Minggu, Juli 24, 2011

Amuk

Amuk Massa Karena Tuah Telah Musnah

Terjadinya Amuk Massa yang belakangan ini marak menghiasi berita di televisi, baik berupaa pembakaran bus antar kota, bus Trans Jakarta, bus mini Kopaja, mobil pribadi yang menabrak warga, saling serang antar warga kampung, “perang” antaran Satpol PP dengan massa yang menentang penggusuran makam Mbah Priok, tawuran antar mahasiswa, dan aksi-aksi amuk massa lain menjadi pokok perbincangan para sufi di teras musholla pesantren. Pasalnya, warga kampung yang anak-anaknya menjadi sopir merasa cemas membayangkan kemungkinan anak-anak mereka menjadi sasaran amuk massa. Itu sebabnya, warga ganti-berganti menghadap Guru Sufi meminta anak-anak mereka didoakan agar selamat dan terhindar dari kemungkinan buruk menjadi korban amuk massa.

Beda dengan harapan warga kampung yang menginginkan keselamatan anak-anak mereka, para sufi justru membincang fenomena Amuk Massa itu sebagai sebuah keniscayaan yang makin lama akan membesar dan meluas skala dan frekuensinya. Salah satu hal yang dijadikan pokok bahasan adalah isu dan alasan yang beragam yang melatari pecahnya Amuk Massa belakangan ini, yang sering dipicu kasus-kasus remeh-temeh. Guru Sufi yang membincang soal amuk massa di era Orde Baru menjelang akhir kejatuhan Soeharto, menunjukkan isu dan alasan yang dengan mudah dapat dicermati dan dicari pangkal pemicunya,”Dalam Amuk Massa yang memicu kerusuhan di Purwakarta (1995), Pekalongan (1995), Jakarta (27 Juli 1996), Situbondo (1996), Tasikmalaya (1996), Sanggau Ledo (1997), Tanah Abang Jakarta (1997), Rengasdengklok (1997), Banjarmasin (1997) yang berpuncaknya pada Perisitiwa 13-15 Mei 1998 di Jakarta, yang melebar ke Bandung, Solo, Medan dan Palembang, isunya berkaitan dengan teori Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization yang memprediksi betapa pasca runtuhnya komunisme yang akan terjadi adalah benturan peradaban Barat yang diwakili Kristen – White Anglo-Saxon Protestant dan peradaban Timur yang diwakili Islam dan Konfusius. Ada skenario global yang dirancang untuk menata ulang tatanan dunia pasca runtuhnya komunisme. Tapi amuk massa yang pecah sekarang ini, isu dan latarnya beragam seperti pertikaian antar kampung, permusuhan antar siswa sekolah, ketersinggungan mahasiswa antar fakultas, ketidak-puasan terhadap pejabat publik, peradilan, kepolisian, perebutan tanah antara warga dengan TNI, antara warga dengan perkebunan, kisruh pemilihan kepala daerah, dan lain-lain.”

“Saya pernah dengar orang cerita kalau berbagai amuk massa itu sebenarnya hanya rekayasa pihak intelijen saja, Mbah Kyai,” kata Dullah ingin penjelasan,”Bagaimana dengan pandangan ini, Mbah Kyai?”

“Silahkan saja orang berteori sesuai alur pikirannya,” sahut Guru Sufi serius,”Yang pasti, lepas dari adanya unsur rekayasa, bangsa kita memang punya latar sejarah lama dengan fenomena sosial yang disebut Amuk. Asal tahu saja, istilah itu adalah istilah khas Nusantara yang sudah dikenal oleh orang-orang asing yang pernah datang ke sini pada jaman lampau.”

“Itu benar adanya,” sahut Sufi Sudrun menyela,”Di dalam Ensiklopedia Psikologi, tegas disebutkan bahwa di dalam etnis Melayu yang termasuk sebagiannya adalah orang Indonesia fenomena “amok” ditegaskan menjadi ciri khas – karena fenomena itu tidak didapati pada masyarakat Barat. In a typical case of running amok.”

“John Crawfurd yang ke Nusantara pada paruh kedua abad ke-19 menuliskan dalam The Malay Archipelago (1869) tentang jiwa pendendam penduduk Nusantara, yang sering melakukan AMOK yang dipicu oleh ketidak-adilan dan ketidak-baikan pemerintah. “Amuck means generally an act of desperation, in which the individual or individuals devote their lives, with few or no chances of success, for the gratification of their revenge,” kata Guru Sufi menjelaskan. Sebentar kemudian dilanjutkan,”Bahkan Diogo do Couto yang datang ke Nusantara tahun 1526-1527, dalam Decadas da Asia menyaksikan bagaimana orang Jawa yang melakukan Amoucos (amuk) menyerang musuhnya sampai kena meski tubuhnya ditikam tombak berulang-ulang.”

“Berarti amok akan sering terjadi kalau penduduk merasa tertekan oleh ketidak-adilan dan ketidak-baikan pemerintah yang berkuasa, begitu Mbah Kyai?” tanya Dullah.

“Kayaknya Amuk memang memiliki hubungan korelasional dengan pemerintah yang sudah tidak memiliki legitimasi lagi di mata masyarakat,” kata Guru Sufi.

“Maaf Mbah Kyai,” sahut Sukijan menyela,”Hubungan korelasional Amok dengan pemerintah yang tidak legitimated itu bagaimana?”

“Itu sulit dijelaskan,” sahut Guru Sufi memaparkan,”Yang pasti sejarah mencatat, ketika Majapahit runtuh ditandai kerusuhan akibat Amuk Massa ketika balatentara Kediri membawa penduduk rame-rame menyerbu ibukota. Bukan hanya pejabat-pejabat tinggi dan aparat kerajaan dan abdi yang dimangsa amarah massa, bahkan Maharaja Kertabhumi pun hilang dalam kerusuhan yang ditandai Candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi. Itulah sebabnya, lokasi pasti bekas ibukota Majapahit tak bisa ditemukan karena rata dengan tanah. Amuk massa pada zaman akhir Demak, juga menjadikan sisa-sisa kerajaan itu hilang tertelan bumi. Begitu juga Pajang. Kartosuro juga rata dengan tanah. Bahkan sewaktu kompeni berkuasa mendampingi penguasa-penguasa lokal, amuk massa sering menjadi penanda terjadinya perubahan sosial yang ditandai pemberontakan-pemberontakan.”

“Itu benar adanya,” sahut Sufi Sudrun menimpali,”Kalau kita baca Coloniaal Archive antara tahun 1800 – 1900, yakni rentang waktu satu abad, terjadi 112 kali pemberontakan yang ditandai Amok Massa.”

“Apakah pemerintah colonial waktu itu juga tidak legitimated di mata rakyat, Mbah Kyai?” tanya Sukijan.

“Yang pasti seperti itu, karena kepemimpinan Belanda yang Barat memang beda dengan kepemimpinan Timur yang khas Nusantara,” kata Guru Sufi.

“Apa yang khas dari kepemimpinan Nusantara, Mbah Kyai?” Tanya Dullah.

“Seorang pemimpin baru diakui keabsahannya, jika memiliki tuah, yakni kekuatan kharismatik bersifat gaib yang hanya dimiliki oleh seorang Ratu atau Dhatu. Jika seorang pemimpin tidak lagi memiliki tuah, karena otak dan jiwanya dipenuhi benda-benda dan nafsu rendah duniawi, maka dia berada dalam keadaan panten (rendah, hina). Maknanya, orang semacam itu tidak bisa lagi menjadi pemimpin manusia karena mereka itu kedudukan ruhaninya tidak jauh berbeda dengan begal, maling, rampok, tukang copet, rentenir, pengutil, dan penipu hina,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Subhanallah,”sahut Dullah mengelus-elus dadanya,”Selama menonton berita-berita di televisi, saya sering lihat hakim-hakim menjatuhkan vonis diprotes dan dilawan orang yang berperkara. Pernyataan petinggi polisi dan tentara tidak diindahkan penduduk. Statemen wakil rakyat dilecehkan warga. Bahkan pernyataan para pemimpin tinggi Negara pun dijadikan bahan kritik dan kecaman oleh berbagai kalangan, termasuk tidak diindahkan oleh pejabat di bawahnya. Rupanya, hampir semua orang di negeri ini, sekarang ini sudah kehilangan tuah. Kehilangan kharisma. Semua ibarat keris pusaka yang sudah kehilangan tuah; keris tidak bertuah karena tanpa yoni!”

“Ya itulah resiko memimpin sebuah negeri yang dihuni bangsa yang meyakini kekuatan gaib tuah dan kharisma, yang tidak cukup memadai diatur oleh pemimpin yang menganut sistem kepemimpinan Barat yang paganistik dan sekedar penuh pencitraan-pencitraan bersifat lips service saja,” kata Guru Sufi.

“Alamaak, berarti Amuk Massa nanti, makin lama akan semakin marak dan meluas ya Mbah Kyai?” tanya Dullah dan Sukijan hampir berbarengan,"Dengan jumlah korban bertambah banyak, tentunya, ya Mbah Kyai."

“Wallahu ‘alam bishawab!” sahut Guru Sufi bersiap-siap akan masuk ke musholla,"Tapi mudah-mudahan tidak diikuti penjarahan-penjarahaan massal."

"Lho Mbah Kyai, saya justru mengharap ada penjarahan," sahut Sukijan cengingisan,"Karena saya sudah mengincar rumah kepala sekolah di kampung sebelah yang sekarang menjadi OKB - Orang Kaya baru!"

"Ah pikiranmu itu ngeres, ayo cuci bersih dengan ibadah!" sahut Guru Sufi masuk Musholla

Oleh Agus Sunyoto

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*