Pendidikan pada hakekatnya merupakan unsur vital dalam kehidupan dan merupakan kebutuhan serta tuntutan yang amat penting untuk menjamin perkembangan, kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara lebih tergantung pada kualitas sumber daya manusianya bukan sumber daya alamnya. Kualitas yang dikehendaki itu lebih tergantung pula dari keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikannya.
Keberhasilan penyelenggaran pendidikan tidak hanya sekedar transfer of knowledge saja, tetapi lebih pada pembentukan kepribadian seseorang sehingga dapat mengenal potensi diri dan selanjutnya dapat mengembangkan potensinya sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan hidupnya.[1]
Dalam konteks pendidikan agama Islam, mempunyai kualifikasi sendiri dalam memberikan kejelasan konseptual dari makna pendidikan, pembentukan pribadi yang dimaksud adalah kepribadian muslim dan kemajuan masyarakat serta budaya yang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam, pendidikan agama Islam merupakan proses transformasi dan realisasi nilai-nilai ajaran Islam melalui pembelajaran, baik formal maupun non formal kepada masyarakat (peserta didik) untuk dihayati, dipahami serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menyiapkan dan membimbing serta mengarahkan agar nantinya mampu melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi dengan sebaik-baiknya.
Untuk membentuk kepribadian muslim atau insan kamil seperti apa yang menjadi tujuan pendidikan agama Islam tentunya membutuhkan figur yang representatif untuk dijadikan acuan dalam mencapai tujuan tersebut. Beliau adalah Rasulullah Saw. hampir setiap perbuatan yang dilakukannya selalu terjaga mutunya, sholat beliau adalah sholat yang khusu’ yang bermutu tinggi dan amal-amal yang ikhlas serta terpelihara kualitasnya. Demikian juga keberaniannya, tafakkurnya dan aneka kiprah hidup sehari-hari beliau yang seluruhnya senantiasa dijaga untuk menghasilkan kualitas tertinggi. Ya! Beliau adalah pribadi sangat menjaga prestasi dan mempertahankan kualitas terbaik dari apa yang sanggup dilakukannya. Tidak heran kalau Alloh SWT. Menegaskan:
”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Alloh…(Q.S. Al-Ahzab33:21).
Dalam konteks sekolah/madrasah perbuatan itu harus dimulai dan ditunjukkan oleh seluruh komponen sekolah. Salah satunya adalah guru. Guru sebagai personal yang menduduki posisi strategis dalam rangka pengembangan sumber daya manusia dituntut untuk terus mengikuti perkembangan konsep-konsep dan wawasan baru dalam dunia pendidikan tersebut, termasuk tentang strategi pembelajaran di kelas. Selain itu keberhasilan pembelajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar tapi juga dari prosesnya.[2] Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mastuhu bahwa menurut paradigma baru dalam memandang ilmu yaitu bobot ilmu tidak terletak pada hasil akhir atau final product, tetapi pada proses metodologi atau cara mencarinya. Dengan kata lain inti pembelajaran baru adalah meneliti atau research, bukan lagi menerima barang jadi.[3]
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (dibaca selanjutnya PAI) yang menjadi tujuan utamanya adalah bagaimana nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan akan dapat tertanam dalam diri siswa sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang dilandasi dengan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan pribadinya maupun kehidupan sosial yang nantinya dapat berdampak pada terbentuknya “Insan Kamil”, bukan pemahaman bahwa proses pembelajaran PAI hanya sebagai proses “Penyampaian Pengetahuan Tentang Agama Islam” seperti yang terjadi selama ini.
Proses belajar yang terjadi di sekolah selama ini pada kenyataannya menunjukkan bahwa siswa lebih berperan sebagai obyek dan guru berperan sebagai subyek. Pusat informasi atau pusat belajar adalah guru, sehingga sering terjadi siswa akan belajar jika guru mengajar, begitu juga dalam penilaian yang masih menekankan hasil dari pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran PAI di sekolah masih sebatas sebagai proses penyampaian pengetahuan Agama Islam.[4] Ini berarti siswa hanya menerima materi-materi PAI tanpa ada usaha menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itulah sudah saatnya paradigma pendidikan yang selama ini ada untuk diubah, termasuk paradigma pembelajaran PAI, sehingga diperlukan suatu strategi pembelajaran yang dapat dijadikan jalan keluar dalam proses pembelajaran PAI yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI yaitu adanya internalisasi pada diri siswa tentang nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan secara mudah serta adanya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran secara fisik maupun mental, sehingga siswa tidak merasa jenuh dan mengembalikan semangat belajar siswa serta menjadikan belajar siswa lebih bermakna dan mampu mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa, pembelajaran yang dimaksud adalah Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL).
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar.[5] Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar, sehingga pembelajaran selain lebih bermakna juga lebih menyenangkan, siswa akan belajar lebih keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru dan selanjutnya siswa akan memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan permasalahan dunia nyata yang kompleks, baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombinasi dan struktur kelompok.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya sama bahwa pembelajaran kontekstual terjadi jika siswa mampu mengaitkan apa yang sedang diajarkan dengan masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan siswa. Ini berarti pula bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya, pembelajaran kontekstual ini dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna tanpa harus mengubah tatanan kurikulum yang ada, karena Pembelajaran kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran.
Dalam Pembelajaran kontekstual, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberikan informasi, guru mengolah kelas sebagai suatu team yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa sebagai anggota kelas, sesuatu yang baru tersebut adalah pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru, dengan konsep ini hasil pembelajaran dikatakan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, belajar yang efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dari “Guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”, siswa tidak hanya diberi pengetahuan-pengetahuan tapi siswa dibantu untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru berdasarkan pengalaman siswa.
Dengan pemahaman dan aplikasi demikian, kiranya ke depan pembelajaran agama Islam (PAI) mampu dalam menggapai cita-cita yang diidealkan yakni terbentuknya insan berakhlakul karimah. Namun tentunya diperlukan perjuangan dan kearifan dalam mengambil semua pembelajaran yang terbaik untuk pembelajaran agama Islam sendiri.
Penulis:
Nama : Muhammad Isno S.Pd.I
[1] Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah; Petunjuk Para Calon Guru dan Orang Tua, (Jakarta; Gramedia, 1985), 23.
[2] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), 65.
[3] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 40.
[4] Ibid, 3.
[5] Depdiknas, Pendekatan Kontekstual, hal. 5
0 komentar:
Posting Komentar