Setiap kali ada bencana
alam, disana sini akan bermunculan ajakan untuk menyumbangkan dana untuk para
korban bencana alam. Baik oleh lembaga resmi pemerintah maupun swasta bahkan
yayasan-yayasan abal-abal sekalipun. Melalui televise, radio, media cetak,
maupun dijalan-jalan. Masyarakat pun berbondong-bondong mendonasikan hartanya.
Baik melalui transfer maupun secara langsung kepada yayasan penggerak dana
social.
Di sekolah saya sendiri
saja, anak-anak OSIS dengan cekatan melakukan kampanye peduli kurban kelud.
Mereka masuk ke kelas-kelas sambil membawa kotak amal. Dan dari dana yang
terkumpul tercatat jumlahnya lumayan besar.
Terus terang, saya
menunggu reaksi anak-anak SKI dimana organisasi exstrakurikuler ini yang saya
bimbing. Namun tidak ada reaksi. Padahal mereka-merekalah yang selama ini
terlatih untuk melakukan aksi-aksi social. Karena gak srantan, akhirnya saya cetuskan sendiri dengan memerintahkan
ketua SKI melakukan gerakan ke kelas-kelas dengan memberikan informasi untuk
melakukan sumbangan berupa kain layak pakai, mie instan dll. Bukan uang.
Biasanya kalau uang orang akan merasa eman.
Perintah saya ini tidak
serta merta berjalan mulus. Masih ada saja kendala. Ketidakberanian atau kalau
boleh disebut, ketidakpedean menghadapi massa, inilah yang masih menjadi
kendala di tubuh SKI saat ini. Saya sendiri malah diminta untuk memanggil ketua
kelas dan segera memerintahkan sebagaimana saya perintah. Padahal yang saya
inginkan SKI-lah yang muncul menjadi “artis”.
Namun tetap saja ada
solusi. Anak-anak SKI menggandeng OSIS. Terbukti dari donasi masuk ke
kelas-kelas, anak-anak SKI terlibat. Bahkan yang akhirnya menerima
donasi-donasi itu lebih banyak anak-anak SKI. Untuk belanja dan pengangkutan barang-barang
adalah anak-anak SKI, sebagaimana saya bilang, mereka lebih terlatih dalam
aksi-aksi social sebagaimana program BAKSOS yang selalu dilakukan tiap tahun.
Saya sendiri pun
bergerak dengan menginfokan gerakan peduli kelud kepada para alumni, guru-guru
dan jaringan tarekat syadziliyah serta masyarakat umum. Hasilnya lumayan,
tetapi kurang “wah”. Kenapa kurah “wah”? Karena untuk ukuran banyak belum bisa
dikatakan banyak. Terbukti saat saya belanja di carefour, barang dagangan hanya
muat satu becak. Sumbangan yang terkumpul paling banyak adalah kain bekas yang
menumpuk. Beruntung dan sangat beruntung, saya dibel oleh Mas Bahrul, Ketua
Yayasan al-Kahfi. Beliau juga melakukan donasi. Yayasan al Kahfi menerima
banyak sumbangan. Dan mereka bingung menyalurkan. Dengan mantab saya mengatakan
siap mengantarkan dan menyalurkan sembako serta sumbangan masyarakat yang
ditampung Al Kahfi. Mobil luxio dipenuhi
oleh bantuan dari Yayasan al-Kahfi.
Tidak hanya berhenti
disitu saja. Sumbangan menumpuk. Sedang mobilnya hanya luxio saja. Saya
prakirakan mobil luxio tidak akan muat. Karena harus muat manusia juga. Harus
menyewa. Tetapi kok menyewa? Tidak enak, apabila uang yang telah terkumpul
digunakan untuk ongkos transportasi. Dan beruntunglah tiba-tiba, disana-sini banyak
tawaran mobil beserta sopirnya. Ada 2 mobil innova dan 1 mobil avanza. 4 mobil
siap mengantarkan barang-barang yang menumpuk tersebut.
Hari kamis, pukul 10.30
rombongan yang terdiri dari gabungan antara anak OSIS dan SKI berangkat menuju
Kediri. Di Kediri, saya telah berkirim kontak, bahwa kawan-kawan saya yang
tergabung dalam SA 78, membuat posko bencana alam. Posko SA 78 yang dibuat
untuk tanggap bencana itu adalah bentukan pondok PETA Tulungagung, dimana saya
sebagai santrinya. Meski dengan tertatih-tatih dijalan, karena tidak tahu rute,
akhirnya sampai juga di Desa Kepung, Kec. Kepung Kab. Kediri. Disana rombongan
disambut oleh kawan-kawan saya yang akrab hanya di Facebook tersebut. Mereka
bertanya, “Yang mana yang namanya Pak Isno?”, “Saya Pak” saya jawab sambil
bersalaman. Ada aura kebahagiaan bertemu dengan saudara-saudara sesama tarekat
syadziliyah.
Barang-barang
diturunkan semua. Dibantu oleh team para relawan. Berdasarkan info, untuk
menuju lokasi langsung sangat rawan. Terlebih apabila tidak tahu lokasi.
Bisa-bisa rombongan akan dijarah. Saya sendiri, sebenarnya sudah percaya 100
persen kepada kawan-kawan saya. Namun ada “orang” dalam rombongan tetap minta
menuju lokasi, dengan alasan untuk dokumentasi. Akhirnya dikabulkan oleh team
relawan. Tetapi dicarikan daerah yang aman. Beberapa dus air, makanan dan
masker dijadikan sebagai symbol pemberian. Rombongan menuju desa Kebonrejo.
Desa ini adalah desa puncak yang tidak ada lagi desa sesudahnya. Kerusakan
akibat erupsi menjadi pemandangan dalam perjalanan. Hanya kata “Ya Allah”.
Imajinasi para rombongan, “Ndahneo Pas meletusnya bingungnya masyarakat sini”.
Tidak berapa rombongan telah tiba di desa Kebonrejo. Disepanjang jalan desa,
kami bagikan makanan dan minuman. Dan disetiap membagikan, masyarakatnya saling
berdatangan. Apabila mereka tidak kebagian, ada raup kecewa. “Duh gusti, andai
aku kaya akan aku jatah makan setiap hari” gumamku dalam hati. Terakhir,
rombongan diajak oleh team relawan, berkunjung ke rumah yang kebakaran akibat
letusan gunung berapi. Dugaanku, rumah ini terkena konsleting listrik. Bukan
karena batu pijar sebagaimana desas desus. Tampak bagus rumahnya sebelum
kebakaran. Dan memang rata-rata didesa ini, meskipun di dekat gunung kelud,
tetapi masyarakatnya sejahtera. Kemungkinan hasil pertaniannya yang melimpah.
Sebagaimana yang terlihat dikanan kiri jalan, banyak Lombok, tomat, salak,
durian menjadi tanaman penghasil pundi pundi amal. Jadi sebenarnya mereka
kaya-kaya. Tetapi dengan kondisi seperti ini, apalah arti kekayaannya?
Kekayaan orang desa itu
terlihat hanya dari bangunan rumahnya. Mereka, jarang atau kalau boleh
dikatakan, tidak memiliki tabungan uang di BANK, sebagaimana orang kota-kota.
Biasanya kalau sudah punya uang langsung dibelikan wujud barang. Jadi dengan bangunan
rumah yang nampak bagus, tetapi kemudian hancur, sangat mungkin mereka akan
kesulitan untuk membenahi segera, sedang hasil panennya hancur akibat letusan
kelud pula.
Setelah selesai muter
desa, rombongan kembali ke posko SA 78. Disepanjang jalan kembali, saya
memperhatikan kanan kiri. Banyak relawan mendirikan posko-posko. Mereka
membantu mendirikan tenda untuk pengungsian. Ada juga yang membantu membangun
tempat ibadah kembali. Ada FPI, Pesantren, PCNU, Sekolah, geraja dll. Mereka
membantu dengan kadar kemampuan masing-masing.
Saya menjadi teringat,
bahwa dulu kita ini adalah masyarakat gotong royong. Hanya saja sekarang
sedikit demi sedikit, atau kalau boleh dibilang hilang dalam kehidupan
sehari-hari. Dulu, bila ada orang mau membetulkan emperan (serambi) maka
tetangga kanan kiri akan berbondong bondong membantu. Tanpa upah. Dulu, apabila
ada orang sedang mengerjakan sawah, atau memanen, tetangga kanan kiri akan
membantu. Dulu, apabila ada orang mendirikan rumah, maka seluruh masyarakat
akan membantu. Tanpa upah. Dulu, membangun jalan desa, semua
berbondong-bondong. Tanpa upah. Namun sekarang? Semuanya serba uang. Semua
diukur dari uang. Tidak ada makan siang gratis, demikian kata-kata orang yang
membantu tetapi ada udang dibalik maksud.
Tetapi melihat
sumbangan dari berbagai lapisan masyarakat yang berduyun-duyun, mengingatkanku
pada teori Psikologi, yakni Gustav Jung, santrinya Pak Dhe Sigmund Freud. Bahwa
ada arketipe yang mewaris. Ia mewaris melalui alam bawah sadar masyarakat.
Tanpa disadari bahwa jiwa gotong royong itu telah merembes menjadi alam bawah
sadar kebudayaan suatu masyarakat. Ia akan muncul terus dalam bentuk yang
berbeda. Ia juga akan muncul dengan tampa sempurna bila ada kondisi-kondisi
tertentu. Jiwa Gotong Royong adalah kesejatian kebudayaan bangsa Jawa. Ia telah
meletus seiring dengan letusan Kelud. Ia mengejawantah dalam gawe besar
membantu saudara-saudaranya yang terkena musibah. Berbondong-bondong saling
membantu. Tanpa Upah. Sungguh Indah Ketulusan itu. Namun kenapa munculnya harus
melalui Letusan Kelud? Mungkinkah ini adalah hikmah dibalik Musibah? Kata
orang-orang, mungkin demikian.
Mojokerto,
18.45 19-02-14
Isno
El Kayyis
0 komentar:
Posting Komentar