Rabu, Agustus 12, 2009

Mempertanyakan Nasionalisme Kita


Saya pernah bertemu dengan seseorang teman sewaktu diklat Guru Agama Se-Jawa Timur. Dia orang yang berbeda dengan guru agama lainnya. Karena dia berbeda prinsip 180 derajat dengan guru kebanyakan. Kita-kita guru agama ketika disuruh upacara kita manut sama pemimpin. Begitupun ketika kita (guru-guru) disuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya kita pun menyanyikan. Ketika disuruh hormat sama pemimpin, kita pun ikut. Tetapi teman satu ini tidak pernah mau sama sekali. Aku memperhatikan dia tatkala kami menyanyikan Indonesia Raya, dia cuma diam. Ketika semua orang hormat sama pemimpin dia pun diam tidak hormat. Begitupun ketika disuruh untuk upacara, ndak pernah ikut. Setelah berbicara dari hati ke hati dengan dia, dapat saya simpulkan bahwa menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah Bid’ah. Hormat sama bendera adalah syirik. Upacara adalah kesalahan dan dosa, barangkali. Aku hanya diam berusaha untuk memahami dia dengan berbagai logika-logika miring lainnya yang berbeda dengan kebanyakan kami. Dalam ketidaksetujuanku, aku bertanya dalam hati, kalau upacara itu haram, berapa banyak manusia diseluruh dunia ini yang akan masuk neraka???? Berapa banyak orang yang melakukan amaliah syirik jika hormat kepada bendera itu disyirik-syirikan?? Aku juga menjadi heran dengan dia, kalau toh dia tidak mau upacara dan tidak mau menyanyikan Indonesia raya atau bahkan mengkufur-kufurkan konsep Negara kita, kenapa dia mau menjadi pegawai negeri???? Pernah juga suatu saat saya didatangi seorang tamu yang mengajak berdebat tentang berbagai hal kehidupan umat Islam di dunia. Dia memaparkan tentang kebobrokan dan kemudian memberikan solusi berupa penegakkan khilafah di dunia. Dia mengkafir-kafirkan konsep demokrasi Indonesia. Mengkufur-kufurkan pemimpin yang tidak Islami. Aku diam, menghargai. Tetapi kemudian saya berbasa-basi bertanya, “Sampean kerja apa to mas? Kerja dimana?” dia menjawab, “Di Dinas Pariwisata Kabupaten”. Dalam hatiku aku terperangah “glodak”. Mengkafir-kafirkan kok tidak konsisten, begitu kata hatiku. Tidak mau demokrasi, tidak mau upacara, tidak mau hormat, tetapi kok mau gajinya pegawai negeri, he…he….mintanya enak’e dewe. Gajinya itu kan juga dari system yang dikufur-kufurkan itu. Karena berasal dari yang kufur (menurut dia) apa uangnya juga tidak kufur?? hayo!!!!! Sama seperti orang jualan babi, hasil dari penjualan babi itu ya menjadi haram, karena berasal dari barang yang telah diharamkan, bukankah begitu???.
Kembali ke topic. Sebenarnya dalam cerita saya di atas, saya hanya ingin mengungkapkan betapa banyak di kalangan kita, yang masih ambigu dalam menempatkan diri. Masih banyak dikalangan kita orang muslim belum sepenuhnya ber-nasionalisme. Mereka masih mengkafirkan Garuda Pancasila, Upacara, Bendera dll. Padahal itu semuanya symbol-simbol nasionalisme kita. Akhirnya ketika ada sesuatu yang mengancam bangsa Indonesia ini mereka hanya tenang-tenang saja. Ada bom adalah hal biasa. Karena mereka menganggap bom adalah bentuk Jihad. Bomber dikatakan syuhada’. Ada pemilu mereka tidak ngurus. Ada pilkada ndak ngurus. Ada pilbup, pilgub, pilcaleg, pilpres, semuanya ndak ngurus. Itu satu orang dua orang. Bagaimana kalau buanyak. Padahal organisasi mereka besar dan semakin besar. Maka tak ayal lagi, bahwa nasionalisme bangsa Indonesia ini masih perlu dipertanyakan ke depan????? Akankah Negara ini akan tetap ada selamanya??? Atau justru kita merindukan bentuk kerajaan???? Atau tidak berbentuk sama sekali.
Hari Ulang Tahun 17 Agustus hendaknya menjadi momen penting untuk re-instal terhadap nasionalisme kita. Karena ke depan nasionalisme semakin lama semakin banyak tantangannya. Apa itu nasionalisme? Bagaimana itu nasionalisme? Cara dan strategi apa agar masyarakat kita tetap memiliki jiwa nasionalisme???? Saya kira pemerintah perlu sosialisasi jelas untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Karena banyak orang yang masih salah dalam memahami nasionalisme. Saya pernah menemui orang-orang yang salah dalam memahami nasionalisme. Orang ini pernah bilang “jadi orang itu kalau bertemu dengan orang alim, ya kita ikut menjadi orang alim, memakai sarung dan kopyah. Ada tahlil iku tahlil. Istighosah ikut istighosah. Kalau ada teman mengajak remi (kartu) kita ikut saja. Mau minum (mendem) kita ikut. Biar kita ini bisa diterima dimana saja dengan orang. Saya ini wong nasional. Kemana-mana oke-oke saja”. Saya jadi bingung konsep nasionalisme kok begitu??? apa konsep nasionalisme yang digagas oleh Sukarno itu seperti itu??? Bukankah prinsip dasar yang dipakai oleh orang itu adalah prinsip-prinsip munafik sebagai dibahas di dalam surat al-Baqarah ayat 6 -10. Anehnya juga ternyata yang memahami nasionalisme seperti itu juga banyak. Berarti pemahaman mereka konslet. Pemahaman nasionalisme sekedar simbol juga banyak. Pemimpin-pemimpin yang berkoar-koar tentang nasionalisme tetapi dalam prakteknya justru mereka mengkhianati nasionalisme itu sendiri. Mereka mengeruk harta benda rakyat, dengan berbagai tindakan seperti korupsi, menjual aset atau kebijakan-kebijakan tidak populis lainnya. Artinya nasionalisme itu hanya dibibir saja, tidak pada praktek yang nyata. Nasionalisme bukan hanya teori tetapi praktek nyata. Seperti halnya Bung Karno yang mengorbankan hidupnya untuk kepentingan bangsa ini. Tidak sekedar bicara tetapi praktek yang nyata. Apa itu tidak syirik mengorbankan untuk bangsa??? apa tidak untuk khilafah saja????? untuk Islam???? untuk Alloh?????begini, kalau kita lihat dalam pembukaan UUD "atas berkat rahmat Alloh" Indonesia merdeka, intinya begitu. Artinya bahwa kemerdekaan itu amanah. Namanya amanah dari Alloh tentu harus dijaga. menjaganya adalah ibadah, karena perintah Alloh. Siapa yang mengotorinya berarti mengotori amanah dari Alloh. bukankah begitu????? pelakunya???hukumnya???? nah, mari kita membaca ulang nasionalisme kita. Kemerdekaan negara kita ini bukan harga gratis. tetapi sekian banyak nyawa melayang. kita hormat kepada bendera bukannya syirik tetapi simbol bagaimana para pahlawan dulu berjuang membela manusia-manusia terjajah, bangsa kita ini. kita menjaga martabat bangsa ini adalah amanah. kita menjadi pemimpin yang berjuang untuk rakyat bukannya berjuang siapa yang membayar adalah ibadah karena menjaga amanah Alloh. kita menjadi generasi kebanggaan bangsa ini adalah bentuk dari ibadah menjaga amanah dari Alloh tersebut. dan lain sebagainya. Ya!!! Buka lagi-lah pelajaran PKN……tetapi kalau PKN juga dibid’ahkan bagaimana????? Adoh-adoh kasihan ya founding Father kita, susah-susah mbuatnya dibid’ahkan. Mungkinkah PKN dibid’ahkan? Mungkin, karena saya juga menemui pas waktu saya suruh ngisi Ikatan Mahasiswa Lamongan, ada orang jurusan PPKN/PMP/PKN, awalnya dia mengajar PPKN (dulu), namun setelah dia bergabung dengan yang mengkafirkan PKN, dia akhirnya mengundurkan diri. Ia tidak mau mengajar, karena sama dengan menjerumuskan orang-orang ke dalam pemahaman kafir. Kalau PKN dikafirkan, terus tata negaranya bagaimana????? Kalau begitu bagaimana kalau PKN diganti saja dengan Majalah BOBO……he…he….. mengenai orang yang sering murah meriah membid’ahkan, saya punya ulasan menarik dari guru saya dengan bahasa yang sederhana “ Masa’ bambo itu dibid’ah’bid’ahkan, ketika dipukul untuk memanggil orang untuk sholat. Wong bamboo itu ciptaane Alloh, dia juga tidak pernah tahu dan mau dibid’ahkan, andai bamboo itu tahu dan bisa mengatakan, dan punya pilihan, dia tidak mau menjadi bamboo kalau dia akan menjadi barang yang dibid’ahkan!!!!!” Nah Glodak!!!!!!
Sebagai penutup, untuk Bangsa ini, mari kita memberikan yang terbaik kepadanya. Karena ini adalah sekali lagi, amanah dari Alloh. Yang jelas harapan kami wong-wong cilik, Negara kita bisa menjadi baldatun toyyibatun warobun ghofur. Entah bentuknya seperti apa??????sing penting Alloh Ridlo. Selamat Ulang Tahun Kemerdekaan RI.

Tanggl 11 agustus 2009 jam 22:11
Isno

1 komentar:

Sangun mengatakan...

Kalau di tanah Pertiwi tercinta ini nyari sesuap nasi aja udah setengah matai, salahkah bila ada sebagian dari rakyatnya memilih menjadi kuli di luar negeri??? malah telah ada yang menjual nasionalismenya...

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*