Pembaca sekalian, kalau kita lihat berita, akhir-akhir ini kita disuguhi adegan kekerasan dalam berbagai lini. Entah itu di ranah masyarakat miskin yang di kejar hutang oleh rentenir, pedagang asongan yang rumahnya dihancurkan Satpol PP, kekerasan dalam rumah tangga antara suami dan istri, pertengkaran para artis, pengacara yang mengelabui, dinas-dinas pemerintah yang memeras rakyat, pedagang yang menggilas pedagang kecil, partai yang berintrik, kyai/ulama yang beradu dalil, DPR yang beradu tinju, POLRI yang saling tuding, dan lain sebagainya.
Bahkan yang terbaru, yang membuat hati teriris-iris, satpol PP bekerjasama dengan POLRI, tawuran dengan para santri mbah priok. Berita yang terdengar, ada tiga orang yang meninggal dunia. Melihat itu, saya jadi ingin bersedih sekali. Ya barangkali akibat kebijakan yang salah, atau keangkaramurkaan dari arogansi yang ditampakkan.
Namun yang menarik, tentu dari sudut penulis, makam mbah priok. Melihat makam mbah priok tentu kita akan diingatkan dengan makam para auliya atau ulama yang dicintai oleh pengikutnya di seluruh dunia khususnya pulau jawa. Ada makam para wali, kyai, dan orang-orang sholeh lainnya yang menjadi tempat ziarah para santri-santrinya. Bagi mereka, makam orang sholeh itu adalah keramat.
Dari sudutu, ini nampaknya pemerintah kurang memahami psikis budaya rakyat yang dipimpinnya. Santri itu sangat mencintai ulamanya/kyainya. Ketika masa hidup, para santri mencium tangan kyainya. Ketika mereka sudah alumni, biasanya para santri akan terus melanjutkan ikatan emosional dengan sering silaturahmi. Biasanya apapun yang dia punya sebagian hartanya akan disodaqohkan ke kyainya. Malah, setiap setahun sekali, diadakan khaul yang mendatangkan para santri dan kyai dari alumni pertama sampai santri yang masih nyantri. Tentu dengan biaya yang sangat mahal sekali. Konon, Romo Kyai Sholahudin, dalam menyelenggarakan acara haul mbah jalil habis 300 juta. Biaya ini ditanggung selain kyai, juga seluruh santri.
Ikatan emosional seperti ini nyaris tidak akan pernah padam. Apapun yang terjadi mereka rela melakukan apa saja. Bahkan dalam keilmuan tasawuf, guru ruhani itu lebih diutamakan daripada kedua orang tua. Guru ruhani itu menuntun jalan terang dunia dan akherat sedangkan orang tua hanya membangun jasad fisik belaka alias keduniawian saja. Karenanya, Ketika satpol PP hendak menggusur makam ulama (mbah priok), maka para santri-santrinya akan rela melakukan perlawanan walau dengan taruhan jiwanya sekalipun. Mungkin begitu. Ini tafsir saya.
Bukankah dalam sejarah telah tercermin, bagaimana perjuangan Pangeran Diponegoro. Ia bersama dengan pengikutnya berjuang mati-matian demi menyelamatkan makam nenek moyangnya dari penggusuran atas proyek ambisius VOC, membuat jalan aspal sepanjang pantura? Ribuan korban berjatuhan mati demi membela orang yang telah mati.
Bukankah dalam sejarah pula, Mbah Wahab Hasbullah, ikhlas menjual sapi-sapinya, demi bisa berdebat di Masjidil Haram dengan para Ulama Wahabi yang akan menggusur makam Kanjeng Nabi. Mereka rela mati-matian demi membela Kanjeng Nabi yang di cintai. Meskipun telah tiada.
Bukankah dalam sejarah, para pengikut syiah rela mati dan menyakiti tubuhnya, demi membela sang sayyid Imam Hasan wa Sayyid Husein?
Dalam sejarah pula, bagaimana pengikut Nasrani yang membela Nabi Isa yang telah tersalib dengan taruhan dan harga nyawa yang tak terhitung.
Peringatan hari pahlawan, bukankah juga memperingati atas orang yang telah meninggal?
Andai kata, Makam Pahlawan itu digusur apa yang ada dalam benak anda? Mungkin kalau mau uji coba, silahkan gusur makam Jendral Sudirman, atau Sukarno, atau tokoh-tokoh yang telah berjasa besar pada Republik ini, apa yang akan direaksi oleh pengikutnya? Marah bukan. Bukankah begitu pula dengan apa yang menjadi psikis santri Mbah Priok. Mbah Priok bagi mereka adalah pahlawan mereka.
Dari sini setidaknya bisa menjadi renungan, tragedi mbah priok, adalah sebuah kebutaan kebijakan atas psikis masyarakat. Seharusnya sebelum bertindak harus memahami bagaimana kondisi budaya, psikis masyarakatnya. Kok tidak tahu? Kebangeten, pemimpin kok tidak tahu yang dipimpinnya. La selama ini pekerjaannya apa? Apa hanya mengerjakan PR di kantor saja. Atau?????????
Selasa, Desember 01, 2009
Membela Orang Mati : Analisa Kasus Mbah Priok
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Pemikiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar