Tulisan saya sebelumnya
tentang catatan perjalan kelud, bahwa masyarakat kita pada dasarnya adalah
masyarakat yang suka gotong royong. Meski saat ini banyak terjadi
reduksi-reduksi atas nilai itu, namun pada titik-titik tertentu ia akan muncul
dalam kesadaran masyarakat. Seperti halnya bantuan ke kelud, dengan melihat
sumbangan dari berbagai daerah yang tumpuk undung, menjadi pertanda bahwa rasa
kepedulian masyarakat untuk turut menggotong kesedihan masyarakat kelud secara
bersama-sama itu menampak. Walaupun ada berita-berita bahwa ada oknum-oknum
yang memanfaatkan bantuan-bantuan itu untuk kepentingan pribadi, namun begitu,
masyarakat tetap khusnudzon dengan tetap mengirim bantuan kepada berbagai
lembaga penerima bantuan walau itu abal-abal sekalipun. Mereka berprinsip,
“yang terpenting saya sudah niat baik, persoalan nanti bantuan ditilap, itu urusan lembaga ini dengan
Allah. Allah ndak sare. Allah akan nyatet,” demikian kepasrahan yang tulus
itu.
Saya sendiri ditengah
perjalanan berpikir, “Bagaimanakah mungkin ditengah bencana ada orang yang tega
memanfaatkan situasi seperti ini? Apakah mereka tidak punya pikiran?
Tidak-tidak. Itu bukan masyarakat Jawa. Itu bukan budaya masyarakat desa”.
Tetapi khusnudzonku sedikit
terkikis, saat kawan saya yang menjadi relawan disana, yang bercerita bahwa
masyarakat-masyarakat dilereng-lereng gunung Kelud telah berubah menjadi
beringas. Ada yang mencegat bantuan-bantuan dan diambili untuk kepentingannya
sendiri tanpa memikirkan tetangganya. Ini karena keadaan. Apabila mereka lapar,
semua kebaikan akan sirna. Sopan santun akan lenyap.
Saya yang tidak mau
khusnudzon saya lenyap, menanyakan setengah tidak percaya, “Apakah yang
mencegat bantuan ditengah jalan itu memang penduduk asli situ?” Kawan saya
menjawab “Entahlah. Bisa jadi penduduk situ, bisa jadi orang luar yang
memanfaatkan situasi itu”. Tetapi kesimpulannya, TIDAK PASTI.
Saat saya dan rombongan
diajak masuk ke kampung-kampung, khusnudzonku menguat, bahwa masyarakat desa tidaklah
sebringas sebagaimana dikisahkan oleh kawan saya tadi. Malah mereka justru
diuji dengan berbagai peristiwa. Misalnya, ada orang dengan membawa mobil
hendak menjarah sebuah rumah saat desa mereka tidak ada penduduknya. Beruntung
ketahuan. Akhirnya dibakarlah mobil orang tersebut. Penjarah itu bukanlah orang
desa. Tetapi orang luar yang tidak memiliki hati nurani. Hendak mengambil
keuntungan dibalik musibah yang menimpa orang lain. Aku pun berkaca-kaca
mendengar kisah ini. Emosiku tergesek. Andaikata aku menemui penjarah itu,
pasti aku ingin meninjunya.
Dengan peristiwa itu,
menjadi wajarlah apabila penduduk tersebut antipati kepada orang luar. Mereka
seleksi kepada orang luar yang hendak masuk. Namun toh apabila ada orang luar
masuk ke kampong mereka dengan maksud menyumbangkan bahan-bahan kebutuhan
mereka memang saling berebutan. Hal itu menurutku manusiawi. Mereka kelaparan.
Tidak ada listrik. Tidak ada apa apa. Dan apabila bantuan datang, mereka
berharap bisa mengganjal perut mereka.
Dan saya setuju dengan
kawan saya, bahwa bantuan harus diatur dengan seksama. Biar orang-orang lemah
yang malu-malu tidak mau berebutan juga kebagian.
Sehingga bantuan menjadi rata. Dan yang mampu melakukan pembagian rata itu,
jelasnya adalah penduduk sekitar sana, yang dikenal baik dan mampu berbuat
adil. Karenanya kawan saya, merekrut orang-orang didesa yang kena musibah untuk
membagi-bagikan secara rata. Ide ini merupakan ide cerdas.
Jangan sampai kita
membagi-bagikan harta kemudian kita memfoto-fotoi mereka. Kita bahagia ada
orang berebutan mendapatkan makanan. Sungguh ini keterlaluan. Apalagi saat kita
menyumbang, kita pamer-pamer, bahwa partai ini partai yang paling peduli, atau
organisasi ini organisasi yang hebat dan dekat dengan masyarakat. Sepertinya
kita harus belajar ikhlas? Memberi tanpa embel-embel. Gusti Allah ora sare. Ini yang harus dicatat. Padahal, bukankah
sumbangan yang disumbangkan itu bukan uang anda sendiri? Tetapi uangnya ummat.
Jangan sampai kemudian kita menjadi tukang hobby memanfaatkan ummat. Terlebih
menjual ummat. Gusti Allah ora sare.
Sudahlah! Kita memberi
ya memberi. Tidak usah dengan embel-embel bendera. Masyarakat lereng Kelud
tidak membutuhkan bendera. Mereka hanya membutuhkan bagaimanakah caranya
menghadapi keadaan sulit itu bisa segera berlalu. Membetulkan rumah.
Menyingkirkan pasir-pasir. Dan kembali ke kehidupan normal lagi. Saya
khusnudzon bahwa mereka tetaplah manusia desa yang berperadaban. Yang punya
sopan santun. Yang punya martabat. Jangan ditambah-tambahi dengan statemen yang
negative, bahwa mereka berangasan. Bagaimanakah jika keadaan mereka itu berada
pada keadaan kita? Apakah jiwa berangasan kita tidak akan muncul? Belum tentu.
Maka berhati-hatilah dengan alok-alok
kalian. Orang Jawa bilang “OJO ALOK-ALOK MUNDAK MUNDAK BAKAL MELOK”
0 komentar:
Posting Komentar