Membincangkan puasa sebenarnya bisa ditinjau dari berbagai aspek. Entah itu dari sisi medis, bisnis, sufi, syariat, maupun ilmu mistik. Semuanya mengerucut kepada sebuah kesimpulan bahwa puasa memiliki sisi-sisi yang luar biasa akan kemanfaatan bagi semuannya.
Namun kemanfaatan itu tidak sepenuhnya bisa terjadi jika tidak sesuai dengan koridor dari teknis pelaksanaan puasa itu sendiri. Seperti halnya puasa yang konon katanya bermanfaat bagi kesehatan, namun jika puasa yang dilakukan oleh seseorang hanya puasa balas dendam, tentu tidak akan menghasilkan kesehatan bagi tubuhnya. Bagaimana bisa sehat, kalau berbukanya semua makanan dilahap? Ada kolak, es, nasi, lauknya, sayurnya, krupuknya, snacknya, buah-buahnya...belum lagi nanti nambah makan kalau hendak tidur?
Puasa juga konon katanya bisa meningkatkan ketaqwaan, sebagaimana dalilnya dalam surat Al-Baqarah ayat 183
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Namun jika puasanya masih suka menggunjing, marah, suka menghina orang, sombong, ingin dipuji orang, iri, dengki, hasud, memfitnah, tamak, jelalatan, menuruti nafsu, maksiat, tentu ketakwaan itu tidak akan terpenuhi. Bagaimana bisa taqwa jika perilaku-perilaku anggota tubuh dan hati tidak mengarah untuk memasung keliaran nafsu? Sedangkan ketaqwaan itu sendiri bisa diartikan kuat dari tidak menuruti nafsu. Artinya hati orang yang bertaqwa adalah pasrah, gumantung kepada Allah.
Adalah menarik sebuah pemilahan puasa yang ditulis oleh Muhammad Hasan al-Bashri dalam Novel Sufistik berjudul “Tadarus Cinta”. Ia menulis bahwa tingkatan orang berpuasa itu ada tiga.
Pertama, puasanya orang awam, yakni menahan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual sejak fajar hingga maghrib. Puasa ini adalah puasa kebanyakan orang. Mereka berpuasa yang terpenting perut dikosongkan. Persoalan penghayatan lainnya seperti marah, rasan-rasan dan lain-lain tidak menjadi perhatian.
Kedua, puasanya orang khusus, yakni setelah melakukan puasa sebagaimana umumnya, mereka juga berpuasa pada seluruh panca inderanya, mata, telinga, mulut, tangan, kaki, hidung, hati, kulit dari seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Mereka memasung nafsu liar, emosi yang meledak-ledak, memasung semuanya dari hal-hal yang bisa menodai dari keagungan puasanya.
Ketiga, puasa khusus bil khusus, yakni lebih mengerucut lagi, tidak mengingat sesuatu selain Allah semata. Mereka berpuasa tidak untuk kesehatan, diet, hati yang tentram, pahala, bahkan surga sebagaimana layaknya kita semua. Namun mereka melakukan hanya semata-mata karena lillah. Kebahagiaan bagi mereka bukan terletak pada hasil, namun kesempatan menjalankan perintah dari Allah itulah puncak kebahagiaan mereka sebelum nafas mereka berhenti.
Namun pemilahan itu bukan untuk memberi gap kepada pelaku puasa. Setidaknya untuk memberi makna dalam puasa itu sendiri. Bukankah kata Zainuddin MZ puasa itu memiliki arti menahan. Manahan dari semua godaan nafsu untuk diliarkan. Bukankah sudah terlalu banyak masyarakat kita yang gagal dalam memenejemen nafsunya? Bukankah banyak orang yang tidak tahan untuk tidak melampiaskan nafsunya?
Banyak pelajar kita sekarang ini yang tidak kuat menahan nafsu liarnya, sehingga mereka terjerumus dalam cinta yang dilarang. Akibatnya banyak kasus MBA (Married By Accident) terjadi. Atau memimjam istilahnya cak IIP Wijayanato yang terkenal dengan karyanya “Campus Fresh Chichen”, PANCI (Pemerkosaan atas nama Cinta). Belum lagi para pemimpin kita yang kagak nahan untuk tidak korupsi. Entah itu yang berada dipengadilan, di lembaga rakyat paling terhormat, atau lain-lainnya. Mereka tidak tahan untuk “berbuka”. Padahal sudah menjadi jamak, bahwa orang yang berpuasa itu pasti akan berbuka. Orang berpuasa itu akan menemukan hari raya. Tapi dasar orang!!!!!sukanya keburu-buru. Padahal perkara yang keburu-buru adalah perkaranya setan!!!!!!!
