Jumat, Februari 28, 2014

Sengsara membawa nikmat



Menarik sekali judul sebuah novel ini, “sengsara membawa nikmat”, sebuah novel yang kemudian diangkat menjadi sinetron menggantikan sinetron yang sangat terkenal zaman waktu saya SD dulu, “SITI NURBAYA”. Sinetron “Sengsara membawa Nikmat” yang dibintangi oleh Gusti Randa dan Desy Ratnasari itu bercerita tentang kesengsaraan yang membawa nikmat. Apakah mungkin sengsara membawa nikmat? Bukankah selama ini yang dikatakan nikmat adalah kebahagiaan? Harusnya judul novel atau sinetron itu adalah “Kebahagiaanlah yang membawa nikmat”. Hal inilah yang membuat masa kecilku bingung.
Namun setelah dewasa dengan bergelut diberbagai saluran pemikiran, ternyata logika itu bisa dibalik. Bahwa benarlah, sengsara itu membawa nikmat. Kahlil Gibran mengatakan, “Semakin dalam duka menggoreskan luka ke dalam sukma maka semakin mampu Sang Kalbu mewadahi bahagia”. Begitupun dengan apa yang disampaikan oleh Sidharta Gautama “ Di dalam samsara (sengsara) disitu ada nirwana (kebahagiaan).
Contoh sederhanannya, Ibu yang sengsara  selama 9 bulan mengandung janinnya, akan memperoleh nikmat saat sesosok mungil seorang bayi telah lahir dan berada digendongannya. Seseorang yang sengsara bekerja keras akan memperoleh nikmat dengan perolehan kesuksesannya. Seorang pelajar akan mengalami kesengsaraan dengan berbagai pelajaran yang mana ia dituntut untuk hafal dan pandai berhitung serta menyelesaikan berbagai tugas yang diberikan, akan beroleh kebahagiaan saat kepandaian dan kesuksesan telah didapatnya. 
Jadi sengsara itu adalah sebuah kepastian yang harus dilalui untuk memperolah kenikmatan. Sengsara itu bukanlah suatu yang dipahami sebagai kedukaan yang menyebabkan kita bersedih, namun harusnya ia dipahami sebagai sebuah proses. Karena ia sebagai sebuah proses, maka pada saat berproses itu dibutuhkan kesabaran untuk beroleh hasil.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah kita bisa bersahabat dengan kesengsaraan? Ini bergantung bagaimana mind set anda terhadap nilai kesengsaraan. Di dalam tasawuf, bahwa orang yang memiliki kecerdasan ruhani yang tinggi adalah ketika ia sudah tidak mampu membedakan antara puja dan cela. Ketika ia sudah tidak mampu membedakan emas dan kerikil. Ketika ia sudah tidak mampu membedakan sengsara dan nikmat. Karena kedua-duanya adalah pemberian. Pemberian dari Allah. Karena ia pemberian dari Allah maka menerimanya adalah sebagai sebuah anugerah.
Namun untuk mencapai kesana itu, kita-kita sebagai orang awam, tentu perlu latihan-latihan. Yang terpenting bagaimana kita bersahabat dengan kesengsaraan yang sudah merupakan kepastian tersebut.
Kalau anda sudah menjadi orang sukses, apabila anda ditanya tentang bagaimanakah sejarah anda bisa sukses? Yang anda ceritakan sengsaranya atau bahagiannya? Saya yakin yang anda ceritakan adalah deritanya. Apabila anda diwawancarai oleh anak anda, bagaimanakah ceritanya Ayah Ibunya bisa menjadi suami istri. Tentu yang anda ceritakan adalah lika liku sengsaranya mendapatkan cinta berdua. Apabila anda yang saat ini sudah lulus dari SMA, yang terkenang masa SMA itu apa? Kebanyakan yang diceritakan adalah masa-masa sengsara bagaimana menghadapi UNAS. Harus ikut Full Day, ikut Kursus, Ikut Istighosah, Puasa, Dzikir, dll.
Seorang pesilat tangguh semacam Bruce lee, atau Jet Lie, atau Jacki Chan, ketika ditanya bagaimanakah mereka belajar? Mereka akan menceritakan bagaimana sengsaranya belajar ilmu kungfu. Bukankah di dalam film-film kungfu, murid murid saolin, sebelum diajari ilmu, dibuat sengsara dulu dengan disuruh menimba? Itu metode kesengsaraan.
Seorang tentara atau Polisi, sebelum mereka resmi diterima menjadi tentara atau polisi, diberikan masa pendidikan. Disana mereka dididik dengan keras. Itu sengsara. Tetapi dengan didikan sengsara tersebut akan selalu menjadikannya terkenang masa-masa pendidikan.
So, Jadi, Sengsara adalah membawa nikmat……..

Mojokerto, 23 Feb 2013
Isno El Kayyis


0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*