Pada zaman dahulu kala, hiduplah suatu kaum yang sangat makmur dan berlimpah. Suatu hari kaum tersebut kedatangan tamu yakni nabi khidir. Kedatangan nabi khidir tersebut mengundang banyak orang untuk mengerumuninya. Ditengah-tengah kerumunan tersebut, nabi khidir memberikan nasehat sekaligus peringatan kepada seluruh kaum untuk hati-hati, karena beberapa bulan lagi kaum tersebut akan kedatangan adzab dari Allah. Untuk menghindari adzab dari Allah, selama beberapa bulan semua penduduk harus memakai air, baik untuk mandi maupun minum, tidak dengan air yang terkena sinar matahari. Mendengar peringatan tersebut ternyata kaum tersebut tidak percaya bahkan mengejek nasehat nabi Khidir tersebut. Cuma ada dua orang yang benar-benar mengindahkan nasehat nabi Khidir. Setiap hari, dua orang tadi mandi dan minum di dalam gua. Akhirnya tiba suatu saat, adzab itu pun terjadi. Semua penduduk yang mengindahkan peringatan nabi khidir tersebut, gila. Tinggal dua orang tersebut yang tidak gila. Namun kaum yang gila tersebut, sebaliknya menuduh dua orang yang waras itu sebagai dua orang yang telah gila. Sedangkan dua orang tersebut merasa heran dan bingung, sebenarnya yang gila itu mereka atau penduduk kampung tersebut. Untuk membuktikan keraguan tersebut, diputuskan satu diantara dua orang tersebut untuk minum air yang terkena sinar matahari. Akhirnya orang yang meminum air tersebut gila. Oleh penduduk kampung orang yang minum air kemudian gila tersebut justru dikatakan orang yang telah sembuh dari kegilaannya. Sedangkan orang yang waras, hanya terheran-heran, mungkin sambil mengatakan “ZAMAN EDAN”
Zamannya yang edan atau orangnnya yang edan?
Zaman edan bisa jadi adalah seperti logika cerita tersebut. “Sing ati suci padha dibenci, wong becik sangsaya sengsara lan mbendhul, sing weruh kebubuh, sing jahat penjilat tur oleh drajat, akeh laknat akeh pengkhianat” (Jaya Baya) Yang jujur dikuyo-kuyo yang penipu dipuja-puja. Yang hatinya suci malah dituduh sok suci, yang kritis malah dituduh teroris. Yang berteriak melawan korupsi malah dituduh sok pahlawan, yang waras dianggap edan, yang lurus dianggap bengkok, dan sebagainya. Logikannya meminjam istilah jawa, diwolak-walik.
Adalah menarik sebuah pesan pujangga besar Ronggowarsito, tentang zaman edan. “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan, yen tan melu nglakoni boya kaduman milik, kaliren pungkasanipun ndilalah kersaning Allah, begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada” (bila menemui zaman edan, zaman gila, serba sulit menghadapinya. Kalau tidak ikut-ikutan, tidak mendapat bagian, bahkan kelaparan akhirnya. Namun sesuai kehendak Allah, betapapun untungnya orang yang lupa, masih lebih untung orang yang senantiasa ingat dan waspada).
Gambaran Roggowarsito tersebut, tidak dititikberatkan pada zamannya yang edan, melainkan manusianya yang edan. Karena zaman tidak pernah berbuat macam-macam, sedangkan manusianya sajalah yang suka berperilaku aneh-aneh. Keanehan manusia itu dilihat dari akhlaknya yang sudah tidak sesuai nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak orang yang menuruti nafsu syahwatnya.
Membincangkan nafsu, tidak bisa dilepaskan dari hawa dan syahwat. Nafsu adalah keinginan jiwa atau keinginan diri. Sedangkan syahwat adalah gerak jiwa untuk mencari segala sesuatu yang diinginkan, yang menjadi kesenangan hati. Syahwat ini dari sudut bahasa semakna dengan hawa yang berarti menyenangi atau mencintai. Karenanya hawa seringkali disandingkan dengan nafsu, menjadi hawa nafsu. Orang yang selalu menuruti keinginannya dikatakan menuruti hawa nafsunya. Jika ia terus menerus menuruti keinginannya maka ia dikatakan diperbudak nafsu.
Nah, inilah yang membedakan orang waspada dengan orang yang menuruti nafsunya. Mungkin hal inilah yang hendak dikatakan oleh Ronggowarsito, bahwa dizaman akhir ini banyak orang yang lebih menuruti nafsunya daripada orang yang berhati-hati, waspada, dalam bertindak disesuaikan dengan aturan Allah. Orang-orang waspada ini senantiasa kritis terhadap pilihan-pilihan keduniawian yang seringkali menipu. Sedangkan orang yang menuruti nafsunya justru sebaliknya. Orang model ini biasanya tidak kritis. Mereka seringkali suka dengan sesuatu yang menggiurkan nafsunya. Mereka selalu beralasan jika tidak ikut ini, ketinggalan zaman, kolot, katrok.
Yang lebih aneh dizaman edan ini adalah banyak orang yang merasa normal padahal abnormal, merasa benar padahal salah, merasa waras padahal gila, merasa sehat padahal sakit. Kita contohkan saja dalam kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang merasa wajar jika ulangan nyontek atas nama kerjasama. Adalah wajar jika seorang pejabat mengambil sebagian uang rakyat atas nama uang lelah. Adalah merasa wajar untuk memperoleh jabatan tertentu atau masuk ke perusahaan tertentu memberikan uang sebagai jaminan. Adalah wajar jika anak muda berpacaran dan merasa wajar jika dalam berpacaran berciuman dan berpelukan. Adalah wajar jika orang sudah dilamar maka boleh untuk dijima’. Adalah wajar jika orang berdagang itu menipu. Dan lain sebagainya.
Mengantisipasi ke-Edanan
Dalam kitab Tahdzibul akhlaq menerangkan sumber akhlaq atau pangkal perilaku manusia itu ada tiga potensi jiwa yaitu akal, ghadhab dan syahwat. Akal adalah kemampuan untuk menangkap atau mencapai pengertian, sehingga dapat mengetahui dan membedakan benar dan yang salah. Ghadhab adalah kemampuan untuk menangkap dan mempertahankan diri dari segala sesuatu yang tidak disenangi. Sedangkan nafsu adalah dorongan untuk selalu menuruti keinginan.
Tiga komponen ini harus saling berfungsi dan bergerak secara serasi, selaras dan seimbang. Akal harus mampu mengendalikan gadhab dan nafsu supaya tidak liar. Gadhab tanpa kendali, akan bertingkah di luar kemampuan diri, berani seperti babi, srudak-sruduk, tanpa strategi, tidak pakai otak tapi pakai otot. Namun jika godhob ditekan akan mungkret. Orang akan menjadi penakut, mati kutu. Karenanya jika bisa dibingkai orang akan berani dengan kecermatan dan ketelitian sesuai dengan waktu yang tepat. Berani karena benar. Kul haq walau kana muroh.
Nafsu tanpa kendali bagaikan binatang jalang, liar, rakus dan tak tahu aturan. Maunya segala isi dunia direguk habis, dengan segala cara tidak kenal malu, bahkan merasa bangga dengan dosa-dosannya. Sebaliknya kalau nafsu ditekan sampai titik nol, hati menjadi beku. Tidak punya gairah hidup. Hidup lunglai, tidak mempunyai cinta dan cita-cita. Karenanya nafsu perlu dipimpin oleh akal, sehingga bersikap menjaga kehormatan diri. Tahu batas yang halal dan haram, yang boleh dan pantas untuk disenangi dan diingini dan mana yang tidak pantas, yang memalukan dan yang dapat menjatuhkan martabat bila nekad. Nafsu yang selaras dengan akal dan berjalan dalam aturan illahi inilah yang dimaksud dengan nafsu mutmainnah, nafsu yang tenang, yang dipersilahkan oleh Allah masuk surga. Ya ayyuhanafsul mutmainnah irjii illa robbiki rodiyatan mardiyatan fadhuli fii ibadii fadhulli jannati. (Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaku dan masuklah ke dalam surgaku).
Dalam zaman edan, setiap orang perlu berkaca diri seraya bertanya kepada diri sendiri secara jujur; apakah saya juga termasuk daftar manusia yang edan, setengah edan, waras, atau edan tapi merasa waras atau..........entahlah.
Zamannya yang edan atau orangnnya yang edan?
Zaman edan bisa jadi adalah seperti logika cerita tersebut. “Sing ati suci padha dibenci, wong becik sangsaya sengsara lan mbendhul, sing weruh kebubuh, sing jahat penjilat tur oleh drajat, akeh laknat akeh pengkhianat” (Jaya Baya) Yang jujur dikuyo-kuyo yang penipu dipuja-puja. Yang hatinya suci malah dituduh sok suci, yang kritis malah dituduh teroris. Yang berteriak melawan korupsi malah dituduh sok pahlawan, yang waras dianggap edan, yang lurus dianggap bengkok, dan sebagainya. Logikannya meminjam istilah jawa, diwolak-walik.
Adalah menarik sebuah pesan pujangga besar Ronggowarsito, tentang zaman edan. “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan, yen tan melu nglakoni boya kaduman milik, kaliren pungkasanipun ndilalah kersaning Allah, begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada” (bila menemui zaman edan, zaman gila, serba sulit menghadapinya. Kalau tidak ikut-ikutan, tidak mendapat bagian, bahkan kelaparan akhirnya. Namun sesuai kehendak Allah, betapapun untungnya orang yang lupa, masih lebih untung orang yang senantiasa ingat dan waspada).
Gambaran Roggowarsito tersebut, tidak dititikberatkan pada zamannya yang edan, melainkan manusianya yang edan. Karena zaman tidak pernah berbuat macam-macam, sedangkan manusianya sajalah yang suka berperilaku aneh-aneh. Keanehan manusia itu dilihat dari akhlaknya yang sudah tidak sesuai nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak orang yang menuruti nafsu syahwatnya.
Membincangkan nafsu, tidak bisa dilepaskan dari hawa dan syahwat. Nafsu adalah keinginan jiwa atau keinginan diri. Sedangkan syahwat adalah gerak jiwa untuk mencari segala sesuatu yang diinginkan, yang menjadi kesenangan hati. Syahwat ini dari sudut bahasa semakna dengan hawa yang berarti menyenangi atau mencintai. Karenanya hawa seringkali disandingkan dengan nafsu, menjadi hawa nafsu. Orang yang selalu menuruti keinginannya dikatakan menuruti hawa nafsunya. Jika ia terus menerus menuruti keinginannya maka ia dikatakan diperbudak nafsu.
Nah, inilah yang membedakan orang waspada dengan orang yang menuruti nafsunya. Mungkin hal inilah yang hendak dikatakan oleh Ronggowarsito, bahwa dizaman akhir ini banyak orang yang lebih menuruti nafsunya daripada orang yang berhati-hati, waspada, dalam bertindak disesuaikan dengan aturan Allah. Orang-orang waspada ini senantiasa kritis terhadap pilihan-pilihan keduniawian yang seringkali menipu. Sedangkan orang yang menuruti nafsunya justru sebaliknya. Orang model ini biasanya tidak kritis. Mereka seringkali suka dengan sesuatu yang menggiurkan nafsunya. Mereka selalu beralasan jika tidak ikut ini, ketinggalan zaman, kolot, katrok.
Yang lebih aneh dizaman edan ini adalah banyak orang yang merasa normal padahal abnormal, merasa benar padahal salah, merasa waras padahal gila, merasa sehat padahal sakit. Kita contohkan saja dalam kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang merasa wajar jika ulangan nyontek atas nama kerjasama. Adalah wajar jika seorang pejabat mengambil sebagian uang rakyat atas nama uang lelah. Adalah merasa wajar untuk memperoleh jabatan tertentu atau masuk ke perusahaan tertentu memberikan uang sebagai jaminan. Adalah wajar jika anak muda berpacaran dan merasa wajar jika dalam berpacaran berciuman dan berpelukan. Adalah wajar jika orang sudah dilamar maka boleh untuk dijima’. Adalah wajar jika orang berdagang itu menipu. Dan lain sebagainya.
Mengantisipasi ke-Edanan
Dalam kitab Tahdzibul akhlaq menerangkan sumber akhlaq atau pangkal perilaku manusia itu ada tiga potensi jiwa yaitu akal, ghadhab dan syahwat. Akal adalah kemampuan untuk menangkap atau mencapai pengertian, sehingga dapat mengetahui dan membedakan benar dan yang salah. Ghadhab adalah kemampuan untuk menangkap dan mempertahankan diri dari segala sesuatu yang tidak disenangi. Sedangkan nafsu adalah dorongan untuk selalu menuruti keinginan.
Tiga komponen ini harus saling berfungsi dan bergerak secara serasi, selaras dan seimbang. Akal harus mampu mengendalikan gadhab dan nafsu supaya tidak liar. Gadhab tanpa kendali, akan bertingkah di luar kemampuan diri, berani seperti babi, srudak-sruduk, tanpa strategi, tidak pakai otak tapi pakai otot. Namun jika godhob ditekan akan mungkret. Orang akan menjadi penakut, mati kutu. Karenanya jika bisa dibingkai orang akan berani dengan kecermatan dan ketelitian sesuai dengan waktu yang tepat. Berani karena benar. Kul haq walau kana muroh.
Nafsu tanpa kendali bagaikan binatang jalang, liar, rakus dan tak tahu aturan. Maunya segala isi dunia direguk habis, dengan segala cara tidak kenal malu, bahkan merasa bangga dengan dosa-dosannya. Sebaliknya kalau nafsu ditekan sampai titik nol, hati menjadi beku. Tidak punya gairah hidup. Hidup lunglai, tidak mempunyai cinta dan cita-cita. Karenanya nafsu perlu dipimpin oleh akal, sehingga bersikap menjaga kehormatan diri. Tahu batas yang halal dan haram, yang boleh dan pantas untuk disenangi dan diingini dan mana yang tidak pantas, yang memalukan dan yang dapat menjatuhkan martabat bila nekad. Nafsu yang selaras dengan akal dan berjalan dalam aturan illahi inilah yang dimaksud dengan nafsu mutmainnah, nafsu yang tenang, yang dipersilahkan oleh Allah masuk surga. Ya ayyuhanafsul mutmainnah irjii illa robbiki rodiyatan mardiyatan fadhuli fii ibadii fadhulli jannati. (Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaku dan masuklah ke dalam surgaku).
Dalam zaman edan, setiap orang perlu berkaca diri seraya bertanya kepada diri sendiri secara jujur; apakah saya juga termasuk daftar manusia yang edan, setengah edan, waras, atau edan tapi merasa waras atau..........entahlah.
0 komentar:
Posting Komentar