Menyimak pemberitaan berbagai media yang memberitakan tentang perilaku dewan yang menuntut kepada presiden untuk membatalkan Revisi PP 37 tahun 2006, ditambah berita terbaru yakni ramai ramainya para dewan menuntut pembelian lap top, ditambah pula dengan ditangkapnya beberapa anggota Dewan, membuat emosi kita semua meluap-luap seperti rasa jengkel, benci, marah dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat yang seharusnya membela kepentingan rakyat justru telah menginjak injak harga diri rakyat. Hal ini terlihat dari lemahnya sense of care para pemimpin yang duduk sebagai anggota dewan terhadap bencana dan musibah yang bertubi tubi menimpa rakyat. Di saat rakyat Jakarta tertimpa bencana banjir, Yogyakarta tertimpa angin puting beliung, Sidoarjo terkena lumpur lapindo dan masih banyak lagi bencana dan musibah yang menimpa negeri ini, para anggota dewan dengan kebutaan hatinya menuntut kesejahteraan yang dalam ukuran awam sangat luar biasa wah- nya.
Mengkritisi para anggota dewan sebagai pemimpin, patutlah kita mempertanyakan status mereka sebagai pemimpin. Pemimpin seharusnya melindungi, menolong, memperdulikan, terhadap yang dipimpinnya. Dalam Islam, salah satu prinsip kepemimpinan adalah pemimpin hendaknya lebih mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan aturan, berjuang menghilangkan segala bentuk kemungkaran, kekufuran, kekacauan dan fitnah sebagaimana diterangkan secara rinci dalam surat Al-Baqarah ayat 193 yang berbunyi “ dan perangi mereka itu (orang kafir membunuh, mengusir umat Islam, memerangi kamu) sehingga tidak ada lagi fitnah dan agar kamu itu semata mata untuk Allah. Jika mereka berhenti memusuhi kamu, tidak ada lagi permusuhan kecuali terhada orang dzolim. Begitupun dengan hadis, menerangkan “ Siapa yang memimpin sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk ke dalam golonganku” (HR.Bukhori Muslim). Pemimpin dalam hal ini anggota dewan, seharusnya mempunyai kepekaan untuk lebih mendahulukan umat daripada kepentingan sendiri. Karena sebagai pemimpin ia memimpin dengan tanggungjawab besar untuk mensejahterakan rakyat. Baik buruknya, maju tidaknya ada ditangan pemimpin-pemimpin yang duduk sebagai pejuang yang memperjuangkan kepentingan rakyat, yang dalam hal demikianlah salah satu fungsi keberadaan dewan.
Mentalitas Kepemimpinan
Dari pembacaan sekilas dapatlah kiranya untuk mengukur mentalitas anggota dewan sebagai pemimpin selama ini. Mentalitas yang terbaca adalah mentalitas yang mementingkan egonya sendiri dengan tedeng aling-alingnya kepentinga rakyat. Bisa jadi benar sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa “ para anggota dewan itu bukannya memperjuangkan aspirasi rakyat tetapi memperjuangkan aspirasi keluarga atas nama rakyat”. Namun pernyataan ini kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara otentik, tetapi kebenarannya kita serahkan saja kepada jawaban masing-masing dari hati para anggota dewan.
Keegoisan para pemimpin dengan mementingkan kepentingan sendiri, menjadikan list panjang dari deretan problema krisis bangsa Indonesia yang sampai sekarang belum terentaskan. Keegoisan itu akan memunculkan krisis sense of care. Jika krisis sense of care ini menggejala di lingkungan anggota dewan adalah omong kosong jika mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mentalitas demikian, sebagaimana analisa Syafii Maarif, akan menjadikan preseden buruk bagi perkembangan politik ke depan. Politisi selama ini cenderung menjadikan politik sebagai pekerjaan bukannya sebagai pengabdian, apalagi sebagai kendaraan untuk mengembangkan idealisasi atau ideologi mereka. Akibatnya mentalitas yang terbentuk adalah mentalitas pragmatis atau kalau boleh dibilang opurtunis. Siapa yang berani membayar mahal, mereka akan bekerja padanya, jika tidak maka akan ditinggalkan. Jika negara tidak mempedulikan dengan membiayai mahal, maka untuk apa perjuangan, pengabdian. Itu semua adalah omong kosong. Mungkin itu ungkapan terdalam pembacaan nalar mentalitas politisi kita.
Mendiskusikan tentang mentalitas bangsa Indonesia Kontjoroningrat membagi menjadi dua yakni mentalitas yang kurang menghargai mutu dan mentalitas suka menerobos. Kurang menghargai mutu dimaksudkan bahwa banyak para pemimpin bahkan seluruh bangsa lebih menyukai formalitas dari pada esensinya. Mereka terjebak pada bentuk bentuk kulit dan lupa pada isi. Mereka lebih menghargai kuantitas daripada kualitas.Terkait dengan mentalitas pemimpin kita dewasa ini, para pemimpin berpersepsi bahwa dengan dibayar mahal mereka akan menjadi pintar, baik dan profesional. Bukannya pintar dulu atau professional dulu baru dibayar mahal. Hal demikian karena mereka tidak mengutamakan mutu namun hanya yang penting segalanya terpenuhi.
Mentalitas suka menerobos dimaksudkan sebagai sebuah mentalitas yang menyukai budaya instant. Artinya orang lebih menyukai hasil dari pada harus berlama lama dengan proses. Mereka lebih menyukai potong kompas. Dapat dicontohkan, orang ingin cepat kaya, untuk memperolehnya ia tidak perlu bersusah payah bekerja, tetapi dengan jalan korupsi atau minta tunjangan yang sebesar besarnya, sehingga ia akan cepat kaya.
Meneladani kepemimpinan Rasulullah
Jika kita membaca sirah nabawiyah, kita akan menemukan mutiara hikmah tiada terkira dari sejarah rasulullah dalam memimpin umat. Rasulullah hidup dijazirah Arab yang masyarakatnya sangat sulit diatur. Sebagaimana para sejarawan menulis, bangsa Arab lebih suka hidup nomaden. Mereka berpindah pindah dan hidup bersuku-suku. Untuk diakui eksistensi suku mereka, mereka harus berperang. Dengan berperanglah mereka bisa hidup. Sehingga dari sini peperangan sudah menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari. Siapa yang kuat maka ia akan memperoleh kehidupan.
Namun kondisi ini berubah total ketika Rasulullah hadir ditengah tengah masyarakat Arab. Rasulullah hadir menyatukan suku-suku yang terpecah pecah menjadi satu kesatuan yang disebut umat. Umat yang dibangun oleh Rasulullah merupakan wadah perjuangan dalam mengembangkan ideologi mereka untuk menyebarkan Islam keseluruh dunia. Dan sejarah mencatat, kekuatan umat inilah yang mampu menaklukan dunia sehingga Islam bisa menyebar keseluruh dunia.
Keberhasilan umat tidak bisa lepas dari kepemimpinan rasulullah. Rasulullah merupakan pemimpin yang dicintai dan pemimpin yang mampu memberikan inspirasi dalam seluruh kehidupan. Agus Mustofa dalam bukunya ”Membonsai Islam” menyatakan bahwa keberhasilan Islam dijaman Rasulullah, disebabkan Rasulullah benar benar menjadi pemimpin yang menjadi suri tauladan bagi pengikutnya. Rasulullah mengorbankan seluruh jiwa dan raga kepada umatnya di atas kepentingan pribadinya atau keluarganya. Sehingga tidak heran jika para pengikutnya memiliki kecintaan yang sangat luar biasa kepada Rasulullah. Orang yang awalnya memusuhi beliau kemudian berubah menjadi pengikutnya yang setia, dan berani mengorbankan hidupnya untuk menegakkan Islam adalah salah satu bukti keteladanan Rasulullah sebagai pemimpin meresap dalam hati setiap pengikutnya.
Muhammad adalah pemimpin yang berhasil dalam mengkader generasi berikutnya. Ia mampu mengkader manusia manusia yang berkualitas. Manusia manusia yang bermentalkan tauhid yakni berani mengorbankan kehidupannya untuk pengabdian total kepada Allah. Pengabdian yang tulus dalam memperjuangkan nilai nilai keislaman yang syarat dengan etika membangun masyarakat yang sejahtera.
Membangun mentalitas kepemimpinan
Membangun bangsa Indonesia ditengah krisis multidemensi ini adalah sebuah pekerjaan berat. Oleh karenanya diperlukan usaha maksimal dan penuh perngorbanan untuk mengentaskannya. Salah satu yang perlu dibenahi adalah hal kepemimpinan. Indonesia memerlukan pemimpin-pemimpin kuat yang bermental bagus. Karena krisis yang paling mendasar yang melanda bangsa Indonesia ini adalah krisis mentalitas. Untuk membangun mentalitas ini diperlukan integrasi dan dukungan dari segenap bangsa Indonesia. Khususnya dari para pemimpin. Karena bagaimana ia bisa berharap bangsa Indonesia akan lebih baik jika pemimpinnya sendiri tidak mengawali kebaikan dari dirinya sendiri. Ibda binafsih, dalam bahasa agama ini adalah sangat tepat untuk menggambarkan kesuritauladanan para pemimpin kita. Kebaikan yang diawali dari diri sendiri baru ditularkan kepada sesamanya adalah sangat efekif untuk mengajak kepada sesama. Apalagi jika melihat budaya bangsa Indonesia yang masih sangat kental budaya patriarkinya, sangatlah penting untuk merubah mentalitas pemimpin karena ia akan ditiru oleh rakyat yang masih sangat kental ketergantungannya terhadap pemimpin. Namun itu semuanya dikembalikan kepada masing-masing pihak, beranikah kita semua berkehendak untuk berbenah dan berubah. Mungkin mengucap lebih mudah daripada melakukannya bukan?
Penulis
0 komentar:
Posting Komentar