Jumat, Februari 28, 2014

SINOPSIS NOVEL "SANG PENGGEMBALA"

SINOPSIS NOVEL “SANG PENGGEMBALA”





“Belajarlah kepada orang desa” demikianlah kata Gus Mus dalam sebuah tulisan di Facebook menyikapi permasalahan bangsa yang a-historis terhadap kearifan-kearifan local. Orang-orang desa dulu telah berbicara tentang hormat-menghormati antar tetangga, mencintai persaudaraan, mencintai alam, mencintai kehidupan dan lain sebagainya. Tidak ada gonjang-ganjing, apabila terdapat perbedaan pandangan bahkan kepentingan. Semuanya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan semangat mencari solusi, bukan meraih kemenangan semata.
Novel ini adalah gambaran tentang kearifan desa. Novel yang mengisahkan tentang pernak pernik anak desa yang telah dididik dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan alam sekitarnya. Ia tumbuh menjadi penggembala bersama dengan kawan-kawan  satu kampungnya. Menjadi pengembala adalah sebuah kehormatan tersendiri bagi anak desa dizamannya. Ia selain mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan dan solidaritas juga mengajarkan akan rasa tanggungjawab serta kecintaan kepada makhluk Allah. Nilai-nilai kepemimpinan ditunjukkan dengan kelihaian para pengembala yang mengembalakan kambingnya yang begitu sulit untuk dikendalikan. Dibutuhkan jiwa ngemong dan kesabaran atas kambing-kambing yang seringkali mblalo, suka memakan tanaman milik para petani. Solidaritas terbangun saat anak-anak penggembala ini terkena musibah yang menyita solidaritas untuk berbagi suka dan duka. Sedang jiwa tanggungjawab dan kecintaan, terbangun dengan sendirinya atas tanggungjawab setiap hari kepada kambing-kambingnya untuk memberi makan, memandikan, mengawinkan bahkan membantu untuk melahirkan kambing-kambing yang sedang mengandung.
Para penggembala yang terdiri dari Rizal, Sudiono, Suryanto, Supadi, Seniman dan Sukari ini berjibaku dengan alam, merasakan pahit getirnya kehidupan yang harus dilalui oleh anak-anak se-usia mereka.  Mereka harus berhadapan dengan kewajiban untuk membantu orang tua mereka tanpa pernah merasakan dunia permainan sebagaimana dirasakan anak-anak kota. Kebahagiaan mereka adalah saat bermain-main dengan gembala-gembala mereka.
Cerita pertama dalam novel ini mengkisahkan tentang suasana keberagamaan warga Dusun Sayun, yang masih plural dan masih banyak pengaruh dari adat-adat yang ketat. Namun ditengah alam pikir keawaman warga desa, Islam berkembang pelan, memeluk tradisi-tradisi setempat. Sehingga lama kelamaan melelehkan kekakuan tradisi yang memiliki kecenderungan resistensi terhadap agama Islam. Anak-anak se-usia Rizal adalah generasi kesekian, yang telah dididik dalam ajaran agama. Ia tumbuh menjadi remaja Masjid yang dengan penuh dengan nilai-nilai keagamaan. Saat mereka harus mengaji mengkhatamkan al-Quran, mengaji kitab kuning, tidur di Masjid bersama-sama pemuda seluruh kampung, dan menghadiri acara khitanan, yang mana anak yang dikhitan akan ditemani tidur selama tujuh hari, menghadiri yasin dan tahlil dan lain sebagainya.
Para remaja menjadikan Masjid sebagai pusat segala kegiatannya. Termasuk dalam merencanakan hendak mengembalakan kambingnya kemana. Dalam merencanakan mengembalakan kambing, mereka harus bermusyawarah tentang daerah yang layak untuk dijadikan tempat mengembalakan kambing. Setelah disepakati mereka akan bersiap-siap untuk mengantarkan kambing-kambingnya. Ada prasyarat serta rukun-rukun mengembalakan kambing. Di novel ini diterangkan dengan gamblang.
Novel ini membincangkan bagaimana anak anak remaja menggembalakan kambing di sebuah oro-oro. Dimana mereka melakukan segala aktivitas termasuk dalam mandi bersama atau diistilahkan dengan bluron. Novel ini memulai konflik-konflik dengan titik bluron tersebut. Mereka harus dihadapkan kepada kenyataan pahit, salah satu teman mereka, Supadi, hendak dibawa ke dasar sungai oleh makhluk kalap, penghuni sungai, saat mereka bluron, mandi disungai “kali umber”. Mereka berjibaku menolong Supadi. Supadi tertolong. Namun tanpa mereka sadari, kambing-kambing mereka yang dibiarkan di oro-oro, mblalo, memakan tanaman jagung milik Pak Untung. Pak Untung melaporkan kejadian ini ke Pak Lurah. Dan Pak Lurah pun mengadili para pengembala itu. Dengan berbagai tuduhan dan berakhir dengan denda, pengadilan sesat itu pun ditandai oleh Rizal dan kawan-kawannya akan perangai pemimpinnya yang tidak layak menjadi pemimpin.
Rizal semakin memahami realitas sosialnya, manakala mendengar berbagai bisik-bisik seputar geliat-geliat pemberontakan warga desa atas sikap Kepala Desanya yang suka meminta “upeti” kepada para warga. Rizal mengawal pemberontakan itu. Ia ikut menyimak dari rapat ke rapat. Hingga pada akhirnya menggumpal menjadi demonstrasi massal. Warga Dusun Sayun bersatu hendak menggulingkan Kepala Desa yang berada di Desa Jejel. Dalam demosntrasi itu, warga dusun Sayun, terkecoh dengan taktik polisi, yang mengatakan bahwa kepala desa dibawa ke kantor polisi untuk dipenjara. Dari warga yang menyelidiki, diketahui kepala desa ternyata bebas lenggang kangkung diluar penjara. Hal ini menyulut demonstrasi besar-besaran ke kecamatan. Tetapi belum sempat berdemonstrasi, para warga dikejar Polisi dan dipulangkan ke rumah. Kepala Desa, pulang ke desanya, dengan dikawal oleh para pendukungnya, dengan naik trek. Warga dusun sayun pun bersungut-sungut.
Manakala pemilihan umum kepala desa hendak dilaksanakan, para elit tokoh dusun sayun memainkan politik untuk melakukan penggembosan kepada kepala desa lama yang akan mencalonkan lagi. Dalam pemilihan itu mereka harus memiliki calon yang bisa mengalahkan kepala desa lama. Benturan-benturan emosi dan kepentingan politik tidak bisa dihindarkan.
Kepala desa hendak memecah belah solidaritas politik warga dusun Sayun tersebut. Ia taburkan janji-janji bahkan uang. Namun para tokoh dusun Sayun melakukan gerakan perlindungan dari suap. Seluruh pemuda, termasuk Rizal, dikerahkan untuk menjaga para warga dari suapan-suapan baik dari kepala desa, ataupun botoh yang hendak sedang bermain judi.
Namun politik desa, tidaklah selinier yang diduga oleh para tokoh. Para warga ternyata plural. Ada warga yang merupakan family Kepala desa, atau calon lainnya, sehingga tidak mungkin mereka bisa pindah ke orang lain. Pun dengan mentalitas para warga. Ada yang idealisme mengatasnamakan solidaritas, namun tidak sedikit pula yang butuh duit untuk melunasi hutang-hutang mereka yang jatuh tempo.
Dan pada akhirnya, para tokoh dusun Sayun, membuat gerakan kepastian pilihan. Semua terpetakan. Ada masa tetap dan masa mengambang. Sayangnya Ustad Saifuddin Zuhri, sebagai guru ngaji Rizal dan panutan para santri di dusun yang baru berkembang Islamnya ini menjadi sorotan. Ia tidak memiliki kejelasan pilihan politik. Ia mengaku dihadapan Rizal, bahwa ia tidak ingin memihak lantaran ia adalah bapak bagi seluruh calon. Ia tidak ingin para warga terpecah belah gara-gara urusan politik. Ia ingin mengayomi seluruh calon. Bahkan kepada kepala desa lama, orang yang sempat berkonflik dan hendak memidanakan Ustad Saifudin gara-gara menebang pohon beringin yang menjadi punden dan digunakan untuk membangun Masjid.
Namun sikap demikian, membuat kejengkelan para warga. Mereka mengancam akan memboikot tidak mau sholat di Masjid. Namun Ustad Saifudin tidak bergeming. Para warga pun menjadi-jadi dalam memaki-maki Ustad Saifuddin Zuhri.
Hal inilah yang menjadikan Rizal dan kawan-kawan bersedih. Mereka mengkhawatirkan konflik politik ini akan berakhir dengan konflik fisik. Mereka pun bermunajat kepada Allah. Dalam munajatnya, Rizal, dibukakan hijab oleh Allah, mampu berkomunikasi dengan pembabat dusun Sayun yang bernama “Mbah Reseco”. Ia diberi petunjuk untuk menyelamatkan desanya dengan memberi “pagar gaib” sebagai antisipasi atas berbagai serangan gaib yang hendak mempengaruhi alam pikir warga. Rizal pun berjibaku melakukan petunjuk aneh itu. Hal yang sama juga ia lakukan saat pemilihan kepala desa dilaksanakan. Ia mendapat petunjuk aneh dari Mbah Reseco, sang pembabat desa, untuk melakukan pembersihan desa dari anasir-anasir jahat. Ia pun berhasil walaupun dengan terengah-engah. Kekhawatiran adanya konflik fisik bisa dihindarkan.
Pasca pemilihan kepala desa, Rizal dan kawan-kawannya pun, merasakan bagaimana luka-luka akibat politik tersebut. Ia hendak merawat luka konflik yang masih menganga. Yang sewaktu-waktu apabila meletup akan membuncah menjadi ledakan dahsyat berupa konflik horisontal. Karenanya ia bergerak melakukan gerakan “Dondom Kloso Bedah”. Dengan berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh elemen, lambat laun, karena seringnya berbaur, maka luka-luka itu mulai tersembuhkan. Dan Rizal pun bisa bernafas lega, manaka ia harus pamit meneruskan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Ia pun menyerahkan estafet kepemimpinan pemuda ke generasi muda yang menjadi muridnya, Solikin. Banyak konsep telah diberikan untuk memajukan desa dengan segala potensinya. Novel ini diakhiri dengan harapan social yang membumbung untuk memajukan desa. Baik dari konsep pertanian, konsep organisasi, hingga konsep social politik kemasyarakatan. Sehingga membaca novel ini akan menjadi pengetahuan lengkap tentang bagaimana memajukan desa sebagai miniatur Negara bernama Indonesia.


Muhammad Isno El Kayyis










0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*