Sabtu, Agustus 01, 2009

In The Name Of Love


Salah seorang murid pernah bertanya kepada saya (pertanyaannya saya sajikan dalam bahasa saya sendiri) “Pak, bagaimanakah hukumnya orang yang sudah beristri kemudian pacaran”. Sebuah pertanyaan yang lugu tetapi jujur. Jujurnya karena yang ditanyakan banyak terjadi dimasyarakat. Saya menjawab “ pacaran dengan siapa? Kalau dengan istrinya sendiri kan tidak apa-apa”. “Pacaran dengan orang lain, pak!”. “Istrinya tahu tidak kalau suaminya pacaran” aku bertanya kembali. “tidak tahu pak, tapi meskipun pacaran kan tidak sampai zina pak!!!!!!! Berarti tidak berdosa!!!!!” jawabnya. “kalau istrinya tahu, ridlo tidak istrinya mendapati suaminya pacaran?” muridku ini mulai berpikir-pikir “Ya tidak ridlo, tapi hukumnya sendiri kan si suami tidak zina, pak!!!!! Dia tidak berdosa kan, pak???? Berarti boleh, kan pak!!!! Apa ada dalilnya yang tidak memperbolehkan???” aku tercengung tapi tetap dengan bahasa yang elegan untuk meluruskan pola berpikir “kita berpikir sehat dulu sebelum dalil, dengan akal sehat saja kita sudah bisa menjawab, jawabnya begini, kalau si istrinya pacaran dengan orang lain meskipun tidak berzina, bagaimanakah perasaan suami?” “Ya, marah tentunya”jawab muridku. “Itulah jawabannya” tegasku. Mendengar jawabanku ini muridku ini manggut-manggut mengerti. Kasus yang sama, tetapi itu dari sudut si pihak ketiga, saya pernah dicurhati salah satu family, yang bertanya, “Is, bagaimana cara menikah untuk istri kedua yang kira-kira bisa diakui oleh pemerintah sekaligus agama?” “Ya, sampean minta surat persetujuan dari istri pertama, mintalah pernyataan yang bermeterai, kemudian urus surat-surat pernikahan sebagaimana sampean dulu menikah?” (Kebetulan family saya ini janda). “Tapi saya takut, is!!!” “Memang selama ini belum pernah bertemu??? Calon sampean itu benar-benar serius tidak mau menikahi sampean, apa pernah sampean dikenalkan kepada istri pertama??” aku memberondong pertanyaan, dia menjawab “belum pernah”. “Katanya sudah mau menikah kok belum dikenalkan sama istri pertama, apa benar-benar serius kalau begitu, terus, apa pakde (wali) sudah menyetujui sampean menjadi istri kedua?” “Belum is, aku masih takut”. Aku menjawab “ mbak-mbak mau menikah kok tidak serius, kalau serius minta restu sama orang tua dulu, terus dengan istri pertama calon sampean, kalau tidak disetujui jangan dilanjutkan, jangan sampai bahagia diatas penderitaan orang lain”. “Tapi aku sudah terlanjur cinta dan sayang sama dia, is” dia memelas. “wadoh-wadoh, sampean kudu mikir, bagaimana perasaan seorang istri yang ditinggal suami yang menikah dengan wanita lain, bagaimana perasaan sampean sendiri kalau dibegitukan”, “Iyae, is, tapi……….”. Kawan!!!!!! Tahukah kalian bahwa fenomena perselingkuhan, istri kedua, pihak ketiga, MBA dll sudah banyak menggejala dikalangan masyarakat kita. Lagi-lagi atas nama cinta. Atas nama cinta telah menghalalkan segalanya. Bahkan orang yang sudah beristri sekalipun atas nama cinta mereka tega melakukan pengkhianatan janji suci pernikahannya. Atas nama cinta orang siap dijerat oleh keadilan cemoohan masyarakat. Saya melihat banyak orang beristri dua bukan lantaran dia menjalankan perintah Alloh sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 3 “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”, tetapi lebih karena di nafsu belaka. Mereka beristri dua lantaran nafsu cinta melihat kecantikan calonnya atau ia ia ingin mencicipi cinta lain dari selain istrinya. Padahal dalam perintah berpoligami itu adalah bentuk solve of problem ketimpangan social dan ketidakseimbangan sosial antara laki-laki dan perempuan. Seorang muslim siap berpoligami dengan orang jelek atau wanita tua sekalipun karena dia menjalankan perintah Alloh untuk melindungi kaum wanita dari jeratan kelemahan hidup. Tidak didasari nafsu cinta tetapi didasari oleh empati tauhid dan social. Dalam An-Nisa ayat pertama kita akan melihat sebelum membahas tentang nikah, lebih dulu Alloh menegaskan “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri. Artinya kita disuruh taqwa, tunduh, patuh untuk siap menjalankan perintah Alloh. Perintahnya Alloh berupa peduli kepada sesama. Karena ayat ini konteksnya adalah ketidakseimbangan social antara laki-laki dan perempuan ketika dizaman nabi, maka yang dipecahkan kala itu adalah ketidakseimbangan itu. Karenanya laki-laki diperbolehkan untuk menikah lagi. Untuk apa? Agar wanita-wanita yang ditinggal suami yang gugur dimedan jihad bisa dilindungi dan ditolong. Laki-laki siap menjalankan perintah Alloh untuk menanggung penderitaan perempuan-perempuan. Mereka kala itu tidak memandang wajah atau cinta tetapi yang didasari adalah perintah Alloh dan menjaga keseimbangan social.
Dalam surat an-Nisa ayat 3 ini ternyata perintah Alloh itu yang didahulukan. Karena di dalam perintah itu mengandung kewajiban. Makanya kita disuruh menikah untuk menjalankan kewajiban kita sebagai hamba dihadapan Alloh. Fakor kedua, keadilan itu ternyata yang didahulukan dan menjadi bahan pertimbangan. Jika tidak bisa adil maka tidak usah macam-macam untuk menikah lagi cukup, fawahidatan, satu saja.
Bukankah sekarang ini factor cinta itu didahulukan daripada pertimbangan ketahuidan kita kepada Alloh? Kita akan tercengah dengan sebuah fakta. Coba kita renungkan, Bukankah ada laki-laki berani menikah dengan sesama lelaki juga lantaran cinta????? Bukankah ada pernikahan incest, sesama saudara kandung berani menikah juga lantaran cinta? bukankah orang berani melepaskan keperawanan juga lantaran cinta? bukankah orang berani berkumpul dengan kebo, lantaran cinta? kalau begitu????????tetapi bukannya saya menolak cinta dalam membangun rumah tangga, tetapi cinta bukanlah segala-galanya. Ia hanyalah komponen dalam sebuah bangunan. Jika kita tertuju hanya pada satu komponen maka tentu bangunan itu akan sangat rapuh. Keseluruhan dari bangunan yang sangat kuat itu adalah ketahuidan kita kepada Alloh. Mencintai karena Alloh. Menikah karena Alloh. Pokoknya karena Alloh. Karena mencintai karena Alloh maka segala-galanya harus sesuai dengan kehendak Alloh, dengan ridlonya Alloh. Apa ketika kita bercinta ini Alloh ridlo, ndak? Kita selingkuh itu ridlo, nda???? Tanyakan dihatimu, bukan dinafsumu.
SMA 3 Jam 10.30
Isno Pas jadi Guru

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*