Pada saat membincang kasus polisi di Bima dibunuh santri, Sufi tua mendapat telepon dari Johnson, keponakannya yang menjadi aktivis LSM di ibukota. Dengan rasa penasaran Johson menanyai ini dan itu seputar fenomena ekstrimitas santri yang tanpa hujan dan tanpa angin citra dirinya tiba-tiba berubah menjadi seram dan menakutkan. Santri yang selama ini dikenal agak kuper, penurut, lugu, kolot, dengan sarung, kopiah dan bakiaknya, tiba-tiba berubah menjadi monster menyeramkan. “Ini fenomena apa, pakde, apa pertanda pesantren akan jadi sarang teroris?” tanya Johnson keras sampai suaranya terdengar oleh para sufi yang duduk di teras musholla.
“Siapa bilang santri berubah jadi monster?” teriak Sufi tua menolak simpulan Johnson,”Apa kamu tidak melihat seragam khas yang dipakai santri pembunuh polisi itu? Apa kamu tidak melihat bagaimana para ustadz dan santri di pesantren Musailamah itu seragamnya? Jangan terlalu cepat mengambil simpulan sebelum tahu benar seragam yang digunakan orang yang mengaku santri.”
“Apa pakde, seragam?” seru Johnson tertegun,”Memangnya santri pakai seragam?”
“Ya pasti toh,” sahut Sufi tua ketawa terkekeh,”Kalau santri bener, pasti pakai seragam khas berupa sarung, baju takwa, peci, bakiak atau sandal jepit. Nah kalau santri gadungan, seragamnya celana cingkrang di atas mata kaki, kopiah putih, kening hitam bekas dibentur-benturkan ke lantai, kumis dicukur klimis, janggut menggantung.”
“O iya pakde, pesantren Musailamah di Bima itu pakai seragam yang kedua, berarti mereka itu santri gadungan ya pakde. Kenapa bisa disebut gadungan pakde? Kenapa pula pesantrennya disebut pesantren palsu?” seru Johnson ingin tahu.
“Disebut santri gadungan dan pesantren palsu, karena identitas itu sengaja dipakai untuk menjalankan skenario yang dirancang kapitalisme global, sesuai yang sudah ditulis Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization,” kata Sufi tua dengan suara tinggi.
“Bagaimana pakde bisa simpulkan pesantren Musailamah itu sebagai palsu dan santri itu sebagai santri gadungan?” tanya Johnson ingin tahu.
“Lho kamu pikir istilah pesantren itu dari bahasa Arab?” sahut Sufi tua menjelaskan asal-usul sebutan santri dan pesantren,”Itu istilah Jawa asli yang dipungut dari istilah lembaga pendidikan Hindu-Buddha. Lembaga itu disebut Dukuh, sedang penghuninya yaitu siswa-siswa yang belajar di Dukuh disebut sebagai sashtri, yaitu orang yang mempelajari sashtra (kitab suci). Untuk membedakan siswa-siswa beragama Hindu-buddha yang sering disebut sashtri, maka siswa-siswa yang beragama Islam disebut santri. Dan tempat para santri bukanlah dukuh, melainkan pe-santri-an yang dilafalkan pesantren. Begitu ceritanya.”
“Woo begitu ya ceritanya,” gumam Johnson terheran.
“Nah sekarang, masuk akal tidak orang-orang berfaham Wahafi-Salabi al-Badui membangun lembaga pendidikan dengan memungut nama Hindu-buddha? Masuk akal tidak, penganut Wahafi-Salabi Al-Badui merelakan dirinya disebut sebagai santri, yaitu istilah agama lain yang menurut mereka akan masuk neraka?” tanya Sufi tua.
“Woo bener juga pakde,” sahut Johnson menggerutu,”Mana mungkin orang suci ahli surga mau merendahkan diri dengan memakai gelar yang berasal dari agama non-muslim, santri?”
“Kalau sudah begitu, jangan gampang menyimpulkan kalau sekarang ini santri sudah berubah dari citranya yang khas gara-gara ada santri gadungan membunuh polisi,” kata Sufi tua.
“Bagaimana pakde bisa yakin kalau santri asli tulen sejati tidak akan pernah bisa menjadi orang ekstrim?” tanya Johnson ingin tahu.
