Hampir dapat dipastikan, setiap Natal tiba – tepatnya 25 desember- seluruh ornamen dari setiap pusat perbelanjaan, seperti: mall, super market, departemen store, tempat-tempat hiburan, dan rekreasi menjadi begitu agamis atau kalau boleh dibilang nasranis. Pusat-pusat public tersebut bertaburan dengan pernik-pernik, penuh hiasan –hiasan natal, tidak ketinggalan pohon Natal serta tokoh sinterclass sebagai ikonnya. Lagu – lagu rohanipun tak lupa diputar dan berkumandang, seolah begitu dekat rasanya dengan Kristus, namun apakah realitas jiwa menyatakan demikian?, seolah-olah bangsa kita tiba-tiba saja menjadi beriman dan begitu perduli terhadap nilai-nilai agama.
Sebenarnya, fenomena dihadirkannya simbol-simbol agama dalam ruang pasar telah lama tampak dalam masyarakat kita. Hal tersebut mencapai puncaknya mana kala akan tiba perayaan hari besar yang diselenggarakan oleh salah satu agama yang ada sebagai tradisi tahunan. Begitu juga dengan peringatan Natal oleh ummat kristiani, spontan saja bisa kita lihat, begitu antusiasnya pusat-pusat perbelanjaan :, Super market, mall, dan departemen store, mengusung simbol-simbol yang menjadi ikon khas perayaan natal dalam ruang bisnis mereka, realitas ini sama juga ketika menjelang berlangsungnya puasa dan idul fitri yang dirayakan oleh umat Islam, maka secara otomatis pula dari layar kaca sampai pusat perbelanjaan (swalayan) berhiaskan simbol dan tema ramadhan dan Idul Fitri. Seakan-akan lagi, supermarket, artis dan lain-lainnya menjadi agamis atau islamis.
Dengan hadirnya berbagai ornamen dan atribut natal dalam ruang pasar tersebut, disatu sisi kita bisa merasa bangga, bahwa, masyarakat pelaku pasar ternyata masih memiliki keperdulian dan respon terhadap nilai-nilai Agama yang kita anut. Namun, disisi lain justru terplesit kecurigaan, jangan-jangan ini merupakan permainan ideologi pasar semata. Artinya simbol-simbil dan berbagai atribut agama tersebut hanya dijadikan sebagai pemanis etalase pasar semata, yaitu sebagai simbol magnetis untuk menarik hati selera konsumen. Jika demikian maka perayaan Natal tereduksi maknanya dan hanya akan menjadi obyek pelaku pasar saja..
Budaya Pasar Melekat Pada Natal
Kunto wijoyo secara menarik menjelaskan dua jenis budaya dalam bukunya Budaya dan Masyarakat (1991), yaitu budaya masjid – jika dalam kalangan ummat kristiani maka disebut budaya gereja - dan budaya pasar. Kedua budaya tersebut memiliki gambaran yang saling bertolak belakang terhadap dua fenomena yang terjadi dimasyarakat. budaya gerejawi digunakan untuk menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme, sedangkan budaya pasar merujuk pada budaya masyarakat yang penuh tipu daya yang selalu mementingkan keuntungan materi, gereja dan pasar adalah dua tempat yang secara tradisional mempunyai makna yang berbeda dan terpisah.
Dalam perkembangan selanjutnya , antara budaya budaya pasar dan budaya gereja ternyata malah mengalami sinergi. Bahkan, muncul adanya dominasi pasar atas gereja. Hal itu tampak saat pelaku pasar merancang praktik keagamaan sedemikian rupa guna mendapatkan keuntungan. Munculnya eksploitasi atas praktik agama, seperti natal, dan tahun baru al-Masih ( sebagaimana tahun baru Islam disebut tahun baru Hijriyah), oleh pelaku pasar untuk mendapatkan keuntungan, biasa kita saksikan.
