Kamis, Juli 16, 2009

Rintihan Sekolah Bertarif Internasional



Menjamurnya sekolah bertaraf Internasional di beberapa sekolah-sekolah SMA membawa dampak terhadap laju perkembangan dunia pendidikan dewasa ini. Di satu sisi, sekolah tersebut memiliki bargaining position (daya tawar) terhadap pangsa pasar dalam hal ini masyarakat, namun disisi lain membawa sebuah problem kontroversi terhadap kaulitas ke-Internasionalan-nya.

Keunggulan dan Kelemahan RSBI
Sekolah Bertaraf Internasional, harus diakui, pertama, menjadi dambaan setiap sekolah. Karena RSBI menjanjikan penggelontoran dana yang sangat begitu besar dari pemerintah. Seperti halnya SMA Khodijah Surabaya sebagaimana laporan harian Surya (14 Juli), mendapatkan dana bantuan dari pemerintah pusat Rp. 500 juta setelah tahun sebelumnya digelontor Rp. 300 juta. Dari dindik provinsi diberi bantuan sarana senilai Rp. 150 juta. RSBI juga memiliki kewenangan untuk mematok biaya tinggi kepada orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Menurut Surya, di SMAN 2 Pare Kediri yang menerapkan RSBI, sampai mematok orang tua untuk membayar 4 juta untuk kebutuhan fisik sekolah. Di beberapa Sekolah SMA Mojokerto yang menerapkan RSBI, dipatok menurut kemampuan biaya, tentunya orang tua yang mampu menyumbangkan uang yang terbanyak. Kedua, RSBI memiliki image internasional. Karena RSBI mengharuskan sekolah mengacu kepada kurikulum Internasioanl. Yakni kurikulum dari Cambridge. Kurikulum Cambridge mengharuskan sejumlah pelajaran harus menggunakan bahasa Inggris. Pelajaran itu adalah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Sains (Fisika, Biologi, Kimia), Humanity (Sosiologi, PPKN), social study (sejarah), Editional Math (matematika dan terapan).
Namun RSBI tidak luput dari kelemahan dibalik keunggulannya. Pertama, karena biaya RSBI mahal, maka yang memiliki kemampuan untuk masuk ke RSBI hanyalah anak-anak yang orang tuanya berduit saja. Meskipun dalam tes masuk RSBI ada tes tertulis, namun jika lulus tes tulis tetapi tidak bisa menyumbangkan dana besar kepada sekolah, jangan diharapkan anak tersebut bakal mencicipi sekolah bertaraf Internasional tersebut. Maka jangan heran jika nanti RSBI hanya akan dihuni oleh anak-anak orang kaya tetapi keropos otaknya. Karena yang diukur bukan tes akademiknya, namun seberapa besar sumbangannya. Bukan kualitasnya yang bertaraf Internasional namun tarifnya saja yang bertarif Internasional. Kedua, karena dalam RSBI harus menggunakan standar Internasional, maka diperlukan kaulitas-kualitas guru yang mumpuni, khususnya secara akademik syarat menjadi RSBI sebagaimana standar mutu pendidikan ISO 9001:2008 sekolah harus memiliki 30% tenaga pendidiknya sudah lulusan dari strata dua (S2) dan pengajarannya pun harus menggunakan bahasa Internasional. Kenyataannya dilapangan, masih banyak guru yang belum memiliki ijazah S2, dan belum banyak yang mahir menggunakan bahasa Inggris. Lalu bagaimana bisa menjamin sekolahnya bisa bertaraf Internasional? Jika perangkatnya saja belum siap. Bagaimana bisa menjamin sekolah tersebut sudah pantas dikatakan Internasional? Bagaimana bisa menjamin sekolah tersebut mampu bersaing secara internasional? Jangan-jangan sekolahnya saja seakan-akan Internasional tetapi tetap lokal. Sekolahnya lokal tetapi tetap lokal.
Ada beberapa selintingan dikalangan guru tentang RSBI, sejumlah guru yang ada di lingkungan RSBI, sebenarnya banyak yang menolak diadakannya RSBI, karena mereka belum siap baik secara akademis maupun mental. Namun karena kepala sekolahnya bersikeras dan mengancam akan memutasi jika tidak mau dan setuju dengan penerapan RSBI, maka apa boleh buat. Guru hanya prajurit, mungkin begitu yang bisa dikatakan. Siap tidak siap harus siap. Meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak mampu.
Menata Sekolah Lokal rasa Internasional
Dengan menimbang keunggulan dan kelemahan RSBI, sekolah-sekolah lain diharapkan tidak latah untuk merubah menjadi RSBI jika perangkat-perangkat yang diprasyaratkan belum terpenuhi. Karena memaksakan kehendak namun tidak memiliki kemampuan maka akan menjadi blunder bagi sekolah tersebut. Dalam ukuran sederhana, jika siswa yang masuk RSBI ada yang tidak lulus dalam UNAS, maka akan dipertanyakan kualitas RSBI. Jika lulusan RSBI sama dengan lulusan kelas reguler biasa, maka perlu dipertanyakan kualitas dari RSBI itu. Karenanya diperlukan kearifan dari semua pihak untuk berpikir jernih dalam menata pendidikan supa lebih baik lagi.
Banyak sebenarnya sekolah-sekolah yang biasa namun jika dikelola secara baik akan menjadi sekolah luar biasa. Sekolah-sekolah lokal jika dikelola dengan baik maka akan menjadi sekolah lokal rasa Internasional. Bukannya cap yang kita butuhkan tetapi aksi nyata dan niat tulus untuk membesarkan kualitas pendidikan itu. Buat apa cap international tetapi rasanya tetap lokal? Bukankah lebih baik sekolah lokal rasa internasional? Dan yang lebih baik sekolah Internasional benar-benar rasa Internasional. Bukanya menolak RSBI, namun kita hendaknya menggunakan kearifan dalam mengukur diri. Mengukur kemampuan baik masyarakat yang ada disekitar maupun kemampuan akademis dari sekolah tersebut. Jika sudah terpenuhi, kenapa tidak boleh maju? Kemajuan adalah dambaan setiap manusia. Namun maju sendiri tanpa lihat kanan kiri maka akan menjadi manusia sombong ditengah ketidakmampuan. Sekolah hendaknya tetap ingat dengan fungsi dari sekolah itu sendiri. Fungsi dari sekolah adalah untuk proses pendidikan. Bukannya untuk ajang mencari bantuan. Atau untuk ajang pamer. Karena fungsiny adalah untuk proses pendidikan, maka seharunya dimaksimalkan dalam proses pendidikan itu sendiri. Sehingga benar-benar sekolah itu sesuai dengan khitahnya.

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*