Setan itulah yang selalu membisikkan kepada manusia untuk takut kepada kelaparan, takut kepada kepapaan, takut kepada ketidakterkenalan, takut tidak diakui. Ia terus membisikkan kepada manusia sifat was-was tersebut. Namun ia ditentang oleh bisikan kebaikan yang disimbolkan sebagai malaikat. Malaikat memberikan motivasi kepada manusia untuk taat dan tunduk kepada aturan Tuhan.
Antara malaikat yang kalau dalam istilah jawa disimbolkan kakang kawah, dan setan yang dikatakan adi ari-ari, terus melakukan “perang badar” atau perang “Baratayudha” untuk merebut hati manusia. Namun semuanya kembali kepada kita masing-masing untuk memilih pilihan diantara dua pilihan. Mau setan yang menjanjikan neraka ataukah malaikat yang menjanjikan surga.
Memang sulit!!!karena perang tersebut terjadi terus menerus, dan kita semuanya dituntut untuk menentukan pilihan. Untuk memilih malaikat, maka kita harus mengekang setan dengan cara melumpuhkan sumber nafsu yakni perut. Caranya?? ya dengan riyadhah misalnya dengan mengurangi makan alias puasa, mengurangi tidur alias banyak sholat malam.
Puasa memerlukan keteguhan diri dalam menjalankannya. Jika sesorang dalam puasanya dilakukan dengan benar bisa jadi ia akan mampu untuk membebaskan diri dari semua belenggu-belenggu setan dalam bentuk nafsu tersebut. Orang yang mampu melakukan itu disebut orang yang merdeka, orang yang terbebas. Kebebasan atau kemerdekaan bukannya sebagaimana konsep barat yang bebas berekspresi walaupun menentang nilai-nilai, namun kekebasan seorang hamba dari mencintai dan menuhankan makhluk yang berupa kekayaan, tahta, wanita atau apapun yang dituju selain Allah. Cinta, harta, tahta dll punya potensi untuk memperbudak manusia mengejarnya. Karenanya jika ini dikekang maka ia akan mengecil dan Allahlah yang memposisikan menjadi sentral semuanya.
Jika seseorang sudah membebaskan dari mencintai selain Allah, maka ia berhak menyandang sebagai insan kamil. Sebagai seorang hamba yang benar-benar memposisikan dirinya sebagai hamba dihadapan sesuatu yang dituju yakni Allah SWT. Dan inilah tauhid pembebasan. Terima kasih. Salam pembebasan.!!!!!!!
Namun kemanfaatan itu tidak sepenuhnya bisa terjadi jika tidak sesuai dengan koridor dari teknis pelaksanaan puasa itu sendiri. Seperti halnya puasa yang konon katanya bermanfaat bagi kesehatan, namun jika puasa yang dilakukan oleh seseorang hanya puasa balas dendam, tentu tidak akan menghasilkan kesehatan bagi tubuhnya. Bagaimana bisa sehat, kalau berbukanya semua makanan dilahap? Ada kolak, es, nasi, lauknya, sayurnya, krupuknya, snacknya, buah-buahnya...belum lagi nanti nambah makan kalau hendak tidur?
Puasa juga konon katanya bisa meningkatkan ketaqwaan, sebagaimana dalilnya dalam surat Al-Baqarah ayat 183
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Namun jika puasanya masih suka menggunjing, marah, suka menghina orang, sombong, ingin dipuji orang, iri, dengki, hasud, memfitnah, tamak, jelalatan, menuruti nafsu, maksiat, tentu ketakwaan itu tidak akan terpenuhi. Bagaimana bisa taqwa jika perilaku-perilaku anggota tubuh dan hati tidak mengarah untuk memasung keliaran nafsu? Sedangkan ketaqwaan itu sendiri bisa diartikan kuat dari tidak menuruti nafsu. Artinya hati orang yang bertaqwa adalah pasrah, gumantung kepada Allah.
Adalah menarik sebuah pemilahan puasa yang ditulis oleh Muhammad Hasan al-Bashri dalam Novel Sufistik berjudul “Tadarus Cinta”. Ia menulis bahwa tingkatan orang berpuasa itu ada tiga.
Pertama, puasanya orang awam, yakni menahan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual sejak fajar hingga maghrib. Puasa ini adalah puasa kebanyakan orang. Mereka berpuasa yang terpenting perut dikosongkan. Persoalan penghayatan lainnya seperti marah, rasan-rasan dan lain-lain tidak menjadi perhatian.
Kedua, puasanya orang khusus, yakni setelah melakukan puasa sebagaimana umumnya, mereka juga berpuasa pada seluruh panca inderanya, mata, telinga, mulut, tangan, kaki, hidung, hati, kulit dari seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Mereka memasung nafsu liar, emosi yang meledak-ledak, memasung semuanya dari hal-hal yang bisa menodai dari keagungan puasanya.
Ketiga, puasa khusus bil khusus, yakni lebih mengerucut lagi, tidak mengingat sesuatu selain Allah semata. Mereka berpuasa tidak untuk kesehatan, diet, hati yang tentram, pahala, bahkan surga sebagaimana layaknya kita semua. Namun mereka melakukan hanya semata-mata karena lillah. Kebahagiaan bagi mereka bukan terletak pada hasil, namun kesempatan menjalankan perintah dari Allah itulah puncak kebahagiaan mereka sebelum nafas mereka berhenti.
Namun pemilahan itu bukan untuk memberi gap kepada pelaku puasa. Setidaknya untuk memberi makna dalam puasa itu sendiri. Bukankah kata Zainuddin MZ puasa itu memiliki arti menahan. Manahan dari semua godaan nafsu untuk diliarkan. Bukankah sudah terlalu banyak masyarakat kita yang gagal dalam memenejemen nafsunya? Bukankah banyak orang yang tidak tahan untuk tidak melampiaskan nafsunya?
Banyak pelajar kita sekarang ini yang tidak kuat menahan nafsu liarnya, sehingga mereka terjerumus dalam cinta yang dilarang. Akibatnya banyak kasus MBA (Married By Accident) terjadi. Atau memimjam istilahnya cak IIP Wijayanato yang terkenal dengan karyanya “Campus Fresh Chichen”, PANCI (Pemerkosaan atas nama Cinta). Belum lagi para pemimpin kita yang kagak nahan untuk tidak korupsi. Entah itu yang berada dipengadilan, di lembaga rakyat paling terhormat, atau lain-lainnya. Mereka tidak tahan untuk “berbuka”. Padahal sudah menjadi jamak, bahwa orang yang berpuasa itu pasti akan berbuka. Orang berpuasa itu akan menemukan hari raya. Tapi dasar orang!!!!!sukanya keburu-buru. Padahal perkara yang keburu-buru adalah perkaranya setan!!!!!!!
Setan itulah yang selalu membisikkan kepada manusia untuk takut kepada kelaparan, takut kepada kepapaan, takut kepada ketidakterkenalan, takut tidak diakui. Ia terus membisikkan kepada manusia sifat was-was tersebut. Namun ia ditentang oleh bisikan kebaikan yang disimbolkan sebagai malaikat. Malaikat memberikan motivasi kepada manusia untuk taat dan tunduk kepada aturan Tuhan.
Antara malaikat yang kalau dalam istilah jawa disimbolkan kakang kawah, dan setan yang dikatakan adi ari-ari, terus melakukan “perang badar” atau perang “Baratayudha” untuk merebut hati manusia. Namun semuanya kembali kepada kita masing-masing untuk memilih pilihan diantara dua pilihan. Mau setan yang menjanjikan neraka ataukah malaikat yang menjanjikan surga.
Memang sulit!!!karena perang tersebut terjadi terus menerus, dan kita semuanya dituntut untuk menentukan pilihan. Untuk memilih malaikat, maka kita harus mengekang setan dengan cara melumpuhkan sumber nafsu yakni perut. Caranya?? ya dengan riyadhah misalnya dengan mengurangi makan alias puasa, mengurangi tidur alias banyak sholat malam.
Puasa memerlukan keteguhan diri dalam menjalankannya. Jika sesorang dalam puasanya dilakukan dengan benar bisa jadi ia akan mampu untuk membebaskan diri dari semua belenggu-belenggu setan dalam bentuk nafsu tersebut. Orang yang mampu melakukan itu disebut orang yang merdeka, orang yang terbebas. Kebebasan atau kemerdekaan bukannya sebagaimana konsep barat yang bebas berekspresi walaupun menentang nilai-nilai, namun kekebasan seorang hamba dari mencintai dan menuhankan makhluk yang berupa kekayaan, tahta, wanita atau apapun yang dituju selain Allah. Cinta, harta, tahta dll punya potensi untuk memperbudak manusia mengejarnya. Karenanya jika ini dikekang maka ia akan mengecil dan Allahlah yang memposisikan menjadi sentral semuanya.
Jika seseorang sudah membebaskan dari mencintai selain Allah, maka ia berhak menyandang sebagai insan kamil. Sebagai seorang hamba yang benar-benar memposisikan dirinya sebagai hamba dihadapan sesuatu yang dituju yakni Allah SWT. Dan inilah tauhid pembebasan. Terima kasih. Salam pembebasan.!!!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar