Dalam hidup ini, satu hal yang paling sering menjadi kekhawatiran orang adalah masalah rezeki. Dari dulu hingga sekarang bahkan sampai nanti, masalah rezeki selalu menjadi kekhawatiran banyak orang. Hingga saat ini pun bila ada sesuatu yang dianggap sebagai sumber rezeki baik yang terang, remang-remang bahkan gelap sekali pun, sering kebanyakan manusia memperebutkannya baik dengan cara yang halus maupun cara yang kasar hingga demikian kerasnya dan nyawa pun jadi taruhannya, seakan tanpa cara seperti itu, mereka tidak akan kebagian rezeki.
Coba lihat, di mana pun juga, di berbagai level yang ada, yang namanya kekuasaan selalu diperebutkan bahkan tidak jarang terjadi sampai berdarah-darah, karena menurut persepsi kebanyakan orang, kekuasaan adalah cara tercepat dalam mengakses sumber-sumber kekayaan yang selalu identik dengan rezeki. Kekuasaan selalu menjadi incaran banyak orang. Mulai penguasaan pasar, terminal dan lokalisasi dengan menjadi penguasa preman stempat, penguasaan lahan-lahan parkir di sudut remang-remang perkotaan, penguasaan wilayah edar barang terlarang, penguasaan kursi sebagai ‘abdi negara’ atau ‘aparat pemerintah’, perebutan jabatan mulai level desa sampai dengan Negara, perebutan pucuk pimpinan mulai dari organisasi kelas teri, organisasi profesi, organisasi preman, organisasi massa sampai organisasi politik yang pada akhirnya berujung pada penguasaan pimpinan Negara. Bahkan pada tingkat global, banyak alasan yang sebenarnya tidak masuk akal akhirnya dilegalkan meskipun harus melakukan invasi ke wilayah suatu Negara yang pada kenyataannya adalah semata-mata keinginan menguasai sumber-sumber alamnya. Begitu seterusnya.
Begitulah polah tingkah manusia yang selalu mengkhawatirkan rezekinya. Mereka yang mempunyai fasilitas akan memanfaatkan semua fasilitas yang ada untuk [dalam persepsi mereka] mengeruk rezeki apa pun caranya. Mereka yang mempunyai massa [biasanya wilayah remang-remang meski banyak juga yang legal] akan mengunakan massanya untuk mengeruk rezeki bagaimana pun caranya, mereka yang memegang jabatan akan menggunakan jabatannya untuk mengeruk rezeki dari wilayah kekuasaan jabatan yang disandangnya apa pun dan bagaimana pun caranya. Namun mereka yang tidak punya fasilitas, massa, jabatan atau apa pun juga di mana taraf kehidupan ekonominya memang memprihatinkan dan tanpa dilandasi iman, tidak sedikit yang mempergunakan cara singkat yaitu dengan berkolaborasi dengan alam remang-remang alias alamnya para jin, PESUGIHAN. Pesugihan ini bermacam-macam bentuknya, dari yang masih orisinil atau klasik sampai dengan yang sudah termodifikasi. Di satu sisi dengan pesugihan, seseorang bisa mendapatkan harta kekayaan dengan begitu mudahnya bahkan sangat-sangat mudah, tetapi di sisi sebaliknya selalu ada korban di balik praktek pesugihan yang dijalankannya dan itulah yang biasanya disebut dengan TUMBAL. Pada pesugihan tipe klasik alias yang masih orisinil, tumbalnya selalu keluarga dekat terutama anaknya, tetapi pada pesugihan yang sudah termodifikasi, ternyata tumbalnya bisa dialihkan ke orang lain. Lain lagi dengan pesugihan moderen yang nanti akan sedikit disinggung pada bagian berikutnya.
