Jumat, Februari 21, 2014

Peduli Kelud : Sebuah Fenomena gotong royong yang menampak



Setiap kali ada bencana alam, disana sini akan bermunculan ajakan untuk menyumbangkan dana untuk para korban bencana alam. Baik oleh lembaga resmi pemerintah maupun swasta bahkan yayasan-yayasan abal-abal sekalipun. Melalui televise, radio, media cetak, maupun dijalan-jalan. Masyarakat pun berbondong-bondong mendonasikan hartanya. Baik melalui transfer maupun secara langsung kepada yayasan penggerak dana social.
Di sekolah saya sendiri saja, anak-anak OSIS dengan cekatan melakukan kampanye peduli kurban kelud. Mereka masuk ke kelas-kelas sambil membawa kotak amal. Dan dari dana yang terkumpul tercatat jumlahnya lumayan besar.
Terus terang, saya menunggu reaksi anak-anak SKI dimana organisasi exstrakurikuler ini yang saya bimbing. Namun tidak ada reaksi. Padahal mereka-merekalah yang selama ini terlatih untuk melakukan aksi-aksi social. Karena gak srantan, akhirnya saya cetuskan sendiri dengan memerintahkan ketua SKI melakukan gerakan ke kelas-kelas dengan memberikan informasi untuk melakukan sumbangan berupa kain layak pakai, mie instan dll. Bukan uang. Biasanya kalau uang orang akan merasa eman.
Perintah saya ini tidak serta merta berjalan mulus. Masih ada saja kendala. Ketidakberanian atau kalau boleh disebut, ketidakpedean menghadapi massa, inilah yang masih menjadi kendala di tubuh SKI saat ini. Saya sendiri malah diminta untuk memanggil ketua kelas dan segera memerintahkan sebagaimana saya perintah. Padahal yang saya inginkan SKI-lah yang muncul menjadi “artis”.
Namun tetap saja ada solusi. Anak-anak SKI menggandeng OSIS. Terbukti dari donasi masuk ke kelas-kelas, anak-anak SKI terlibat. Bahkan yang akhirnya menerima donasi-donasi itu lebih banyak anak-anak SKI. Untuk belanja dan pengangkutan barang-barang adalah anak-anak SKI, sebagaimana saya bilang, mereka lebih terlatih dalam aksi-aksi social sebagaimana program BAKSOS yang selalu dilakukan tiap tahun.
Saya sendiri pun bergerak dengan menginfokan gerakan peduli kelud kepada para alumni, guru-guru dan jaringan tarekat syadziliyah serta masyarakat umum. Hasilnya lumayan, tetapi kurang “wah”. Kenapa kurah “wah”? Karena untuk ukuran banyak belum bisa dikatakan banyak. Terbukti saat saya belanja di carefour, barang dagangan hanya muat satu becak. Sumbangan yang terkumpul paling banyak adalah kain bekas yang menumpuk. Beruntung dan sangat beruntung, saya dibel oleh Mas Bahrul, Ketua Yayasan al-Kahfi. Beliau juga melakukan donasi. Yayasan al Kahfi menerima banyak sumbangan. Dan mereka bingung menyalurkan. Dengan mantab saya mengatakan siap mengantarkan dan menyalurkan sembako serta sumbangan masyarakat yang ditampung Al Kahfi.  Mobil luxio dipenuhi oleh bantuan dari Yayasan al-Kahfi.

Tidak hanya berhenti disitu saja. Sumbangan menumpuk. Sedang mobilnya hanya luxio saja. Saya prakirakan mobil luxio tidak akan muat. Karena harus muat manusia juga. Harus menyewa. Tetapi kok menyewa? Tidak enak, apabila uang yang telah terkumpul digunakan untuk ongkos transportasi. Dan beruntunglah tiba-tiba, disana-sini banyak tawaran mobil beserta sopirnya. Ada 2 mobil innova dan 1 mobil avanza. 4 mobil siap mengantarkan barang-barang yang menumpuk tersebut.
Hari kamis, pukul 10.30 rombongan yang terdiri dari gabungan antara anak OSIS dan SKI berangkat menuju Kediri. Di Kediri, saya telah berkirim kontak, bahwa kawan-kawan saya yang tergabung dalam SA 78, membuat posko bencana alam. Posko SA 78 yang dibuat untuk tanggap bencana itu adalah bentukan pondok PETA Tulungagung, dimana saya sebagai santrinya. Meski dengan tertatih-tatih dijalan, karena tidak tahu rute, akhirnya sampai juga di Desa Kepung, Kec. Kepung Kab. Kediri. Disana rombongan disambut oleh kawan-kawan saya yang akrab hanya di Facebook tersebut. Mereka bertanya, “Yang mana yang namanya Pak Isno?”, “Saya Pak” saya jawab sambil bersalaman. Ada aura kebahagiaan bertemu dengan saudara-saudara sesama tarekat syadziliyah.

Barang-barang diturunkan semua. Dibantu oleh team para relawan. Berdasarkan info, untuk menuju lokasi langsung sangat rawan. Terlebih apabila tidak tahu lokasi. Bisa-bisa rombongan akan dijarah. Saya sendiri, sebenarnya sudah percaya 100 persen kepada kawan-kawan saya. Namun ada “orang” dalam rombongan tetap minta menuju lokasi, dengan alasan untuk dokumentasi. Akhirnya dikabulkan oleh team relawan. Tetapi dicarikan daerah yang aman. Beberapa dus air, makanan dan masker dijadikan sebagai symbol pemberian. Rombongan menuju desa Kebonrejo. Desa ini adalah desa puncak yang tidak ada lagi desa sesudahnya. Kerusakan akibat erupsi menjadi pemandangan dalam perjalanan. Hanya kata “Ya Allah”. Imajinasi para rombongan, “Ndahneo Pas meletusnya bingungnya masyarakat sini”. Tidak berapa rombongan telah tiba di desa Kebonrejo. Disepanjang jalan desa, kami bagikan makanan dan minuman. Dan disetiap membagikan, masyarakatnya saling berdatangan. Apabila mereka tidak kebagian, ada raup kecewa. “Duh gusti, andai aku kaya akan aku jatah makan setiap hari” gumamku dalam hati. Terakhir, rombongan diajak oleh team relawan, berkunjung ke rumah yang kebakaran akibat letusan gunung berapi. Dugaanku, rumah ini terkena konsleting listrik. Bukan karena batu pijar sebagaimana desas desus. Tampak bagus rumahnya sebelum kebakaran. Dan memang rata-rata didesa ini, meskipun di dekat gunung kelud, tetapi masyarakatnya sejahtera. Kemungkinan hasil pertaniannya yang melimpah. Sebagaimana yang terlihat dikanan kiri jalan, banyak Lombok, tomat, salak, durian menjadi tanaman penghasil pundi pundi amal. Jadi sebenarnya mereka kaya-kaya. Tetapi dengan kondisi seperti ini, apalah arti kekayaannya?

Kekayaan orang desa itu terlihat hanya dari bangunan rumahnya. Mereka, jarang atau kalau boleh dikatakan, tidak memiliki tabungan uang di BANK, sebagaimana orang kota-kota. Biasanya kalau sudah punya uang langsung dibelikan wujud barang. Jadi dengan bangunan rumah yang nampak bagus, tetapi kemudian hancur, sangat mungkin mereka akan kesulitan untuk membenahi segera, sedang hasil panennya hancur akibat letusan kelud pula.
Setelah selesai muter desa, rombongan kembali ke posko SA 78. Disepanjang jalan kembali, saya memperhatikan kanan kiri. Banyak relawan mendirikan posko-posko. Mereka membantu mendirikan tenda untuk pengungsian. Ada juga yang membantu membangun tempat ibadah kembali. Ada FPI, Pesantren, PCNU, Sekolah, geraja dll. Mereka membantu dengan kadar kemampuan masing-masing.

Saya menjadi teringat, bahwa dulu kita ini adalah masyarakat gotong royong. Hanya saja sekarang sedikit demi sedikit, atau kalau boleh dibilang hilang dalam kehidupan sehari-hari. Dulu, bila ada orang mau membetulkan emperan (serambi) maka tetangga kanan kiri akan berbondong bondong membantu. Tanpa upah. Dulu, apabila ada orang sedang mengerjakan sawah, atau memanen, tetangga kanan kiri akan membantu. Dulu, apabila ada orang mendirikan rumah, maka seluruh masyarakat akan membantu. Tanpa upah. Dulu, membangun jalan desa, semua berbondong-bondong. Tanpa upah. Namun sekarang? Semuanya serba uang. Semua diukur dari uang. Tidak ada makan siang gratis, demikian kata-kata orang yang membantu tetapi ada udang dibalik maksud.
Tetapi melihat sumbangan dari berbagai lapisan masyarakat yang berduyun-duyun, mengingatkanku pada teori Psikologi, yakni Gustav Jung, santrinya Pak Dhe Sigmund Freud. Bahwa ada arketipe yang mewaris. Ia mewaris melalui alam bawah sadar masyarakat. Tanpa disadari bahwa jiwa gotong royong itu telah merembes menjadi alam bawah sadar kebudayaan suatu masyarakat. Ia akan muncul terus dalam bentuk yang berbeda. Ia juga akan muncul dengan tampa sempurna bila ada kondisi-kondisi tertentu. Jiwa Gotong Royong adalah kesejatian kebudayaan bangsa Jawa. Ia telah meletus seiring dengan letusan Kelud. Ia mengejawantah dalam gawe besar membantu saudara-saudaranya yang terkena musibah. Berbondong-bondong saling membantu. Tanpa Upah. Sungguh Indah Ketulusan itu. Namun kenapa munculnya harus melalui Letusan Kelud? Mungkinkah ini adalah hikmah dibalik Musibah? Kata orang-orang, mungkin demikian.

Mojokerto, 18.45 19-02-14
Isno El Kayyis
     

        

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*