Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan berubah oleh campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur'an tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan al-Qur'an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk konsep yang bisa dilaksanakan. Dan ini akan terus berkembang sejalan tuntutan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di sinilah celah-celah orang yang ingin menghancurkan Islam berperan. Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur'an, bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan kosa katanya. Tidak jarang mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengan atau yang mereka baca.1 Karena itu Rasulullah berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) maksud firman Allah.
Pada masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satu ayat, mereka akan langsung bertanya kepada Rasulullah saw dan kemudian Beliau menjelaskan maksud kandungan ayat tersebut. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadits Rasulullah saw, karena mereka berkeyakinan bahwa Beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil langkah dengan cara menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang mereka tempuh adalah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Manakala mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad dan lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya mereka yang mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni seperti
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud ra.2 Selain bertanya kepada para sahabat seneor sumber informasi bagi penafsiran al-Qur'an, mereka bertanya juga kepada ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam al-Qur'an memiliki persamaan dengan yang ada dalam kitab suci merkaa, terutama berbagai tema yang menyangkut umat-umat terdahulu. Penafsiran seperti ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi al-Qur'an sebagai petunjuk bagi kehidupannya sedemikian sampai-sampai tanpa disadari bercampurlah tafsir dengan Israiliyat. Kehadiran israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an itulah yang, menjadi ajang polemic dikalangan para ahli tafsir al-Qur'an. Karenanya, makalah ini akan membahas tema israiliyat dari sudut apa pengertian israiliyyat, bagaimana proses masuk dan berkembangnya israiliyyat dalam tafsir dan bagaimana pengaruh israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an.
Selanjutnya Klik Judul
Kamis, Desember 02, 2010
Melacaka Israiliyat dalam Tafsir al-Quran
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Pemikiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar