Selasa, Maret 03, 2009

Pahlawan dalam laskar pelangi


Pahlawan dalam persepsi orang adalah manusia mulia. Karena ia mengorbankan kehidupannya untuk orang lain. Pangeran Diponegoro disebut pahlawan karena ia membela keadilan dan ia mengorbankan apa yang dimilikinya untuk menegakkan keadilan itu. Begitupun dengan Jendral Sudirman, ia mengorbankan hidupnya untuk mengusir penjajah yang ingin bercokol kembali di bumi Indonesia. Dalam hal ini ukuran kepahlawanan dalam kontek negara adalah seberapa besar pengorbanan yang diberikan orang kepada Indonesia?
Saya kira banyak hal yang luput dari mata dhohir kita dalam menilai pendahulu-pendahulu kita yang bisa disebut pahlawan. Karena bisa jadi pemimpin-pemimpin daerah memiliki pengorbanan yang lebih dibanding pahlawan-pahlawan yang tercantum dalam daftar urutan pahlawan nasional. Ketledoran itu bisa jadi karena pemimpin kita kurang mengenal alur sejarah masing-masing daerah atau karena ada muatan-muatan politis. Bung tomo misalnya, adalah tokoh yang berperan penting dalam 10 November yang melahirkan hari pahlawan, namun toh ia baru diakui sebagai pahlawan sekarang ini.
Terlepas dari itu semua, muncul pertanyaan dalam benak saya, sebenarnya ukuran kepahlawanan itu apa? Apakah diukur dari selera politik? Masih mampukah anak bangsa di zaman sekarang ini menjadi pahlawan?
Saya kira, diakui maupun tidak diakui sebagai pahlawan oleh negara, dalam ukuran sekecil apapun kita semua bisa menjadi pahlawan. Bahkan dalam konteks pahlawan yang telah tereduksi, seorang laki-laki yang menyelematkan gadis dari bahaya bisa disebut pahlawan bagi gadis tersebut. Apalagi seorang guru atau para decision maker yang keputusan-keputusannya sangat berpengaruh dalam merevolusi sosial.
Fenomena pahlawan ala Laskar Pelangi
Adalah menarik untuk menyandingkan kepahlawanan dengan novel serta film fenomenal ”LASKAR PELANGI”. Yang patut kita catut adalah ”laskar pelangi” menyajikan keagungan sebuah pengorbanan. Seorang guru di daerah terpencil semacam ibu Muslimah dengan segala kekurangan, baik fasilitas maupun gaji, namun dengan segala jerih payah pengorbanan yang ia berikan menjadi buah yang begitu manis. Murid-muridnya mampu meraih prestasi bahkan mengalahkan sekolah unggulan yang dielukan masyarakat. Tidak hanya itu, semua muridnya menjadi ”orang” dan memiliki karakter yang kuat. Semacam Andreas Herata sendiri adalah bagian dari kehidupan laskar pelangi itu sendiri. Ia mengaku begitu banyak ajaran-ajaran yang diberikan oleh gurunya ketika duduk dibangku SD Muhammadiya di daerah terpencil itu. Ia masih terngiang-ngiang bagaimana pengajaran dan pengorbanan sosok ibu Muslimah yang menjadikan spirit dalam kehidupannya. Ia mengaku gurunyalah yang mengukir pola pikirnya tentang akhlak. Gurunyalah yang mengajarkan tentang pengorbanan, ”memberikan yang terbaik kepada orang lain sebanyak yang kau mampu”(Novel Laskar pelangi). Hal ini senada dengan pernyataan Sukarno ”jangan kau bertanya apa yang diberikan negara kepada kamu, namun bertanyalah apa yang kau berikan kepada negara ini”.
Nilai-nilai pengorbanan yang didengungkan ”laskar pelangi” jelas merupakan auto kritik sosial. Karena ia hadir ditengah masyarakat sedang sakit ”individualis”. Masyarakat yang mengindahkan kebersamaan, toleran, persatuan dan kedamaian. Kelangkaan nilai itu jelas merupakan pergeseran nilai yang terjadi ditengah masyarakat kita. Ia hadir tidak serta merta. Namun ia datang lambat namun pasti merasuk menjadi karakter peribadi bangsa. ”Tidak ada yang gratis dalam hidup ini” adalah slogan yang menggambarkan kerapuhan penghargaan karena semua diukur dari materi. Berbeda dengan orang dahulu ”makan tidak makan yang penting bersama” jelas menandakan kebersamaan yang diunggulkan dari hanya sekedar materi ”makan”. Maka tidak heran bila ada orang bicara pengorbanan sekarang dicap sebagai ”pahlawan di siang bolong”????
Namun itu semua bukanlah absurd. Karena seiring dengan hari pahlawan bisa dijadikan moment penting untuk kembali mengangkat nilai-nilai pengorbanan. Memberi ruang kembali nilai itu masuk di dalam qolbu para pemimpin, guru, hakim, polisi, ulama untuk mengabdikan diri mereka kepada Allah. Pengorbanan yang penuh ikhlas dan dedikasi yang tinggi akan mampu menjadi energi besar untuk merubah negara ini. Jangan sampai mengorbankan yang besar untuk memperoleh yang kecil. Tujuan yang besar adalah nilai dari pengorbanan itu sendiri. Entah diakui sebagai pahlawan ataukah tidak itu bukanlah hal yang penting. Yang terpenting seberapa ikhlas kita berkorban? Namun itu semuanya berpulang kepada kita semua. Bukankah berharap lebih mudah daripada melakukannya, bukan???

1 komentar:

omyosa mengatakan...

sepuluh anak belitong asuhan bu guru Halimah patut di beri penghargaan sebagai pahlawan motivasi.
Tetapi ada yang menarik dari 10 anak tersebut, yaitu harun pendaftar terakhir dari sekolah muhammadiyah itu. harun, sepatutnyalah memperoleh penghargaan dan apresiasi yang luar biasa, kenapa ? karena tanpa harun tidak ada itu yang namanya Laskar Pelangi.

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*