Selama beberapa tahun lebih perjalanan saya sebagai guru di lembaga sekolah menengah atas (SMA), saya memiliki banyak pengalaman yang patut diperkenalkan kepada publik, terutama kasus-kasus yang menyangkut permasalahan generasi muda kita ini. Ada fenomena menarik, banyak remaja yang mengalami depressi, demikian mungkin kesimpulan yang bisa diambil secara generalnya. Hal ini didasarkan banyak siswa yang mengeluhkan tentang hidupnya yang merasa tertekan. Tertekan oleh orang tuanya yang otoriter menuntut kepatuhan anak agar mengikuti segala kemauannya. Belum lagi tuntutan kepatuhan lembaga sekolah terhadap semua atribut peraturan yang semakin tidak bisa dipahami. Bahkan teman-teman dekatnya, tak satupun memahami dirinya yang memiliki permasalahan yang harus segera dipecahkan.
Permasalahan-permasalahan dalam diri remaja akan semakin komplek ketika remaja tidak memiliki kecerdasan dalam memenej sisi-sisi emosionalnya. Banyak remaja yang meliarkan sisi emosi tersebut sehingga berakibat terhadap perilakunya. Keliaran dalam perilakunya tersebut seringkali berbenturan dengan kebakuan perilaku yang sudah mapan dalam masyarakat. Dalam bahasa psikologinya dikenal dengan istilah perilaku menyimpang. Ini akibat dari tekanan yang besar terhadap perkembangan psikisnya yang meluap-luap. Kalau diibaratkan seperti mengalirnya air dalam selang kemudian disumbat, maka yang akan terjadi adalah muncratnya air kemana-mana.
Dengan demikian kita perlu merumuskan pemecahan masalah psikis dikalangan remaja. Pemecahan selama ini masih hanya berkutat pada wilayah kekuasaan belaka belum mencapai ditingkat memahami. Padahal kalau kita menggunakan pendekatan kekuasaan maka yang akan selalu muncul adalah resistensi. Resistensi terhadap kekuasaan yang dipaksanakan. Resistensi terhadap apapun termasuk dari nilai-nilai yang luhur sendiri yang menurut khalayak bagus namun jika salah meraciknya akan berimage jelek bagi remaja.
Depresi terselubung
Mendekati kebenaran bahkan sudah menjadi kebenaran prediksi para pakar terutama futurolog (ahli masa depan) dan bukan ramalan dukun, bahwa kehidupan di abad 21 lebih didominasi oleh suasana spiritual (kerohanian), bahkan hidup di abad 21 gangguan-gangguan kehidupan lebih bersifat psikis (kejiwaan) dibanding pisik (jasmani). Maka para pakar meramalkan dalam arti ilmiah, bahwa kehidupan di abad 21 lebih dikarenakan oleh banyaknya orang terganggu mentalnya, sakit di abad 21 tidak murni sakit pisik. Kalau abad 20 profesi yang trend adalah dokter pisik, tetapi abad 21 ini dan nanti prospek yang relatif manjanjikan adalah psikiater (ahli ilmu jiwa yang didukung dengan ilmu kesehatan), ataupun rohaniawan (ahli kerohaniahan yang didukung ilmu keagamaan), sebab makin banyak saja orang yang kelihatannya sakit pisik namun setelah diteliti berpangkal pada sakit psikis yang penyebabnya adalah gangguan jiwa.
Sayang menurut dr. KMA Afandi Agus (psikiater) orang-orang sekarang ini mayoritas tidak berani menyatakan bahwa dirinya sakit. Memang kalau sakit fisik orang akan berani terang-terangan: pusing, sakit perut dll. Namun kalau sakit psikis: stress, depresi, frustasi, orang tidak mau mengaku bahkan cenderung menyembunyikan penyakit tersebut atau sebagian tidak menyadari karena memang penyakit ini tidak tampak secara inderawi. Inilah apa yang disebut penyakit berbahaya abad 21, yaitu depresi terselubung, entah disembunyikan oleh penderita atau memang tidak disadari oleh sang empunya, dan ini lebih berbahaya dibanding depresi terbuka karena akan segera konsultasi kepada yang ahli. Tetapi karena terselubung, tidak disadari, kalau sudah parah baru terasa / mengaku. Bisa jadi di antara kita banyak yang seperti itu.
Gejala-gejala yang dapat menjadi peringatan dini bagi penderita depresi terselubung adalah: tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, nafsu makan turun, sering pusing-pusing tanpa ada sebab, dalam kondisi parah akan meninggalkan pergaulan.
Depresi terselubung bisa mengancam keimanan seseorang, bisa mengancam ketaqwaan manakala kita tidak segera mengatasi, karena depresi terselubung membuat hidup ini tidak teratur, kejiwaan amat labil, ketidak patuhan terhadap perintah agama akan dilakukan.
Pencegahan depressi
Dampak psikis pra-pasca ujian nasional (UNAS) harus dikontruk kembali psikis anak didik kita. Orang tua, guru dan para penanggungjawab pendidikan lainnya harus cancut taliwondo untuk memberi semangat dan care terhadap anak-anak mereka semua. Agar mentalitas mereka siap dan tangguh menghadapi kehidupan yang akan datang.
Setidaknya yang perlu ditanamkan dalam diri agar kita terbebas atau bisa memproteksi diri dari gangguan depressi adalah pertama, Hidup harus teratur dan kita yang mengatur, Hidup ini kalau tidak kita biasakan teratur (disiplin) akan terjadi faktor-faktor keterpaksaan, ketidak terdugaan, yang kesemua itu akan menimbulkan keterkejutan-keterkejutan kecil dalam kehidupan: "karena situasi tidak memungkinkan, maka demikian". Dengan mengatakan situasi tidak memungkinkan berarti dia telah mengizinkan tekanan untuk dirinya. "Mohon maaf saya ada acara yang lain". Hal yang sepertinya tidak terencana ini secara pelan tapi pasti akan mengundang infiltrasi faktor-faktor luar yang akan menjadi pressure ( tekanan) bagi kita yang suatu saat akan meledak. Mari kita atur diri kita jangan sampai diri kita diatur orang lain; teratur kerja, teratur makan, teratur tidur dll. Rasulullah SAW bersabda: Nahnu qaumun laa na’kul hattaa najuu’u wa idzaa akalnaa laa nasyba’ (Kami adalah umat yang tidak akan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang). Statemen ini salah satunya bisa menyebabkan seorang ahli kesehatan Inggris masuk Islam gara-gara terpesona, alangkah sederhananya konsep kesehatan Muhammad SAW, karena resep ini adalah resep terbaik untuk menjaga kesehatan.
Kedua, Damai dengan diri sendiri, Dalam hidup ini banyak orang yang sering memusuhi diri sendiri. Indikatornya adalah tatkala kita mengalami kegagalan, kita sering mengatakan dengan kata-kata pengandaian: seandainya, jikalau dll. Itu adalah wujud dari penyesalan. Menyesal itu bagus sebagai ekspresi ambil pelajaran dari kesalahan, tetapi kalau berkepanjangan jelas konfrontatif terhadap diri sendiri. Maka menyesal berkepanjangan itu berarti tidak kompromi dengan diri sendiri. Mestinya kitalah yang paling tahu terhadap diri kita sendiri selain Allah SWT, kita tahu takaran diri kita sendiri, tahu kemampuan kita. Mestinya kita menyesuaikan dengan kemampuan kita sendiri. Manakala seseorang mempunyai kemampuan satu kemudian dia menginginkan seribu, maka dia jelas tidak damai dengan dirinya sendiri, karena tak seimbangnya kemauan dengan kemampuan. Padahal Allah SWT yang amat tahu tentang hamba-Nya menyatakan: Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa (Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya).
Ketiga, Damai dengan orang lain. Mau atau tidak, dalam hidup ini pasti kita berinteraksi dengan orang lain, pasti butuh orang lain, dan orang lain itu adalah manusia biasa yang pasti ada plus minusnya, ada positif ada negatifnya. Manakala kita menatap orang di depan kita, tolong seimbangkan persepsi bahwa dia punya kelebihan sekaligus punya kekurangan atau sebaliknya. Dengan demikian kita akan enak menghadapi siapapun. Rasulullah SAW. bersabda : Thuubaa liman saghghalahuu ‘aibuhuu ‘an uyuubinnaas …(Maknanya: sungguh bahagia hidup seseorang yang tatkala berhadapan dengan orang lain dia lebih cenderung mengoreksi dirinya sendiri tanpa sempat mengoreksi orang lain), artinya dalam menilai orang lain kita harus positive thinking/ husnudh dhann (berbaik sangka), kecuali ada indikator-indikator meyakinkan, bahwa itu berbahaya. Tetapi kalau tidak, jangan sampai serba suu’u dhann (berburuk sangka) yang itu sebenarnya tidak hanya orang yang di suu’u dhanni yang rugi, tetapi justru akan merugikan diri kita sendiri karena dengan begitu kita punya beban tatkala berhadapan dengan orang tersebut. Dengan menilai serba positif, tidak berarti seseorang boleh hilang kewaspadaannya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan negatif.
Keempat, Tidak memaksakan diri. Alangkah banyaknya di antara kita yang sering melampaui batas maksimal kewajaran. Katakan kemampuan kerja seseorang dalam sehari adalah 8 jam, namun seringkali kita melampaui itu; kita hanya mampu berbelanja sekian tetapi kita berbelanja melebihi sekian, sehingga kita harus punya hutang. Orang yang punya perhitungan, tidak akan memaksakan diri dan akan menghitung income saya berapa, dan yang harus saya keluarkan berapa. Orang dengan karakter demikian kecil kemungkinan punya hutang, dan dengan demikian tidak akan ada tekanan terhadap dirinya.
Dengan pertimbangan 4 faktor di atas insya Allah akan terkurangi beban yang selama ini mungkin mengintervensi aktifitas kejiawaan kita semua. Semoga bermanfaat!!!!!!
1 komentar:
Assalamu'alaikum Wr.Wb Pak Isno
Pertama" saya ucapkan selamat atas terciptanya situs ini. Wah situs" agama makin banyak sekaranga..heheheh
Begini Pak, Saya kan murid kelas XII,akhir" ini banyak sekali teman" saya yang merasa depresi bahkan tertekan dengan adanya UAN. Mereka belajar secara membabi buta,bahkan setiap hari ikut lez. Padahal yang saya ketahui belajar yang over seperti itu sangat tidak baik buat otak kita.
Saya ingin meminta pendapat Pak Isno, apakah merupakan suatu kebenaran jika pemerintah mengadakan UAN yang dampaknya membuat banyak pelajar depresi berat? Bukankah sistem UAN di Indonesia sangat tidak tepat karena terkesan dipaksakan,seperti standarnya dan prosedur pelaksanaanya.
Trm kasih
Wassalamua'alaikum Wr. Wb.
Rizal
Posting Komentar