Jumat, Februari 28, 2014

Telah Terbit Buku Kedua Saya "Sang Penggembala"

Menulis novel ini tidaklah selinier apabila membaca hasilnya. Penuh lika-liku dari kurangnya mood, hingga terganggunya berbagai kegiatan sebagai pelayan ummat. Ada beberapa hal yang menyebabkan lamanya proses penulisan novel ini. Salah satunya data-data yang terkumpul seringkali kurang lengkap untuk membumbungkan imajinasi cerita dalam novel ini. Karenanya manakala saya menulis kemudian tidak menemukan kelanjutan ceritanya, maka saya agendakan untuk pulang kampung halaman. Di sana saya banyak menggali berbagai cerita dari mulut ke mulut.
Beberapa bagian dari cerita novel ini adalah kenyataan. Namun untuk menyebut true story, saya kira bukan. Karena disamping cerita nyatanya, banyak dibumbui dengan imajinasi-imajinasi dan harapan-harapan membangun sebuah peradaban Indonesia kecil berupa desa.
Tentang Rizal sebagai tokoh utama, tidaklah selamanya dia itu saya. Dia adalah banyak pribadi. Seringkali orang yang membaca karya saya, khususnya siswa-siswa dan sahabat saya, selalu mengira bahwa tokoh yang saya ceritakan itu adalah saya. Padahal tidak. Ia hanyalah bagian kecil. Selebihnya berbagai unsur kebaikan dari masing-masing orang saya poles dalam kepribadian utuh pada sosok Rizal. Misalnya tentang solidaritas Rizal terhadap kawan-kawannya sesama pengembala itu adalah pengalaman saya masa kecil. Dan nama-nama yang saya nukil adalah nama sebenarnya. Termasuk dalam solidaritas sunat. Dan memang demikianlah dulu tradisi khitan ala desa saya yang sangat mengagumkan. Solidaritas lainnya, yakni solidaritas tidur di Masjid. Ini adalah polesan saya. Sebenarnya, tidur yang saya ceritakan itu tidur di Mushola. Dulu masa kecilku belum ada Masjid. Yang ada hanya Mushola. Dan di Mushola inilah dijadikan sebagai sentral kegiatan seluruh pemuda.
Adapun pengalaman mistis, Supadi yang dipegang oleh kalap, makhluk penghuni sungai, adalah kisah orang lain yang memang demikianlah cerita yang saya suguhkan. Ia yang sekarang menjadi tetangga saya, dan ia juga masih keluarga saya, mengalami hal mistis saat ia tenggelam di tengah sungai dengan adanya penarikan yang kuat di dasar sungai. Ia mampu melepaskan diri dengan merapalkan bacaan-bacaan ayat suci dan terbebaslah ia dari cengkraman makhluk halus bernama kalap.
Dan adanya goro-goro Masjid, memang demikianlah kenyataan di desa saya. Yakni sewaktu proses berdirinya Masjid, terjadi keributan antar tokoh. Pasalnya Ustad Saifuddin membangun Masjidnya bersebelahan dengan dua pohon beringin yang dijadikan sebagai tempat sesaji penduduk desa. Bahkan Ustad Saifuddin, menebang pohon beringin. Dan pohon beringinnya dijadikan bahan untuk membangun Masjid. Sebenarnya tidak hanya pohon beringin yang dijadikan sebagai polemik kepercayaan akan adanya pagebluk setelah itu. Ustad Saifuddin, ini adalah nama dari guru ngaji saya yang merupakan nama pesantren, nama aslinya Sukardi, membuat kebijakan menebang pohon Jati yang ada di kuburan desa untuk dijadikan bahan bangunan Masjid juga. Dan ini ditentang habis-habisan oleh para tokoh kejawen dengan berbagai fitnah. Dan ini realitas. Ini saya ekspose sebagai bagian dari konflik-konflik dalam cerita novel ini.
Tentang perdebatan antara Ustad Saifuddin dengan Mas Wariso itu adalah kenyataan. Namun itu saya tulis berdasar cerita-cerita. Pasalnya saya sendiri sewaktu hal itu terjadi saya masih kecil dan belum memahami duduk permasalahanya. Namun saya tulis dalam novel ini Rizal ikut andil dalam perdebatan perbedaan khilafiah itu.
Begitupun manakala saya menulis tentang Rizal dan kawan-kawannya tentang pengadilan Kepala desa kepadanya akibat kambing-kambingnya yang mblalo. Kambing yang mblalo adalah kenyataan. Namun pengadilannya adalah hasil imajinasi. Saya ingin menggambarkan sisi yudikatif di desa, sebagai bentuk kebobrokan hukum yang menggambarkan kebobrokan hukum di Indonesia. Dan di desa inilah miniaturnya.
Pengadilan yang dilakukan oleh Kepala Desa terhadap Rizal ini yang kemudian menjadikan pembalasan dendam si Rizal dengan memanfaatkan moment pemberontakan warga kampung atas kepemimpinan kepala desa yang otoriter. Ia memanfaatkan situasi itu dengan ikut memobilisasi massa melakukan unjuk rasa menuntut turunnya kepala desa. Ini sebenarnya cerita nyata. Bahwa ada unjuk rasa memang pernah dilakukan warga kampung Sayun. Namun gambaran di novel dan kiprah Rizal, saya imajinasikan berperan dalam konflik yang memanas.
Kenyataan akhirnya membuat kecewa Rizal dan penduduk desa. Polisi ternyata berkongkalikong dengan kepala desa, dengan seakan akan berpura-pura dipenjara, padahala dipelihara. Akhirnya kepala desa melenggang bebas dengan memamerkan kebebasan kepada warga dusun Sayun, yang memberontak.
Satu tahun kemudian, saat terjadi pemilihan kepala desa. Warga Sayun memanfaatkan moment tersebut untuk membalas dendam kepada kepala desa. Mereka bersepakat akan memilih asal bukan kepala desa. Jain-lah yang dipilih oleh warga. Namun karena penduduk desa heterogen, tidak semua sepakat dengan pemilihan mayoritas. Pasalnya ada beberapa keluarga dari kepala desa dan calon lain yang tetap memilih karena hubungan kekerabatan.
Adanya pilihan warga yang berbeda inilah yang kemudian menimbulkan konflik. Warga dusun sayun tidak siap dengan perbedaan. Mereka mencurigai bahkan mengucilkan siapa saja yang berbeda pilihan dengan mereka. Karena sifat fanatik ini menjadikan semua yang berpotensi berbeda akan dimusuhi.
Hal ini melanda Ustad Saifuddin. Ustad Saifuddin yang ingin netral ditengah-tengah hiruk pikuk masyarakat yang berbeda-beda pilihannya, Ustad Saifuddin ingin menjadi pengayom pada seluruh warga. Namun ia kena getahnya. Ia dimusuhi karena tidak jelas pilihannya. Ia difitnah bahkan para warga akan boikot sholat di Masjid.
Hal ini yang menjadikan Rizal gelisah. Ditengah kegelisahannya ia bermujahadah malam. Dan dalam mujahadahnya tersebut ia ditemui secara ghaib Mbah Reseco, sang founding father dusun Sayun. Ia mendapat tugas untuk menyelamatkan warga kampung dari angkara murka akibat kiriman para dukun-dukun dari calon kepala desa lain yang ingin memanfaatkan situasi. Rizal pun menjalankan tugas. Ia berperan dalam hal mistis. Bahkan mendampingin proses transisi kepemimpinan yang ditandai dengan hadirnya pulung, tanda kepemimpinan desa.
Cerita ini, wahai para pembaca, adalah kisah dari teman saya. Tetapi sengaja saya jadikan Rizallah yang mengalami. Dimana ia yang berperan secara ghaib menyingkirkan anasir-anasir jahat yang hendak menyusup dalam alam bawah sadar masyarakat desa yang ditiupkan agar para warga berbuat angkara murka. Termasuk merubah pilihan.
Rizal bertarung secara ghaib dengan para dukun-dukun dari calon kepala desa lain. Dan ia memenangkan pertarungan itu. Dan kemenangan itu semakin gemilang, tatkala Jain sebagai pilihan Rizal menang mutlak.
Pilihan kepala desa ini adalah kenyataan. Dan ini saya peroleh saat saya harus terjun ditengah masyarakat sekaligus mengawal pesta demokrasi di Desa JEJEL. Dan ini yang saya jadikan bahan dalam novel hingga menjadikan kisah yang saya sambung-sambungkan. Namun sebenarnya calon kepala desa hanyalah dua orang. Dalam novel ini saya buat tiga orang. Saya ingin menghadirkan kepala desa dongkol[1], kepala desa yang dimusuhi oleh warga, bertarung dengan dua calon lain dengan strategi politik yang bermutu.
Adapun intrik-intriknya saya buat sendiri, agar perhelatan pemilihan pemimpin desa ini lebih politis. Tetapi tidak semua intrik hanyalah karangan saya sendiri, karena bila ditelusuri jauh akan lebih politis daripada yang saya tulis dalam novel ini. Ada perdukunan, suap, kampanye hitam, perjudian, dan lain sebagainya.
Dan sekali lagi saya mohon maaf, saya tidak berani menuduhkan siapa-siapa kepala desa dongkol itu. Meski cerita ini ada yang benar. Tetapi saya cukup menamakan dengan nama kepala desa saja.
Selanjutnya setelah usai huru-hara, saya ketengahkan tentang konsep “dondom kloso bedhah” dan pemberdayaan para warga oleh Rizal. Rizal melakukan perannya sebagai pemuda di Dusun Sayun ini dengan program-program jelas untuk merawat luka-luka politik.            
Para pembaca sekalian, apabila anda ingin melihat perpolitikan di desa maka membaca novel ini anda akan terpuaskan untuk melihat lebih jauh persepsi masyarakat desa terhadap politik. Ini saya tulis apa adanya sebagaimana saya temui dilapangan (sewaktu saya menulis ini sedang berlangsung pemilihan kepala desa). Meski juga, sekali lagi, ini adalah novel fiksi, jadi unsur fiksi tetaplah lebih kuat.
Selanjutnya, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada semua yang mendukung terselesaikannya novel ini. Tidak bisa satu persatu saya sebutkan. Kepada Allah, para guru, orang tua, istri dan kawan-kawanku sekalian. Terkhusus kepada Nurul Fitria Mutmainnah yang telah membantu memperbaiki tulisan-tulisan dalam novel ini saya haturkan ribuan terima kasih. Juga untuk penerbit yang telah menerbitkan novel ini dihaturkan terima kasih.
Akhirnya saya berharap agar ada kritik dan saran. Kritik bisa berupa cacian, makian atau kritik-kritik yang membangun. Wassalam.




[1] Mantan kepala desa

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*