Kamis, Maret 12, 2009

Antara Barat dan Timur tentang Islam



Memahami hubungan Islam-Barat untuk tidak menyebut konflik Islam-Barat tidak cukup dengan sekedar konferensi atau seminar-seminar belaka. Namun dibutuhkan dialog intensif dalam upaya mencari kepemahaman diantara dua pihak. Beberapa benturan –benturan budaya kerap menyulutkan konflik yang sudah sekian lama berkutat dalam alam bawah sadar Islam-Barat. Sebut misalnya kemenangann HAMAS dalam pemilu di Palestina, sengketa nuklir di Iran, pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW di Jyllands Posten Denmark dan belum lama ini munculnya film Fitna yang mendiskreditkan Islam, carut-marut pemerintahan Irak pascainvasi AS dan berbagai konflik dalam negara-negara berbasis Islam lainnya yang konon diyakini akibat ulah negara-negara Barat yang dimotori Amerika Serikat yang tidak suka terhadap Islam. Beberapa kasus di atas memunculkan kembali sentimen “anti-Barat” bagi dunia Muslim dan sentimen “anti-Islam” bagi dunia Barat. Seolah-olah, dua peradaban besar itu hendak dibenturkan pasca-berakhirnya perang dingin kedua. Seakan pula, tesis Huntington tentang the clash of civilization selalu mendapat pembenarannya. Jika memang Islam dipersepsi Barat sebagai “ancaman” dan Barat dijadikan “musuh” oleh dunia Islam, maka apa jadinya masa depan peradaban dunia?
Menilik Akar Konflik Barat-Islam
Memang harus diakui hubungan antara Islam dan Nasrani (Barat) seringkali bergesekkan, baik ditingkat aqidah maupun ditingkat politik.[1] Ditingkat aqidah jelas sekali Islam menolak konsep agama yang memiliki keyakinan Polytheis. Penolakan ini bersumber dari ajaran Islam yang meyakini bahwa Allah adalah ahad, sebagaimana tercermin dalam surat al-Ikhlas (1-5). Bahkan Islam mengkategorikan Syirik perilaku manusia yang menyembah atau meyakini ada Tuhan selain Allah. Padahal dalam ajaran Islam perilaku Syirik adalah dosa besar dan merupakan dosa yang dikategorikan dosa yang tidak terampuni oleh Allah. Sedangkan disisi lain Nasrani memiliki konsep Trinitas dalam Aqidahnya. Konsep Trinitas yang merupakan akumulasi dari evolusi aqidah umat Nasrani tersebut jelas-jelas berbeda dengan Islam bahkan kalau boleh dibilang bertentangan. Sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan ” Tuhannya adalah Isa, sedang Isa sendiri adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah”.[2] Artinya ditingkat yang merupakan titik krusial ini Islam dan Nasrani tidak bisa diketemukan.
Keduanya memang sama-sama dikategorikan agama samawi - maksud agama samawi adalah agama yang sama-sama bersumber dari wahyu yang langsung diturunkan oleh Allah kepada umat manusia dan keduanya juga sama-sama memiliki kitab - namun ditingkat aqidah berbeda. Bahkan jika kita mau menilik lebih mendalam, ada satu keyakinan terselubung diantara kedua agama ini. Nasrani meyakini bahwa orang yang belum masuk ke gereja adalah domba-domba yang tersesat. Karenanya mereka berusaha untuk meluruskan dan mencari domba-domba yang tersesat untuk dimasukkan ke gereja. Artinya domba tersesat tersebut adalah umat selain mereka. Karenanya mereka berusaha untuk memasukkan sebanyak-banyaknya umat lain termasuk Islam. Di sisi lain Islam juga memiliki doktrin bahwa umat diluar Islam adalah kafir. Karenanya mereka berusaha untuk menyadarkan dengan dakwah kepada mereka agar kembali sadar untuk memeluk Islam. Artinya disini bahwa antara keduanya memiliki karakter dakwah dan ekspansif karenanya mereka akan terus berbenturan karena berbagai kepentingan dan banyak hal lainnya.
