Kamis, Maret 05, 2009

Mengupas Spiritualitas Hindu dan Islam



Membincangkan spiritualisme seakan tidak pernah berakhir. Terlebih dijaman postmodern saat ini, semua nilai dibincangkan, disandingkan, kemudian diuji untuk dilihat eksistensi kebenaran dari masing-masing nilai. Seperti halnya nilai spiritual hindu dan Islam itu sendiri.
Seiring dengan maraknya kajian, training-training atau bahkan pelatihan-pelatihan yang mengatasnamakan spiritual, spiritual Hindu dan Islam pun dibincangkan dan dijadikan rujukan dalam olah jiwa ketenangan. Lihat saja bagaimana maraknya pelatihan Yoga, Reiki, tenaga dalam, dan beberapa teknik-teknik lain yang jika dirunut akan bertemu pada sumber Hindu. Begitupun yang terjadi pada umat Islam, pengikut tarekat-tarekat semakin banyak, tidak hanya orang desa, orang kota yang dikatakan modern sekalipun, ternyata tidak bisa dikatakan sedikit sebagai pengikut tarekat. Lihat pula begitu antusiasnya peminat-peminat training ESQ dalam mengikuti training tersebut. Bahkan menurut ESQ Leader Ship Pusat jumlah peserta training baik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah mencapai jutaan orang. Begitupun juga dengan maraknya majlis-masjlis taklim yang tidak bisa dikatakan sepi. Di Mojokerto sendiri atau di Jombang banyak masyarakat yang senang jika sudah membicarakan atau mengkaji kitab-kitab yang berbau spiritual semacam al-Hikam. Dan lain sebagainya. Kenapa terjadi seperti itu?
Zaman sekarang adalah zaman wisdom, kata Ary Ginanjar Agustian dalam sebuah training ESQ.[1] Hal ini dibuktikan dengan kembalinya kesadaran manusia akan eksistensi dirinya. Dulu - jika kita meruntutkan pergantian karakteristik zaman- kita mengalami zaman hunter yakni hidup dengan berburu dan bergantung kepada alam belaka, kemudian berubah menjadi zaman agricultur yang hanya mengandalkan tanah sebagai ukuran permodalan. Zaman ini pun berubah seiring dengan perombakan besar-besaran dengan meletusnya revolusi industri di Perancis dan Inggris. Zaman industri sudah kita nikmati bersama dengan berjayanya peradaban teknologi yang melahirkan kecanggihan-kecanggihan peralatan yang meringankan manusia dalam menggapai seluruh keinginannya menguasai dunia. Peradaban teknologi ini kemudian diperkuat dengan peradaban teknologi dan Informasi yang semakin menyempitkan jarak kita, satu dengan yang lain diseluruh jagat dunia ini. Kejadian dipojok sebuah negara akan bisa diketahui oleh seluruh penduduk dunia. Bahkan ada seekor kambing yang melahirkan pun bisa diketahui lewat informasi yang canggih dari internet yang bisa disebarkan keseluruh dunia. Namun tatkala semua penggapaian manusia ini bisa dilakukan, mereka kemudian menyadari, buat apa semua ini? Pertanyaan mendasar ini, memunculkan kelahiran kesadaran yang kemudian dinamakan wisdom. Kesadaran wisdom adalah kembalinya kesadaran manusia akan eksistensi manusia itu sendiri yang meminjam istilahnya Seyyed Hossein Nasr berada ditepi dari eksistensi manusia itu sendiri. Namun sayangnya peradaban barat, kata Ziabuddin Sardar, tidak punya pengalaman dalam hal spiritual. Mereka mendasarkan genealogi pengetahuan pada nalar rasional an sich. Jika dikaji, peradaban barat dibangun, kata Nasr, dari pemberontakan terhadap Tuhan oleh Descartes, atas nama rasionalitas. Co gito ego gorsum, ketika aku berpikir maka aku ada, adalah bentuk peneguhan prinsip rasionalitas akan kebenaran hakiki yang dalam pandangan spiritual Timur justru sebaliknya.
Karenanya tidak mengherankan jika orang barat berbondong-bondong belajar kepada orang Timur tentang spiritual. Spiritual Hindu dan Budha banyak diminati oleh orang barat, dengan sedikit untuk tidak menyatakan mengesampingkan Islam. Padahal, kata peminat Sufi, Islam juga memiliki keberlimpahan nilai-nilai spiritual yang tidak kalah atau bahkan melebihi dari nilai spiritual apapun. Nilai spiritual oleh barat dikatakan mistis, meskipun disini masih harus diperdebatkan identifikasi spiritual dengan mistis? Namun penulis tidak berpretensi untuk melihat itu, penulis lebih akan melihat sisi-sisi nilai spiritual Hindu dan Islam, satu persatu hingga terlihat bagaimana kupasannya tersebut. Dengan harapan bisa melihat sisi kesamaan dan keberbedaan. Dan terkhusus untuk melihat bagaimana para pendahulu-pendahulu kita, para wali, mampu menundukkan atau menggunakan bahasa yang lebih agak toleran menganasir bahkan mengasimilasikan Islam dan Hindu, dalam bentuk ”Islam”.
Sebetulnya menurut R.C. Zaehner, Islam tidak memiliki akar mistis yang sangat kuat didalamnya, bila dibandingkan dengan Hindu, karena menurutnya, tokoh gerakan awal sufi seperti halnya Abu Yazid Al-Bustami, banyak mengambil ajaran-ajaran Vedanta Hindu dari India. Hal ini terbukti dari beberapa ucapannya dan karya yang ia tinggalkan memiliki banyak kesamaan dengan ajaran Vedanta tersebut. Pun menurut Nicholson dalam Zaehner, guru Abu Yazid adalah seorang Mualaf yang berasal dari Sind, India, atau kepercayaan sind itu sendiri[2], sehingga Zaehner mencurigai bahwa Abu Yazid al-Bustami banyak menerima ajaran-ajaran Hindu dari gurunya.[3] Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Abu Yazid sendiri bahwa ia telah belajar kebenaran tertinggi tentang keesaan Tuhan dari seseorang yang tidak mengetahui kewajiban seorang muslim.[4]
Namun jika yang dipahami hanya sekedar nilai formalitas ajaran, maka Zaehner akan terjebak pada sikap mencurigai untuk tidak mengatakan bahwa Islam tidak memiliki nilai Spiritualitas.[5] Padahal nilai-nilai mistis, seperti yang ia akui sendiri memiliki satu kesatuan. Nilai mistis selalu ada pada setiap agama dan masyarakat primitif sekalipun. Bisa jadi, seperti halnya Al-Ghazali yang menuliskan tentang lakunya, tidak mengetahui apa saja ajaran Hindu, namun ia berangkat dari laku yang menyibakkan pengetahuan-pengetahuan baru yang kemudian ia tulis dan tanpa ia sadari memiliki kesamaan dengan ajaran-ajaran Hindu. Pun yang tidak dia kaji lebih mendalam adalah ayat-ayat al-Quran atau hadis-hadis nabi yang secara subtansi juga menyiratkan spiritualitas yang kaya akan nilai. Lebih jauhnya akan penulis kupas di sini khususnya kesamaan dari ajaran-ajaran yang berbeda.
Fenomena Mistis: Sebuah realitas
Manusia dari berbagai bangsa dan agama sudah mencoba melakukan pencarian yang panjang tentang siapa dirinya yang sebenarnya, dan tak lupa menggali potensi-potensi apa yang bisa muncul dari dalam dirinya itu. Dalam perjalanan pengenalan diri itu, terkuaklah misteri demi misteri keajaiban tubuh kita. Fenomena Cakra, Kundalini, Energi Psikokinetik, atau beberapa ajaran-ajaran dan praktek mistis yang digunakan oleh beberapa organisasi yang berkonsentrasi pada meminjam istilah jawa, kanuragan, hanyalah beberapa saja dari sekian banyak rahasia-rahasia yang telah dibukakan oleh Allah buat kita. Fenomena Cakra serta Kundalini beserta segenap turunannya adalah sebuah suasana universal yang bisa dilatih dan dipraktekkan oleh siapa saja dan agama apa saja. Dan hasilnya sangat tergantung pada seberapa keras kita berlatih dan seberapa kuat kita bisa memfokuskan arah fikiran kita kepada cakra-cakra yang diyakini oleh pemrakteknya berada pada titik-titik tubuh yang berada disepanjang tulang belakang manusia, mulai dari bawah sampai ke ujung kepala (ubun-ubun). Pengolahan cakra-cakra itu menurut Yusdeka seorang santri dari Abu Sangkan,[6] sebenarnya adalah sebuah proses sederhana saja, yaitu dengan mengarahkan fikiran kita pada titik-titik tertentu yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai simpul-simpul energi atau getaran untuk beberapa waktu lamanya. Kalau simpul-simpul itu bisa diaktifkan, maka manusia ternyata bisa mengolah dan memanfaatkan getaran yang muncul itu untuk berbagai keperluan. Penggunaan getaran ini sangatlah luas dan beragam sekali. Misalnya, mulai dari tujuan untuk pengobatan sampai dengan kemampuan untuk memunculkan kekuatan dan kemampuan yang sekilas kelihatannya seperti sesuatu yang irrasional. Sebutlah apa saja yang pernah dipublikasikan orang tentang kemampuan irrasional itu, seperti pengalaman tentang adanya tubuh astral, tubuh eterik, pengalaman keluar dari tubuh (OBE=Out of Body Experience) atau meraga sukma, atau fenomena tenaga-tenaga tak kasat mata seperti yang digunakan dalam silat, kung fu, aikido, dsb., maka semua itu hanyalah sebuah konsekwensi logis saja atas berhasilnya sang manusia meningkatkan kesadarannya dari hanya sekedar getaran (vibrasi) di tingkat ketubuhan menjadi kesadaran getaran ditingkat energi-energi yang lebih halus.