“JASMERAH, wasiat Bung Karno, yang bermakna Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Jadi keyakinanku itu atas dasar pengalaman sejarah.Maksudnya, sejak Proklamasi dikumandangkan Soekarno-Hatta yang dilanjutkan pembentukan Negara Kesatuasn Republik Indonesia pada Agustus 1045, sampai sekarang ini santri dan pesantren tidak pernah melakukan pengkhianatan. Maksudku, fakta sejarah menunjuk, tidak pernah ada santri atau pesantren yang terlibat gerakan makar terhadap republik tercinta ini,” kata Sufi tua.
“Apa iya begitu pakde?” sahut Johnson tidak terima,”Bukankah pernah terjadi pemberontakan DI/TII yang melibatkan kalangan santri?”
“Semprul temen arek iki, asal ngomong gak faham sejarah,” sahut Sufi tua menggerutu, ”DI/TII itu tidak ada hubungannya dengan pesantren dan santri. Soalnya, tokoh tertinggi DI/TII yang bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu bukan santri dan sekali-kali bukan orang didikan pesantren, melainkan orang didikan kampus dari fakultas kedokteran di Surabaya. Kahar Muzakkar pun bukan santri, melainkan orang didikan sekolahan dari mualimin Yogya. Sementara santri-santri asli didikan pesantren seperti Kolonel Kyai Iskandar Sulaiman, Kolonel Kyai Munasir Ali, Kolonel Kyai Sulam Samsun, dan tokoh-tokoh militer berlatar pendidikan pesantren seperti Kyai Zarkasi, Kyai Syam’un, Kyai Yunus Anis, Kyai Duryatman, dll berada di pihak NKRI. Asal kamu tahu, sejarah mencatat para kyai berlatar pendidikan pesantren, ikut membidani lahirnya TNI sejak BKR, TKR, TRI sampai TNI.”
Johnson terdengar ketawa terbahak-bahak,”Para kyai ikut membidani lahirnya TNI? Aneh bin ajaib, pakde. Mana mungkin santri bisa ikut membidani lahirnya TNI? Lhawong daftar tentara itu saja ijazahnya pesantren tidak laku.”
“Semprul temen arek iki, dasar gak ngerti sejarah,” sahut Sufi tua dengan suara ditekan tinggi,”Kamu harus tahu le, waktu Oktober 1943 Saiko Sikikan selaku pimpinan tertinggi Dai Nippon di Indonesia membentuk satuan para militer yang disebut Pembela Tanah Air disingkat PETA sejumlah 60 batalyon. Nah, dari 60 batalyon itu, yang 20 batalyon dipimpin oleh 20 orang kyai yang berpangkat Daidancho (mayor). November 1944 Dai Nippon membentuk lagi satuan paramiliter khusus muslim yang disebut Hizbullah di mana dari Hizbullah itu terbentuk satuan-satuan paramiliter dengan komandannya di daerah-daerah. Jadi saat Indonesia butuh tentara, yang maju ke depan sekali adalah PETA dan Hizbullah diikuti bekas Heiho dan KNIL serta anggota masyarakat. Itu sebabnya, kenapa pesantren terus-menerus membela NKRI dalam keadaan apa pun dan bagaimana pun.”
“Jadi pakde?”
“Kalau ada yang mengaku santri lalu mengacau negara apalagi jadi teroris yang membunuh aparatur negara, bisa dipastikan itu adalah santri palsu. Mereka menggunakan istilah santri dan pesantren, untuk memuluskan skenario Samuel Huntington tentang kemunculan kekuatan Islam yang akan menjadi musuh bagi Barat yang diwakili White Anglo Saxon Protestant. Jadi cukup menggunakan istilah pesantren dan santri, mereka yakin telah bisa mengklaim bahwa seluruh umat Islam Indonesia yang mayoritas adalah ahlussunnah wal-jama’ah adalah ekstrim dan teroris. Mereka ahistoris. Tidak tahu sejarah. Jadinya, siasat licik mereka sia-sia. Tidak ada satu pun pesantren dan santri yang berfaham ahlussunnah wal jama’ah mau membela bahkan sekedar mau mengakui kelompok Wahafi-Salabi Al-Badui itu sebagai bagian dari saudara mereka.”
“Woo begitu tah pakde,” sahut Johnson senang,”Sekarang faham saya kalau ternyata sekarang ini lagi musim kemunculan pesantren palsu dan santri gadungan. Ya palsu dan gadungan. Karena sepanjang sejarah, ternyata tidak ada pesantren dan santri berpaham selain ahlussunnah wal-jama’ah.”
(Agus Sunyoto)
Minggu, Juli 24, 2011
Pesantren Palsu Santri Gadungan
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Tasawuf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar