Jumat, Februari 28, 2014

Men-khusnudzoni Para Korban Bencana Kelud



Tulisan saya sebelumnya tentang catatan perjalan kelud, bahwa masyarakat kita pada dasarnya adalah masyarakat yang suka gotong royong. Meski saat ini banyak terjadi reduksi-reduksi atas nilai itu, namun pada titik-titik tertentu ia akan muncul dalam kesadaran masyarakat. Seperti halnya bantuan ke kelud, dengan melihat sumbangan dari berbagai daerah yang tumpuk undung, menjadi pertanda bahwa rasa kepedulian masyarakat untuk turut menggotong kesedihan masyarakat kelud secara bersama-sama itu menampak. Walaupun ada berita-berita bahwa ada oknum-oknum yang memanfaatkan bantuan-bantuan itu untuk kepentingan pribadi, namun begitu, masyarakat tetap khusnudzon dengan tetap mengirim bantuan kepada berbagai lembaga penerima bantuan walau itu abal-abal sekalipun. Mereka berprinsip, “yang terpenting saya sudah niat baik, persoalan nanti bantuan ditilap, itu urusan lembaga ini dengan Allah. Allah ndak sare. Allah akan nyatet,” demikian kepasrahan yang tulus itu.
Saya sendiri ditengah perjalanan berpikir, “Bagaimanakah mungkin ditengah bencana ada orang yang tega memanfaatkan situasi seperti ini? Apakah mereka tidak punya pikiran? Tidak-tidak. Itu bukan masyarakat Jawa. Itu bukan budaya masyarakat desa”.
Tetapi khusnudzonku sedikit terkikis, saat kawan saya yang menjadi relawan disana, yang bercerita bahwa masyarakat-masyarakat dilereng-lereng gunung Kelud telah berubah menjadi beringas. Ada yang mencegat bantuan-bantuan dan diambili untuk kepentingannya sendiri tanpa memikirkan tetangganya. Ini karena keadaan. Apabila mereka lapar, semua kebaikan akan sirna. Sopan santun akan lenyap.
Saya yang tidak mau khusnudzon saya lenyap, menanyakan setengah tidak percaya, “Apakah yang mencegat bantuan ditengah jalan itu memang penduduk asli situ?” Kawan saya menjawab “Entahlah. Bisa jadi penduduk situ, bisa jadi orang luar yang memanfaatkan situasi itu”. Tetapi kesimpulannya, TIDAK PASTI.
Saat saya dan rombongan diajak masuk ke kampung-kampung, khusnudzonku menguat, bahwa masyarakat desa tidaklah sebringas sebagaimana dikisahkan oleh kawan saya tadi. Malah mereka justru diuji dengan berbagai peristiwa. Misalnya, ada orang dengan membawa mobil hendak menjarah sebuah rumah saat desa mereka tidak ada penduduknya. Beruntung ketahuan. Akhirnya dibakarlah mobil orang tersebut. Penjarah itu bukanlah orang desa. Tetapi orang luar yang tidak memiliki hati nurani. Hendak mengambil keuntungan dibalik musibah yang menimpa orang lain. Aku pun berkaca-kaca mendengar kisah ini. Emosiku tergesek. Andaikata aku menemui penjarah itu, pasti aku ingin meninjunya.
Dengan peristiwa itu, menjadi wajarlah apabila penduduk tersebut antipati kepada orang luar. Mereka seleksi kepada orang luar yang hendak masuk. Namun toh apabila ada orang luar masuk ke kampong mereka dengan maksud menyumbangkan bahan-bahan kebutuhan mereka memang saling berebutan. Hal itu menurutku manusiawi. Mereka kelaparan. Tidak ada listrik. Tidak ada apa apa. Dan apabila bantuan datang, mereka berharap bisa mengganjal perut mereka.
Dan saya setuju dengan kawan saya, bahwa bantuan harus diatur dengan seksama. Biar orang-orang lemah yang malu-malu tidak mau berebutan juga kebagian. Sehingga bantuan menjadi rata. Dan yang mampu melakukan pembagian rata itu, jelasnya adalah penduduk sekitar sana, yang dikenal baik dan mampu berbuat adil. Karenanya kawan saya, merekrut orang-orang didesa yang kena musibah untuk membagi-bagikan secara rata. Ide ini merupakan ide cerdas.
Jangan sampai kita membagi-bagikan harta kemudian kita memfoto-fotoi mereka. Kita bahagia ada orang berebutan mendapatkan makanan. Sungguh ini keterlaluan. Apalagi saat kita menyumbang, kita pamer-pamer, bahwa partai ini partai yang paling peduli, atau organisasi ini organisasi yang hebat dan dekat dengan masyarakat. Sepertinya kita harus belajar ikhlas? Memberi tanpa embel-embel. Gusti Allah ora sare. Ini yang harus dicatat. Padahal, bukankah sumbangan yang disumbangkan itu bukan uang anda sendiri? Tetapi uangnya ummat. Jangan sampai kemudian kita menjadi tukang hobby memanfaatkan ummat. Terlebih menjual ummat. Gusti Allah ora sare.
Sudahlah! Kita memberi ya memberi. Tidak usah dengan embel-embel bendera. Masyarakat lereng Kelud tidak membutuhkan bendera. Mereka hanya membutuhkan bagaimanakah caranya menghadapi keadaan sulit itu bisa segera berlalu. Membetulkan rumah. Menyingkirkan pasir-pasir. Dan kembali ke kehidupan normal lagi. Saya khusnudzon bahwa mereka tetaplah manusia desa yang berperadaban. Yang punya sopan santun. Yang punya martabat. Jangan ditambah-tambahi dengan statemen yang negative, bahwa mereka berangasan. Bagaimanakah jika keadaan mereka itu berada pada keadaan kita? Apakah jiwa berangasan kita tidak akan muncul? Belum tentu. Maka berhati-hatilah dengan alok-alok kalian. Orang Jawa bilang “OJO ALOK-ALOK MUNDAK MUNDAK BAKAL MELOK”


 

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*