Pada tingkat politik, konflik Nasrani (Barat) dan Islam lebih dominan. Maksudnya beberapa konflik yang terjadi antara Nasrani dan Islam seringkali bukan karena faktor aqidah namun lebih banyak alasan-alasan politik yang menyeret agama sebagai pemicunya. Salah satu contoh konflik terbesar antara Islam-Nasrani adalah terjadinya perang salib. Perang salib dilatarbelakangi oleh kecemburuan para pendeta terhadap keberhasilan Islam dalam menaklukan wilayah-wilayah di dunia. Terlebih Islam telah mampu menguasai Yerusalem tempat tersuci bagi umat Nasrani. Karenanya para pendeta bergerilya ke seluruh kerajaan di Eropa Kristen untuk menyerukan Jihad melawan orang Islam yang telah menginjak-injak tanah kelahiran Tuhan mereka. Di sinilah kemudian menyeret pertaruhan kesahidan dimedan laga. Sejarah mencatat perang salib membutuhkan waktu 3 abad lamanya dalam 8 kali pertempuran. Akibatnya tidak hanya berdampak pada kematian nyawa-nyawa tak bersalah, namun lebih dari itu memunculkan dampak dendam membara diantara keduanya, hingga sekarang. Karenanya penjajahan dan pembantaian-pembantaian terhadap umat Islam saat ini ada yang menuduh sebagai perang salib baru atas dendam barat yang dikalahkan dalam perang salib dahulu kala.
Diakui atau tidak penjajahan dunia yang diawali dari pelayaran samudra oleh negara-negara eropa adalah buah dari konflik Islam dan Kristen di Konstatinopel. Eropa melakukan penjajahan hampir diseluruh dunia. Tidak hanya sekedar wilayah yang dijajah, lebih dari itu kultur-kultur lokal, pendidikan, agama dan lini kehidupan lainnya tidak luput dari penjajahan. Di bidang akademik pun, jika mau jujur ada pembantaian terhadap intelektual-intelektual Islam. Islam dipelajari untuk dikerdilkan. Pemikiran tokoh Islam dipelajari tapi untuk diplagiat. Ilmu Islam dipelajari tetapi untuk dihancurkan, dikotak-kotak untuk dilenyapkan sama sekali.
Adalah menarik untuk menyimak uraian-uraian indah dari almarhum Edward W. Said seorang ilmuwan Kristen yang jujur. Ia membongkar kebohongan-kebohongan para orientalis yang mengatasnamakan keilmiahan dalam menerbitkan ribuan buku-buku tentang Islam. Ia mengurai banyak buku-buku Orientalis yang berisi kecaman-kecaman bahkan pemfitnahan terhadap Islam itu sendiri. Banyak karya-karya yang masih melanggengkan pencitraan jelek terhadap Islam. Islam selalu diposisikan the other, musuh yang perlu dipelajari dan perlu selalu dicap jelek. Akibatnya banyak ceramah-ceramah para Orientalis dan tulisan-tulisannya turut mensodaqohkan citra jelek Islam dimata barat. Ini pula yang melanggengkan hubungan Islam dan Barat selalu dilatarbelakangi prasangka negatif.[3]
Konflik Barat-Islam Kini
Di dunia pemikiran Islam kontemporer, setidaknya di Tanah Air ada beragam pandangan terhadap Barat. Di antara pandangan yang memelihara konflik Barat-Islam itu adalah, pertama, hingga kini, Barat, yang “selalu” diasosiasikan dengan Kristen dan Yahudi, masih menyimpan mitos tentang ketakutan (heterofobia) mereka terhadap Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengutip setidaknya dua karya penting; (1) Edward Gibbon, The Decline and Fall of The Roman Empire dan (2) Jhon L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality; kedua, mengikuti jalan pikiran pertama, masih banyak cendekiawan muslim Indonesia, dalam amatan mereka, yang mengamini dan melestarikan mitos itu dengan memelihara jalan pikiran “belah bambu” terhadap umat Islam; ketiga, wacana pluralisme agama dianggap sebagai ‘teologi baru’ produk Barat yang berpotensi ‘membunuh agama’.
Sebaliknya, pasca-peristiwa 11 September—langsung atau tidak langsung—mencerminkan adanya konflik geopolitik yang terus membara yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bukti adanya perang dingin antar dua peradaban; Barat versus Islam. Trade mark fundamentalisme yang selalu dikampanyekan Barat terutama Amerika dan sekutunya terhadap Islam garis keras semakin menguatkan persepsi dunia bahwa “peradaban Barat” dalam hal ini Amerika terus-menerus mewaspadai gerakan politik Islam di belahan bumi sebagai kekuatan yang patut untuk dicurigai. Melalui resolusi PBB, Amerika terus mendeteksi organisasi-organisasi Islam yang terlibat dalam jaringan gerakan terorisme internasional. Al-Qaeda sebagai organisasi yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai jaringan terorisme terus diburu. Bahkan tidak Pengklasifikasian Islam fundamentalisme dengan Islam liberal adalah salah satu indikasinya. Di tingkat negara, di Asia Tenggara khususnya Indonesia, dihebohkan dengan ditemukannya jamaah Islam yang berafiliasi dengan Al-Qaeda sebagai musuh bebuyutannya Amerika. Ditambah, dengan perselingkuhan Amerika dan Polri disisi lain yang menghasilkan resolusi dengan penangkapan sejumlah tokoh Islam yang dicurigai sebagai dalang Terorisme Asia Tenggara yang akan merongrong eksistensi Amerika sebagai negara yang memiliki banyak kepentingan di Negara-negara Islam. Begitupun dengan sejumlah perkara yang selalu menghadapkan simbol-simbol Islam dilawankan dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai pesanan dari Amerika. Atau stereotype-stereotype jelek lainnya yang dialamatkan kepada kedua belah pihak. Lengkap sudahlah untuk mendeteksi benturan-benturan antara dua peradaban Islam dan Barat.
Memahami identitas Peradaban
Harus diakui bahwa kini, dunia Islam tengah meniti tangga-tangga sejarah yang kritis. Setelah beberapa tahun terjatuh dalam kemunduran di bawah kolonialisasi asing, kini tengah berupaya untuk menggapai kembali identitasnya, dan turut serta dalam mengambil bagian dalam menciptakan peradaban modern. Modernitas—terlepas dari produk Barat atau bukan—dengan seluruh konstruk filosofis dan dampak yang dikandungnya adalah fakta sejarah yang—disukai atau tidak—akan tetap masuk ke jantung kebudayaan Islam. Tetapi, mengikuti fatwa Hegel, sejarah manusia akan terus berputar silih berganti dari tesis ke anti-tesis ke sintesis hingga akhirnya berubah kembali menjadi tesis baru. Senafas dengan tesis Hegel, adalah Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa sejarah modern yang identik dengan kebangkitan Barat—pada sisi intelektualnya—hanyalah suatu perkembangan lebih lanjut dari beberapa fase terpenting dalam kebudayaan Islam. Bahkan pengandaian tersebut sekaligus memberikan penegasan kembali, bahwa Arab masih memegang dasar dalam wacana agama, sastra, dan etika sosial yang tinggi.[4] Tanpa harus menuduh Barat sebagai “biang kerok” dari terjatuhnya peradaban Islam—meskipun dalam beberapa segi bisa dibenarkan—upaya kritik diri lebih patut untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh adalah pernyataan yang dibuat oleh Jamaluddin al-Afgani, “saya melihat Islam di Barat tetapi tidak melihat orang Islam di sana. Sebaliknya, saya melihat orang Islam di sini (dunia Islam), tetapi tidak melihat Islam”. Iqbal, dengan semangat yang sama mengatakan, “Barat telah berhasil membangun ‘dunia’, tetapi gagal membangun ‘akhirat’. Sedangkan Timur (baca dunia Islam), berhasil membangun ‘akhirat’ tetapi gagal membangun ‘dunia’. Diagnosa Iqbal—dengan semangat intelektualisme pada zamannya yang khas—hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pemikir dan pembaharu yang mencoba untuk meracik problem peradaban umat Islam.
Dari perjumpaan peradaban antar negara-bangsa, Barat-Timur, Islam-Barat, yang telah menjadi ‘takdir sejarah’, pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, mungkinkah sebuah peradaban dapat mengisolir diri secara ketat dan steril dari perdaban lain guna menjaga identitasnya secara autentik ? Hemat saya, dalam arus komunikasi yang tidak mengenal sekat geografis, persentuhan antar peradaban—untuk tidak mengatakan ‘benturan peradaban’ ala Huntington—merupakan sunnatullah yang patut diarifi. Soal yang muncul kemudian dalam konteks ini adalah, bagaimana umat Islam dalam menyikapi pertemuan antar peradaban itu. Etika Qur’an dalam menghadapi “yang lain” (the others) adalah didasarkan kepada sikap aktif (bukan membeo) untuk belajar dari perbedaan yang ada pada pihak lain, serta mengambil manfaat dari perbedaan itu. Artinya, Islam-Barat—jika harus dikatakan sebagai ‘peradaban yang berbeda’, sikap “saling ingin mengetahui dan mengenal” adalah panduan etis yang diatur Qur’an. Kata-kata Imam Ali RA, “Kebenaran itu adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, maka ambillah kebenaran itu dengan segera dari manapun sumbernya”.
Memang, etika Qur’an semacam ini, secara praksis tidak mudah diterapkan. Alih-alih menyeleksi platform ‘kebudayaan asing’, yang terjadi adalah sikap taken for granted terhadap kebudayaan itu. Fakta ini bukanlah isapan jempol. Beberapa negara muslim—disadari atau tidak—baik secara politik maupun ekonomi, telah dihinggapi semacam ‘Amerikanisasi’ yang berbau Barat dan dalam beberapa segi menghantam ‘identitas Islam’. Maklum,—mengikuti tesis Michael Foucault (1926-1984)—setiap pengetahuan, termasuk ideologi Barat, selalu menyimpan kekuasaannya sendiri; tidak ada ilmu yang steril dari kekuasaan. Bahkan, Ziaudin Sardar, tanpa ragu mengatakan bahwa keterjajahan dunia Islam atas Barat yang paling mengerikan adalah ‘imperialisme epistemologis’.
Problem pertemuan Islam-Barat, dengan demikian, seperti disarikan oleh Bassam Tibi adalah problem ashalah wa al-hadatsah, otentisitas dan modernitas.[5] Pada satu sisi kita ingin menjadi modern, tetapi pada saat yang sama, kita ketakutan kehilangan ‘identitas Islam’. Pertanyaannya, dengan demikian, mungkinkah kita menjadi modern tanpa Barat, padahal modernitas adalah produk peradaban Barat?
Saya tertarik dengan uraian Gustave E. Von Grunebaunn yang dikutip oleh Kuntowijoyo. Dia mengatakan bahwa Islam pada saat-saat pertemuan dengan kebudayaan besar dunia, Islam tidak pernah terpengaruh dengan kebudayaan itu. Namun ia mengambil bersamaan itu pula ia membangun kebudayaannya dengan ciri khas tersendiri. Islam tidak pernah di Yunanikan, atau di Indiakan, namun punya corak sendiri. Filsafat Islam, arsitektur Islam dan lain sebagainya. Hal ini setidaknya menurut Kuntowijoyo ada dua hal penting dari Islam sendiri dalam menangkap pengaruh dari luar. Pertama, Islam adalah satu sistem yang terbuka. Artinya, bahwa perkembangan budaya Islam tidak hanya tumbuh dari dalam, tetapi Islam pun mengakui bahwa seluruh kemanusiaan mempunyai sumbangan kepada kebudayaan. Seperti dalam kedokteran, administrasi dan lain sebagainya. Selain itu Islam juga adalah kebudayaan yang orisinal, yang otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Pada waktu Islam menerima logika dan filsafat Helenisme juga lahir logika dan filsafat khusus. Ketika Islam menerima arsitekstur, kendati dari India dan Persia, tetapi ia kemudian melahirkan asitektur tersendiri dengan ciri khas ke-Islamannya. Karenanya disinilah peran dan memposisikan Islam yang sesungguhnya. Pada hakekatnya Islam tidak pernah menolak perubahan. Ia selalu menerima budaya-budaya yang berkembang di lokalitas-lokalitas lain. Ia selalu bisa menempatkan diri sebagaimana jargonya likuli zaman wal makan. Namun ia tetap eksis dengan keotentikan dirinya yang khas. Seharunya ini pulalah yang harus dikembangkan oleh Umat Islam ditengah perubahan. Jangan sampai umat Islam tergilas dengan perubahan itu sendiri. Islam harus memimpin perubahan itu sendiri. Islam harus menjadi yang hebat dengan nilai keuniversalannya. Bukankah ini yang menjadi keyakinan normatif Umat Islam?


Nama Penulis : Muhammad Isno S.Pd.I
Jabatan : Guru Agama Islam SMA Negeri 3 Mojokerto
Alamat : Jl. Pemuda No. 33 Kota Mojokerto
Hp : 085648800578




[1] Penulis sengaja menyamakan Barat dengan Nasrani (kristen), karena bagaimanapun juga dalam sejarahnya untuk tidak menyebut menuduh, Barat memiliki hubungan yang mesra dengan Nasrani. Beberapa abad banyak kebijakan-kebijakan kerajaan-kerajaan besar Barat banyak dipengaruhi oleh para pendeta. Bahkan negara-negara saat ini. Hal ini sebagaimana doktrin ekspansi mereka gold, glory, dan gospel. Gospel disini adalah sebuah komitmen untuk mengajarkan Injil kepada semua umat manusia. Dan barat telah melakukannya bersamaan program penjajahan mereka keseluruh dunia ini.
[2] Yusuf Qardhawi, Tanya Jawab Seputar wanita dan Keluarga Muslim (Risalah Gusti, tt), 64
[3] Silahkan lebih lanjut membaca secara mendalam pada Edward W. Said, Orientalisme (Jakarta: Pustaka, 1994) bisa dibandingkan pul dengan Qasim Assamurai, Bukti-bukti kebohongan Orientalisme (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
[4] (Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kashmir-Bazar, Lahore 1965, h.7)

[5] Bassam Tibi (Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan kekacauan Dunia Baru: 2000)

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*