Kontroversi film ”perempuan berkalung serban” akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang hangat diperbincangkan. Karena beberapa pesantren dan ormas Islam lain menuduh bahwa film ini berusaha menghancurkan citra jelek Islam kepada masyarakat. Bahkan MUI sebagai induk semangnya ulama mengancam untuk memboikot film ini. Di sisi lain sang sutradara, Hanung Bramantyo, menolak tudingan itu. Karena ia hanyalah sutradara yang bekerja mencari uang, tidak berkepentingan terhadap nilai yang tidak sengaja mencitra jelekkan Islam. Ia hanya berkarya, bukan pengusung nilai???
Nilai gender
Film yang diangkat dari Novel karangan Abidah el-Khaeliqy ini sangat berani bercerita tentang praktek bias gender yang terjadi di dunia pesantren. Ia dengan seksama mengkritik habis praktek-praktek bahkan pemahaman kolot pesantren dalam memaknai hubungan laki-laki dan perempuan. Film ini mengisahkan tentang perjuangan Annisa yang selalu termarjinalkan dengan saudaranya yang laki-laki. Ia merasa selalu dikesampingkan, tidak dianggap dalam relung kesempatan untuk meraih kebebasan bergerak sebagaimana saudara laki-lakinya. Kenapa ia sebagai perempuan selalu banyak larangan sedangkan laki-laki tidak? Kenapa perempuan selalu didapur sedangkan anak laki-laki bebas bermain?
Pemberontakan jiwa Annisa semakin menjadi ketika ia melihat realitas dirinya yang teraniaya oleh sebuah rezim pengetahuan yang mengekang hak perempuan. Ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang anak kyai, tanpa pernah mencicipi ”pacaran”. Sehingga ia tidak mampu mereguk nikmatnya cinta dalam perkawinan. Pun ia dapati ”Gus” yang menjadi suaminya adalah seorang pendusta agama. Ia selalu menganiaya Annisa. Namun Annisa sebagaimana kitab kuning yang ia pelajari dari pesantrennya menuntut kepatuhan total kepada suaminya, tanpa ada timbal balik tuntutan terhadap suami jika menganiaya istrinya.
Kepedihan-kepedihan hati Nisa inilah yang diuraikan oleh sang penulis Novel untuk menyerang tradisi dan pemahaman pesantren yang bias gender. Perempuan dalam pemahaman pesantren seakan layak untuk dinikmati tanpa pernah memahami akan dirinya. Perempuan seakan sah untuk dibawah dan tidak berhak untuk memperoleh haknya setara dengan laki laki.
Anehnya, kitab-kitab kuning yang diampu oleh ustad-ustad pesantren seakan mengamini terhadap terbentuknya dosa tersebut. Kitab kuning cenderung mempersepsi perempuan sebagai obyek? Perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki? Perempuan selalu dimaknai istilah jawanya suwargo nunut nerako katut (masuk surga numpang suami masuk neraka ikut suami) ?
Kekuasaan yang membelenggu
Michael Foucoult menjelaskan bahwa kekuasaan itu tidak selalu berada dalam institusi atau sebuah kekuatan dominan yang dimiliki seseorang untuk menundukkan orang lain. Tetapi kekuasaan memiliki hubungan yang beragam. Kekuasaan ada dimana mana, bukannya kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana mana. Lebih jauh Foucoult menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan kegiatan, tidak represif tetapi produktif serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Jadi disini kekuasaan bisa dipersepsi suatu pengetahuan yang menancap dan beroperasi menjadi perilaku seseorang. Bisa dicontohkan misalnya, perempuan yang baik dipersepsikan hanya cukup masak, macak dan manak, konsepsi ini berpengaruh dalam nalar kesadaran perempuan. Ia beroperasi diwilayah kuasa pengetahuan membentuk konsepsi dengan konsekuensi kepatuhan. Perempuan menjadi terlena bobokkan dengan konsepsi perempuan ideal dimana mereka berada dalam kungkungan kepatuhan itu. Seakan ia hidup hanya sebagai pelengkap dan wajar bila ia berada dalam kungkungan laki-laki. Kemungkinan inilah yang dipahami oleh Abidah melihat perempuan didikan pesantren.
Namun, sebenarnya Abidah sendiri sebagai pencetus Novel ”Perempuan berkalung serban” tidak menyadari bahwa ia sendiri juga terkungkung dengan konsepsi tentang wanita yang ideal dalam persepsi aktivis gender yang ia sendiri berada di dalamnya. Ia terjebak dalam jeratan kuasa pengetahuan yang ia bangun untuk menghakimi konsepsi lain. Bukankah akhirnya juga sama konsepsi yang ia bangun dengan konsepsi yang dibangun pesantren. Sama-sama berada dalam konsepsi yang dikira ideal. Bukankah tidak ada sesuatu yang bebas nilai?
Membangun kesejukan
Ia berjuang bukannya menghapus peran laki-laki dalam kehidupan dengan ”kesataraan” buta. Tetapi ia menyadari adanya jurang pemisah yang sangat lebar antara laki laki dan perempuan. Oleh karenanya dengan wacana dan perlawanan memperjuangkan hak perempuan diharapkan jurang pemisah itu tidak melebar sehingga tidak menimbulkan ketidak seimbangan kehidupan. Hal yang bisa diraih adalah ia memperjuangkan terjadinya balance relasi antara laki laki dan perempuan.
Jadi disini yang perlu disadari oleh para aktivis adalah kartini berjuang memperjuangkan hak perempuan tetapi ia tetap bisa menilai kodrat ia sebagai perempuan. Sebagai perempuan ia tetap memiliki hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dengan laki-laki sebagai teman di dalam hidupnya. Oleh karenanya, pemahaman inilah yang harus diorientasikan bagi para aktivis perempuan. Jangan sampai perempuan dalam titik nol demikian Amin Abdullah menilai, didalam memperjuangkan hak hak perempuan tetapi terbelenggu didalam konsepsinya sendiri.
Adalah sangat menarik ungkapan KH Hasyim Muzadi ia menilai perjuangan aktivis perempuan seharusnya bukan diarahkan kepada kesetaraan. Karena kesetaraan cenderung dipersepsi negatif kalau boleh dibilang dicurigai. Kecurigaan ini beralasan karena banyak kalangan menilai kesetaraan adalah segala galanya dalam setiap lini kehidupan dimana ini memiliki ruang konflik dengan nilai nilai agama. Keserasian demikian alternatif Hasyim Muzadi, sebagai bentuk relasi antara laki laki dan perempuan. Dengan keserasian maka akan terbentuk saling melengkapi diantara keduanya. Sebagaimana kartini harapkan. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar