Kamis, Maret 05, 2009

Menggagas Pendidikan Integral




Dulu sewaktu saya masih menjadi mahasiswa, saya sangat getol mengkritik pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Menurut saya pendidikan agama atau pembelajaran lainnya yang punya hubungan dengan moral telah gagal membentuk kepribadian siswa. Kegagalan itu bisa dilihat dari out put yang dihasilkan, pelaku kejahatan, korupsi, dan lain lainnya yang punya hubungan dengan kebangkrutan moral hampir banyak dilakukan orang orang yang pernah duduk dibangku sekolah. Pendidikan agamalah yang seharusnya bertanggung jawab. Karena pendidikan agama sebagai agent of moral tidak bisa menanamkan moral kepada para siswanya. Pelaksanaan pendidikan agama Islam seakan hanya sebentuk ritual tanpa makna. Ia hadir hanya sebagai sebuah bentuk formalitas belaka. Pendidikan agama hanya berkutat pada metode ocehan para guru. Orbitnya pun masih berkutat pada IQ belaka. Kalau begitu dari pada membuang-buang tenaga, lebih baik bubarkan saja pendidikan agama jika tidak berbahasil menanmkan moralnya. Bubarkan saja pendidikan agama dari pada ngisin-ngisini agama Islam itu sendiri di sekolah sekolah formal. Demikian kesimpulan saya tentang agama dikala dulu.
Namun seiring dengan waktu, ketika saya ditaqdirkan oleh Allah menjadi guru agama, betapa salahnya saya melakukan tuduhan tuduhan terhadap para guru agama itu. Karena realitas dilapangan menunjukkan hal berbeda dari hanya sekedar praduga tanpa pernah tahu realitas yang ada. Betapa tidak, saya merasakan menjadi guru agama sangatlah berat. Khususnya dalam penataan moral para siswa. Segala bentuk metode baik dari CTL, Quantum Learning, KBK, KTSP, bahkan telah saya masukkan metode metode ESQ, namun kebejatan moral masih saja ucul dari pantauan. Masih banyak para siswa yang berpacaran dengan sangat berani. Masih banyak para siswa berpakaiannya norak. Masih banyak para siswi berpakaian mini. Masih banyak para siswa yang melanggar peraturan. Masih banyak para siswa yang ndablek.
Kenapa terjadi demikian?
Untuk menjawab pertanyaan itu tidak semudah membalikkan sebelah tangan. Karena menjawabnya harus penuh tanggung jawab. Kalau sekedar menjawab dengan menggunakan metode ”lip Servis” itu ndak apa apa. Tapi memecahkan masalah tidak sekedar itu. Perlu alasan logis, alasan filosofis dan yang lebih penting petunjuk teknis untuk memecahkan persoalan tersebut.
Sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita urai satu persatu hal dasariah yang menjadi problem pendidikan kita khususnya yang berkaitan dengan moralitas.
Pertama, pendidikan kita berorientasi IQ.
Metode mengajar, strategi pembelajaran bahkan sampai tujuan dari belajar itu sendiri hampir sekian tahun tujuannya adalah untuk mencetak angka. Tiap anak dipacu oleh guru untuk mengejar angka angka ”hijau” dan menjauhi angka-angka ”merah”. Standar kepandaian itu sendiri pun ukurannya adalah seberapa banyak anak memperoleh angka. Jika ia memperoleh angka banyak maka ia akan dikatakan pandai. Ia dikatakan bisa lulus. Dan sederet pujian lagi lainnya. Secara tidak langsung, anak tersetting, belajar untuk memperoleh angka. Inilah korban dari mis oreintasi dari para penggede pendidikan yang terpengaruh nalar dunia tentang IQ sebagai ukuran kesuksesan seseorang dalam kehidupan.
Namun seiring dengan waktu, teori itu dijungkir balik oleh humanis humanis modern seperti halnya Daniel Goleman yang mengembangkan EQ, kemudian dilanjutkan oleh Mashal yang memperkenalkan SQ. Tokoh tokoh neourologi pun banyak mendukung tentang teori bahwa ada rasa emosi dalam syaraf otak manusia yang disitu sangat berpengaruh besar terhadap suasana emosi seseorang. Terbukti dari beberapa penelitian orang orang yang masuk dalam Top Leader adalah orang yang cerdas emosinya. Inti dari kecerdasan emosi adalah kemampun untuk memahami, mengendalikan perasaan diri dan orang lain. Sedangkan kecerdasan spiritual, SQ, dipandang sebagai kelanjutan kecerdasan emosi, dimana kecerdasan spiritual berfungsi dalam memberi makna disetiap perilaku kehidupan sehingga menjadi lebih bermakna. Untuk apa kita hidup?
Ketika EQ dan SQ tidak hadir dalam nalar siswa, bisa jadi ia pandai tetapi sombong, pemarah dan berperilaku amoral lainnya. Dan inilah bahayanya. Dan ini sudah sekian lama kita masuk didalamnya. Sehingga tidak heran dekadensi moral itu sudah sekian akutnya. Karena salah langkah dalam mencetak generasi bangsa kita ini.
Kedua, pendidikan kita salah tujuan
Pendidikan kita salah tujuan? Kenapa? Pendidikan kita selama ini menggiring nalar masyarakat terjebak dalam bentuk pragmatis. Sekolah mau jadi apa? Oleh opo? Mungkin pertanyaan itulah yang bisa menggambarkan tujuan dari orang sekolah. Kalau ndak jadi apa-apa buat apa sekolah? Demikian kesimpulan logika yang berkembang.
Bentuk dari tujuan sekolah sudah mengkerdilkan arti dari orang menuntut ilmu. Bukannya saya melarang seseorang menjadi apa, ini, itu. Tetapi orang menuntu ilmu jika kita bernalar benar tidak ada hubungannya dengan uang. Karena orang menuntut ilmu tujuan awalnya adalah agar ia tidak bego. Nabi Muhammad sendiri memerintahkan kepada umatnya ”Tuntutlah ilmu”, bukannya tuntutlah ilmu biar jadi pegawai. Jadi disini yang perlu ditegaskan adalah kita menuntut ilmu biar kita pintar, cerdas. Khususnya, kalau dalam tujuan pendidikan agama Islam, mengakui keagungan Allah, mentauhidkan Allah, mengerti yang benar dan salah dan lain sebagainya. Semakin ia pintar, hatinya semakin dikerdilkan untuk merasa kecil dihadapan Allah. Semakin ia banyak menyerap ilmu, menguasai misteri misteri alam semakin ia tunduk kepada Allah. Jadi disinilah yang perlu ditegaskan. Tujuan dari pendidikan itu sendiri. Bukannya bentuk-bentuk pragmatis.
Ketiga, keterputusan pelajaran satu dengan lainnya.
Mata pelajaran satu dengan yang lainnya seringkali berbenturan khususnya dalam nalar kebenaran masing-masing. Kebenaran agama dengan kebenaran science yang diusung ilmu-ilmu ”sekuler” seringkali berbeda bahkan kalau boleh dibilang saling berseberangan. Sebagai contoh dalam masalah creator universal, agama mengajarkan bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah. Setelah Allah menciptakan seluruh alam semesta kemudian diciptakannya Adam sebagai manusia pertama untuk menghuni bumi kemudian berkembang biak dan menyebar menjadi masyarakat penduduk di bumi ini. Di sisi lain ilmu biologi berbeda dalam menerangkan proses penciptaan alam semesta, alam semesta tercipta dengan sendirinya begitupun dengan makhluk. Lebih parah teori Darwin tentang evolusi diberikan kepada murid tanpa nalar kritis untuk mendiskusikannya. Karena teori Darwin sendiri berbicara bahwa manusia adalah hasil dari evolusi kera. Jadi disinilah letak benturan benturan yang oleh Ismail Rozi al-Faruqi disebut benturan spiritual. Di sisi lain agama menyatakan kebenaran akan Adam sebagai manusia pertama, disisi lain science menyatakan keralah sebagai asal dari proses terbentuknya manusia.
Kerapkali hal ini yang menyebabkan kebingungan dalam meyakini kebenaran agama. Khawatirnya para siswa akan mengalami krisis kepercayaan terhadap kebenaran agama itu sendiri. Sehingga siswa akan tidak punya kepedulian terhadap nilai-nilai keagamaan mereka. Subhanallah.
Keempat, keterputusan hubungan sekolah, lingkungan dan keluarga
Pelaksanaan pembelajaran pendidikan selama ini diasumsikan bahwa sekolah adalah satu satunya tempat pendidikan. Akibatnya banyak orang tua yang mengharapkan sekolah bisa mengatasi segala persoalan termasuk moralitasnya. Di sisi lain, orientasi pendidikan yang dianut bangsa Indonesia, sebagaimana kritik Gus Dur, masih menganut Jhon Dewey yakni lebih menitikberatkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi..
Gus Dur lebih lanjut mengatakan orang tua masih sangat tinggi nilai ketergantungan kepada pemerintah. Termasuk pembenahan moralitas. Pembenahan moralitas yang diharapkan orang tua tidak sepenuhnya bisa didapatkan di sekolah. Karena, jika kita menghitung waktu, tatap muka antara guru dan murid hanya berkisar 6-7 jam. Belum lagi kita menghitung antara guru agama dengan siswa. Dalam satu minggu hanya bertatap muka 2 jam. Nah! Pertanyaannya bagaimana bisa membentuk kepribadian siswa jika berinteraksi dengan guru khususnya guru agama hanya dua jam dalam satu minggu?
Jika kita menghitung lagi, sehabis sekolah, siswa sudah tidak berada dalam pantauan guru. Tetapi sudah masuk dalam keluarga. Dalam keluarga sendiri belum tentu siswa terus berada di rumah tetapi mereka keluar dan berinteraksi dengan lingkungannya dan masyarakatnya. Pengaruh dari lingkungan, masyarakat, dan keluarga sudah tentu sangat besar khususnya dalam pembentukan kepribadian mereka. Jadi di sini perlu ditegaskan bahwa ada pengaruh pengaruh yang saling bergelindan antara satu dengan yang lainnya. Jadi tidak bisa sekolah saja yang dituduh dalam pembentukan moral atau kebejatan moral. Apalagi guru agama saja yang dituduh!
Solusi
Hal yang pertama dalam proses pembentukan integral dalam pendidikan kita harus dirubah pola berpikirnya. Dulu orang mendidik siswa dengan harapan anak akan bisa ber IQ tinggi. Dengan IQ tinggi maka siswa akan memperoleh hidup yang sukses. Tetapi tesis itu runtuh dengan berkembangnya EQ dan SQ. Kesuksesan seseorang disamping IQ yang tinggi juga perlu didukung dengan EQ. IQ dan EQ saja tidak cukup, karena hal ini akan membahayakan seseorang khususnya dalam nilai spiritual seseorang. Karena bisa jadi orang itu sukses, tetapi ia tidak memperoleh kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati diukur dari seberapa tentram seseorang dalam menjalani kehidupan yang penuh gelombang kecuali dengan dengan-Nya. Kedekatan dengan-Nya tidak harus ia sholat terus, atau bertapa dengan melupakan masyarakat. Tetapi kedekatannya diukur seberapa jauh ia menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ada makna dalam setiap langkah kehidupannya. Inilah intergrasi IQ,EQ dan SQ.
Kedua, dalam sistem pendidikan kita, harus ada reformasi total dalam tujuan pendidikan kita. Orientasi pendidikan harus dirubah dari pendidikan yang pragmatis menuju kepada pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang memberikan arti kesadaran terhadap eksistensinya sebagai manusia. Karena dengan orientasi yang benar dari pendidikan itu sendiri akan menjadikan kehidupan manusia itu lebih bermakna.
Dalam mata pelajaran pun harus ada upaya integrasi antara mata pelajaran yang dianggap ”umum” dengan agama. Bukannya hanya sekedar justifikasi seperti mendompleng ayat-ayat Quran untuk kebenaran. Tetapi lebih dari sekedar itu nilai-nilai universal dari agama itu sendiri yang harus dimasukkan dalam setiap mata pelajaran sehingga akan tercipta harmonisasi ilmiah.
Yang lebih penting, terciptanya pendidikan sekolah, lingkungan dan keluarga. Kenapa? Karena disinilah letak integral dari pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin pendidikan disekolah bisa berhasil jika masyarakat atau lingkungannnya tidak mendukung akan hal itu. Begitupun dengan keluarga. Jika keluarganya (baca: bapak Ibunya) sering bertengkar atau terjadi perselingkuhan, siswa akan mengalami stres memikirkan hal tersebut. Sehingga siswa tidak bisa konsentrasi dan mengekspresikan dalam perilaku perilaku menyimpang lainnya. Oleh karenanya harus ada integrasi pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Namun integrasi dari ketiga komponen itu bisa jadi akan hanya menjadi cita ideal tanpa ada political will untuk perbaikan pelaksanaannya baik dari pemerintah, penyelenggara pendidikan maupun masyarakat. Karena berkeinginan lebih mudah daripada melaksanakan, bukan?

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*