Menulis novel ini tidaklah selinier
apabila membaca hasilnya. Penuh lika-liku dari kurangnya mood, hingga
terganggunya berbagai kegiatan sebagai pelayan ummat. Ada beberapa hal yang
menyebabkan lamanya proses penulisan novel ini. Salah satunya data-data yang
terkumpul seringkali kurang lengkap untuk membumbungkan imajinasi cerita dalam
novel ini. Karenanya manakala saya menulis kemudian tidak menemukan kelanjutan
ceritanya, maka saya agendakan untuk pulang kampung halaman. Di sana saya
banyak menggali berbagai cerita dari mulut ke mulut.
Beberapa bagian dari cerita novel
ini adalah kenyataan. Namun untuk menyebut true
story, saya kira bukan. Karena disamping cerita nyatanya, banyak dibumbui
dengan imajinasi-imajinasi dan harapan-harapan membangun sebuah peradaban
Indonesia kecil berupa desa.
Tentang Rizal sebagai tokoh utama,
tidaklah selamanya dia itu saya. Dia adalah banyak pribadi. Seringkali orang
yang membaca karya saya, khususnya siswa-siswa dan sahabat saya, selalu mengira
bahwa tokoh yang saya ceritakan itu adalah saya. Padahal tidak. Ia hanyalah
bagian kecil. Selebihnya berbagai unsur kebaikan dari masing-masing orang saya
poles dalam kepribadian utuh pada sosok Rizal. Misalnya tentang solidaritas
Rizal terhadap kawan-kawannya sesama pengembala itu adalah pengalaman saya masa
kecil. Dan nama-nama yang saya nukil adalah nama sebenarnya. Termasuk dalam
solidaritas sunat. Dan memang demikianlah dulu tradisi khitan ala desa saya
yang sangat mengagumkan. Solidaritas lainnya, yakni solidaritas tidur di
Masjid. Ini adalah polesan saya. Sebenarnya, tidur yang saya ceritakan itu
tidur di Mushola. Dulu masa kecilku belum ada Masjid. Yang ada hanya Mushola.
Dan di Mushola inilah dijadikan sebagai sentral kegiatan seluruh pemuda.
Adapun pengalaman mistis, Supadi
yang dipegang oleh kalap, makhluk
penghuni sungai, adalah kisah orang lain yang memang demikianlah cerita yang
saya suguhkan. Ia yang sekarang menjadi tetangga saya, dan ia juga masih
keluarga saya, mengalami hal mistis saat ia tenggelam di tengah sungai dengan
adanya penarikan yang kuat di dasar sungai. Ia mampu melepaskan diri dengan
merapalkan bacaan-bacaan ayat suci dan terbebaslah ia dari cengkraman makhluk
halus bernama kalap.
Dan adanya goro-goro Masjid, memang
demikianlah kenyataan di desa saya. Yakni sewaktu proses berdirinya Masjid,
terjadi keributan antar tokoh. Pasalnya Ustad Saifuddin membangun Masjidnya bersebelahan
dengan dua pohon beringin yang dijadikan sebagai tempat sesaji penduduk desa. Bahkan
Ustad Saifuddin, menebang pohon beringin. Dan pohon beringinnya dijadikan bahan
untuk membangun Masjid. Sebenarnya tidak hanya pohon beringin yang dijadikan
sebagai polemik kepercayaan akan adanya pagebluk
setelah itu. Ustad Saifuddin, ini adalah nama dari guru ngaji saya yang
merupakan nama pesantren, nama aslinya Sukardi, membuat kebijakan menebang
pohon Jati yang ada di kuburan desa untuk dijadikan bahan bangunan Masjid juga.
Dan ini ditentang habis-habisan oleh para tokoh kejawen dengan berbagai fitnah.
Dan ini realitas. Ini saya ekspose sebagai bagian dari konflik-konflik dalam
cerita novel ini.
Tentang perdebatan antara Ustad
Saifuddin dengan Mas Wariso itu adalah kenyataan. Namun itu saya tulis berdasar
cerita-cerita. Pasalnya saya sendiri sewaktu hal itu terjadi saya masih kecil
dan belum memahami duduk permasalahanya. Namun saya tulis dalam novel ini Rizal
ikut andil dalam perdebatan perbedaan khilafiah
itu.
Begitupun manakala saya menulis
tentang Rizal dan kawan-kawannya tentang pengadilan Kepala desa kepadanya
akibat kambing-kambingnya yang mblalo.
Kambing yang mblalo adalah kenyataan.
Namun pengadilannya adalah hasil imajinasi. Saya ingin menggambarkan sisi
yudikatif di desa, sebagai bentuk kebobrokan hukum yang menggambarkan
kebobrokan hukum di Indonesia. Dan di desa inilah miniaturnya.
Pengadilan yang dilakukan oleh
Kepala Desa terhadap Rizal ini yang kemudian menjadikan pembalasan dendam si
Rizal dengan memanfaatkan moment pemberontakan warga kampung atas kepemimpinan
kepala desa yang otoriter. Ia memanfaatkan situasi itu dengan ikut memobilisasi
massa melakukan unjuk rasa menuntut turunnya kepala desa. Ini sebenarnya cerita
nyata. Bahwa ada unjuk rasa memang pernah dilakukan warga kampung Sayun. Namun
gambaran di novel dan kiprah Rizal, saya imajinasikan berperan dalam konflik
yang memanas.
Kenyataan akhirnya membuat kecewa
Rizal dan penduduk desa. Polisi ternyata berkongkalikong dengan kepala desa,
dengan seakan akan berpura-pura dipenjara, padahala dipelihara. Akhirnya kepala
desa melenggang bebas dengan memamerkan kebebasan kepada warga dusun Sayun,
yang memberontak.
Satu tahun kemudian, saat terjadi
pemilihan kepala desa. Warga Sayun memanfaatkan moment tersebut untuk membalas dendam
kepada kepala desa. Mereka bersepakat akan memilih asal bukan kepala desa. Jain-lah
yang dipilih oleh warga. Namun karena penduduk desa heterogen, tidak semua
sepakat dengan pemilihan mayoritas. Pasalnya ada beberapa keluarga dari kepala
desa dan calon lain yang tetap memilih karena hubungan kekerabatan.
Adanya pilihan warga yang berbeda
inilah yang kemudian menimbulkan konflik. Warga dusun sayun tidak siap dengan
perbedaan. Mereka mencurigai bahkan mengucilkan siapa saja yang berbeda pilihan
dengan mereka. Karena sifat fanatik ini menjadikan semua yang berpotensi
berbeda akan dimusuhi.
Hal ini melanda Ustad Saifuddin.
Ustad Saifuddin yang ingin netral ditengah-tengah hiruk pikuk masyarakat yang
berbeda-beda pilihannya, Ustad Saifuddin ingin menjadi pengayom pada seluruh
warga. Namun ia kena getahnya. Ia dimusuhi karena tidak jelas pilihannya. Ia
difitnah bahkan para warga akan boikot sholat di Masjid.
Hal ini yang menjadikan Rizal
gelisah. Ditengah kegelisahannya ia bermujahadah malam. Dan dalam mujahadahnya
tersebut ia ditemui secara ghaib Mbah Reseco, sang founding father dusun Sayun. Ia mendapat tugas untuk menyelamatkan
warga kampung dari angkara murka akibat kiriman para dukun-dukun dari calon
kepala desa lain yang ingin memanfaatkan situasi. Rizal pun menjalankan tugas.
Ia berperan dalam hal mistis. Bahkan mendampingin proses transisi kepemimpinan
yang ditandai dengan hadirnya pulung,
tanda kepemimpinan desa.
Cerita ini, wahai para pembaca,
adalah kisah dari teman saya. Tetapi sengaja saya jadikan Rizallah yang
mengalami. Dimana ia yang berperan secara ghaib menyingkirkan anasir-anasir
jahat yang hendak menyusup dalam alam bawah sadar masyarakat desa yang
ditiupkan agar para warga berbuat angkara murka. Termasuk merubah pilihan.
Rizal bertarung secara ghaib dengan
para dukun-dukun dari calon kepala desa lain. Dan ia memenangkan pertarungan
itu. Dan kemenangan itu semakin gemilang, tatkala Jain sebagai pilihan Rizal
menang mutlak.
Pilihan kepala desa ini adalah
kenyataan. Dan ini saya peroleh saat saya harus terjun ditengah masyarakat
sekaligus mengawal pesta demokrasi di Desa JEJEL. Dan ini yang saya jadikan
bahan dalam novel hingga menjadikan kisah yang saya sambung-sambungkan. Namun
sebenarnya calon kepala desa hanyalah dua orang. Dalam novel ini saya buat tiga
orang. Saya ingin menghadirkan kepala desa dongkol[1], kepala desa yang
dimusuhi oleh warga, bertarung dengan dua calon lain dengan strategi politik
yang bermutu.
Adapun intrik-intriknya saya buat
sendiri, agar perhelatan pemilihan pemimpin desa ini lebih politis. Tetapi
tidak semua intrik hanyalah karangan saya sendiri, karena bila ditelusuri jauh
akan lebih politis daripada yang saya tulis dalam novel ini. Ada perdukunan,
suap, kampanye hitam, perjudian, dan lain sebagainya.
Dan sekali lagi saya mohon maaf,
saya tidak berani menuduhkan siapa-siapa kepala desa dongkol itu. Meski cerita ini ada yang benar. Tetapi saya cukup
menamakan dengan nama kepala desa saja.
Selanjutnya setelah usai huru-hara,
saya ketengahkan tentang konsep “dondom
kloso bedhah” dan pemberdayaan para warga oleh Rizal. Rizal melakukan
perannya sebagai pemuda di Dusun Sayun ini dengan program-program jelas untuk
merawat luka-luka politik.
Para pembaca sekalian, apabila anda
ingin melihat perpolitikan di desa maka membaca novel ini anda akan terpuaskan
untuk melihat lebih jauh persepsi masyarakat desa terhadap politik. Ini saya
tulis apa adanya sebagaimana saya temui dilapangan (sewaktu saya menulis ini
sedang berlangsung pemilihan kepala desa). Meski juga, sekali lagi, ini adalah
novel fiksi, jadi unsur fiksi tetaplah lebih kuat.
Selanjutnya, saya hanya bisa
mengucapkan terima kasih kepada semua yang mendukung terselesaikannya novel
ini. Tidak bisa satu persatu saya sebutkan. Kepada Allah, para guru, orang tua,
istri dan kawan-kawanku sekalian. Terkhusus kepada Nurul Fitria Mutmainnah yang
telah membantu memperbaiki tulisan-tulisan dalam novel ini saya haturkan ribuan
terima kasih. Juga untuk penerbit yang telah menerbitkan novel ini dihaturkan
terima kasih.
Akhirnya saya berharap agar ada
kritik dan saran. Kritik bisa berupa cacian, makian atau kritik-kritik yang
membangun. Wassalam.
0 komentar:
Posting Komentar