Dominasi pasar terhadap praktik agama tampak jelas ketika hari-hari menjelang dan selama perayaan Natal dan tahun baru al-Masih, sudah menjadi tradisi tahunan barangkali menjelang Natal, para pelaku pasar ramai-ramai menyulap Mall, Supermarket, swalayan, departemen Store, sampai pada pusat hiburan dan keramaian dengan simbol dan ornamen yang kira-kira sesuai dan marketable dengan suasana masyarakat kristiani yang sedang merayakan Natal. bahkan seringkali kemasan kemasan pasar tersebut seringkali tidak ada relevansinya sama sekali dengan nilai-nilai subtansi peringatan Natal.
Mengingat praktik-paraktik tersebut tidak bermula dari kesadaran dan niat suci pelaku pasar atas pentingnya nilai-nilai Natal, namun lebih karena godaan karena memperoleh keuntungan besar melalui pemanfaatan momentum Natal. Sebagaian besar apa yang dilakukan pelaku pasar tersebut terhadap Natal, semata-mata terjebak pada pemahaman natal yang sangat simbolis dan verbalis semata, melalui ucapan selamat natal, tahun baru, pohon natal, sinterclas dan pajangan lilin, serta ornamen lainya yang memadati area pasar, seakan sudah merepresentasikan suasana khas Natal yang patut diteladani bagi ummat Kristiani, yang justru disisi lain malah menonjolkan pola hidup dan prilaku serba mewah, hedonis, yang jika kita kaji sama sekali tidak mencerminkan sepirit Natal, sebagai hari lahirnya kristus sebagai penebus belengu ketertindasan ummat.
Natal Dan Kepekaan Terhadap Kemiskinan
Dominasi ideologi pasar terhadap spirit nilai-nilai natal ini, harus kita sadari sebagai reduksi terhadap pembumian subtansi natal, agar kita tidak terjebak dan larut didalam ambisi pasar yang selalu memposisikan natal dalam: Pertama; ideologi pasar akan mengkonstruk natal sebagai rutual simbolik politik pasar dalam rangka memanjakan dan menjadikannya daya maknetis konsumen sahaja, semata-mata hanya untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari momen tersebut, kedua; ideologi pasar melahirkan semangat hedonisme, gaya hidup glamor, yang pada akhirnya hanya akan mengkondisikan ummat pada pola hidup mewah, yang justru telah membuat jarak tebal terhadap realitas kemanusiaan seperti halnya kemiskinan, ketertindasan, dan tragedi kemanusiaan yang melanda.
Maka jika kita ingin sebenar-benarnya menghayati subtansi dari perayaan kelahiran Jesus (Natal) tersebut, seharusnya kita merenungkan jawaban dari “ tujuan dihadirkanya Kristus dibumi manusia?, yang tak lain menurut agama Nasrani sebagai pembebas dan penebus segala ketertindasan dan dosa anak adam. Peringatan Natal sebenarnya memilki arti penting dalam mempertajam kepekaan kita terhadap kemiskinan yang melanda, sebagaimana inti ajaran kristus yaitu menebar kasih sayang terhadap sesama. Ikon dan simbol natal semisal: sinterklas, pohon natal, dan cahaya lilin bukanlah simbol kosong yang menyertai tradisi Natal, melainkan cermin solidaritas yang tinggi terhadap kemiskinan yang diderita oleh sesama, pertama; pohon Natal, memilki arti sebagai tunas baru atau generasi baru, sedangkan generasi baru berarti merupakan penerus tradisi dan nilai-nilai kristiani, kedua; simbol sinterklas, tokoh tersebut harus dimaknai sebagai sosok yang penuh kasih sayang, yang selalu membagikan hadiah kepada siapa saja yang kesusahan, sedih dan tertindas, agar bisa ikut dalam kegembiraan Natal, dan siapapun bisa meniru apa yang dilakukan sinterklas tersebut sebagai solidaritas Natal, ketiga; simbol lilin, yaitu sebagai simbol bahwa hanya dalam jiwa yang terang saja pelajaran kemanusiaan dari Natal tahun ini, akan kita peroleh. Jika sepirit diatas membumi dalam diri yang memperingati Natal, maka akan mampu melangkah dalam dekapan-NYA, sebagai wujut resistensi terhadap ideologi pasar yang hadir mengkaburkan makna Natal itu sendiri. Semoga dalam natal saat ini lebih manusiawi dari tahun-tahun yang lalu. Amin.
