Saya pernah melihat seorang biksu yang begitu tenang dalam berbicara dan terasa tidak ada yang mengkhawatirkan dalam hidupnya. Dalam hati aku berkata, luar biasa kepribadian orang ini. Saya juga pernah melihat pendeta Katolik yang begitu tenang, begitupun dengan orang kepercayaan Jawa, tenang dalam kepribadiannya, tenang menghadapi hidup. Tidak ada dendam, tidak ada sakit hati, tidak ada ria kepada orang lain. Begitupun aku juga pernah melihat ustad kampung yang begitu, meminjam istilah jawa, sareh dalam menyikapi hidupnya. Manusia-manusia ini bisa saya katakan mereka berada dalam mutmainnah, jiwa-jiwa yang tenang. Bagaimanakah bisa mencapai nafsu mutmainah. Di artikel ini saya mencoba menghadirkan tulisan beliau Ustad Yusdeka yang saya sadur untuk memahami bagaimana bisa mencapai nafsu mutmainah yang dipanggil Alloh menempati surga yang dijanjikan sebagaimana surat Al-Fajr “ Hai Jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surgaku”
Baiklah kita kembali ke proses menuju nafsu mutmainah. Kalau kita kembali melihat ayat Al Qur'an tentang penciptaan manusia, maka sebenarnya hanya ada DUA eksistensi yang ada pada setiap manusia itu, yaitu ada DIRI (NAFS) yang berasal dari saripati tanah disatu pihak, dan ada entitas yang bukan dari sari pati tanah yang dipanggil dengan mesra oleh Tuhan sebagai RUH-KU dipihak lainnya sebagaimana ayat di atas. Ya...., hanya ada dua, DIRI (NAFS) dan MIN-RUHI.
SIAPA SAYA......???
Isno itu nama saya. Jadi Isno itu bukan saya, tapi sebagai TANDA ADA SAYA.
Yaaa..., pada Isno itu ada saya.
Kemanapun Isno pergi ehhhh...., disitu ada saya.
Dulu, sekarang, dan yang akan datang ehhh..., ternyata juga ada saya.
Ngapain pun Isno...., disitu ada saya.
Saya menulis lewat tangan Isno.....
Oooo..., ternyata saya yang menggerakkan tangan Isno untuk menulis. Tangan Isno hanya benda yang diam saja. Karena ada saya, maka tangan Isno seakan-akan bisa bergerak untuk menulis. Karena di sekolah ada saya, maka tangan Isno bisa mengajar di kelas. Di rumah juga ada saya, sehingga tangan Isno juga bisa menulis di rumah...!!. Heii..., di Mojokerto pun ada saya, sehingga tangan Isno pun bisa menulis di Mojokerto...!!. Oooo..., ternyata saya juga melihat lewat mata Isno. Saya yang mengalirkan rasa melihat pada mata Isno sehingga Isno seperti bisa melihat. Kemana pun Isno pergi, saya bisa melihat lewat mata Isno. Bahkan saat mata Isno ditutup pun saya masih bisa melihat, saya melihat GELAP, dan saya TAHU itu gelap. Karena sayalah yang melihat itu. Mata saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa melihat karena saya melaluinya dengan melihat saya. Oooo..., ternyata saya juga mendengar lewat telinga Isno. Saya yang mengalirkan rasa mendengar pada telinga Isno sehingga Isno seperti bisa mendengar. Kemana pun Isno pergi, saya bisa mendengar lewat telinga Isno. Bahkan saat telinga Isno ditutup pun saya masih bisa mendengar, saya mendengar SENYAP, dan saya TAHU itu senyap. Karena sayalah yang mendengar itu. Telinga saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa mendengar karena saya melaluinya dengan mendengar saya. Oooo..., ternyata saya juga tahu lewat otak Isno. Saya “tahu” apa-apa yang difikirkan oleh otak Isno. Saat otak Isno dialiri rasa mikirin yang baik-baik, saya tahu itu. Saat otak Isno dialiri mikirin yang tidak baik, saya juga tahu itu. Bahkan saat otak Isno tidak dialiri mikirin apapun saya juga tahu. Karena sayalah yang tahu itu. Otak saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa berfikir karena saya melaluinya dengan berfikir saya. Ooooo..., ternyata saya juga tahu saat dada saya dilanda berbagai rasa. Saya tahu persis saat dada saya dilanda rasa marah, saat dada saya dibekap rasa benci, saat dada saya dibuai rasa cinta, saat dada saya dilanda rasa sedih, saat dada saya menuai rasa apa saja. Saya tahu persis. Karena sayalah yang ”tahu” itu. Dada saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa merasa karena saya melewatinya dengan merasa saya.
Ahaa...., ternyata saya berada "DIATAS" semua itu.
Yaaa....., posisi saya diatas bergeraknya Isno, saya ada diatas melihatnya Isno, saya ada diatas mendengarnya Isno, saya ada diatas otaknya Isno, saya ada diatas rasanya Isno, saya ada diatas “tahu”-nya Isno. Karena saya adalah Yang Bergerak, saya adalah Yang Melihat, saya adalah Yang Mendengar, karena saya adalah Yang Tahu (Bashirah).
"Balil Insanu 'ala nafsihi Bashirah.... Pada manusia itu, diatas dirinya (nafs) ada bashirah (yang tahu)"
Sedangkan Isno adalah TANDA ADA SAYA,
Bergeraknya Isno kemana pun adalah TANDA ADA SAYA,
Melihatnya Isno adalah TANDA ADA SAYA,
Tahunya Isno adalah TANDA ADA SAYA.
Bahkan diatas DIRI saya (NAFS) yang HAKIKI, yaitu substansi yang universal, yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat tubuh Isno, otak Isno, maupun rasa Isno, yang Luas Tak terhingga, yang meliputi segala sesuatu, yang muthmainnah (tenang, tenteran), juga ada saya.....!!!!.
Yaaa..., keluasan diri saya itu, keuniversalan diri saya itu, juga adalah TANDA ADA SAYA.
Oopppsss...
Jebakannya ternyata ada disini....!!!!
Halus sekali..., munculnya nyaris tak mudah untuk menyadarinya.
Apa jebakannya ?????
• Karena saya bisa mencapai posisi asli diri saya (Nafs), yaitu substansi yang universal (nafsul muthmainah), yang luas tak terhingga, yang meliputi segala sesuatu, maka saya merasa bahwa dimana-mana YANG ADA tetap ada saya. Akan tetapi pada saat yang sama saya juga BISA MENYADARI ADANYA SUBSTANSI LAIN, sebut saja DIA. Yaaa..., “saya” juga merasa ada “Dia”. Akan tetapi antara saya dan Dia TIDAK terpisahkan. Sayangnya saya masih merasa bahwa saya TETAP ada. Sehingga saya merasa menjadi DIA. dan Dia menjadi saya. "Dia adalah Saya, dan Saya adalah DIA.....Tatwam Asi"....!!!. Atau saya merasa bahwa "Saya bersatu dengan DIA...yang nantinya akan memunculkan konsep “hulul, emanasi, wihdatul wujud".
Dua berpadu menjadi satu, akan tetapi saya masih tetap ada, saya BELUM LOLOS.
• Karena saya yang melihat, saya yang mendengar, saya yang tahu, saya yang merasa, saya yang berfikir..., maka saya seperti merasa tidak ada apa-apa lagi selain saya. Hanya ada saya.....!!!.. Akan tetapi pada saat mengaku hanya ada saya ini, kalau saya masih berada di WILAYAH AMBANG (NYARIS LOLOS) maka yang muncul adalah pengakuan: Saya adalah Kebenaran ... (ANA AL HAQ)....!!!. Maha suci saya.... (SUBHANI)...!!!.
Naaaahhh..., kalau sudah berada pada posisi ini, agar tidak tersiksa lagi, maka saya harus CEPAT-CEPAT mencari TEMPAT KEMBALI saya, tapi tempat kembali itu harus yang COCOK dan yang SEBENARNYA.
Dari KEUNIVERSALAN ini, atau dari TATWAM ASI ini, atau dari NAFSUL MUTHMAINNAH inilah perjalanan SAYA yang sebenarnya baru DIMULAI untuk MENUJU KE TEMPAT KEMBALI YANG SEBENARNYA.
Saya Yang KEMBALI PULANG...!!!
Untuk kembali pulang, maka saya butuh PETA yang akan membawa saya pulang ke tempat asal saya. Peta itu harus pula diwariskan oleh "saya" yang pernah pulang ke tempat asal "saya" yang sebenarnya. “Saya” yang pernah pulang itu diwakili oleh “saya” yang melihat, mendengar, dan tahu lewat Nafs Muhammad (saw). Karena Muhammad memang sudah mencapai posisi “saya” yang diatas DIRI, “saya” yang UNIVERSAL, Muthmainnah. Muhammad tidak lagi berada dalam batas-batas fikiran, batas-batas melihat, batas-batas mendengar, batas-batas tahu yang hanya sebatas OTAK dan PERSEPSI Beliau.
Yaa..., Beliau telah LOLOS dan berada pada posisi “saya” yang universal. “Saya” yang bekasnya ada pada diri Muhammad berada diatas dan meliputi alam semesta. Oleh karena itu Beliau disebut juga disebut sebagai rahmat bagi alam semesta itu sendiri.
Proses lolosnya Beliau menjadi “saya” yang universal ini sebenarnya juga adalah sebuah PETA, CARA, METODA, atau cara meracik laku untuk bisa menjadi universal yang perlu ditiru oleh umat manusia. Saat Beliau berada di Gua Hira' yang berada diketinggian (diatas) kota Mekkah, maka Beliau "melihat keluasan" alam semesta. Semakin lama Beliau melihat keluasan itu, maka hampir secara otomatis persepsi keterbatasan dengan atribut ketubuhan Beliau juga menjadi menyusut dan berubah menjadi persepsi alam semesta yang sangat luas tak terhingga. Berada pada posisi ketinggian inipun ditiru pula oleh wali-wali penyebar Islam pada zaman Wali Songo di wilayah Jawa. Hampir semua wali-wali itu membuat markas untuk kontemplasi transenden beliau-beliau itu di daerah "pegunungan".
Saat bermeditasi secara transenden di Gua Hira' itu, Mekkah dan umat manusia yang berada di didalamnya seperti berada dalam liputan Beliau. Beliau bisa merasakan posisi "saya" umatnya yang saat itu masih sangat kuat berada pada persepsi ketubuhan mereka. Beliau bisa melihat dan menyadari bahwa saya yang luas universal ini, oleh hampir seluruh umat Beliau pada saat itu dan pada zaman-zaman berikutnya akan "DIBATASI" menjadi hanya menjadi saya Abu Lahab, saya Abu Jahal, dan saya-saya lainnya, sehingga saya lalu menjadi kecil, terbatas, dan sempit sekali.
Keterpisahan akibat mempersempit “saya” ini adalah ibarat lautan luas yang kemudian airnya dipisahkan atau dibatasi dengan sebuah ember, lalu sang air yang berada pada pembatas satu ember itu tak mampu lagi menyadari adanya eksistensi lautan luas yang sebenarnya, yang berada diluar batas-batas ember itu.
Yaaa.…..ember itulah yang "memisahkan" antara lautan dengan air yang ada diember. Akibatnya air itu hanya merasa bahwa yang air itu adalah sebatas yang ada di dalam ember. Lalu air yang ada diember itu mengaku-ngaku : “Heiii... sayalah air..., sayalah air...”, tanpa si air bisa keluar dari batas-batas ember tadi. Pada manusia, ember itu sangat kuat dan sulit sekali untuk dibuang. Karena ember itu sekaligus juga adalah nikmat, dan rahmat dari Tuhan. Karena pengakuan itulah yang diberikan oleh Tuhan HANYA kepada MANUSIA, tidak kepada ciptaan-Nya yang lain, tidak juga kepada malaikat sekali pun. Keterpisahan seperti inilah yang dirasakan oleh manusia yang tahunya, yang melihatnya, yang “saya”-nya tertutup oleh hijab dirinya, hijab otaknya, hijab persepsinya sendiri.
Yaaa..., akan tetapi Muhammad Saw berhasil mengetahui bahwa “saya” adalah yang luas tak terhingga ini. Akan tetapi oleh umat beliau kemudian dikotak-kotakkan menjadi “saya” yang HANYA terbatas oleh atribut-atribut ketubuhan dan persepsi otak masing-masing orang. Lalu kotak-kotak ketubuhan dan persepsi itulah yang mengaku dan bersaya-saya. Saya adalah Abu Lahab, Saya adalah Abu Jahal, Saya adalah Hindun, saya Umar, saya adalah Ali, dsb. Apapun yang tidak sesuai dengan saya, maka saya akan lawan dan habisi saya-saya lainnya itu......!
Saat di Gua Hira' itu, Muhammad Saw berhasil LOLOS dari "kotak" ketubuhan Muhammad. Beliau mampu menempatkan “saya”-nya di posisi jiwa (diri) muthmainnah (jiwa yang tenang). Dan saat itulah Beliau "bertemu" dengan jiwa universal lainnya yaitu malaikat JIBRIL, dimana Jibril ini sudah berhasil mengembalikan “saya”-nya ke posisi yang sebenarnya.
Lalu Jibril memberitahu Muhammad untuk tidak berlama-lama bingung dan merenung dalam posisi Jiwa Universal itu. Karena Jiwa Universal itu dapat merasakan kepedihan, kegalauan, dan penderitaan jiwa-jiwa lainnya yang berada dibawahnya. Bahkan Jiwa Universal ini juga dapat merasakan kebahagian, nikmat, dan rahmat yang dirasakan oleh jiwa-jiwa universal lainnya. Kemudian Muhammad saw di perintahkan oleh Jibril untuk membaca (Iqraa') Jalan Kembali bagi “saya” Muhammad ke rumah yang SEBENARNYA. Dan Beliau akhirnya tahu rumah yang sebenarnya untuk tempat kembali “saya”-nya agar nantinya tidak merasakan jebakan seperti yang telah diuraikan sebelumnya diatas.
Dimana rumah Beliau ????
Dan rumah tempat kembali itu adalah Allah, dan lalu “saya” Muhammad kembali kepada Allah:
"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiunn....
saya adalah dari Allah, milik Allah, dan kepada-Nya saya kembali....".
Deerrr....!
Dan karakteristik (ciri-ciri) rumah tempat kembalinya saya Beliau itu adalah:
"Laisa kamistlihi syai'un...
tidak sama dan tidak serupa dengan apapun...!!".
Deeerrr...!!
Lalu setiap saat “saya” Beliau (atau diringkas saja menjadi Beliau) mengembalikan ke tempat yang hakiki apapun yang Beliau lihat, yang Beliau rasakan, yang Beliau dengar, yang Beliau ketahui, dan yang Beliau kerjakan. Semuanya Beliau KEMBALIKAN ke tempat yang Sesungguhnya, yaitu Allah. Dan Beliau selalu diberitahu dan diingatkan dari waktu kewaktu bahwa: "Tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (53:3-4). Beliau selalu mengembalikan kepada Allah..., selalu...!!!
Yaaaa..., hanya sesederhana ini sajalah INTI dari Ajaran Muhammad SAW yang HAKIKINYA. Sama saja seperti ajaran yang di bawa oleh Musa, Yesus (Isa), dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya. Bahkan INTI ajaran Budha dan Hindu-pun mengarahkan agar umatnya juga seperti diatas.
Dari posisi Puncak inilah Muhammad Saw kemudian BERHASIL mendapatkan potret tentang:
• Bagaimana ciri-ciri manusia yang tidak berhasil mengembalikan setiap atribut dan pencapaian “saya” kepada pemiliknya, yaitu Allah. Artinya..., “saya” itu hanya tersekat dan terkotak-kotak dalam persepsi ketubuhan setiap manusia, dan bagaimana akibat yang dirasakan oleh manusia yang tersekat itu sehingga umat berikutnya bisa mengambil pelajaran.
• Bagaimana ciri-ciri manusia yang tidak berhasil menemukan karakterisitik RUMAH tempat pengembalian atribut “saya” itu, yaitu Allah, sebagai YANG TIDAK SAMA DENGAN APAPUN. Dimana ketidakberhasilan inilah nantinya yang akan melahirkan banyak agama-agama dan aliran-aliran, berikut dengan segala problema dan akibatnya, agar umat berikutnya bisa mengambil pelajaran.
• Begitupun sebaliknya. Bagaimana ciri-ciri manusia yang BERHASIL mengembalikan segala atribut saya kepada Allah, dan berhasil pula menemukan karakteristik Allah yang sebenarnya, yaitu YANG TIDAK SAMA DENGAN APAPUN, berikut dengan segala akibatnya, sehingga umat berikutnya bisa mengambil pelajaran.
• Setelah tahu ciri-cirinya, maka potret berikutnya yang berhasil Beliau dapatkan adalah bagaimana JALAN, METODA, atau CARA MERACIK, agar manusia-manusia BISA mendapatkan ciri-ciri yang sesuai dengan ciri-ciri potret orang-orang yang BERHASIL mengembalikan segala atribut saya kepada Allah, dan berhasil pula menemukan karakteristik Allah yang sebenarnya. Tentu saja jalan, metoda, atau cara meracik segala usaha ini memuat perintah dan larangan yang perlu dipatuhi oleh si manusia agar berhasil pula mencapai posisi seperti yang dicapai oleh Muhammad Saw.
POTRET UTUH yang memuat setiap ciri-ciri, jalan, metoda, berikut dengan akibat-akibatnya ini, yang kemudian disalin kedalam bentuk bahasa tertulisnya dalam bahasa Arab, lalu disebut sebagai Al Qur'an. Dan oleh sebab itu Al Qur'an ini disebut juga sebagai PETA yang sanggup mengarahkan manusia untuk dapat pula PULANG ketempat Asalnya yang sebenarnya yang bekarakterisitik "Laisa kamistlihi syai'un", yaitu Allah.
Awal Keterpisahan
Pada awalnya Al Qur'an ini - karena didapatkan oleh MANUSIA UNIVERSAL, yaitu Muhammad Saw, yang juga berisikan POTRET UNIVERSAL - ditujukan untuk semua umat manusia. Hal ini dibuktikan oleh sejarah bahwa selama Beliau hidup, tidak ada umat yang berada dalam wilayah kekuasan Beliau yang tidak merasakan manfaatnya. Umat-umat yang tidak menjalankan "syariat" Islam-pun merasakan keuniversalan muatan Al Qur'an itu.
Akan tetapi, manusia-manusia sesudah Beliau, yang seharusnya juga berada di SUASANA DIRI YANG UNIVERSAL (muthmainnah, tenang) seperti Muhammmad Saw dan menyampaikan keuniversalan Al Qur'an, malah GAGAL menyampaikan pesan Al Qur'an itu sendiri. Penerus-penerus Beliau gagal menyampaikan pesan bahwa Al Qur'an itu adalah PETA untuk semua manusia. Karena banyak dari penerus-penerus beliau yang GAGAL untuk mencapai posisi DIRI UNIVERSAL. Bagaimana bisa menyampaikan SUASANA UNIVERSAL kalau penyampainya sendiri tidak berada dalam POSISI DIRI YANG UNIVERSAL pula.
Tidak..., tidak akan bisa..........!!!!.
Duh..., kasihan sekali Rasulullah Muhammad Saw. Usaha dan karya besar Beliau selama + 25 tahun tidak ada yang bisa meneruskannya dengan komitmen yang tinggi sehingga keindahan Islam seperti terpisah dari kenyataan hidup umat Islam sehari-hari. Kesempurnaan dan ketinggian Islam seperti hanya jadi mimpi-mimpi indah yang menina bobokan kita.
Sanggupkah kita meneruskan perjuangan Rasulullah itu...???,
Semoga paham. Untuk anak-anak SKI, bisa kita diskusikan lebih lanjut.
Jogo dayoh, Tanggal 30 jam 7.32
Goze Isno
Selasa, Juni 30, 2009
Nafsu Mutmainnah
Diposting oleh Goze IsnoLabel: Tasawuf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar