Kamis, Maret 05, 2009

ESQ : Terobosan Baru dalam Pendidikan Agama Islam

Sakralisasi kecerdasan intelegensi, masih ada dalam tubuh pendidikan kita. Hal ini terlihat dari memaknai kecerdasan masih diukur dari nilai akademis semata. Ia tidak pernah menjelajah dalam ranah lain yang menjadi sisi keberbedaan kecerdasan dari masing-masing entitas manusia. Padahal pemaknaan kecerdasan di kalangan intelektual dunia sudah mengalami perubahan. Pendidikan yang dulu menekankan pada ranah intelegensi sudah berganti menjadi diorientasikan menggali sisi emosionalnya, bahkan spiritualitasnya.


Realitas pendidikan kita
Di Institusi pendidikan kita, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai bangku kuliah jarang sekali ditemukan pendidikan yang mengajarkan tentang: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Padahal nilai-nilai inilah yang sangat penting dalam pembentukan karakter siswa. Terlebih khusus dalam menyiapkan anak didik memiliki mental tangguh di dalam menjalani perjalanan kehidupan. Dan nilai-nilai itu pulalah yang menjadi dasar dalam memunculkan pembentukan kecerdasan emosi dan spiritual.
Adalah menarik untuk disimak, beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang intelektualnya cerdas belum tentu orangnya berhasil dalam kehidupan pribadinya. Daniel Goleman menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam kehidupan hanya kira-kira 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual dan sisanya 80 % ditentukan oleh faktor-faktor yang lain. Sementara Agus Nggermanto menegaskan bahwa setidak-tidaknya 75 % kesuksesan manusia ditentukan oleh kecerdasan emosinya, hanya 4 % yang ditentukan IQ-nya.
Namun hasil akhir dari IQ dan EQ bila digabungkan masih berorientasi pada materi dan hubungan antara manusia biasa, hanya mengejar kebendaan, yang berarti juga mencakup satu tujuan saja yaitu amaliyah duniawi yang manifes, aktual dan fana. Seseorang bersikap jujur, adil, komitmen dan nilai nilai ideal lainnya hanya didasari keuntungan melakukan nilai itu saja. Atau nilai itu memiliki manfaat besar dalam memperoleh hal –hal yang diinginkan. Oleh karena hasil yang diinginkan dalam memberikan kecerdasan semacam ini kalau boleh dibilang absurd. Karena masih berkutat diwilayah profan, kebendaan.
Nilai Ideal ESQ
Kecerdasan spiritual yang didengungkan Danah Zohar dan Mashal mencoba membuat penilaian atas fakta yang merujuk pada realitas eksternal, dan mempunyai tujuan bersifat abadi, jangka panjang dan mutlak. Ini dimanifestasikan dalam pencapaian tujuan ideal yang menyatu dalam batin. Setelah upaya penilaian atas fakta dilakukan, kemudian mencoba melakukan penilaian atas nilai (value). Sebuah tahap penilaian yang mencakup pula watak dan kualitas SQ, manfaat, kebaikan, keburukan, dan juga bagaimana memperbaharui serta menyempurnakannya. Dan membahas mengenai istilah-istilah seperti itu harus memberikan keputusan tentang nilai-nilai secara keseluruhan dan terintegrasi. Akan tetapi SQ atau spiritual intellegent dari barat itu belum atau bahkan tidak menjangkau Ketuhanan. Pembahasannya baru sebatas Biologi atau Psikologi, tidak bersifat transendental sehingga masih terjadi kebuntuan.
Berbeda dengan konsep ESQ yang mencoba diracik oleh Ary Ginanjar untuk menyempurnakan konsep-konsep yang masih berbau sekuler. Ary Ginanjar dengan berani menyatakan bahwa ESQ memiliki sumber yang kuat di Islam. Karena ia mendasarkan dari konsepsi ESQ-nya pada rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Namun ia tidak mengoperasikan teorinya tersebut semacam guru agama konvensional yang menekankan pada aspek hafalan melulu. Ia berusaha tidak memikirkan berapa jumlah rukun Islam atau rukun Iman. Namun ia mengajak kita untuk merasakan rukun Islam dan rukun Iman serta Ihsan. Ia mengajak kita untuk merasakan bahwa kita semua meyakini Allah, meyakini malaikat, dan lain sebagainya.
Melalui trainingnya, dengan didukung prasarana teknologi dan dengan perpaduan audiovisual serta musik-musik yang mengiringi kita akan diajak untuk menelusuri relung-relung ajaran yang sering kita lupakan bahkan lupa untuk merasakan. Di sana kita semua akan diajak untuk mengamini kebenaran penciptaan Allah. Bahkan kebenaran keberadaan Allah sendiri. Kemudian kita diajak untuk memikirkan tugas kita sendiri sebagai manusia yang sering kita lupakan di dunia. Puncaknya adalah merasakan jika seandainya kita dicabut nyawa oleh Allah. Di sinilah biasanya peserta akan menangis sejadi-jadinya karena ia telah disingkapkan file yang selama ini cenderung ia lupakan.
Tambal sulam pendidikan agama kita
Sejujurnya pendidikan agama Islam di sekolah umum atau sekolah yang berbau Islam masih banyak memiliki kelemahan. Tidak hanya sekedar persoalan alokasi waktu sedikit namun lebih kepada metodologi pembelajarannya. Dalam metodologi pembelajarannya, meskipun sudah berganti-ganti kurikulum, namun tetap saja masih konvensional atau kalau boleh dibilang tidak berubah. Guru masih dominan menggunakan metode ceramah daripada mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran. Ceramahnya pun masih itu-tu saja. Sehingga banyak siswa yang merasa jenuh dan bosan. Akhirnya pelajaran agama tidak menjadikan siswa tertantang untuk mengikutianya. Pelajaran agama tidak mampu merasuk ke dalam hati siswa untuk menjadi pedoman hidupnya.
Persoalan mendasar dalam pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan umum, bukannya alokasi waktu sedikit, namun bagaimana menyiasati waktu yang sedikit tersebut menjadi bermakna. Kebermaknaan itu diukur dari seberapa besar siswa mampu menghayati pelajaran agamanya.
Karenanya adalah menarik jika guru-guru agama sedikit inovatif untuk menyajikan pelajarannya dengan basis merasakan/menghayati. Dengan teknologi yang tersedia seperti Laptop, LCD, dan kemampuan menguasai power point, guru bisa menyusun slide-slide yang bagus untuk menggiring siswa merasakan pembelajaran khususnya terkait dengan kompetensi tauhid dan akhlak. Sebagaimana para trainer ESQ, guru bisa melakukan terobosan-terobosan baru dengan mengambil klip-klip serta lagu-lagu melankolis. Dengan didukung berbagai sarana dan kemampuan guru menguasai emosi siswa, tujuan pembelajaran agama dengan menguatkan spiritual siswa bisa diwujudkan. Memang tidak menjadi indikator ketika siswa menangis mengikuti pembelajaran yang berbasis ESQ, namun setidaknya itu bisa menjadi indikator bahwa mereka telah mampu merasakan. Dengan memunculkan rasa tersebut guru bisa membimbing lebih mendalam ke arah ketauhidan. Dan disinilah sebetulnya tugas guru yang berat. Guru tidak hanya sekedar membuka file hati sebagaimana para trainer ESQ, namun ia harus pula menjaganya. Menjaga jangan sampai nilai fitrah dalam hati siswa teracuni. Dengan demikian anak didiknya akan menjadi generasi tangguh yang tidak akan keropos dimakan jaman. Semoga!

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*