Sabtu, Juli 18, 2009

Neo Liberal, Neo Kapitalisme


Rabu malam kamis, saya di undang oleh MTs Sunan Ampel Desa Jiyu Kotorejo untuk mengisi kegiatan LDKS dengan ISQ. Jalan-jalan yang kulalui begitu menarik perhatianku. Pasalnya sebelum masuk desa Jiyu banyak berdiri pabrik-pabrik besar. Tetapi yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya adalah sebuah pabrik besar yang berdiri kokoh berada di kiri jalan. Pabrik itu adalah pabrik bir. Subhanallah. Dalam benakku aku bertanya, kok bisa ya, pabrik bir itu bisa berdiri di Mojokerto???. Padahal rumah ketua MUI-nya tidak jauh dari tempat itu. Terlebih, bupatinya dulu juga seorang kyai?????? Kyai-kyainya kemana ya?????ustadnya mana ya???? Apa giginya sudah ompong semuanya???? Astaqfirllah. Beberapa teman yang aku ajak diskusi mereka hanya bisa menjawab “oh itu sudah melibatkan skenario besar, mas Isno?” “kok bisa begitu?” aku bertanya. “Ya, bisa. Apa yang tidak bisa di Negara kita ini. Kalau urusannya sudah uang, maka semuanya bisa dibolak-balik”. “masa kyai dibeli” tandasku. “sekarang ini kyai sudah ada harganya” “oh begitu”. Aku manggut-manggut. Setelah aku pikir-pikir benar juga kata temanku ini. Sekarang ini, semuanya sudah dikuasai oleh dunia materi. Uang menjadi segala-galanya. Mau kencing memakai uang, mau berak pakai uang, mau bicara pakai uang, mau bernafas pakai uang, bahkan mau kentut pun pakai uang. Jangankan yang masih hidup, mati pun harus memakai uang. Mungkin benar kata Pak Bambang Sudarmanto, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pancasila sila pertama sekarang ini telah diganti menjadi “ Keuangan Yang Maha Kuasa”. Uang berkuasa di atas segala-galanya. Dalam realitasnya memang begitu, bukan? Untuk menjadi bupati, seseorang tidak perlu banyak mengambil uang dari bank pribadinya. Cukup dia bisa melobi pengusaha-pengusaha kaya untuk membiayai dirinya. Tentunya, dengan kongkalikong, “jika kamu nanti menjadi bupati, tolong sekian persen proyek aku yang nangani”. Sang calon bupati yang sudah kebelet menjabat bupati setuju saja, karena kepentingannya hanya menjadi bupati. Sang pengusaha, “siapa saja yang mau ke saya, akan saya biayai asal semua proyek aku yang menguasai, entah kamu Islam, Atheis, jelek, ganteng, NU atau Muhammadiyah, yang penting bisnisku untung besar”. Setelah calon bupati benar-benar menjadi bupati, maka sang bupati didekte oleh sang pemegang modal. “cara membangun daerahmu itu begini lho, le”. “Inggih bos”. Akhirnya semua kebijakan-kebijakannya diarahkan untuk kepentingan-kepentingan pemodal-pemodal besar dengan mengindahkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Ini baru bupati, belum gubernur, belum presiden. Iya kalau satu bupati???? Kalau banyak? Iya kalau satu gubernur? Wong gubernurnya banyak?? Iya kalau satu Presiden?????kalau presidennya banyak??? Ini lho yang namanya neo-liberal, neo-kapitalisme. Penyakit ini sudah melanda negeri ini disemua lini. Dalam pendidikannya pun sudah terkena pendidikan kapitalis. Untuk masuk ke sekolah negeri, orang tua harus siap-siap merogoh kocek tinggi, jika anaknya, danemnya kurang bagus. Pihak sekolah, karena ada stimulus berupa fulus banyak, maka mereka akan mengatakan “monggo-monggo, mau kelas ekonomi, atau mau kelas VIP, harganya terlampir”. Sekolah akan lebih manut jika yang menyuruh memasukkan siswa lewat jalur belakang itu big bosnya. Sekolah akan manut walau banyak hal yang menyalahi aturan. Bukankah aturan itu untuk dilanggar.....he...he.....kalau tidak ada aturan mungkin tidak ada yang melanggar. Semua aturan yang ditata baik-baik itu tidak bisa berkutik bila “Keuangan Yang Maha Kuasa” bicara. Dalam agama, juga ada kapitalisme agama. KBIH, Travel-travel dan bisnis-bisnis lainnya yang mengatasnamakan agama seringkali menipu umatnya demi “Uang”. Sekali lagi disinilah neo-liberalisme dan neo-kapitalisme berperan. Sungguh sebenarnya kapitalisme lebih berbahaya dari sosialisme, karena ia masuk dalam ranah kesadaran tanpa sadar. Kyainya tidak sadar, ustadnya tidak sadar kalau mereka sedang dikibuli sama kapitalisme. Sebenarnya,.saya setuju dengan gerakan Rizal Ramli, untuk menghadang neo-liberal yang telah bercokol sekian lama di negeri Indonesia dengan merubah paradigma dalam perekonomian. Namun aku kurang setuju jika gerakannya hanya masih pada tataran omong doank. Kita perlu gerakan besar untuk menghapus neo-liberal khususnya mentalitas masyarakat kita yang telah dibentuk dan terbentuk. Perlu perubahan paradigma pada seluruh kesadaran semua lapisan masyarakat dan juga perlu penataan sistem lewat kekuasaan. Namun gerakan yang mungkin bisa dilakukan kecil-kecilan adalan merubah paradigma manusia terhadap “dunia” itu sendiri. Bukankah sudah jelas apa yang diperdengarkana oleh para sufi, bahwa jangan terlalu mengukur segala sesuatunya dengan “dunia”. Karena kebahagiaan itu tidak hanya diukur dari seberapa banyak mereka mendapatkan benda. Namun seberapa besar kita mengaktualisasikan nilai ke-Tuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Kyai tujuannya adalah mendidik umatnya, bukannya memeras umatnya, bukannya tempat minta restu mendirikan pabrik atau merestui calon politik. Ustad, guru tugasnya mendidik bukannya melakukan politisasi pendidikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Politisi tugasnya untuk mengemban amanah kepemerintahan yang demokratis bukannya tawuran dan gontok-gontokkan memperebutkan kekuasaan dan uang. Polisi tugasnya melindungi, bukannya berperan dalam pungli. Hakim tugasnya memberi keadilan bukannya “Maju tak Gentar membela yang membayar”. Bukankah indah itu semuanya daripada segebok uang tetapi ujung-ujungnya memakan tulang saudaranya sendiri?????.

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*