SINOPSIS NOVEL “SANG PENGGEMBALA”
“Belajarlah kepada orang desa”
demikianlah kata Gus Mus dalam sebuah tulisan di Facebook menyikapi
permasalahan bangsa yang a-historis terhadap kearifan-kearifan local.
Orang-orang desa dulu telah berbicara tentang hormat-menghormati antar
tetangga, mencintai persaudaraan, mencintai alam, mencintai kehidupan dan lain
sebagainya. Tidak ada gonjang-ganjing, apabila terdapat perbedaan pandangan
bahkan kepentingan. Semuanya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan
semangat mencari solusi, bukan meraih kemenangan semata.
Novel ini adalah gambaran tentang
kearifan desa. Novel yang mengisahkan tentang pernak pernik anak desa yang
telah dididik dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan alam sekitarnya. Ia tumbuh
menjadi penggembala bersama dengan kawan-kawan
satu kampungnya. Menjadi pengembala adalah sebuah kehormatan tersendiri
bagi anak desa dizamannya. Ia selain mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan dan
solidaritas juga mengajarkan akan rasa tanggungjawab serta kecintaan kepada
makhluk Allah. Nilai-nilai kepemimpinan ditunjukkan dengan kelihaian para
pengembala yang mengembalakan kambingnya yang begitu sulit untuk dikendalikan.
Dibutuhkan jiwa ngemong dan kesabaran
atas kambing-kambing yang seringkali mblalo,
suka memakan tanaman milik para petani. Solidaritas terbangun saat anak-anak
penggembala ini terkena musibah yang menyita solidaritas untuk berbagi suka dan
duka. Sedang jiwa tanggungjawab dan kecintaan, terbangun dengan sendirinya atas
tanggungjawab setiap hari kepada kambing-kambingnya untuk memberi makan, memandikan,
mengawinkan bahkan membantu untuk melahirkan kambing-kambing yang sedang
mengandung.
Para penggembala yang terdiri dari Rizal,
Sudiono, Suryanto, Supadi, Seniman dan Sukari ini berjibaku dengan alam,
merasakan pahit getirnya kehidupan yang harus dilalui oleh anak-anak se-usia
mereka. Mereka harus berhadapan dengan
kewajiban untuk membantu orang tua mereka tanpa pernah merasakan dunia
permainan sebagaimana dirasakan anak-anak kota. Kebahagiaan mereka adalah saat
bermain-main dengan gembala-gembala mereka.
Cerita pertama dalam novel ini
mengkisahkan tentang suasana keberagamaan warga Dusun Sayun, yang masih plural
dan masih banyak pengaruh dari adat-adat yang ketat. Namun ditengah alam pikir
keawaman warga desa, Islam berkembang pelan, memeluk tradisi-tradisi setempat.
Sehingga lama kelamaan melelehkan kekakuan tradisi yang memiliki kecenderungan
resistensi terhadap agama Islam. Anak-anak se-usia Rizal adalah generasi
kesekian, yang telah dididik dalam ajaran agama. Ia tumbuh menjadi remaja
Masjid yang dengan penuh dengan nilai-nilai keagamaan. Saat mereka harus
mengaji mengkhatamkan al-Quran, mengaji kitab kuning, tidur di Masjid
bersama-sama pemuda seluruh kampung, dan menghadiri acara khitanan, yang mana
anak yang dikhitan akan ditemani tidur selama tujuh hari, menghadiri yasin dan
tahlil dan lain sebagainya.
Para remaja menjadikan Masjid
sebagai pusat segala kegiatannya. Termasuk dalam merencanakan hendak
mengembalakan kambingnya kemana. Dalam merencanakan mengembalakan kambing,
mereka harus bermusyawarah tentang daerah yang layak untuk dijadikan tempat
mengembalakan kambing. Setelah disepakati mereka akan bersiap-siap untuk
mengantarkan kambing-kambingnya. Ada prasyarat serta rukun-rukun mengembalakan
kambing. Di novel ini diterangkan dengan gamblang.
Novel ini membincangkan bagaimana
anak anak remaja menggembalakan kambing di sebuah oro-oro. Dimana mereka
melakukan segala aktivitas termasuk dalam mandi bersama atau diistilahkan
dengan bluron. Novel ini memulai
konflik-konflik dengan titik bluron tersebut. Mereka harus dihadapkan kepada
kenyataan pahit, salah satu teman mereka, Supadi, hendak dibawa ke dasar sungai
oleh makhluk kalap, penghuni sungai,
saat mereka bluron, mandi disungai
“kali umber”. Mereka berjibaku menolong Supadi. Supadi tertolong. Namun tanpa
mereka sadari, kambing-kambing mereka yang dibiarkan di oro-oro, mblalo, memakan tanaman jagung milik Pak
Untung. Pak Untung melaporkan kejadian ini ke Pak Lurah. Dan Pak Lurah pun
mengadili para pengembala itu. Dengan berbagai tuduhan dan berakhir dengan
denda, pengadilan sesat itu pun ditandai oleh Rizal dan kawan-kawannya akan
perangai pemimpinnya yang tidak layak menjadi pemimpin.
Rizal semakin memahami realitas
sosialnya, manakala mendengar berbagai bisik-bisik seputar geliat-geliat pemberontakan
warga desa atas sikap Kepala Desanya yang suka meminta “upeti” kepada para
warga. Rizal mengawal pemberontakan itu. Ia ikut menyimak dari rapat ke rapat.
Hingga pada akhirnya menggumpal menjadi demonstrasi massal. Warga Dusun Sayun
bersatu hendak menggulingkan Kepala Desa yang berada di Desa Jejel. Dalam
demosntrasi itu, warga dusun Sayun, terkecoh dengan taktik polisi, yang
mengatakan bahwa kepala desa dibawa ke kantor polisi untuk dipenjara. Dari
warga yang menyelidiki, diketahui kepala desa ternyata bebas lenggang kangkung diluar penjara. Hal
ini menyulut demonstrasi besar-besaran ke kecamatan. Tetapi belum sempat
berdemonstrasi, para warga dikejar Polisi dan dipulangkan ke rumah. Kepala
Desa, pulang ke desanya, dengan dikawal oleh para pendukungnya, dengan naik
trek. Warga dusun sayun pun bersungut-sungut.
Manakala pemilihan umum kepala desa
hendak dilaksanakan, para elit tokoh dusun sayun memainkan politik untuk
melakukan penggembosan kepada kepala desa lama yang akan mencalonkan lagi. Dalam
pemilihan itu mereka harus memiliki calon yang bisa mengalahkan kepala desa
lama. Benturan-benturan emosi dan kepentingan politik tidak bisa dihindarkan.
Kepala desa hendak memecah belah
solidaritas politik warga dusun Sayun tersebut. Ia taburkan janji-janji bahkan
uang. Namun para tokoh dusun Sayun melakukan gerakan perlindungan dari suap.
Seluruh pemuda, termasuk Rizal, dikerahkan untuk menjaga para warga dari
suapan-suapan baik dari kepala desa, ataupun botoh yang hendak sedang bermain
judi.
Namun politik desa, tidaklah
selinier yang diduga oleh para tokoh. Para warga ternyata plural. Ada warga
yang merupakan family Kepala desa, atau calon lainnya, sehingga tidak mungkin
mereka bisa pindah ke orang lain. Pun dengan mentalitas para warga. Ada yang idealisme
mengatasnamakan solidaritas, namun tidak sedikit pula yang butuh duit untuk
melunasi hutang-hutang mereka yang jatuh tempo.
Dan pada akhirnya, para tokoh dusun
Sayun, membuat gerakan kepastian pilihan. Semua terpetakan. Ada masa tetap dan
masa mengambang. Sayangnya Ustad Saifuddin Zuhri, sebagai guru ngaji Rizal dan
panutan para santri di dusun yang baru berkembang Islamnya ini menjadi sorotan.
Ia tidak memiliki kejelasan pilihan politik. Ia mengaku dihadapan Rizal, bahwa
ia tidak ingin memihak lantaran ia adalah bapak bagi seluruh calon. Ia tidak
ingin para warga terpecah belah gara-gara urusan politik. Ia ingin mengayomi
seluruh calon. Bahkan kepada kepala desa lama, orang yang sempat berkonflik dan
hendak memidanakan Ustad Saifudin gara-gara menebang pohon beringin yang
menjadi punden dan digunakan untuk
membangun Masjid.
Namun sikap demikian, membuat
kejengkelan para warga. Mereka mengancam akan memboikot tidak mau sholat di
Masjid. Namun Ustad Saifudin tidak bergeming. Para warga pun menjadi-jadi dalam
memaki-maki Ustad Saifuddin Zuhri.
Hal inilah yang menjadikan Rizal
dan kawan-kawan bersedih. Mereka mengkhawatirkan konflik politik ini akan
berakhir dengan konflik fisik. Mereka pun bermunajat kepada Allah. Dalam
munajatnya, Rizal, dibukakan hijab oleh Allah, mampu berkomunikasi dengan pembabat dusun Sayun yang bernama “Mbah
Reseco”. Ia diberi petunjuk untuk menyelamatkan desanya dengan memberi “pagar
gaib” sebagai antisipasi atas berbagai serangan gaib yang hendak
mempengaruhi alam pikir warga. Rizal pun berjibaku melakukan petunjuk aneh itu.
Hal yang sama juga ia lakukan saat pemilihan kepala desa dilaksanakan. Ia
mendapat petunjuk aneh dari Mbah Reseco, sang pembabat desa, untuk melakukan
pembersihan desa dari anasir-anasir jahat. Ia pun berhasil walaupun dengan
terengah-engah. Kekhawatiran adanya konflik fisik bisa dihindarkan.
Pasca pemilihan kepala desa, Rizal
dan kawan-kawannya pun, merasakan bagaimana luka-luka akibat politik tersebut.
Ia hendak merawat luka konflik yang masih menganga. Yang sewaktu-waktu apabila
meletup akan membuncah menjadi ledakan dahsyat berupa konflik horisontal.
Karenanya ia bergerak melakukan gerakan “Dondom Kloso Bedah”. Dengan
berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh elemen, lambat laun, karena seringnya
berbaur, maka luka-luka itu mulai tersembuhkan. Dan Rizal pun bisa bernafas
lega, manaka ia harus pamit meneruskan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.
Ia pun menyerahkan estafet kepemimpinan pemuda ke generasi muda yang menjadi
muridnya, Solikin. Banyak konsep telah diberikan untuk memajukan desa dengan
segala potensinya. Novel ini diakhiri dengan harapan social yang membumbung
untuk memajukan desa. Baik dari konsep pertanian, konsep organisasi, hingga
konsep social politik kemasyarakatan. Sehingga membaca novel ini akan menjadi
pengetahuan lengkap tentang bagaimana memajukan desa sebagai miniatur Negara
bernama Indonesia.
Muhammad Isno El Kayyis
0 komentar:
Posting Komentar