Penulis: Isno S.Pd.I (085648800578)
Sebenarnya, fenomena dihadirkannya simbol-simbol agama dalam ruang pasar telah lama tampak dalam masyarakat kita. Hal tersebut mencapai puncaknya mana kala akan tiba perayaan hari besar yang diselenggarakan oleh salah satu agama yang ada sebagai tradisi tahunan. Begitu juga dengan peringatan Natal oleh ummat kristiani, spontan saja bisa kita lihat, begitu antusiasnya pusat-pusat perbelanjaan :, Super market, mall, dan departemen store, mengusung simbol-simbol yang menjadi ikon khas perayaan natal dalam ruang bisnis mereka, realitas ini sama juga ketika menjelang berlangsungnya puasa dan idul fitri yang dirayakan oleh umat Islam, maka secara otomatis pula dari layar kaca sampai pusat perbelanjaan (swalayan) berhiaskan simbol dan tema ramadhan dan Idul Fitri. Seakan-akan lagi, supermarket, artis dan lain-lainnya menjadi agamis atau islamis.
Dengan hadirnya berbagai ornamen dan atribut natal dalam ruang pasar tersebut, disatu sisi kita bisa merasa bangga, bahwa, masyarakat pelaku pasar ternyata masih memiliki keperdulian dan respon terhadap nilai-nilai Agama yang kita anut. Namun, disisi lain justru terplesit kecurigaan, jangan-jangan ini merupakan permainan ideologi pasar semata. Artinya simbol-simbil dan berbagai atribut agama tersebut hanya dijadikan sebagai pemanis etalase pasar semata, yaitu sebagai simbol magnetis untuk menarik hati selera konsumen. Jika demikian maka perayaan Natal tereduksi maknanya dan hanya akan menjadi obyek pelaku pasar saja..
Budaya Pasar Melekat Pada Natal
Kunto wijoyo secara menarik menjelaskan dua jenis budaya dalam bukunya Budaya dan Masyarakat (1991), yaitu budaya masjid – jika dalam kalangan ummat kristiani maka disebut budaya gereja - dan budaya pasar. Kedua budaya tersebut memiliki gambaran yang saling bertolak belakang terhadap dua fenomena yang terjadi dimasyarakat. budaya gerejawi digunakan untuk menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme, sedangkan budaya pasar merujuk pada budaya masyarakat yang penuh tipu daya yang selalu mementingkan keuntungan materi, gereja dan pasar adalah dua tempat yang secara tradisional mempunyai makna yang berbeda dan terpisah.
Dalam perkembangan selanjutnya , antara budaya budaya pasar dan budaya gereja ternyata malah mengalami sinergi. Bahkan, muncul adanya dominasi pasar atas gereja. Hal itu tampak saat pelaku pasar merancang praktik keagamaan sedemikian rupa guna mendapatkan keuntungan. Munculnya eksploitasi atas praktik agama, seperti natal, dan tahun baru al-Masih ( sebagaimana tahun baru Islam disebut tahun baru Hijriyah), oleh pelaku pasar untuk mendapatkan keuntungan, biasa kita saksikan.
Dominasi pasar terhadap praktik agama tampak jelas ketika hari-hari menjelang dan selama perayaan Natal dan tahun baru al-Masih, sudah menjadi tradisi tahunan barangkali menjelang Natal, para pelaku pasar ramai-ramai menyulap Mall, Supermarket, swalayan, departemen Store, sampai pada pusat hiburan dan keramaian dengan simbol dan ornamen yang kira-kira sesuai dan marketable dengan suasana masyarakat kristiani yang sedang merayakan Natal. bahkan seringkali kemasan kemasan pasar tersebut seringkali tidak ada relevansinya sama sekali dengan nilai-nilai subtansi peringatan Natal.
Mengingat praktik-paraktik tersebut tidak bermula dari kesadaran dan niat suci pelaku pasar atas pentingnya nilai-nilai Natal, namun lebih karena godaan karena memperoleh keuntungan besar melalui pemanfaatan momentum Natal. Sebagaian besar apa yang dilakukan pelaku pasar tersebut terhadap Natal, semata-mata terjebak pada pemahaman natal yang sangat simbolis dan verbalis semata, melalui ucapan selamat natal, tahun baru, pohon natal, sinterclas dan pajangan lilin, serta ornamen lainya yang memadati area pasar, seakan sudah merepresentasikan suasana khas Natal yang patut diteladani bagi ummat Kristiani, yang justru disisi lain malah menonjolkan pola hidup dan prilaku serba mewah, hedonis, yang jika kita kaji sama sekali tidak mencerminkan sepirit Natal, sebagai hari lahirnya kristus sebagai penebus belengu ketertindasan ummat.
Natal Dan Kepekaan Terhadap Kemiskinan
Dominasi ideologi pasar terhadap spirit nilai-nilai natal ini, harus kita sadari sebagai reduksi terhadap pembumian subtansi natal, agar kita tidak terjebak dan larut didalam ambisi pasar yang selalu memposisikan natal dalam: Pertama; ideologi pasar akan mengkonstruk natal sebagai rutual simbolik politik pasar dalam rangka memanjakan dan menjadikannya daya maknetis konsumen sahaja, semata-mata hanya untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari momen tersebut, kedua; ideologi pasar melahirkan semangat hedonisme, gaya hidup glamor, yang pada akhirnya hanya akan mengkondisikan ummat pada pola hidup mewah, yang justru telah membuat jarak tebal terhadap realitas kemanusiaan seperti halnya kemiskinan, ketertindasan, dan tragedi kemanusiaan yang melanda.
Maka jika kita ingin sebenar-benarnya menghayati subtansi dari perayaan kelahiran Jesus (Natal) tersebut, seharusnya kita merenungkan jawaban dari “ tujuan dihadirkanya Kristus dibumi manusia?, yang tak lain menurut agama Nasrani sebagai pembebas dan penebus segala ketertindasan dan dosa anak adam. Peringatan Natal sebenarnya memilki arti penting dalam mempertajam kepekaan kita terhadap kemiskinan yang melanda, sebagaimana inti ajaran kristus yaitu menebar kasih sayang terhadap sesama. Ikon dan simbol natal semisal: sinterklas, pohon natal, dan cahaya lilin bukanlah simbol kosong yang menyertai tradisi Natal, melainkan cermin solidaritas yang tinggi terhadap kemiskinan yang diderita oleh sesama, pertama; pohon Natal, memilki arti sebagai tunas baru atau generasi baru, sedangkan generasi baru berarti merupakan penerus tradisi dan nilai-nilai kristiani, kedua; simbol sinterklas, tokoh tersebut harus dimaknai sebagai sosok yang penuh kasih sayang, yang selalu membagikan hadiah kepada siapa saja yang kesusahan, sedih dan tertindas, agar bisa ikut dalam kegembiraan Natal, dan siapapun bisa meniru apa yang dilakukan sinterklas tersebut sebagai solidaritas Natal, ketiga; simbol lilin, yaitu sebagai simbol bahwa hanya dalam jiwa yang terang saja pelajaran kemanusiaan dari Natal tahun ini, akan kita peroleh. Jika sepirit diatas membumi dalam diri yang memperingati Natal, maka akan mampu melangkah dalam dekapan-NYA, sebagai wujut resistensi terhadap ideologi pasar yang hadir mengkaburkan makna Natal itu sendiri. Semoga dalam natal saat ini lebih manusiawi dari tahun-tahun yang lalu. Amin.
Penulis: Isno S.Pd.I (085648800578)
0 komentar:
Posting Komentar