Keinginan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengeluarkan UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 kemudian diperkuat dengan UU No 14 tahun 2005, Peraturan Pemerintah 19 tahun 2005, Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2008 serta beberapa Peraturan Menteri, perlu diapresiasi oleh semua pihak. Karena dalam kebijakan tersebut pemerintah memiliki keinginan kuat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, bagaimanapun guru memiliki peran yang kuat. Karenanya tuntutan untuk meningkatkan kualitas guru sangatlah logis. Guru, dalam Undang-undang guru dan dosen tahun 2005 harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Jika ditelaah lebih mendalam ketercapain kompetensi tersebut sangatlah sulit. Karena guru disamping mengajar harus memiliki kompetensi lain seperti keaktifan di lembaga kemasyarakatan, karya ilmiah, seminar, dan lain sebagainya. Padahal selama ini menjadi seorang guru dikesankan hanyalah mengajar saja. Tetapi dengan amanah Undang-undang tersebut, guru idealnya harus menjadi guru yang serba bisa atau profesional minimal mencapai empat kompetensi tersebut.
Untuk diakui sebagai tenaga pendidik yang profesional maka seorang guru harus mendapatkan sertifikat pendidik. Untuk mendapatkannya, guru bisa menempuh dua jalur. Jalur pertama dengan portofolio dan jalur kedua dengan pendidikan profesi. Kebanyakan guru banyak yang menempuh melalui jalur portofolio. Jika dalam portofolio tidak lolos maka guru baru akan menempuh pendidikan profesi. Seorang guru ketika menempuh jalur portofolio harus mengumpulkan bukti-bukti keterlibatannya dalam forum-forum ilmiah, karya tulis, pendidikan dan pelatihan, sosial dan lain sebagainya. Bukti keterlibatan ini harus dibuktikan dengan surat tugas, surat keterangan atau piagam-piagam yang pernah didapat. Jika dalam pengumpulannya kurang memenuhi standar nilai maka seorang guru wajib mengikuti pendidikan profesi.
Dalam kenyataannya, masih banyak guru, demi mendapatkan sertifikat pendidikan dengan iming-iming gaji dua kali lipat, banyak melakukan penipuan-penipuan. Terbukti dari berbagai kasus, banyak sertifikat-sertifikat palsu, SK palsu, karya tulis plagiat, dan lain sebagainya. Namun anehnya, hingga sekarang masih belum ada tindakan yang nyata terhadap itu semua. Padahal jika dilihat tuntutan pemerintah melalui undang-undangnya, guru diharapkan benar-benar menjadi tenaga pendidik yang profesional. Bukan profesional menipu atau profesional plagiat atau profesional mengumpulkan kertas-kertas belaka. Bagaimana bisa dipertanggungjawabkan kalau seorang guru lolos protofolio tetapi tidak mampu membuat RPP yang benar, atau silabus yang benar, atau menerapkan strategi pembelajaran yang benar, atau membuat lembar kerja yang benar?
Tidak semua guru berasal dari fakultas keguruan. Seperti halnya di IAIN Sunan Ampel yang penulis pernah studi disana. Banyak teman-teman penulis yang berasal dari fakultas Adab, fakultas syariah, fakultas Ushuluddin, fakultas Dakwah menjadi seorang guru. Padahal mereka tidak memahami keilmuan guru. Hanya karena tidak ada pilihan pekerjaan sajalah mereka menjadi guru atau karena mereka mengikuti program akta IV sehingga mereka bisa diterima mengajar di sekolah negeri bahkan menjadi pegawai negeri mengajar pendidikan agama Islam. Namun demikian, bagaimanapun, mereka masih tetap belum akrab dengan administrasi mengajar.
Karenanya menurut penulis, untuk mendapatkan guru yang profesional tidak cukup dengan hanya portofolio. Tetapi perlu dengan pendidikan profesi. Karena dalam pendidikan profesi banyak ilmu yang akan diperoleh. Inspirasi-inspirasi keilmuan akan banyak ditemukan. Terutama revolusi-revolusi mengajar disamping administrasi mengajar yang benar. Pengalaman penulis mengikuti diklat, banyak ilmu yang diperoleh. Dalam pembelajaran, kita diperkenalkan dengan strategi-strategi pembelajaran yang tidak kita dapatkan dari pengawas pendidikan di daerah. Begitupun dengan RPP yang benar, Silabus yang benar, Evaluasi yang benar, dan lain sebagainya. Banyak peserta ketika penulis tanya, mereka banyak mendapatkan pencerahan yang luar biasa. Padahal mereka mengaku sudah pernah mengajar selama 28 tahun.
Profesional dan tidak profesional kalau diukur secara normatif memang sangat sederhana. Yang terpenting, kalau jalur portofolio, memenuhi kriteria yang ditentukan dengan memberikan bukti-bukti meskipun terkadang itu belum tentu benarnya. Yang terpenting sudah memenuhi nilai dan lulus. Jika dia tidak lulus, yang terpenting ikut pendidikan profesi pasti lulus dan akan dianggap menjadi guru profesional. Namun secara subtantif, tidak bisa semudah itu. Guru yang telah ikut pendidikan profesi kemudian mengetahui administrasi dan berbagai disiplin keilmuan mengajar, apakah menjamin ketika dia kembali ke lembaganya menerapkan dengan sebenarnya? Apakah menjamin orang yang memiliki RPP sangat bagus itu telah diterapkan dalam pembelajarannya? Apakah menjamin orang yang memiliki pengetahuan luas atau mereka yang bergelar deretan, mampu menjadi guru profesional yang disenangi siswa, dan siswa mudah menangkap apa yang dia ajarkan?
Ada banyak kriteria ideal tentang guru dikatakan professional, dalam hal ini kiterianya tanpa ada tuntutan formalitas. Sebagaimana uraian Lou Anne Johnson, setidaknya ada 3 tipe guru dikatakan guru professional. Pertama, guru super, kedua, guru excellent dan guru good. Guru super adalah guru yang membutuhkan energi yang sangat tinggi. Ia tiba disekolah lebih awal dan pulang paling akhir. Mereka menghadiri seminar, melanjutkan pendidikan, menjadi sukarelawan bagi kegiatan muridnya, dan memberikan dirinya bagi murid-muridnya yang membutuhkan bantuan ekstra di dalam maupun diluar kelas. Guru excellent adalah guru yang memiliki kesamaan dengan tipe guru super. Namun ia tetap membatasi jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka peduli kepada muridnya namun tidak sampai mengorbankan kebutuhan keluargannya sendiri. Sedangkan tipe guru good adalah mengerjakan tugas-tugas sebagai guru dengan baik namun mereka memahami batasan mereka sendiri. Mereka membuat batasan yang sangat jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi. Mereka memperlakukan murid dengan rasa hormat dan mereka melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa semua murid mempelajari materi yang disyaratkan untuk tingkat pendidikan selanjutnya, tetapi mereka tidak merasa berkewajiban untuk menyelamatkan murid-muridnya satu persatu. Mereka juga tidak menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan murid atas keluhan-keluhan mereka diluar jam pelajaran. Mereka mengunci rapat-rapat pintu bagi murid diluar dinas tugas pekerjaannya sebagai guru.
Dari ketiga tipe ini, berapakah prosentase guru super di Indonesia? Berapa yang termasuk tipe guru excellent? Dan berapa yang termasuk guru good? Kita yakin menjadi guru bukan hanya sebuah profesi yang menghasilkan sesuatu, tetapi pekerjaan itu adalah sangat penting bagi pilihan hidup menjadi guru. Namun sudahkan kita menganggapnya penting, Bila dikaitkan dengan banyaknya tren tuntutan materi atas pekerjaan guru? Gurulah yang bisa menjawabnya. Selamat hari guru. Semoga tetap jaya dalam pengabdian.
Kamis, November 25, 2010
Mengidamkan Guru Profesional (Refleksi HUT Guru dan PGRI ke 65)
Diposting oleh Goze IsnoLabel: pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar