Ketika H. Mahrus meluncurkan bukunya “Mantan Kyai Nu Menggugat Tahlil”, banyak orang NU yang tersakiti hatinya. Karena mereka seakan menjadi obyek yang dituju sebagai aliran sesat yang menjalankan ritual tidak berdasar sebagaimana dituntunkan oleh Kanjeng Nabi. Padahal mereka juga memiliki dasar baik dari al-Quran, Hadis, dan Ijtihad-ijtihad para ulama yang turun menurun dalam bentuk kitab-kitab kuning yang diwarisi dan menjadi pokok refrensi amaliah-amaliah kehidupan ibadah mereka.
Beragam reaksi yang ditunjukkan oleh warga NU, baik di Majalah Resmi NU “AULA”, atau di koran NU “Duta Masyarakat”, di NU On Line, bahkan di lingkungan akademisi IAIN Sunan Ampel sendiri juga banyak diantara dosen yang berang. Gejolak warga NU itu akhirnya dipuaskan dengan diselenggarakannya debat antara H. Mahrus dengan PC Nu Jember yang juga telah menerbitkan buku “Membongkar kebohongan buku Mantan Kyai Nu Menggugat Tahlil”. Dari perdebatan itu yang pada akhirnya H. Mahrus tidak berani berdebat dengan tidak muncul batang hidungnya, menunjukkan bahwa NU memiliki nyali untuk menunjukkan bukti kuat dasar pijakan amaliah mereka yang selama ini dijalani. Kalau kita lihat isi buku yang diterbutkan oleh PC NU Jember banyak referensi-referensi kitab-kitab besar yang dijadikan dasar tentang dibolehkannya tahlil mereka. Bahkan tawasulan yang juga sering disesatkan oleh kalangan salafi ternyata juga memiliki dasar yang kuat, termasuk sholawat Nariyah, sholawat munjiyat, Hizb-Hizb, ataupun beberapa amaliah lainnya. Jika kita ambil hikmah, beruntunglah warga Nu, akhirnya mereka bisa memperoleh dasar pijakan dari amaliah mereka, plus mereka menjadi tambah pintar.
Saya sendiri yang sejak kecil dilahirkan dilingkungan yang bertahlil memiliki banyak kenangan terhadap tahlil itu sendiri. Terlalu sulit untuk dilupakan bahkan sulit untuk dihilangkan. Karena tahlil telah mendarah daging dalam tulang sumsumku (Kalau makna tahlil itu adalah LA ILA HA ILALLOH). Tahlil bagi saya, dulu waktu kecil dan remaja, adalah ajang bertemunya saudara-saudara sesama umat Islam, setiap hari kamis. Kami berdzikir, bersholawat, beristighosah dan bersilaturahmi serta makan-makan bersama sebagai saudara. Ketika ada saudara kami yang meninggal, maka kami (apalagi saya) tidak bisa memberikan apa-apa kepada orang kesusahan tersebut kecuali sebait doa yang dirangkai dalam doa-doa Tahlil. Bukankah makanan atau apa saja tidak bisa menghibur orang yang sedang kesusahan, kecuali memberikan semangat dan perhatian kepada mereka dan mendoakan orang tua mereka agar diterima disisi Alloh???. Diterima ataukah tidak doa kami, itu urusannya Alloh. Kami sebagai hamba tidak mau usil dengan urusan Allah. Biarkanlah Alloh yang mengatur segalanya.
Waktu kuliah, memang kami sempat berdebat hebat dengan teman-teman Muhamadiyah ketika mata kuliah Ushul Fiqh, tetapi pada akhirnya mereka memahami. Mereka memahami pada titik tertentu harus ada toleransi untuk tidak mempermasalahkan khilafiah. Biarkan antara Nu dan Muhammadiyah duduk bersama membangun umat. Biarkan mereka mengurusi hal-hal besar. Jangan sampai umat terlantarkan gara-gara perbedaan pendapat kecil saja. Akhirnya kita bisa melihat sekarang NU dan Muhammadiyah tidak pernah bertengkar lagi. Paling-paling kalau bertengkar urusan politik kepentingan mereka masing-masing....he....he....
NU dan Muhamadiyah bagi saya tidaklah penting, jika NU dan Muhammadiyah hanya dijadikan simbol organisasi. Penting sekali, jika keduanya bermanfaat bagi umat sebesar-besarnya. Saya sendiri dan penduduk kampung tidak pernah menganggap penting NU, padahal secara ritual kami menjalankan ritual NU. Bagi kami, ada atau tidak ada NU, kami tetap tahlilan. Apakah adanya NU itu baru ada tahlilan, ataukah adanya tahlilan menunjukkan adanya NU???? Jangan terlalu pusing menjawab soal ini. Kembali lagi, tahlilan adalah buah kultur kami. Tidak terkait dengan berdirinya organisasi.......
Sewaktu saya ngontrak di Perumahan Lawang Asri Mojokerto, saya bersama dengan pak RT dan beberapa orang yang peduli persatuan dan kesatuan antar tetangga, memutuskan untuk membuat sebuah acara perkumpulan yang dikemudian kami menyepakati dengan diselenggarakannya tahlil setiap bulan satu kali. Perlu diketahui, bahwa di Lawang Asri banyak dihuni tentara-tentara, karyawan, polisi, dosen dan beberapa pendatang lainnya. Kami tidak saling kenal satu sama lainnya. Untuk mengenal lebih dekat mereka itulah kami menyepakati harus ada terobosan baru yakni lewat acara tahlil bersama. Kami pun mengawali dari lingkup tetangga-tetangga sebelah. Acara pertama pun sukses. Kemudian dilanjut acara-acara berikutnya. Tahlil bersama itu kemudian menjadi tren, semua Kepala Keluarga, banyak ikut tahlil. Akhirnya kebekuan antara tetangga pun cair.
Adalah sesuatu yang sangat menarik, sehabis tahlil, saya biasanya memberikan materi-materi ceramah yang menyangkut isi qolbu. Kemudian, dilanjutkan dengan acara musyawarah atau diskusi tentang kabar lingkungan. Dari diskusi kecil itulah yang kemudian menjadi kontrak sosial warga. Semua warga setuju menolak rumah ditempati pasangan keluarga yang menikah sirri, atau rumah yang hanya dijadikan sebagai singgah untuk perselingkuhan. Kami juga menyepakati pembentukan kas warga, lomba-lomba, peringatan hari besar, dan lain-lainnya. Sungguh sangat luar biasa efek tahlil sebagai kontrol sosial.
Tatkala saya pindahan ke dusun Jogo dayoh, saya merasakan kesulitan untuk beradaptasi dengan warga. Mereka memiliki ukuran tersendiri terhadap konsep warga ideal. Namun saya tidak akan menyerah dengan kebekuan hubungan dengan warga. Pertama, saya akan selalu ikut sholat jamaah di Masjid. Tetapi setelah saya jalani, saya sedikit merasakan kecewa, karena di Masjid yang saya tempati sholat, tidak menjalankan ritual bersalaman sehabis sholat. Akhirnya saya tetap tidak bisa akrab. Karena sehabis sholat, jamaah biasanya langsung pulang, sangat langka mereka berdialog satu sama lain, karena tidak ada salaman sebagaimana saya jalani di masjid kampung. Berminggu-minggi dan berbulan-bulan, saya masih sulit untuk mencairkan hubungan saya dengan warga. Lama saya merenung, akhirnya saya menemukan ide, ikut tahlil warga. Dengan tahlil ini, saya akan menepis bahwa saya adalah orang Muhammadiyah. Warga biasanya cenderung tidak mau menerima orang kalau berbeda kultur dengan mereka. Masyarakat disekelilingku kebanyakan adalah warga yang suka bertahlil. Wah, inilah saatnya saya bisa bersosialisasi. Malam kamis kemarin, akhirnya saya resmi menjadi anggota jamaah tahlil. Kami bersholawat, dan bertahlil. Kemudian makan nasi bebek bersama-sama. Wuih enak sekali, rasa kebersamaan. Pada pagi harinya, sewaktu saya mencuci sepeda, banyak orang lalu lalang dirumah saya, sambil menganggukkan kepala. Mereka mulai menyapa, dan saya mulai diterima sebagai warga mereka. Alhamdulillah, berkat tahlil..........terjalin solidaritas, kebersamaan, spiritual dan tentunya perbaikan gizi juga..!!!!!
Jejel, Ngimbang, Lamongan
15.00, 24 Desember 2009
El Kayyis......
Jumat, Januari 01, 2010
Tahlil : Antara Bid’ah dan Manfaatnya
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Pemikiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
wah hebat benar efeknya di masyarakat...ternyata jadi tau kalo tahlil itu bukan sebatas membedakan NU dan Muhammadiyah.....subhanallah.....sayajuga pernah mengalami hal seperti Anda.....ketika saya balik dari Malang, saya terasa asing di masyarakat dan untuk mencairkannya lewat tahlilan di salah satu rumah tetangga yang salah satu keluarganya wafat....subhanallah...