Untuk reiki, tarekat, dan kemampuan-kemampuan supranatural lain, umumnya terdapat titik kesamaan yang sangat dekat dalam hal cara pengolahan dan pelatihannya. Yaitu mengolahnya dengan menggunakan fikiran dan gerakan fisik tertentu terhadap titik-titik yang berada disepanjang tulang belakang dan sekitarnya, mulai dari ujung ekor sampai ke ubun-ubun. Kosa kata dalam bahasa umumnya adalah titik-titik cakra (baik cakra mayor yang berada diwilayah tulang belakang, tembus muka dan belakang, maupun cakra minor yang berada disekitar wilayah tulang belakang) yang punya getaran tertentu untuk masing-masing titiknya. Pada beberapa praktek tarekat, titik-titik itu dinamakan orang dengan istilah LATHAIF, akan tetapi titik-titik yang diambil adalah yang berada diwilayah ulu hati (dada, yang diyakini banyak orang sebagai tempat beradanya hati atau qalb), bergerak ke atas sampai ke kening, dan pada tahap akhirnya adalah seluruh tubuh itu sendiri. Titik-titik objek olah pikir ini di bersihkan, digetarkan, dan di olah dengan cara mengarahkan fikiran (berkonsentrasi) kepada titik-titik cakra atau LATHAIF tersebut. Proses ini biasanya distimulasi dan diperkuat dengan menambahkan simbol-simbol, bunyi-bunyian atau suara-suara tertentu dengan frekuensi yang monoton pula. Pada reiki, simbol objek fikir itu biasanya adalah dalam bentuk garis melingkar-lingkar dan warna-warni dengan pola tertentu. Setiap pola itu diyakini oleh pemrakteknya mempunyai vibrasi tertentu pula. Adapula kemudian yang ditambah dengan berbagai teknik penahanan dan pengeluaran nafas yang diatur sedemikian rupa. Ada juga yang menambahnya dengan gerakkan-gerakan tubuh, kaki, dan tangan dengan pola tertentu. Dan ada pula yang mengikut sertakan suara-suara dan irama monoton tertentu dengan durasi yang cukup lama. Pada praktek yoga ataupun meditasi-meditasi lainnya, yang dilakukan orang juga sama saja (walau dengan kadar dan teknik yang berbeda-beda). Semua punya titik objek fikir, simbol-simbol, gerakan-gerakan, dan bentuk-bentuk posisi tubuh tertentu yang gunanya tak lain adalah sebagai ”sarana” bagi pemrakteknya untuk mengolah arah fikirnya. Di dalam tarekat pun, objek untuk praktek mengolah arah fikir ini nyaris sama saja. Pada salah satu tarekat, misalnya, titik objek fikir itu mirip sekali, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan titik-titik objek fikir yang dipakai dalam praktek reiki, taichi, dan yoga. Objek fikir di dalam tarekat ini disebut dengan istilah LATHAIF. Misalnya, ada lathaif Qalbi (yang terletak dekat jantung, 2 jari di bawah susu kiri, 2 jari lagi ke arah tengah dada), lathaif Roh (yang terletak 2 jari di bawah susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Sirri (yang terletak 2 jari di atas susu kiri, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Khafi (yang terletak 2 jari di atas susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Akhfa (yang berada di tengah dada), lathaif Nafsun Natiqah (yang berada di antara 2 alis), lathaif Kullu Jasad (yang berada 2 jari di atas pusar, tembus menuju ubun-ubun, lantas meliputi seluruh tubuh). Dan secara kasat mata pun, beberapa lokasi lathaif ini sama persis dengan posisi-posisi cakra yang ada dalam reiki, yoga, dan meditasi. Dan ternyata memang masing-masing posisi lathaif atau cakra itu mempunyai sensasi sendiri-sendiri. Kemudian dalam riyadah rutin, pemrakteknya menambahkan (dalam istilah tarekatnya menghunjamkan atau menusukkan) simbol tunggal, yaitu tulisan huruf allah (dalam bahasa Arab) setiap kali kita ”singgah” ke lathaif tertentu. Menusukkan simbol huruf ALLAH itu harus diulang-ulang dengan jumlah yang berbeda bagi setiap lathaif. Hunjaman kalimat Allah di lathaif-lathaif itu kemudian diafirmasi (diperkuat) lagi dengan tambahan ucapan Allah atau Laa ilaha illallaah dengan irama suara yang cepat dan monoton.
Berangkat dari pembahasan di atas, maka sebuah benang merah sepertinya mulai dapat kita tarik, bahwa pada dasarnya praktek reiki, taichi, yoga, meditasi, dzikir di tarekat atau rumah dzikir tertentu, latihan tenaga dalam, dan latihan-latihan kesaktian lainnya sedikit banyaknya ada kesamaannya, kalau tidak mau dikatakan serupa. Pada semua itu ada ”sesuatu (titik)” yang dipakai sebagai objek tempat mengarahkan fikiran, ada simbol-simbol sebagai penambah kemampuan berkonsentrasi, ada suara-suara monoton yang dipakai, dan ada pula bentuk-bentuk tubuh tertentu yang dipakai selama proses pengolahan jiwa sang pemrakteknya.
Karena yang diolah dalam reiki, taichi, yoga, meditasi, dan tarekat tertentu adalah tubuh-tubuh (NAFS) juga, maka hasilnyapun nyaris sama. Misalnya, seseorang yang telah mempraktekkannya beberapa waktu lamanya, maka hampir semua praktikannya mengalami sensasi dapat merasakan getaran-getaran tertentu. Dan ternyata getaran itu, dengan teknik pengarahan fikiran tertentu, bisa dipakai untuk berbagai hal. Seperti untuk pengobatan, untuk kesaktian, untuk melanglang buana di alam-alam penuh getaran, sensasi-sensasi, rupa-rupa dan pandangan-pandangan tidak kasat mata lainnya.
Lalu semua fenomena itu tadi, kemudian dianggap sebagai fenomena spiritual. Maka jadilah makna spiritual itu terpangkas dan mengecil. Dan pada tatanan kehidupan praktis ”spiritualis” Hindu, Budha, Islam, pemraktek yoga, reiki, meditasi, tenaga dalam (kesaktian) menjadi sulit untuk dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Bedanya, paling-paling bisa dilihat dalam hal tata cara berpakaian, berbicara, praktek-praktek ibadah dan simbol-simbol yang dipakai oleh mereka masing-masing.
Menguak Tabir diri
Tidak hanya sekedar itu, seseorang yang telah mampu untuk melatih dirinya biasanya mereka akan lebih tenang, damai dan kelihatan bahagia dengan senyum penuh kewibawaan. Seperti halnya, ketika penulis berkunjung ke Desa Bejijong di Wihara Budha Tidur Mojokerto, saya melihat begitu tenangnya seorang pengikut Budha, baik dalam berkata, berjalan maupun tatkala ia menerangkan ajaran-ajaran yang dia yakininya. Begitupun saya juga melihat raut ketenangan pada seorang pendeta Kristen. Dan tidak sedikit pula kyai-kyai yang saya temui juga memiliki aura yang sama dengan mereka. Lalu apa yang membedakan?
Dalam konteks ini, mereka bisa dikatakan telah mampu melatih dirinya sehingga memunculkan perasaan jiwa yang tenang, dalam bahasa Islam ini disebut Nafsu Mutmainnah. Pada jiwa yang tenang (universal) jika kita menganalisis lebih lanjut, ternyata tetap saja masih ada kesadaran baru yang berupa kesadaran “ada yang tahu”, yang sadar, bahwa diri itu sudah berada dalam wilayah ketenangan, bahwa diri itu sangat luas. Diri itu juga tahu bahwa yang melihat itu ternyata bukan mata, tetapi diri yang luas itu sendiri. Diri itu juga sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukan telinga, tetapi diri yang luas itu sendirilah yang mendengar.[7] Jadi pada diri yang universal ini ada bentuk pengakuan, dimana pengakuan ini ternyata adalah rahmat yang diberikan oleh Allah buat semua manusia. Pada diri yang universal itu ada “aku”, yaitu “sang aku diri”. Dan sang aku diri inilah yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini melihat, aku ini mendengar, aku ini tahu. Dan puncak dari pengakuan itu adalah:” aku ini ada”. Karena merasa ada (exist), maka sang aku diri itu lalu punya keinginan…!.
Keinginan itu yang sangat dominan diantaranya adalah:
1. Sang aku diri “ingin” meninggalkan realitas ketubuhannya (MOKSA).
Pada keinginan seperti ini, sang aku diri ini merasa bahwa tubuhnya ternyata adalah unsur yang penuh dengan suasana yang tidak menyenangkan, sehingga sang aku diri ingin lepas dari tarikan sifat-sifat ketubuhannya. Lalu sang aku diri ini ingin lari dari realitas ketubuhannya menuju, misalnya, ke syurga. Karena sang aku diri ingin lari ke syurga, maka tidak jarang bayangan syurga itu seperti benar-benar datang menghampirinya. Padahal gambaran perjalanan ke syurga itu hanyalah sekedar memori-memori tentang syurga yang telah duluan bersarang di otak sang aku diri itu. Karena gambaran dan realitas tentang syurga itu hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang tahu.
Begitu juga saat sang aku diri "ingin" bertemu dengan para malaikat, para nabi-nabi, dan orang-orang shaleh lainnya, maka semua wujud yang ingin ditemuinya itu akan datang silih berganti menjambanginya. Dan anehnya kualitas pertemuan itu kadangkala lebih hebat dan lebih spektakuler dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah ada.
Tak jarang dari pertemuan-pertemuan imajiner itu sang aku diri merasa bahwa dirinya diangkat oleh malaikat menjadi Nabi baru, menjadi utusan Tuhan yang suci di zamannya. Menjadi orang-orang yang terpilih. Dan kesemuanya itu seperti benar-benar terjadi, REAL, NYATA. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, maka anehnya sang aku diri itu seperti mempunyai berbagai kelebihan yang mencengangkan pula.
Lalu sang aku diri itu menjadi sibuk dengan berbagai pandangan-pandangan, kalimat-kalimat, huruf-huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan dengan apa yang diinginkan oleh sang aku diri itu tadi. Pertemuan yang seperti apapun dengan siapa pun dan sesulit apapun seperti bisa terjadi dengan mudahnya. Lalu jadilah sang aku diri itu menjadi sangat sibuk….!!!.
2. Sang aku diri “ingin” bertemu dengan Tuhannya...!
Pada tingkat yang lebih rumit, sang aku diri itu ada pula yang "ingin" bertemu dengan Tuhannya. Lalu sang aku diri itu berusaha pula melakukan perjalanan mi’raj (MOKSA) seperti yang disebutkan dalam uraian di atas. Akan tetapi ternyata realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diketahui dengan kualitas mi’raj seperti itu. Kemana pun sang aku diri itu menghadap, yang ditemukannya tetap saja suasana luas tak terhingga dan tidak ada apa-apanya. kosong. Lalu sang aku diri itu merasa bahwa hanya dirinyalah yang ada. Hanya aku yang ada….!!!, dan aku diri itu lalu “merasa” menjadi Aku Yang Hakiki (Allah). Dengan suasana seperti ini, maka kemudian muncullah pemahaman yang mengarah pada konsep dua menjadi satu. Adakalanya, sang aku diri merasa BERSATU dengan Sang Aku Hakiki (Allah). Adakalanya juga sang aku diri itu merasa bahwa Tuhan beremanasi, menjelma kedalam dirinya. Ya…, “sang aku diri” lalu merasa menjadi “Aku”…!!!, dan mulai ia mengaku : “Aku adalah Dia, Dia adalah Aku; Aku adalah kebenaran…, Ana Allah…, Subhanni, Maha Suci Aku…, ana al haq, dan berbagai pengakuan lainnya”.

