nasib. Karena nasib itu hanya Allah yang bisa merubahnya. Sedangkan manusia itu tidak akan mampu mengubah nasib. Manusia hanya disuruh mengubah sikapnya yakni mengubah amaliah sholihahnya dan taqwanya dihadapan Allah. Dengan mengubah seseorang pada level taqwa, Allah akan mengubahnya dengan perubahan yang tidak disangka-sangka. Artinya tidak menggunakan hukum-hukum sebab akibat.
Perhatikan firman Allah swt,
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya Jalan Keluar (At Tholaq ayat 2)
Karenanya, jika anda ingin berubah kepada kehidupan yang lebih baik, maka yang harus dirubah adalah dekat tidaknya kita dengan Allah. Kalau anda dekat, pasti anda akan dikabulkan permintaan-permintaan anda. Coba anda rasakan dan pikirkan, jika anda dekat dengan ibu anda, kira-kira bagaimana perasaan ibu anda? Bandingkan dengan, bila anda jauh dari ibu, bagaimanakah perasaan ibu? Jika kita dekat dengan ibu, disuruh ibu mau, disuruh ini itu mau, pasti tanpa memintapun anda akan dikasih sesuatu kesukaan kita. Namun jika anda jauh, dan tidak pernah menjalankan perintah-perintah ibu, so pasti, meskipun anda sering merengek-rengek, tidak akan dikabulkan permintaannya. Begitupun juga dengan doa kita kepada Allah. Mungkin begitu logikannya. Walahu’alam.
Pernah suatu kali, dalam diskusi Mahasiswa Muslim, saya mengajukan pertanyaan, kenapa umat Barat, itu lebih hebat dalam merubah kehidupannya dibanding dengan Islam. Kenapa yang sejahtera-sejahtera justru orang Barat? Kenapa bukan Islam. Menjawab pertanyaan ini, saya tertarik dengan ulasan dari Prof. Zahro, bahwa kita umat Islam, masih belum maksimal dalam memaksimalkan fasilitas yang diberikan Allah kepada umat Islam. Kedua fasilitas itu adalah ikhtiar dan doa. Dalam ikhtiar kita kurang maksimal dan dalam berdoa sekalipun kita masih setengah-setengah. Lalu bagaimana kita bisa merubah kehidupan kita. Sedangkan orang barat hanya satu yang ia tawarkan kepada Tuhan, HANYA IKTIAR. Sedangkan doa mereka, karena non Muslim, TERTOLAK. Namun karena ikhtiarnya itu maksimal sehingga ia benar-benar bisa berubah menjadi lebih baik melebih umat Islam. Ya begitulah.
Karenanya, sebagai sesama muslim, saya mengajak kepada pembaca, agar memaksimalkan ikhtiar dan doa. Jangan setengah-setengah. Bukankah dalam masuk Islam pun, kita harus udhulu fi silmi kaffah, masuklah ke dalam Islam secara sempurna, serius, jangan setengah-setengah. Islam 100%, Yakin Allah 100%, dan lain-lain.
Selamat mencoba. Semoga.

Al-Fakir

1 komentar:

Muse mengatakan...

Like This......
Alhamdulillah ya Allah....
pertanyaanku selama ini bisa terjawab dengan puas.....
semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat semua yang bertany seperti saya.....amin....

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*