Perubahan kebijakan pemerintah pasca lahirnya Undang-Undang sisdiknas 20/2003 serta Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen patut untuk diapresiasi oleh semua pihak. Karena bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, perhatian pemerintah terhadap guru sangat besar. Sejumlah kebijakan, seperti halnya sertifikasi, menghantarkan guru untuk berbondong-bondong meningkatkan keprofesionalan dirinya sehingga bisa diakui dan mendapatkan tunjangan yang mampu menyejahterahkan kehidupannya. Sejumlah kompetensi yang ditarget pemerintah untuk guru, misalnya kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi social, diusahakan oleh guru untuk memenuhinya baik melalui portofolio maupun diklat.
Namun usaha memajukan pendidikan itu bukannya tanpa kritik. Baik itu pada decision maker itu sendiri maupun guru sebagai penikmat kebijakan. Masih banyak ditemui guru yang mengadukan tentang kebijakan di daerah yang mengedepankan like and dislike tentang guru yang berhak mengajukan sertifikasi dan tidak. Ada anggapan bahwa di daerah-daerah tertentu, yang lebih diutamakan adalah ada unsur kekerabatan atau ada unsur kedekatan dengan atasan. Sehingga sertifikasi sebagai indicator perhatian pemerintah atas guru, masih belum merata.
Pihak guru sendiri, masih banyak, dalam usahanya mendapatkan sertifikasi, melakukan penipuan-penipuan. Piagam-piagam hasil diklat maupun workshop diduga hasil dari pembelian kepada oknum-oknum yang memanfaat situasi guru yang ingin instan tanpa bersusah-susah duduk mendengarkan nara sumber. Hasil PTK yang seharusnya dijadikan ukuran keprofesionalan guru dalam wilayah akademisi, ternyata banyak hasil dari copy paste atau hasil pembelian kepada orang-orang yang memiliki keahlian menulis walaupun tidak pernah mengajar. Begitupun dengan aktivitas social yang juga merupakan salah satu prasyarat keprofesionalan, banyak disana-sini terjadi kepalsuan kepengurusan organisasi-organisasi social. Kenapa itu semua terjadi?
Guru : Profesi ataukah Pengabdian?
Memang dilemma menjawab guru itu sebuah profesi ataukah bentuk pengabdian. Ketika UU Sisdiknas 20/2003 dikeluarkan maka secara resmi guru itu dinamakan tenaga pendidik. Konsekwensi dari tenaga pendidik adalah keprofesionalan. Keprofesionalan itu diukur dari kemampuan guru dalam administrasi dan proses pembelajaran. Karenanya tidak heran jika kemudian ada sebagian guru yang beranggapan bahwa ketika mereka sudah selesai tugasnya mengajar, maka sudah selesai pula tugasnya.
Namun sebenarnya lebih dari itu makna guru, jika dikembalikan kepada makna dasar dari guru itu sendiri yaitu “A guru is a person who is regarded as having great knowledge, wisdom and authority in a certain area, and uses it to guide others”. Jadi guru adalah seseorang yang dihormati karena pengetahuannya, kebijaksanaannya, kemampuannya memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangannya. Bahkan tidak jarang kata guru itu dimaknai sebagai seorang yang mengajarkan hal-hal yang linuweh, adikodrati, spiritual.
Adapun perannya, sebagaimana konsep Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo, menjadi teladan, berada didepan, dan diperhatikan orang banyak. Istilah modernnya seorang guru menjadi INOVATOR. Guru menjadi contoh teladan baik dalam tutur kata (baca: pengetahuannya) maupun segala gerak-gerik (baca : perilakunya), disekolah maupun dirumah. Ing madyo mangun karso, guru menjadi kawan seiring dalam berkarya. Istilah modernnya DINAMISATOR. Tut wuri handayani. Menjadi pendukung dalam berkarya. Memberi semangat saat tak berdaya. Tapi posisinya berada di belakang. Istilah modernnya MOTIVATOR.
Dari pengertian dan perannya guru, ia bukan hanya sebagai seorang pengajar, namun lebih dari itu ia adalah pendidik, baik mendidik pengetahuan maupun perilaku. Oleh karenanya seorang guru hendaknya memiliki perilaku yang baik disamping berpengetahuan luas. Agar dalam proses pendidikan itu bisa berjalan dengan baik. Transformasi ilmu dan transformasi perilaku.
Kembali ke Khitah
Peringatan hari guru dan HUT PGRI yang ke 65 ini, hendaknya menjadikan muhasabah, khususnya bagi guru, agar terus melakukan pembenahan-pembenahan. Tidak hanya sekedar memperoleh sertifikat keprofesionalan yang mengedepankan, pada ujung-ujungnya adalah materi, namun juga harus terus meningkatkan sisi ketauladanan dalam kepribadiannya. Karena ketauladanan itu sendirilah merupakan khitah sebagai seorang pendidik. Dengan keteladananlah proses pendidikan yang akan mencetak generasi yang bermoral dan berkarakter akan terbentuk. Bukankah inti dari pendidikan itu adalah perubahan perilaku? Kebanyakan siswa itu melihat guru sebagai tauladan yang utama. Namun jika guru itu memberi ketaladan buruk, maka perubahan perilaku buruk pulalah yang akan ditiru oleh siswa. Sehingga tidak mengherankan ada sebuah peribahasa “ Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Termasuk seperti inikah guru yang kita inginkan?
Nama Penulis : Muhammad Isno el-Kayyis
Selasa, November 30, 2010
Kembali ke Khitah Guru
Diposting oleh Goze IsnoLabel: pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar