Kamis, Maret 12, 2009

Up Greading kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan


Up Greading kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan
Dunia pendidikan saat ini banyak dihampiri permasalahan yang sangat komplek. Hal ini bisa dilihat dari berbagai permasalahan yang terus menghampirinya. Sebut misalnya kasus pembiayaan dalam pendidikan. Undang-Undang menyebutkan bahwa biaya pendidikan mestinya 20% dari APBN, namun ternyata peraturan ini masih berupa isapan jempol, tahun 2005 anggaran pendidikan yang disetujui hanya 8% dari APBN atau sekitar Rp3,1 Triliun, hingga sekarang konon katanya berkembang 11 % atau dengan kata lain pemerintah sepakat biaya pendidikan baru akan dipenuhi lima tahun ke depan. Padahal, tanpa bantuan pemerintah maka biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat saat ini akan sangat berat. Sehingga amanat UUD bahwa setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan hanya menjadi sebuah bentuk amanat tanpa realisasi.
Jika kita melihat realitas pembiayaan sekolah dari tahun ke tahun semakin lama semakin melambung. Di Play group, TK, SD, SMP maupun SMA saat ini latah untuk menaikan SPP atau biaya-biaya insindental yang dipatok mentereng sebagai kebahagiaan mendapat pasokan besar. Di perguruan tinggi, pengubahan status otonomi kampus, berefek pada semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi.
Melejitnya pembiayaan pada lembaga pendidikan disadari semakin membuat orang-orang pinggiran atau miskin sebagai bagian besar dari penduduk Indonesia harus pontang-panting untuk mengikuti ritme fluktuasi pembiayaan sekolah. Akhirnya banyak anak-anak miskin yang tidak mampu untuk mengikuti program-program wajib belajar sebagai bagian besar dari program pemerintah yang ambisius, karena secara seleksi alam mereka tak mampu untuk eksis melanjutkan sekolah tanpa biaya sekolah. Maka benarlah apa yang dikatakan dari sebuah buku dengan istilah “Orang Miskin Dilarang Sekolah”
Akibat kebijakan-kebijakan tersebut, patokan anak bisa sekolah atau kuliah berubah menjadi “seberapa banyak mereka mampu untuk membiayai lembaga pendidikan tersebut? Bukannya “seberapa hebat seorang anak atau siswa mengaktualisasikan kompetensinya” atau seberapa hebat prestasi akademisnya?. Akhirnya akan banyak lahir lulusan-lulusan sekolah atau perguruan tinggi berotak keropos yang kelak mau tidak mau akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.
Selain itu, ada dampak lain dari efek kebijakan pemerintah yang berakibat pada gap kesempatan memperoleh pendidikan. Ada hal menarik dari sebuah laporan LEMBAGA dunia, United Nation Development Program (UNDP) mengumumkan Human Development Index masyarakat Indonesia berada di urutan ke 112 di bawah negara yang baru saja bangkit, Vietnam.
Fakta ini membuat banyak kalangan ternganga. Mereka menuding penyebab semua itu berada di tangan Departemen pendidikan sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pihak pengelola pendidikan di Indonesia tentu saja menangkis tuduhan yang diarahkan kepadanya. Alasannya perhitungan HDI itu menyangkut banyak aspek dan tidak hanya komponen pendidikan, melainkan juga faktor kesehatan, gizi masyarakat, kondisi ekonomi dan masih banyak lagi
Jika semua mau jujur tudingan masyarakat tentang penyebab rendahnya HDI di Indonesia itu banyak benarnya, yakni akar dari masalah itu berada di tangan dunia pendidikan kita.
Meminjam apa yang dikemukakan oleh Margani M Mustar, kepala Dinas pendidikan Dikmenti DKI Jakarta tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia semuanya berpangkal pada sekolah. Sehebat apapun sistem dan metode pendidikan yang dirancang oleh kalangan pendidikan, ujung tombak keberhasilannya berada di tangan sekolah.
Pembenahan sistem pendidikan di Indonesia saat ini seharusnya berawal dari pembenahan sistem manajemen sekolah atau bila untuk mahasiswa maka pembenahannya mesti dilakukan di universitas. Prof Azyumardi Azra menekankan bahwa hasil pendidikan sekolah atau pun universitas akan bisa bagus bila mereka diberi otonomi secara luas untuk pengelolaannya, tentunya dengan syarat kepala sekolah atau rektor harus dipilih dan diseleksi secara khusus agar menjadi seorang Chief Enterpreuneurship Officer yang handal. Para kepala sekolah yang berposisi CEO itu harus mampu mengelola sekolah/PT sebagai sebuah perusahaan, tetapi tidak berorientasi keuntungan.
Para CEO itu harus berpikir agar sekolah/PT yang dikelolanya memiliki brand name atau merek supaya terkenal dan juga memiliki citra yang baik. caranya tentu dengan memasang iklan, dan memiliki tim-tim yang handal. Bila keduanya bekerja dengan baik, maka publik atau siswa pasti datang sendiri.
Namun, kondisi itu harus didasari dengan prinsip akuntabilitas yang bagus, sehingga kepercayaan orang akan tumbuh dengan sendirinya terhadap lembaga pendidikan tersebut. Prof Azyumardi menilai peranan prinsipal atau pimpinan di sekolah/universitas dalam menghasilkan kualitas SDM yang baik masih sangat kurang, sebab mereka lebih senang menjadi birokrat di lingkungan pendidikan, bukan berupaya mencapai misi pendidikan itu sendiri.
Prof Azyumardi menilai politik pendidikan di Indonesia harus diubah ke arah knowledge based economy, artinya yang harus dibangun dalam sistem pendidikan kita adalah skill and ability building. Jadi semacam life skill yang kini sudah dikembangkan tetapi masih belum jelas hasilnya. Pendidikan keterampilan yang ada kini masih diarahkan pada pendidikan nonformal, padahal semestinya life skill itu akan menjadi lebih kuat bila dimasukkan ke dalam pendidikan formal.
Sedangkan pendidikan akademik tetap menjadi lembaga ilmiah yang menghasilkan tenaga-tenaga terampil yang piawai dalam mengembangkan ilmu-ilmu dasar atau menjadikan lulusannya hanya sebagai pemikir melalui penelitian yang mereka kembangkan. Atau, kalau pun ingin agar lembaga pendidikan tinggi menghasilkan lulusan yang terampil misalnya, buatlah ia hanya menjadi sekolah tinggi, sekolah teknik atau sekolah sejenis yang menjadikan praktik dan keterampilan utama dari lulusannya dengan dasar ilmu pengetahuan terapan yang harus mereka kuasai.
Dengan demikian, kondisi yang diciptakan lulusan akan menjawab tantangan dunia kerja dan industri, sehingga lulusan lembaga pendidikan akan mampu bekerja sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Dengan kondisi itu maka politik pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Prof Azyumardi yakni pendidikan harus mampu menjawab kebutuhan dunia industri yang sedang berlangsung benar-benar terpenuhi. Atau dengan bahasa yang sederhana kualitas SDM kita akan meningkat sesuai dengan pakem kompetensi masing-masing.
Meski demikian, tentu saja kalangan industri yang menjadi tujuan pokok dunia kerja tidak berpangku tangan begitu saja menangguk lulusan lembaga pendidikan. Mereka juga harus mencampuri kancah dunia pendidikan di Indonesia, agar hasil yang ingin dicapai menjadi lebih optimal. Khusus, untuk sistem ini, siswa atau mahasiswa cukup belajar 2-3 semester di sekolah. Sisanya, mereka harus magang di dunia industri yang membutuhkannya. Dengan cara ini, maka lulusan sekolah pasti akan memiliki kompetensi sesuai yang diinginkan dunia industri. Dengan demikian pula karena campur tangannya kalangan industri maka lembaga pendidikan bisa mampu untuk bekerja sama dalam hal pembiayaan pendidikan. Sekolah-sekolah tidak hanya menunggu kucuran dana dari pemerintah saja, tapi mereka akan aktif dan kreatif untuk melakukan inovasi untuk menggoda kalangan industri bergabung dengan mereka. Dengan demikian satu permasalahan dalam dunia pendidikan mampu untuk dientaskan. Yakni permasalahan gap pembiayaan. Karena yang dicari industri adalah orang-orang handal, jadi siapapun kalau ia bisa bersaing maka ia akan memperoleh kesempatan tanpa harus kolusi kesana kemari sebagai maklum kondisi saat ini.
Strategi politik pendidikan ini, saya kira tidak hanya ditujukan pada SMK-SMK saja, seperti selama ini berjalan, tapi kepala sekolah di SMA juga harus memiliki strategi jitu untuk bergaining di dunia kerja maupun dilingkungan akademis lainnya. Sekolah harus melakukan inovasi lain, jika mempunyai kehendak untuk berubah. Menjadi sebuah pertanyaan untuk dijawab, apakah sekolah-sekolah hanya sebagai lembaga pencetak ijazah ataukah penghantar kesuksesan anak ke kancah masa depan berikutnya? Pertanyaan ini menjadi pemicu bagi kita semua, untuk memikir ulang kebijakan pendidikan saat ini dan berikutnya. Semoga!

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*