Kamis, Desember 09, 2010

Pemikiran Keagamaan dan Politik Sunni Masa Dinasti Abbasiyah

A.Latar Belakang
Pada masa kekhalifahan Al-Makmun, mulai muncul madzab pemikiran teologi. Salah satu dari teologi yang cukup dikenal pada waktu itu adalah Mu’tazilah. Pada perkembangan selanjutnya, Khalifah Al Makmun menjadikan teologi ini menjadi Madzab Negara atas saran dari hakim kerajaan yakni Ibn abi Duwad (Philip K. Hitti: 2006). Teologi ini pada awalnya adalah sebuah gerakan puritan, namun seiring waktu berubah menjadi teologi yang lebih menguatamakan rasio dalam menemukan kebenaran melebihi al-Quran. Paham yang kemudian menjadi controversial dikalangan ulama dan menjadi pertentangan hebat yakni mutazilah memaksakan pemahaman bahwa “Al-Quran itu merupakan makhluk” kepada seluruh elemen masyarakat. Penentang yang sangat hebat dengan berakibat dipenjarakannya Ahmad bin Hambal, menjadi hiasan pertentangan sangat indah dalam sejarah perjuangan kaum ortodok-konservatif.
Diantara pada penentang, yang dianggap paling berhasil yakni Abu Hasan Al Asyari dari Baghdad (w935-936), salah satu keturunan dari Musa al-Asyari- arbiter dari Ali dalam melawan Muawiyyah. Ia menentang guru-gurunya yang merupakan orang Mutazilah, yang pada akhirnya mendirikan sekte sendiri yang kemudian lebih dikenal dengan Ahlusunnah wal jamaah atau disingkat dengan sunni. Apa itu sunni? Bagaimanakah sejarahnya? Bagaimanakah pemikirannya? Apa pengaruhnya dalam perpolitikan Abbasiyah? Tulisan ini mencoba untuk menguaknya.
B.Pemaknaan Sunni dilihat dari makna kata
Sunni adalah istilah singkat dari kelompok ahlussunnah wal jamaah. Yaitu, pengikut Nabi Saw. dan para sahabatnya. Karena masalah yang dibicangkan masalah keyakinan atau i'tiqad. Maka kaum sunni atau ahlussunnah wal jamaah adalah kaum yang menganut I’tiqad seperti I’tidaq yang dianut oleh Nabi Saw. dan para sahabatnya. Untuk mengenal I’tiqad Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sebenarnya sudah diuraikan di dalam al-Qur’an dan hadis secara terpisah-pisah atau tidak sistematis dan belum tersusun rapi. Namun, ada ulama yang telah menyusun dan merumuskannya dengan rapi. Beliau adalah syeikh Abu Hasan al-Asy’ari. Meski yang melakukan hal seperti itu bukan beliau saja, namun yang masyhur di khalayak adalah nama beliau. Sehingga istilah I’tiqad sunni atau ahlussunnah wal jamaah lebih sering disematkan kepada I’tiqad yang digagasnya.
Bila dikaji secara perkata. Ahlu artinya adalah keluarga, golongan atau pengikut. As-sunnah secara bahasa dimaknai dengan undang-undang, peraturan yang tetap berlaku, metode atau cara yang diadakan dan dijalani. Sedangkan secara istilah, ia dimaknai dengan ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Jadi aliran sunni atau ahlussunnah waljamaah adalah orang-orang atau kumpulan yang mengikuti perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya (lebih khusus khulafaurrasyidin). Jika menyimpang dari apa yang mereka katakan, perbuat dan tetapkan, maka itu bukan ahlussunnah.
Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadith sebagai rujukan utamanya setelah al-Qur'an. Nama ahl al-hadith diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah wa-Jama'ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan merupakan antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau menerima al-hadith (al-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
C.Sejarah dan Perpolitikan Sunni
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam menggulingkan dawlah Amawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Shi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Shi'ah (yang didominasi orang-orang Persia) dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani 'Abbasiyah berkuasa.
Kaum Shi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit.
Pada masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan Mu'tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluq (Mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya. Persilihan antara golongan ahl-al-Hadith (Sunni) dengan Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W. Montgomery Watt disebut sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu'tazilah) dengan kelompok Konstitusionalis (Sunni)
Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi'i munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Uthman dan 'Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan 'Ali.
Berbeda dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadith) dan Shi'ah selalu diwarnai demensi politik. Mereka berusaha bersaing untuk menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya adalah Khalifah al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang tidak adanya imam ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pelopor dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan Khalifah al-Muqtadir), yang menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran Sunni dan menyatakan bahwa negara melarang penyebaran doktrin "kemahlukan al-Qur'an" karena bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga yang perpaham Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun 1055 ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11 inilah dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni.
Pada saat itu juga telah dikembangkannya konsep kepemimpinan oleh para tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah harus dipilih oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain memperbolehkan penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil, berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim atau Umayyah.
Pandangan semacam tersebut bisa dilihat dari gagasan-gagasan yang telah dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang sekretaris negara di masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M) sebelumnya. Juga pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman al-Mahdi (775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Shi'ah. Hal yang perlu dicatat di sini adalah, meskipun bani 'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka mengadopsi teori Imamah-nya kaum Shi'ah untuk mendukung pemerintahannya.
Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Hingga puncak pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali:
"Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padamu, dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu"
D.Tokoh-tokoh Sunni
Penggagas ahlusunnah wal jamaah kebanyakan dicondonakn kepada Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Ia adalah cucu dari Abu Musa Al-Asy’ari merupakan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Menurut beberapa riwayat, Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M. Menurut ibnu Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan merupakan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil.
Sepeninggal Isma’il bin Ishaq, ibunda Ali bin Isma’il menikah dengan syekh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubba’i( wafat 303 H) seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka..Pada masa ( Abad 3 H ) itu banyak ulama mutazilah mengajar di Basrah,kuffah dan Baghdad.Ada 3 orang Kalifah Abasiyah yaitu Ma’mun bin Harun Al Rasyid ( 198-227 H), Al mu’tashim ( 218-227 H ),Al Watsiq ( 227-232 H ) adalah kalifah-kalifah penganut faham mutazilah atau setidaknya adalah penyokong faham ini pada zamannya.Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang di namakan “fitnah Qur’an makhluk”yang mengorbankan banyak ulama yang tidak sefaham dengan kaum mutazilah.Ahmad bin hambal,imam buwaithi adalah di antara korbannya..Pada masa Al asy’ari muda,ulama-ulama mutazilah sangat banyak di Basrah kuffah dan Baghdad.Masa itu masa ke emasan bagi faham mutazilah karena fahamnya di sokong oleh pemerintahan.
Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya Aljuba’i tokoh Mutazilah. Setelah sekian lama mempelajari faham mutazilah ,Al asy’ari melihat bahwa dalam faham ini banyak terdapat kesalahan besar.Banyak yang bertentangan dengan itiqod dan kepercayaan Rasulallah saw,para sahabat,qur,an dan hadist.Pada usia 40 tahun, Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, beliau diperingatkan Rasulullah saw agar meninggalkan faham Mu’tazilah .Menurut beberapa Sumber yang saya temui Bahwa menikahnya ibunda Al asy’ari dengan Aljuba’i dan belajarnya Al asy’ari muda kepada Aljuba’i adalah dalam rangka mempelajari ajaran ini sebagai bekal untuk melawannya di kemudian hari.Terbukti di kemudian hari Al asy’ari berhasil menghujjah dan mengkanvaskan Aljubai dalam perdebatan yang masyhur.
Pada suatu hari beliau naik kemimbar di masjid bashrah dan berpidato di antara pidato beliau :
“Saudara-saudara kaum muislimin yang terhormat! Siapa yang sudah mengetahui saya baiklah, tetapi bagi yang belum”saya adalah Abu hasan Ali Al asy’ari anak dari Ismail bin abi Basyar. Dulu saya berpendapat bahwa qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa di lihat dengan mata kepala di akhirat dan manusia bisa menciptakan perbuatannya sendiri serupa dengan kaum mutazilah. Sekarang saya katakan saya telah taubat dari faham mutazilah dan saya lemparkan itiqod mutazilah itu sebagai mana saya lemparkan baju saya ini ( ketika itu di bukanya bajunya dan di lemparkan )”
Sejak itu Al asy ‘ari berjuang melawan kaum mutazilah dengan lisan dan tulisan,berdebat dan bertanding dengan kaum mutazilah dimana-mana.merumuskan dan membuat kitab-kitab itiqod kaum Ahlu sunah wal jamaah. Menurut imam Muhammad bin Muhammad alhusni az-Zabidi pengarang kitab ihtihaf sadatul mutaqin syarahnya “ihya ulumudin” Al asy-ari mengarang sekitar 200 kitab. Di dalam kitab itu pula Imam Zabidi menyatakan “Apabila dsebut kaum ahlu sunnah wal jamaah,maka maksudnya adalah orang orang yang mengikuti rumusan faham Asy ari dan faham abu Mansyur al Maturidi”.
Para pengikut /penerus dari pada syekh abu hasan al asy ‘ari adalah :
1. Imam Abu Bakar al Qoffal ( wafat 365 H )
2. Imam Abu Ishaq Al asfaraini ( wafat 411)
3. Imam Alhafizh Al Baihaqi (wafat 458 )
4. Imam Abul ma’ali bin Abdil Juwaini/Imam Haromaen ( wafat 460 )
5. Imam al Qosim al qusyairi ( wafat 465 )
6. Imam Al-Baqilani ( wafat 403 )
7. Hujatul Islam Imam Ghozali (wafat 505 ).
8. Imam Fakhrudin ar Razi ( wafat 606 )
9. Imam Izzudin bin abdi salam ( wafat 660 )
E. Penguatan Pemikiran Sunni
Membincangkan sunni tidak bisa dilepaskan dari sosok Al-Ghazali. Ia adalah hujjatul Islam, yang membela teologi sunni ditengah gempuran berbagai teologi lainnya. Dr. Ali Syami Nasyar dalam bukunya Nasy’ah al Fikr al Falsafi fi al Islam, menyatakan bahwa di tangan al Ghazali, teologi Sunni mendapatkan kekokohan dan kesempurnaannya. Pemikiran Islam Sunni berhasil dirumuskan dengan sangat gemilang di tangan orang besar ini. Jika Ahmad bin Hanbal dan al Asy’ari memfokuskan diri pada upayanya untuk mengembalikan otoritas teks di atas otoritas akal terutama untuk kajian teologi, maka al Ghazali mengarahkan umat manusia pada upaya-upaya penghargaan atas aspek-aspek spiritualitas. Upaya-upaya yang sangat intensif dari dua tokoh sunni ini, kemudian membentuk bangunan peradabaan Islam yang sangat kokoh dan untuk berabad-abad lamanya menjadi acuan pemikiran kaum muslimin. Kedua orang ini, sungguh pun tidak bermaksud untuk menafikan pentingnya keilmuan rasional, akan tetapi ternyata telah menghasilkan dampak terabaikannya keilmuan tersebut dan menempatkannya pada posisi sekunder atau pelengkap. Para pengikut mereka mengikuti pandangan-pandangan mereka tanpa sikap kritis. Kebesaran nama mereka begitu mempesona dan seakan-akan tidak bisa ditandingi.
Sejak al Ghazali itulah keilmuan Islam kemudian dipilah-pilah menjadi ilmu-ilmu fardhu ‘ain (kewajiban individual) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Yang termasuk ilmu-ilmu fardhu ‘ain menurutnya adalah ilmu tauhid, ilmu al sirr (ilmu tentang rahasia-rahasia dan kondisi-kondisi hati) dan ilmu syari’ah (ilmu tentang kewajiban dan larangan agama) (Nasr Abu Zaid : 2001) Sementara ilmu-ilmu fardhu kifayah antara lain menyangkut apa yang sekarang kita sebut dengan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, fisika, matematika dan sebagainya, di samping sejumlah ilmu agama. Karya-karya al Ghazali terakhir, antara lain yang terbesar “Ihya Ulum al Din”, jelas mencerminkan kecenderungan utama al Ghazali. Pikiran-pikiran al Ghazali ini telah memberikan pengaruh yang luar biasa pada tradisi berfikir kaum muslimin, bahkan sampai hari ini. Kesan yang diterima kaum muslimin sesudahnya adalah sebuah wacana dikotomistik. Ilmu-ilmu agama dipisahkan dan dibedakan dari ilmu-ilmu umum. Ada yang disebut ulum al din dan ulum al dunya. Lebih jauh dari itu adalah munculnya anggapan bernada setereotyping, subordinasi dan marginalisasi ilmu-ilmu umum. Opini umum kaum muslimin mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama (ulum al din) adalah ilmu-ilmu yang harus diutamakan karena akan mengantarkan kepada keselamatan hidup di akhirat yang penuh bahagia, sementara ilmu-ilmu umum (ulum al dunya) dianggap sebagai ilmu-ilmu sekuler yang bernilai rendah.
Meskipun sejumlah pemikir muslim sesudah al Ghazali, seperti Ibnu Rusyd berusaha membangkitkan kembali rasionalisme, akan tetapi ternyata tidak mampu menandingi kebesaran pengaruh al Ghazali. Sayyed Hosen Nasr, mengatakan :”lepas dari apakah ini baik atau buruk, kehidupan intelektual kaum muslimin sejauh ini selalu mengikuti arah yang telah dirumuskan oleh al Ghazali sekian abad yang lalu”.
Pendeknya seluruh wilayah keilmuan Islam, terutama yang berkembang dan masih dipertahankan dalam sistem pendidikan di Pondok Pesantren akhirnya tetap berada dalam kerangka keilmuan klasik-tradisional yang menekankan pada kajian-kajian keilmuan Islam melalui metodologi tekstualistik dan mistis. Dan atas pengaruh ini, kemudian ada adagium yang mendefinisikan ilmu sebagai “ma yu’raf wa yutqan”, sesuatu yang diketahui dan dikukuhkan. Keilmuan Islam untuk selanjutnya mengalami proses sakralisasi (“taqdis al afkar al diniyah”), sakralisasi pemikiran keagamaan dan mistifikasi. Produk-produk ilmiyah berikut metodologinya seakan-akan tidak boleh disentuh, dirubah dan diterobos, tanpa sebuah kesadaran penuh bahwa watak ilmiyah sesungguhnya adalah menerobos dan dinamis.
F.Kesimpulan
Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Namun mengalami penataan yang lebih bagus tatkala dibawa oleh Abu Hasan Al-Asyari. Sunni ini mengalami kejayaan dimasa Bani Abbasiyah dan menjadi teologi Negara dengan didukung oleh berbagai tokoh. Mengalami kekokohan teologi ketika dibela mati-matian oleh Al-Ghazali. Kemudian, teologi ini menjadi besar hingga sekarang ini.

Daftar Pustaka

Nasr Abu Zaid, Kritik terhadap Ulumul Quran, Yogyakarta: LKIS, 2001
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2006
http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/429-mengambil-kembali-keilmuan-islam-yang-hilang.html
http://www.facebook.com/topic.php?uid=152606826624&topic=14653
(http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/pemikiran_politik_sunni_masa_abbasiyah.single?seemore=y)

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*