Jumat, Juli 31, 2009

Guru Bayaran


Engkau Patriot Pahlawan Bangsa
Membangun Insan Cendekia

Perubahan pada syair terakhir lagu “ Hymne Guru “, yang semula “ Tanpa Tanda Jasa “ menjadi “ Membangun Insan Cendekia “, ini tidak begitu menarik perhatian saya pada awalnya. Biasa saja. Hanya sekedar perubahan kecil yang dilakukan untuk suatu kebijakan tertentu. Tapi kemudian saya tercenung. Kenapa harus diubah segala? Bukankah ini lagu nasional? Aneh.
Menurut saya pribadi, lagu Hymne Guru yang berbunyi “Engkau Patriot Pahlawan Bangsa, Tanpa Tanda Jasa “ seharusnya memang begitulah seorang guru. Guru yang ikhlas mau mendidik murid-muridnya. Guru yang tidak mengharap imbalan apa-apa untuk melakukan transformasi ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan. Guru yang bisa ngemong. Guru yang bisa nggendong. Guru yang bisa dadi bocah angon mengembalakan kebodohan menuju ladang kepandaian. Guru yang bisa menjadi tangga, yang menghantarkan murid-muridnya untuk menuju tangga yang lebih tinggi atau maqom yang lebih tinggi. Maka wajar jika guru dikatakan pahlawan tanpa tanda jasa, karena apa saja yang digunakan untuk membalas kebaikannya dalam menebarkan benih ilmu tidak bisa dihargai hanya dengan tumpukan uang.
Namun, dalam pandangan saya sebagai seorang siswa, saya banyak menemukan ketidak konsistenan peran guru sekarang ini. Ketidakkonsistenan itu saya lihat dari pengabdian mereka yang tidak memperlihatkan diri mereka sebagai seorang pahlawan tanpa jasa. Mereka mengajar karena memang mereka dibayar. Jika tidak dibayar mereka tidak mau mengajar. Jika gajinya sedikit mereka akan berunjuk rasa, Nah!!!!!!.
Ada saya temui, seorang guru nyambi bisnis. Saking sukses bisnisnya sampai-sampai dia lupa kewajiban dirinya, mengajar siswa-siswinya. Siswa yang ditinggalkan, tentu bosan dengan suasana jam kosong terus menerus. Akhirnya siswanya membuat onar. Namun karena membuat onar akhirnya mereka yang dihukum. Kesalahan-kesalahan ditumpahkan kepada siswanya. Tidak pernah mereka menumpahkan kemarahan kepada dirinya yang tidak mengajar atau menjadikan jam kosong?
Lebih parah, ada guru yang dengan tega memeras para siswanya untuk memuaskan nafsu duniawi mereka. Dengan cara memberlakukan sistem suap-suapan khususnya pada awal tahun ajaran baru. Siswa yang tidak memiliki kualifikasi danem tinggi bisa masuk melalui jalur tikus. Tentunya dengan membayar sejumlah fulus yang sesuai dengan kesepakatan. Dengan kata lain, Asal ada banyak uang, nilai dan otak menjadi pertimbangan ulang. Lalu, bagaimana nasib siswa yang kurang pintar dan kurang beruang? Ada sebuah novel berjudul “ Orang Miskin Dilarang Sekolah” mungkin judul itu menggambarkan kondisi pendidikan itu sekarang. Orang miskin dilarang pintar. Orang miskin dilarang cerdas. Kalau begitu sama saja dengan sistem hukum rimba dong? Memang. Tapi kalimatnya diubah. Bukan lagi yang kuat yang berkuasa, tapi berubah menjadi yang kaya yang berkuasa. Orang-orang yang aneh. Menyamakan diri sendiri dengan binatang.
Terbesit pula sebuah pertanyaan dalam otak saya. Jika proses awal menuntut ilmu sudah nggak bener, bagaimana hasilnya? Apakah ilmu yang mereka peroleh benar-benar murni? Ke realita saja. Dimulai dari guru yang tak lagi menjaga kesucian dalam mengamalkan ilmu, sistem yang tak lagi bersih dalam mencari calon-calon penerima ilmu, dan siswa sendiri yang mau mengotori diri dengan menghitamkan proses pencarian ilmu, apakah ilmunya masih bersih? Hanya hati dan pikiran yang terbuka saja yang dapt menjawabnya.
Sadar atau tidak, dampak dari pengotoran tersebut sangat besar. Ilmu yang mereka dapat tak lagi barokah. Lha, bagaimana mau barokah? Wong prosesnya saja kotor. Akhirnya, siswa-siswa pun belajar dengan cara kotor pula. Nyontek dan ngerpek menjadi jalan pintas untuk mendapat nilai baik. Dan terkadang cara seperti ini dihalalkan oleh sistem sekolah. Karena dari awal sudah diajari korup kecil, begitu ditempatkan dimasyarakat ia akan melebarkan sayapnya menjadi korup besar. Proses kotor, ilmu kotor, dan hasil yang kotor pula.
Dari sini aku menjadi mengerti kenapa lagu itu berubah menjadi guru membangun insan cendekia, tidak menjadi pahlawan tanpa jasa. karena guru memang telah berubah dengan fungsinya. Guru berfungsi membangun. karena membangun maka butuh dana. karena dimanapun sesuatu usaha membangun itu perlu dana. kalau dananya besar maka diperlukan proyek besar. karenanya tidak heran ada proyek buku, proyek bangunan sekolahan, proyek pengadaan barang, proyek Bos, Proyek Bom, dll. Ya begitulah!!!!! aku menjadi berpikir-pikir untuk menjadi guru kelak. Kata gurunya Pak Isno, Janganlah menjadi pegawai negeri jadilah pegawainya Alloh. Mungkin saya akan mengikuti ke sana.
Ya, tetapi kalau memang Alloh menaqdirkan saya menjadi guru. sedikit asa untuk memperbaikinya akan kugunakan seluruh hidupku untuk memperbaikinya. kita harus bangkit dari keterpurukan bangsa ini.Kita jaga diri kita dari kotoran-kotoran yang saya sebutkan tadi. Yang paling utama, kita bersihkan ilmu kita. Kemudian kita amalkan agar nantinya menjadi berkah. Barokallah….

Ditulis oleh :
Rochmatul (Anggota Genk SKI)

1 komentar:

Muse mengatakan...

alhamdulillah...
ternyata bisa nyumbang tulisan juga...

semoga tulisannya terus berlanjut...
jangan berhenti nulis untuk kebaikan umat...

sip tulisane...
reneb-reneb...

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*