Menarik sekali judul sebuah novel
ini, “sengsara membawa nikmat”, sebuah novel yang kemudian diangkat menjadi
sinetron menggantikan sinetron yang sangat terkenal zaman waktu saya SD dulu,
“SITI NURBAYA”. Sinetron “Sengsara membawa Nikmat” yang dibintangi oleh Gusti
Randa dan Desy Ratnasari itu bercerita tentang kesengsaraan yang membawa
nikmat. Apakah mungkin sengsara membawa nikmat? Bukankah selama ini yang
dikatakan nikmat adalah kebahagiaan? Harusnya judul novel atau sinetron itu
adalah “Kebahagiaanlah yang membawa nikmat”. Hal inilah yang membuat masa
kecilku bingung.
Namun setelah dewasa dengan
bergelut diberbagai saluran pemikiran, ternyata logika itu bisa dibalik. Bahwa benarlah, sengsara
itu membawa nikmat. Kahlil Gibran mengatakan, “Semakin dalam duka menggoreskan
luka ke dalam sukma maka semakin mampu Sang Kalbu mewadahi bahagia”. Begitupun
dengan apa yang disampaikan oleh Sidharta Gautama “ Di dalam samsara (sengsara)
disitu ada nirwana (kebahagiaan).
Contoh sederhanannya, Ibu yang sengsara selama 9 bulan mengandung janinnya, akan
memperoleh nikmat saat sesosok mungil seorang bayi telah lahir dan berada
digendongannya. Seseorang yang sengsara bekerja keras akan memperoleh nikmat
dengan perolehan kesuksesannya. Seorang pelajar akan mengalami kesengsaraan
dengan berbagai pelajaran yang mana ia dituntut untuk hafal dan pandai
berhitung serta menyelesaikan berbagai tugas yang diberikan, akan beroleh
kebahagiaan saat kepandaian dan kesuksesan telah didapatnya.
Jadi sengsara itu adalah sebuah kepastian yang harus dilalui
untuk memperolah kenikmatan. Sengsara itu bukanlah suatu yang dipahami sebagai
kedukaan yang menyebabkan kita bersedih, namun harusnya ia dipahami sebagai
sebuah proses. Karena ia sebagai sebuah proses, maka pada saat berproses itu
dibutuhkan kesabaran untuk beroleh hasil.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah kita bisa bersahabat
dengan kesengsaraan? Ini bergantung bagaimana mind set anda terhadap nilai
kesengsaraan. Di dalam tasawuf, bahwa orang yang memiliki kecerdasan ruhani
yang tinggi adalah ketika ia sudah tidak mampu membedakan antara puja dan cela.
Ketika ia sudah tidak mampu membedakan emas dan kerikil. Ketika ia sudah tidak
mampu membedakan sengsara dan nikmat. Karena kedua-duanya adalah pemberian. Pemberian
dari Allah. Karena ia pemberian dari Allah maka menerimanya adalah sebagai
sebuah anugerah.
Namun untuk mencapai kesana itu, kita-kita sebagai orang
awam, tentu perlu latihan-latihan. Yang terpenting bagaimana kita bersahabat
dengan kesengsaraan yang sudah merupakan kepastian tersebut.
Kalau anda sudah menjadi orang sukses, apabila anda ditanya
tentang bagaimanakah sejarah anda bisa sukses? Yang anda ceritakan sengsaranya
atau bahagiannya? Saya yakin yang anda ceritakan adalah deritanya. Apabila anda
diwawancarai oleh anak anda, bagaimanakah ceritanya Ayah Ibunya bisa menjadi
suami istri. Tentu yang anda ceritakan adalah lika liku sengsaranya mendapatkan
cinta berdua. Apabila anda yang saat ini sudah lulus dari SMA, yang terkenang
masa SMA itu apa? Kebanyakan yang diceritakan adalah masa-masa sengsara
bagaimana menghadapi UNAS. Harus ikut Full Day, ikut Kursus, Ikut Istighosah,
Puasa, Dzikir, dll.
Seorang pesilat tangguh semacam Bruce lee, atau Jet Lie, atau
Jacki Chan, ketika ditanya bagaimanakah mereka belajar? Mereka akan
menceritakan bagaimana sengsaranya belajar ilmu kungfu. Bukankah di dalam
film-film kungfu, murid murid saolin, sebelum diajari ilmu, dibuat sengsara
dulu dengan disuruh menimba? Itu metode kesengsaraan.
Seorang tentara atau Polisi, sebelum mereka resmi diterima
menjadi tentara atau polisi, diberikan masa pendidikan. Disana mereka dididik
dengan keras. Itu sengsara. Tetapi dengan didikan sengsara tersebut akan selalu
menjadikannya terkenang masa-masa pendidikan.
So, Jadi, Sengsara adalah membawa nikmat……..
Mojokerto, 23 Feb 2013
Isno El Kayyis
0 komentar:
Posting Komentar