Dari Jarir bin Abdullah al Bajalii, ia berkata,” Kami(yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap(yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
(Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah no.1612 dan Imam Ahmad di Musnadnya, dengan sanad yang shahih)
Atas hadits atau atsar diatas, para ulama Islam telah ijma’ atau sepakat dalam beberapa hal :
Pertama : Mereka ijma atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorangpun ulama yang mendhoifkan hadits ini.
Kedua : Mereka ijma dalam menerima hadits atau atsar dari ijma para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdulloh. Yakni tidak ada seorangpun ulama yang menolak atsar ini.
Ketiga : Mereka ijma dalam mengamalkan hadits atau atsar di atas. Mereka dari jaman shahabat sampai jaman kita sekarang ini, senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah diijmakan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau di rumah ahli mayit yang bias kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan Kematian atau Tahlilan”.
Hadits atau atsar ini memberikan hokum dan pelajaran yang tinggi bagi kita, bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan makan makan disitu termasuk bid’ah munkar. Dan bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan upacara yang biasa kita kenal disini dengan nama “Selamatan kematian atau tahlilan” pada hari pertama dan seterusnya.
Hukum diatas berdasarkan ijma para shahabat yang telah memasukan perbutan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram(dosa) bahkan termasuk dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyah.
Fatwa Para Ulama Islam Dan Ijma Mereka Dalam Masalah Ini
Apabila para shahabat telah ijma tentang suatu masalah, seperti masalah yang dibahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan termasuk didalamnya imam yang empat dan seluruh ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan makan-makanan disitu adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan kaum jahiliyah.
Oleh karena itu , agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujah yang kuat, maka dibawah ini diturunkan sejumlah fatwa para ulama dan ijma’ mereka dalam masalah ‘selamatan kematian’:
1. Telah berkata imamnya para ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah, al Imam asy Syafi’I di kitabnya al Um (1/318)
“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan.”
Perkataan Imam kita di atas jelas sekali yang tidak bias dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna yang lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja , bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namai disini dengan tahlilan???
2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah dikitabnya Al Mughni ( juz 3 hal 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki):
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci(haram). Karena akan menambah (kesusahan) di atas musibah mereka dan menyibukan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbutan orang-orang jahiliyah. Dan telah diriwayatkan bahwasanya Jarir pernah bertamu kerumah Umar. Lalu Umar bertanya ,” Apakah mayit kamu diratapi?” Jawab Jarir, “tidak!” Umar bertanya lagi, “Apakah mereka berkumpul dirumah ahli mayit dan mereka membuat makanan?” Jawab Jarir,” ya!” Berkata Umar, ” Itulah ratapan!
3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Albana dikitabnya Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal (8/95-96):
“Telah sepakat Imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad ) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah haram karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para shahabat telah memasukannya ( yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziah/melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata an Nawawi rahimahulloh, ”Adapun duduk duduk(dirumah ahli mayit) dengan alas an untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Syafi’i dan pengarang kitab Muhadzdzab dan kawan kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut).’Kemudian Nawawi menjelaskan lagi,” Telah berkata pengarabg kitab al Muhadzdzab: Dibenci duduk-duduk(ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziah. Karena sesumgguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangannya dari agama), sedangkan muhdats adalah bid’ah.”
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan,” Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kumpul(ditempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak dimaksudkan kecuali untuk bermegah megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa sifulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakan hartanya untuk tahlilan bapaknya . Semuanya itu adalah haram menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salafus shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam agama(kita).” Kita memohon kepada Alloh keselamatan !”
Diringkas dari : AL MASAA-IL, jilid 2,
Karya : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
demikian saudaraku yg kumuliakan,
Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan”
Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ " “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Lebih lanjut di Kitab I'anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu'in, juz 2, hal.145 –Kitab rujukan Nahdlatul Ulama (NU) - disebutkan:
نَعَمْ , مَايَفْعَلُهُ النَّاسَ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلىَ مَنْعِهَا
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID'AH MUNGKARAT yang bagi orang yang mencegahnya akan diberi pahala."
Jadi... apa bedanya NU dan Muhammadiyah di dalam masalah ini???
Posting Komentar