Berangkat dari pemahaman ini, sebenarnya bisa mengungkap misteri dari kekontroversialan para sufi-sufi terdahulu, atau bahkan bisa mengungkap tentang hakekat mistisme Hindu maupun Islam itu sendiri, jika mistis atau spiritual itu dipahami secara sempit sebagaimana saya sebutkan diatas.
Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya saya ungkap, apa yang didefinisikan Arbery tentang mistisme. Ia menyatakan bahwa mistisme adalah fenomena konstan dan tidak berubah dari kerinduan alam spirit manusia untuk berkomunikasi personal dengan Tuhan. Definisi ini sontak membuat Zaehner mengkritik habis Arbery, karena mistisme seperti itu hanya ada pada Islam atau kristen. Sedangkan pada Hindu tidak demikian halnya, karena mahabbah, jika kerinduan ini memang ada, adalah moksa, pelepasan, dari kondisi penderitaan kemanusiaan menuju tingkat keabadian sejati yang melampaui ruang dan waktu. Bahkan menurut Zaehner, dalam Upanisad Svetasvatara Tuhan hanyalah exemplar sempurna, dia bukan objek capaian mistik; tidak juga, sungguh-sungguh, pencapaian atasnya melalui berbagai cara yang dipandang sebagai rintangan terberat untuk suatu pembebasan. [8] Pembebasan dalam konteks ini, hanyalah usaha manusia semata, ia sebagaimana dalam Bhagavad Gita secara jelas diakui bahwa pembebasan dapat dicapai seluruhnya oleh usaha diri tanpa intervensi dari anugerah Tuhan.[9] Tujuan akhir dari laku mistis yang diyakini adalah pelepasan dari kondisi kemanusiaan yang terkungkung dalam ruang dan waktu. Dan kebahagiaannya yang dicapai dalam laku ini adalah keterpisahan jiwa individual dalam esensi abadinya.
Dari sini nampak ada persamaan-persamaan seperti halnya Islam, khususnya kaum sufi yang melakukan ritual laku menuju kepada Tuhan. Biasanya, dimateri-materi tasawuf ada peraturan-peratuan ketat khususnya dalam memangkas kegenitan nafsu kemanusiaan. Namun berbeda dengan Hindu, Islam lebih menekankan kepada Tuhan sebagai inspirasi dan pemberi aktif pada manusia. Seperti halnya kisah Ibrahim bin Adham yang melepaskan semua harta bendanya lewat bisikan Tuhan.
Namun yang seringkali terjebak, adalah tatkala pengasahan jiwa-jiwa kemanusiaan itu berhasil memperoleh pembebasan (moksa) maka akan muncul sensasi-sensasi lain yang dianggap sebagai realitas keabadian. Jika yang dipahami oleh Hindu, pembebasan jiwa belaka dengan sensasi-sensasinya maka mereka akan terjebak pada ke-akuan belaka. Seperti halnya sufi, tatkala mereka terjebak pada ke-akuan, maka mereka akan cenderung ”sesat”. Ambil contoh, sebagaimana ungkapan Abu Yazid Al-Bustami, ”aku menanggalkan diriku sebagaimana seekor ular menanggalkan kulitnya, lantas aku melihat esensiku dan ternyata aku adalah DIA”. Kata dia lagi ” Aku terjun ke lautan Malakut dan keilahian hingga aku menggapai singgasana dan ternyata, disitu kosong sampai aku terdampar dihadapan-Nya dan berkata ”Tuan, dimana aku meski mencari Engkau? Kemudian tabir-tabir tersingkap, dan aku melihat bahwa Aku adalah Aku”.[10] Atau pengakuan-pengakuan ke-Akuan lain yang akan dipahami oleh orang dengan pernyataan-pernyataan menyesatkan. Bahkan dibeberapa kasus pengikut tasawuf itu dengan mudahnya melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan, suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya. Karena sang spiritualis sudah merasa bahwa sang aku dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka dia menganggap bahwa hakekatnya semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah umumnya suasana spiritualis seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi yang sedang HELAF, sattoh, jaddab, atau Majnun.
Pada taraf tertentu pun, terutama bagi spiritualis yang sudah bisa menjalankan kesadarannya atau fikirannya “menembus alam-alam imajinasi”, tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu sendiri. Misalnya mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik perjalanan rohaninya, sang spiritualis merasa bahwa dirinya telah shalat di Mekkah, padahal saat itu dia masih berada di daerahnya sendiri. Dan biasanya sang spiritualis itu sebaliknya malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang sangat lama. Atau bisa juga sang spiritualis tetap menjalankan shalatnya, akan tetapi adakalanya dia dalam shalatnya itu mengalami apa yang disebutnya sebagai fana, dimana di tengah-tengah shalatnya sang spiritualis mengalami suasana perjalanan (moksa) menemui Tuhan. Sang spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya dan keadaannya berada dalam suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu kesadarannya kembali, maka dianggap selesai pulalah shalatnya. Dan pemrakteknya meyakini bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi. Mereka telah melakukan mi’raj.
Pada lapisan kulit sang aku diri ini, semua agama dalam hal ini Hindu dan Muslim boleh jadi masih berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa kulit terakhir yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini adalah sang aku diri. Yang menjadi pertanyaan “Sudahkah spiritual itu berakhir hanya sampai dikulit terakhir ini…??”. “Apakah spiritual itu berhenti dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.
Ternyata tidak. Jika diri sudah berada dalam kesadaran sang aku diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh dengan berbagai ragam dan perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman keagamaan, maka sebenarnya tinggal selangkah saja lagi tugas sang aku diri itu. Yaitu PENGEMBALIAN keakuan sang aku diri itu kepada Sang Aku Yang Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku saja. Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang hakiki. Artinya..., dengan kerendahan hati:
Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.
Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).
Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).
Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu melihat kepada sang diri (nafs).
Proses sang aku diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari "laa ilaaha illallah".
Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.
Tiada yang melihat kecuali Dia Yang Melihat.
Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang Mendengar.
Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.
Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu Yang Ada.

Posisi TIDAK MENGAKU seperti ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-gunung, posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam semesta, posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan. Semua bersikap sebagai hamba yang selalu RELA, RIDHA menerima kehendak dan kemauan dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha berhendak dan berkemauan kepada sang Hamba itu

“… Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". (Al Maidah 119).

Suasana wilayah saling ridha antara Hamba dengan Tuhannya inilah yang bisa disebut sebagai wilayah fana yang hakiki…!!. Dan fana seperti ini ternyata ada suasananya, ada realitasnya. Jadi bukan hanya sebatas kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita. Disamping itu, proses pengembalian keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya dan tanpa usaha kita sendiri..., karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari Tuhan.[11] Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita dituntun oleh Allah sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu sendiri. Makanya kita selalu berdo'a dalam shalat kita: "Ya Allah..., tuntun saya...". Dan yang paling penting untuk kita luruskan dalam kita berdo’a ketika minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan sekali-kali mengarahkan do’a itu kepada benda-benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan, dan persepsi-persepsi apapun. Kalau pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari sang aku diri, maka namanya sang aku diri itu masih ada, masih eksis. Dan sang aku diri itu akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…, seperti kita-kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa. Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa. Beda suku jadi siksa.
Begitu juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu diarahkan kepada benda-benda atau alam-alam, artinya kita mengarah kepada yang BUKAN pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah dengan segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.
Sebaliknya saat mana sang aku diri itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang aku diri sudah tiada, fana, maka yang ada tinggal hanya yang ada, yang wujud, yaitu Aku Yang Hakiki (Allah). Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak dengan sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar hanyalah menjadi seorang HAMBA yang bersedia:
Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,
Dadanya "dipakai" oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,
Kelaminnya "dipakai" oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.
Lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas kreasi Allah, atas grand design Allah dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh tidaklah sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya, semua di tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli. Dia akan Maha Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya bergantung kepada-Nya …

Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Ar Rahman 29).

Inilah yang menurut penulis tujuan dari ending perjalanan spiritualis Muslim. Sedangkan jika Hindu sendiri, dengan keterbatasan pemahaman penulis yang berusaha memahami dalam menelaah buku Zaehner, tidak berujung pada ketertundukan sebagai hamba. Bahkan mereka meyakini keabadian jiwa yang dalam beberapa teks dikaitkan dengan Brahmana. Monisme, ujung-ujungnya adalah pernyataan keakuan yang abadi dan keakuan sebagai Tuhan. Hal ini pun penulis menyadari juga ada beberapa pendapat dikalangan sufi yang memahami demikian, meskipun terjadi silang pendapat diantara mereka. Dan ini pula yang mencoba dijadikan titik temu dengan Islam. Padahal jelas-jelas disini perbedaan melihat Tuhan saja begitu tajam. Penulis sendiri juga merasa kesulitan memahami tentang sifat dasar Polyteisnya Hindu. Kemudian katanya melebur menjadi Brahmana. Sedangkan Brahmana sendiri memiliki kata yang sangat banyak, dan masih diperdebatkan jika Brahmana itu dikatakan Tuhan yang satu. Namun toh jika endingnya sama dengan Islam dengan pengakuan diri sebagai hamba, tunduk, menyerah, berpasrah diri, aslama yuslimu Islaman, maka bisa jadi titik temu perjalanan spiritual itu akan mewujud.
Akhirnya sampailah kita pada bagian akhir dari pembahasan tentang perjalanan spiritual ini. Di penghujung kupasan ini, secara jelas dapat dilihat bahwa sang spiritualis sejati itu dalam versi Islam ternyata hanyalah manusia-manusia yang berkualitas sebagai HAMBA dihadapan TUHAN. Tidak lebih. Lalu sang hamba itu dengan sadar, rela dan ridha membiarkan otaknya, dadanya, dan kelaminnya dipakai oleh Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya yang suci dalam membangun peradaban manusia itu sendiri dari zaman ke zaman. Sang Hamba itu tidak membiarkan sedikit pun dorongan-dorongan dari dirinya sendiri (hawa un nafs) untuk mengotori kesucian dan kemurnian kehendak Tuhan yang dialirkan kepadanya.
Ringkasnya adalah, bahwa spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja dan dia sekaligus juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk mampu mempekerjakan hamba-hamba Tuhan lainnya. Spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang mampu mengkreasi rizki dan sekaligus dia juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk mengalirkan rizki kepada hamba-hamba Tuhan lainnya. Dan…, segala macam aktivitasnya itu TIDAK sedikit pun membuat sang spiritualis sejati itu lalai dari mengingat dan menyadari GERAK TUHAN yang mengalir kepadanya. Seorang berkarakter ULUL ALBAB saja sebenarnya. Seperti omongan Tuhan berikut ini:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ULUL ALBAB (orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran 190-191),


Wassalam


[1] Penulis mengambil dari ceramahnya dengan tema Change with ESQ di Hotel Gran Melia Kuningan, Jakarta. Tahun 2007
[2] Menurut Prof. Arbery guru Yazid berasal dari Sind sebuah desa di Kurasan, jadi mengenai guru Abu Yazid masih diperdebatkan. Meskipun Zaehner meyakini ia berasal dari India. R.C. Zaehner, Mistisme Hindu dan Islam (Yogyakarta: Lkis, 1994), 118
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Disinilah sebenarnya yang harus dibedakan antara spiritual yang dikaitkan dengan keanehan-keanehan diri yang masuk dalam ranah kegaiban dengan spiritual yang berkait dengan nilai. Mistis yang biasanya dipakai untuk menyebut tasawuf tidaklah bertujuan untuk menuju keanehan itu sendiri, namun lebih jauh ia ingin masuk dalam kursi kesucian Tuhan. Lebih jauh bisa dibandingkan Haderanie, Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabah (Surabaya: Amin Surabaya, TT)
[6] http://www.patrap/. com
[7] Hal ini pernah penulis ikuti pada pelatihan sholat Khusu’ yang diselenggarakan oleh Santri-santri Abu Sangkan, dengan menutup diri dengan mata tertutup kemudian melihat rumah, melihat teman-teman, bahkan melihat alam semesta ini. Dan inilah yang sebenarnya menjadi dasar siapa yang melihat aku, siapa yang melakukan, dan siap aku?
[8] R.C. Zaehner, Mistisme Hindu dan Islam (Yogyakarta: Lkis, 1994), 118
[9] Ibid, hal 15
[10] Ibid, 141
[11] Inilah yang membedakan mistisme Islam dan Hindu karena mistisme Hindu diyakini wujud dari iktiar manusia sendiri dengan sedikitnya intervensi Tuhan. Sedangkan Islam justru sebaliknya.

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*