Dari yang klasik, biasanya yang semacam dengan tuyul, blorong, babi ngepet dan kawan-kawan dimana biasanya sang praktisi pesugihan mendapatkan hartanya dalam hal ini uang secara langsung meskipun tanpa memiliki suatu kegiatan usaha. Ada juga pesugihan yang bentuknya pelaris untuk usaha yang dijalankan, tetapi tetap saja ada tumbalnya. [Sedikit intermezo, kalau ingin cepat kaya tanpa pesugihan tanpa memelihara tuyul sebenarnya mudah sekali. Tuyul itu biasanya berangkat setelah maghrib dan pulang dengan hasil jarahan untuk disetor ke majikannya menjelang subuh. Jadi kalau ingin kaya, cegat saja tuyul yang mau pulang terus dirampok jarahannya. Bagaimana ? Otre kan idenya… he…. he… he…, yang mo pake ide ini silahkan aja tapi jangan lupa royaltinya !]
Nah yang dimodifikasi ini mungkin salah satu bentuk kreativitas atau mungkin kemudahan dari para khadam pesugihan yang terus berinovasi dalam menjaring dan melayani pelanggannya dengan melakukan diferensiasi dari para khadam pesugihan klasik, dimana tumbal bisa dialihkan ke orang di luar keluarga dekat, sebagai contoh, sang praktisi pesugihan membuang sejumlah uang dengan nominal yang cukup menarik minat orang lain untuk memilikinya. Uang ini dibuang begitu saja di tengah jalan [bisa jadi kalau kena angin jadi ke pinggir :P] dan orang yang mengambilnyalah yang akan menjadi tumbalnya [he… he… he… yang ini ada tipsnya, kalau nemu uang dalam nominal yang menggiurkan di tengah jalan, waspadalah, bisa jadi uang itu sedang mencari tumbal, nah kalao mo ngambil, ambil aja tapi ganti dengan uangmu sendiri yang nominalnya lebih kecil, biasanya aman, missal yang di jalan seratus ribu maka ganti aja dengan uang seribu ]. Ada lagi yang kerjaannya meminjamkan uang dalam jumlah yang besar, dimana sang peminjam harus menorehkan darahnya di kain kafan putih sebagai syaratnya. Maka ketika sang peminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya pada tanggal yang telah disepakati bersama, maka nyawanyalah sebagai tebusannya, dan sang praktisi pesugihan akan berlipat ganda kekayaannya. Yang lain masih banyak lagi modus operandinya.
Dari praktek pesugihan yang semacam itu bisa disimpulkan adanya sebuah pola yang sama yaitu : dalam waktu singkat, dengan sangat mudah, kekayaan berlipat dan ada korban sebagai tebusannya.
Mending. Kenapa mending ? Ini bukan masalah dosa lho, saya tidak menghakimi, itu urusannya gusti Allah. Saya bilang mending karena praktisinya dengan kesadaran sendiri mengorbankan anaknya dan bukan anak orang lain, kalau toh modifikasi, korbannya pun tidak masal.
Nah, yang lebih kejam dan parah itu adalah pesugihan moderen, meskipun tidak secara langsung berkolaborasi dengan dunia jin akan tetapi efeknya lebih parah dan mempunyai kesamaan pola : dalam waktu singkat, dengan sangat mudah, kekayaan berlipat dan ada korban sebagai tebusannya.
Ya… OKNUM namanya. Di eksekutif ada, di legislatif ada, di yudikatif pun ada, di parpol ada, di ormas ada, di asosiasi usaha ada, pokoknya di semuanya ada yang namanya OKNUM ini, coba saja diamati sendiri, dalam waktu yang relatif singkat, dengan mudahnya kekayaannya berlipat bahkan ada yang sangat fantastis. Tumbalnya ? Pasti ada juga. Kalau kebetulan organisasi, biasanya tumbalnya ya anggota organisasi itu yang selalu jadi sapi perahan. Kalau kebetulan di wilayah remang-remang, tumbalnya ya yang ada di wilayah itu. Kalau pejabat Negara, maka tumbalnya biasanya yang berkaitan dengan jabatan yang sedang disandangnya, yang jelas rakyat bangsanya pasti jadi tumbal juga [meskipun rakyat tidak merasa karena sudah terbiasa menderita, he… he… he…] karena bukannya segenap fasilitas yang diterima berkaitan dengan jabatan yang sedang disandang dibiayai oleh rakyat juga ? Banyak kasus yang sudah atau sedikit diungkap ke publik akhir-akhir ini yang sangat luar biasa, meskipun hal itu sudah lama terjadi, bahkan yang lebih luar biasa lagi pun mungkin masih banyak dan tidak mungkin diungkap karena menyangkut nama baik beliau-beliau yang terhormat yang bersinggasana di menara gading negeri ini. Mungkin yang paling parah dengan tumbal terbanyak adalah mereka yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menguras sumber daya alam negeri ini tanpa batas kewajaran. Untuk perutnya sendiri, semua disikat tanpa batas. Anak bangsa ini, anak cucu bangsa ini hanya diwarisi bencana demi bencana karena ulah segelintir mereka. TER…LA…LU… [intonasi atau cengkok untuk kata ini harus seperti seorang tokoh kita : Bang Haji he… he… he…].
Yang jelas, jika para OKNUM itu melakukan hal-hal semacam itu, keluarga biasanya juga jadi tumbal. Maksudnya ? Harta yang dimiliki tidak barakah. Menurut pengamatan secara tidak langsung dan secara langsung, ada saja bentuk dari tidak berkahnya harta. Karena harta begitu melimpah, banyak waktu luang terbuang percuma, mau apa saja tersedia, mau bagaimana saja terlaksana tanpa ada kendala apalagi tanpa rem iman di dalam dada, foya-foya dan hura-hura sudahlah biasa, maka apa jadinya kehidupan yang dijalani ? Bagus luarnya, tetapi dalamnya belum tentu seperti itu.
Harta melimpah, tetapi ada yang sakit demikian parah. Bapaknya pejabat tetapi ternyata anaknya bejat. Kekayaannya bikin gempar, malah keluarganya bubar. Begitu seterusnya.
Tapi… ya sudahlah [apa pun yang terjadi ku kan slalu ada untukmu… he… he… he… BONDAN] yang mau seperti itu ya monggo diteruskan, soalnya kalau tidak seperti itu tidak kebagian, kata mereka sih.
Terus semestinya bagaimana ya kira-kira sikap hati kita mengenai masalah rezeki ?
Mari kita belajar dari dawuh-dawuhnya Syaikh Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî :
Berkaitan dengan urusan rezeki, manusia berada dalam tiga keadaan :
KEADAAN SEBELUM DIBERI REZEKI, yaitu ketika berusaha. Biasanya manusia dihadang oleh ketamakan [hasrat diri untuk meraih rezeki dan kecenderungan hati kepadanya karena tiadanya rasa percaya dan lemahnya keyakinan], kepenatan dalam mencarinya [kepenatan anggota badan bias menyebabkan lalai menjalankan berbagai perintah-Nya, kepenatan hati adalah risaunya hati yang menyebabkan keterkaitan hati terhadap urusan rezeki hingga tenggelam di dalamnya tanpa memperhatikan hal lain hingga memutuskan hubungan dengan Allah, khususnya melanda saat membutuhkan sesuatu dengan sangat untuk menjaga kelangsungan hidup], sikap merendah kepada makhluk [kehinaan dan kerendahan diri diakibatkan oleh sikap tamak kepada makhluk dan kurang yakin kepada Allah] dan mengatur berbagai cara untuk mendapatkannya [lintasan pikiran yang terus menerus tentang harus memiliki ini agar ini, harus dari sini dan dari sini dan seterusnya].
KEADAAN SETELAH ITU, yaitu ketika meraihnya. Biasanya manusia dilingkupi sisfat kikir setelah meraih rezeki. Ada tiga macam sifat kikir, yaitu kikir terhadapa apa yang sudah dimiliki hingga tidak mengeluarkan sedekah yang diwajibkan Allah [misalnya zakat atau kewajiban menafkahi kedua orang tua, anak serta istri], kikir terhadap sesuatu yang tidak terkait dengan kewajiban kepada sesama manusia [maksudnya tidak mau mengeluarkan hartanya lagi setelah yang wajib dilaksanakan, padahal yang sunah bisa menjadi penyebab turunnya cinta Allah], kikir terhadap diri sendiri hingga tidak mau berkorban untuk Allah [kesiapan mengorbankan diri adalah akhlak hamba yang paling sempurna, sebab hamba tidak mempunyai apa-apa, sebaliknya keengganan untuk mengorbankan diri adalah akhlak yang paling buruk].
KEADAAN SETELAH MENDAPATKAN REZEKI, adalah pengaruh yang ditimbulkan rezeki atas seseorang. Apakah seseorang berduka atas apa yang luput ataukah bergembira terhadap apa yang didapatkan. Semestinya, keyakinan terhadap Allah tidak akan membuatnya bergeser dalam menyikapi keadaan yang dialaminya. Betapa banyak orang yang tampaknya cukup dengan Allah, nyatanya mereka merasa cukup dengan usahanya semata. Betapa banyak orang yang tampaknya gembira bersama Allah, ternyata ia hanya gembira dengan keadannya. Nyatanya, ia tidak lagi merasa senang ketika keadaannya itu tiada. Seandainya ia benar-benar senang bersama Allah, tentu ia akan senang selamanya bersama kebadian-Nya.
Berusaha mencari rezeki. Rasulullah bersabda, “Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik.” Beliau juga bersabda, “Makanan yang paling halal dimakan seseorang adalah yang merupakan hasil usahanya sendiri.”
Beberapa manfaat dalam usaha yang dilakukan manusia :
Usaha merupakan karunia Allah yang diberikan kepada manusia agar kuat hatinya dan kokoh jiwanya.
Usaha yang dilakukan seseorang dapat menjaga kehormatannya sehingga tidak merendahkan diri dengan meminta-minta sekeligus memelihara iman agar tidak mengemis pada makhluk.
Kesibukan bekerja merupakan rahmat Allah agar manusia terhindar dari perbuatan sia-sia, maksiat dan dosa.
Dalam kerja dan usaha terdapat rahmat dan karunia Allah bagi para ahli ibadah dan hamba yang sibuk menaatinya.
Usaha dan kerja merupakan sarana untuk saling mengenal dan menumbuhkan cinta di antara manusia.
Beberapa perwujudan dari sikap mencari rezeki yang baik :
Mencari rezeki dengan tetap menjaga etika dan berserah diri kepada Allah serta tidak melalaikan Allah.
Mencari rezeki kepada Allah tanpa menetapkan batasan, sebab dan waktunya hingga Allah memberikan apa yang Dia kehendaki, dengan cara yang Dia kehendaki dan di waktu yang Dia kehendaki.
Mencari rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah dan tidak menjadikan apa yang kita inginkan sebagai tujuan doa kita.
Mencari rezeki dengan kesadaran bahwa hakikinya jatah kita telah ditetapkan oleh Allah dan akan mendatangi kita, sedangkan permintaan dan usaha kita merupakan sebab duniawi saja yang mengantarkan kita pada rezeki.
Meminta kepada Allah sesuatu yang bisa mencukupi bukan yang melenakan.
Mencari rezeki yang baik bisa dengan meminta bagian dunianya.
Meminta pada Allah tanpa meragukan jatah yang diberikan Allah serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang.
Meminta pada Allah tanpa menuntut untuk segera dikabulkan.
Meminta pada Allah dan bersyukur kepada Allah jika diberi dan menyadari pilihan terbaik-Nya jika tidak diberi.
Meminta pada Allah agar bisa berpegang pada pembagian yang telah ditetapkan-Nya dan bukannya pada permintaan kita.
Lalu ketika rezeki sudah didapatkan, kebanyakan berkeinginan untuk menyimpannya. Mengenai hal ini, Beliau menjelaskan bahwa ada tiga golongan manusia yang menyimpan harta, yaitu :
Orang yang zalim. Menyimpan harta karena pelit, berkeinginan menumpuk harta untuk menyombongkannya, tak pernah puas dan tak pernah berhenti mencarinya sebab rasa takut miskin selalu membayangi hati mereka.
Orang yang hemat. Menyimpan harta bukan untuik menumpuk harta dan menyombongkannya akan tetapi karena mereka menyadari bahwa jiwa mereka lemah, belum mampu bersikap layaknya kaum yang bertawakal kepada Allah dan belum sampai pada maqam yakin.
Orang yang merdeka. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan, selalu bersemangat menuju Allah agar hati mereka bersih dari selaian Allah. Meski menyimpan harta, mereka tidak bergantung pada simpanannya itu dan hanya benar-benar bergantung pada Allah.
Tapi kenapa ya, orang-orang ndableg macam aku ini kok selalu merisaukan masalah rezeki dan berhasrat ikut mengatur yang sudah dijamin gusti Allah. Ternyata, ini sebabnya, sesuai dawuh Beliau :
Allah menciptakan hasrat untuk mengatur dan memilih dengan tujuan memperlihatkan keperkasaan-Nya. Dia menciptakan kehendak dalam diri kita bukan karena agar kita berkehendak, melainkan agar kehendak-Nya meluruhkan kehendak kita hingga kita mengetahui bahwa sebenarnya kita tidak memiliki kehendak. Dia menciptakan keinginan dalam diri kita dan keinginan itu terus bersama kita. Kita mengaturnya, namun yang terwujud nantinya adalah pengaturan-Nya.
Allah membuat kita membutuhkan sesuatu dan terlihat jelas, kemudian Allah jugalah yang mencukupi kebutuhan itu agar jangan sampai kita mengaku-aku, sebab hanya Allah tempat bergantung dan bersandar seluruh makhluk. Dia menjadikan rasa butuh kepada Allah sebagai sebab yang membuat para hamba sampai pada-Nya. Artinya, jika kita mengenal diri kita melalui rasa butuh, faqir dan ketakberdayaan, maka kita akan mengenal Allah melalui keperkasaan, kekuasaan, keberadaan, karunia-Nya dan berbagai sifat-Nya yang lain.
Demikianlah di antara ajaran Beliau dan agar lebih lengkap, jelas dan detil termasuk juga seluruh kutipan ayat Qur’an dan hadits, bias diperdalam lagi di buku : “mengapa harus berserah” terjemahan dari al-Tanwîr fi Isqâth al-Tadbîr karya Syaikh Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî [he.. he.. he.. mengamalkan satu buku itu aja rasanya seumur hidup belum tentu bisa, apalagi mengamalkan seluruh yang ada dalam diri Rasulullah].
Nah, yang ini hasil pengamatan, penghayatan dan pengalaman sekaligus pengamalan yang tentunya masih sangat-sangat dangkal [sak isa-isaku alias sebisaku dalam kapasitasku] :
Mari kita syukuri sekecil apa pun atau seremeh apa pun menurut pandangan orang, sarana kita bekerja atau menjemput rezekinya gusti Allah sebab di luar sana masih banyak yang untuk mengeyangkan perutnya sekali sehari saja masih sulit. Mari kita syukuri berapa pun hasil yang kita dapat, sebab kebanyakan kita, bila menerima rezeki, tanpa sadar mengeluh dalam hati kok cuma segini ?
Bersyukurlah dan lebih banyaklah bersyukur bagi mereka yang mempunyai pekerjaan yang mapan, usaha yang mapan, jangan menjadi sombong dengan memandang rendah orang lain, jangan menganggap semua bisa dibeli dengan uang, sebab jika nyawa sudah di tenggorokan niscaya tak ada gunanya uang yang kita miliki. Sewaktu-waktu jika memang Allah menghendaki, pekerjaan yang mapan, usaha yang mapan, simpanan harta benda dapat dengan mudahnya lepas dan hilang dalam sekejap, tak terduga, sudah banyak contohnya dalam kisah nyata.
Bagaimana pun kondisi kita, jangan lupakan untuk berbagi, walau hanya dengan sebungkus nasi. Namun berbagilah dengan niat memuliakan, sebab dengan niat memuliakan kita akan berusaha memberikan yang terbaik walau pun ala kadarnya, bukan sekedarnya. Sebab ada juga, mereka yang diberi kemudahan rezeki malah semakin sulit untuk berbagi, sedekah sekedarnya, jauh dari kadar yang semestinya. Padahal semakin banyak berbagi, semakin banyak pula kita akan diberi dan itu pasti.
Tuhan yang kita agungkan di tempat kita bekerja, sama dengan tuhan yang kita agungkan di luar sana. Bila kita bisa mendapatkan rezeki-Nya di tempat kita bekerja, pasti kita bisa mendapatkan rezeki-Nya pula di luar sana. Maka, manakala di tempat kita bekerja sudah tidak ada kecocokan, tidak memungkinkan kita untuk berkembang, mengapa tidak keluar saja ? Itu lebih adil mestinya, lebih ksatria, dari pada di satu sisi kita selalu menjelek-jelekan tempat kita bekerja, namun di sisi lain kita masih saja berada di dalamnya. Hanya saja, jangan tinggalkan dengan kebencian, tinggalkanlah dengan senyuman, sebab bila kita tinggalkan dengan kebencian, biasanya itulah tanda-tanda nanti kita akan memasuki lingkungan yang serupa lagi.
Saat tidak ada kecocokan hati dengan pimpinan namun masih ada nilai kebaikannya, janganlah memperparah keadaan dengan hanya menjelek-jelekan, namun bantulah. Bantulah dengan permaafan dan doa yang tulus dari hati, ikutkan dan sebutkan namanya serta doakan ia saat kita bermunajat kepada-Nya. Temuilah semakin hari insya Allah ia akan semakin baik, baik yang sesungguhnya, walau pun mungkin orang lain, kawanmu masih menilainya sama. Jadikan diri kita orang baik dengan mendoakan kebaikan orang lain.
Saat berada dalam ketidakpastian masalah rezeki, pastikanlah diri kita tidak menghiraukannya karena Allah yang maha memberi rezeki itu pasti. Jangan hiraukan ketidakpastian itu dengan memastikan diri terus berbuat kebaikan sebagaimana mestinya sesuai tanggung jawab yang kita emban, melebihi malah lebih baik, tanpa
mengharapkan penilaian. Temuilah, ketidakpastian itu pasti berujung pada kepastian, karena kita memastikan diri melakukan yang dituntut-Nya yaitu berbuat kebaikan tanpa meragukan jaminan-Nya.
He.. he.. he.. tetap semangat, terus berdoa, tawakal dan ikhtiar. Semoga selalu dimudahkan-Nya dalam segala urusan kita yang baik, dalam segala kesulitan hidup kita, dalam segala pelaksanaan tugas dan tanggung kewajiban kita serta dimudahkan pula hari esok kita dengan-Nya, bersama-Nya, menuju pada-Nya dan untuk-Nya. Aamiin
diambil dari Fb : Sinau Noto ATi
Senin, Desember 06, 2010
Pesugihan : Sebuah Realitas Kekinian
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Tasawuf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar