Kamis, Maret 12, 2009

Kartini dan Kekuasaan



Peringatan hari kartini yang jatuh pada tanggal 21 April yang lalu, menjadi spirit baru bagi para aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak hak perempuan. Hak hak perempuan selama ini masih jauh dari harapan akan kesetaraan dengan laki laki. Sebagaimana laporan para aktivis perempuan masih banyak kekerasan dalam rumah tangga terjadi dinegara kita ini. Seringkali perempuan menjadi korban atas nama ketertundukan terhadap suami. Seringkali pula kasus kasus demikian didiamkan dan tidak ada penyelesaian yang tepat untuk menanggulanginya. Sehingga tidak heran jumlah kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi.
Anehnya negara tidak memiliki konsep jelas dalam menghadapi masalah tersebut. Kesetaraan hanya dipersepsi perempuan memperoleh jatah 30 % duduk di parlemen. Alih alih ingin menduduki jabatan dewan, pemenuhan jatah tersebut hanyalah sekedar formalitas yang dipaksakan. Kesetaraan yang diidamkan hanyalah sekedar proyek ambisius belaka. Kalau political will kesetaraan perempuan dengan laki laki ada, namun penempatan tidak tepat malah akan justru menimbulkan dosa struktural terhadap perempuan. Sebagaimana contoh undang undang tentang pornoaksi dan pornografi. Alih alih ingin menertibkan perilaku, malah menjadikan perempuan sebagai obyek yang sah untuk dicurigai dan dipersalahkan. Perempuan seakan selalu dipersepsi jelek ketika tampil menampilkan ekspresi potensinya. Perempuan seakan layak untuk dinikmati tanpa pernah memahami akan dirinya. Sehingga disinilah letaknya perempuan selalu menjadi obyek yang sah untuk dijajah. Perempuan seakan sah untuk dibawah dan tidak berhak untuk memperoleh haknya setara dengan laki laki.
Lebih aneh lagi, kaum agamawan seakan akan mengamini terhadap terbentuknya dosa struktural tersebut. Kaum agamawan memberikan solusi solusi yang dipaksakan untuk diterapkan dalam masyarakat heterogen ini atas nama dogmatika. Sebagaimana contoh undang undang pornografi dan pornoaksi yang diback up sama ulama, cenderung mempersepsi perempuan sebagai obyek sekaligus subyek? Perempuan selalu dicurigai sebagai biang keladi terhadap dekadensi moral? Perempuan selalu dipersepsi timbulnya maksiat? Apakah laki laki tidak? Pertanyaan demikianlah yang seharusnya dijawab oleh semua kalangan. Kenapa laki-lakinya yang hidung belang tidak dijerat. Kenapa razia razia di lokalisasi lokalisasi yang dipersalahkan selalu perempuan. Kenapa tidak laki laki yang datang membawa uang dan menjanjikan surga kecil itu yang dipersalahkan?
Kekuasaan yang membelenggu
Adalah menarik untuk sedikit melihat konsep kekuasaan yang didengungkan filosof Perancis Michael Foucoult, ia menjelaskan bahwa kekuasaan itu tidak selalu berada dalam institusi atau sebuah kekuatan dominan yang dimiliki seseorang untuk menundukkan orang lain. Tetapi kekuasaan memiliki hubungan yang beragam. Kekuasaan ada dimana mana, bukannya kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana mana. Lebih jauh Foucoult menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan kegiatan, tidak represif tetapi produktif serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Jadi disini kekuasaan bisa dipersepsi suatu pengetahuan yang menancap dan beroperasi menjadi perilaku seseorang. Bisa dicontohkan misalnya, perempuan yang baik dipersepsikan hanya cukup masak, macak dan manak, konsepsi ini berpengaruh dalam nalar kesadaran perempuan. Ia beroperasi diwilayah kuasa pengetahuan membentuk konsepsi dengan konsekuensi kepatuhan. Perempuan menjadi terlena bobokkan dengan konsepsi perempuan ideal dimana mereka berada dalam kungkungan kepatuhan itu. Seakan ia hidup hanya sebagai pelengkap dan wajar bila ia berada dalam kungkungan laki-laki.
Namun, dimana ada kekuasaan akan selalu ada resistensi. Misalnya ketika negara bahkan agama serta masyarakat pada umumnya mendefinisikan tentang porno, akan selalu ada bentuk bentuk resistensi terhadap definisi porno itu sendiri. Selama ini porno selalu dipersepsi dengan terbukanya paha, pantat dan sejumlah praktik praktik perilaku perempuan yang merangsangkan syahwat laki-laki. Ia tidak beroperasi dalam pemahaman bahwa yang bernama porno itu adalah terbukanya paha laki-laki atau goyangan pantat laki laki, namun sebaliknya. Kesadaran inilah yang sebetulnya dipahami kaum aktifis perempuan. Ia membawa kesadaran baru untuk melawan pendefinisian terhadap dirinya. Ia tidak mau dikonstruk oleh laki laki yang memang selalu berusaha untuk menguasai dirinya.



Kartini simbol resistensi
Kartini hidup ditengah masyarakat feodal yang masih berbudaya patriarki dalam pola kehidupannya. Kaum perempuan didisiplinkan dalam rumah. Ia hanya hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan laki laki. Ia tidak punya kuasa untuk memperoleh haknya sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki. Sehingga tidak heran perempuan dijaman kartini tertindas, tidak berpendidikan.
Melihat kondisi demikian, tumbuh kesadaran kartini untuk mengentaskan perempuan dari keterpurukan. Namun kartini menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan kekuasaan yang membelenggu kaumnya. Ia sadar betul bahwa kaumnya dihegemoni kesadarannya atas nama tradisi. Tradisi yang turun menurun yang membuat kesadaran perempuan terbelenggu. Oleh karenanya, kartini ditengah kegelisahan kegelisahannya menuangkan ide ide segar untuk mengentaskan kaumnya dari belenggu kebodohan. Namun ia tidak sekedar membuat ide ide kosong tanpa pernah membuat action sama sekali. Kartini memilih perjuangan lewat pendidikan sebagai wadah dalam membangun kesadaran kaum hawa. Terbukti dengan pendidikan kaum hawa memiliki bargaining posisition dengan laki laki seperti fenomena kaum wanita diabad kontemporer sekarang ini.
Maka sangatlah wajar jika para aktivis perempuan menamakan kartini sebagai pelopor dalam pergerakkan kaum wanita. Ia telah menjadi ikon dalam perjuangan kaum hawa agar memperoleh hak-haknya setara dengan kaum laki laki. Namun ada catatan yang sangat menarik dari sang kartini. Meskipun dengan pemberontakannya menentang hegemoni laki-laki toh si kartini tetap mau di nikah. Ia berlepas dari konsepsi ideal dengan fakta yang memang ia harus hadapi. Ia menyadari kewajiban kewajiban dirinya sebagai perempuan dihadapan laki-laki. Ia tidak berpikir dan berlaku liar sebagai mana perilaku para aktivis feminis yang boleh dibilang terbelenggu dalam keliarannya.
Kalau saya boleh menilai, kartini memang simbol perlawanan perempuan terhadap hegemoni laki-laki. Namun ia menyadari kodratiah dia sebagai perempuan. Ia tidak gebyah uyah dalam perlawanan. Terbukti ia mau dinikah tetapi demi tetap memelihara perjuangannya dalam menghapus kebodohan kaum perempuan. Ia berjuang bukannya menghapus peran laki-laki dalam kehidupan dengan ”kesataraan” buta. Tetapi ia menyadari adanya jurang pemisah yang sangat lebar antara laki laki dan perempuan. Oleh karenanya dengan wacana dan perlawanan memperjuangkan hak perempuan diharapkan jurang pemisah itu tidak melebar sehingga tidak menimbulkan ketidak seimbangan kehidupan. Hal yang bisa diraih adalah ia memperjuangkan terjadinya balance relasi antara laki laki dan perempuan.
Jadi disini yang perlu disadari oleh para aktivis adalah kartini berjuang memperjuangkan hak perempuan tetapi ia tetap bisa menilai kodrat ia sebagai perempuan. Sebagai perempuan ia tetap memiliki hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dengan laki-laki sebagai teman di dalam hidupnya. Oleh karenanya, pemahaman inilah yang harus diorientasikan bagi para aktivis perempuan. Jangan sampai perempuan dalam titik nol demikian Amin Abdullah menilai, didalam memperjuangkan hak hak perempuan tetapi terbelenggu didalam konsepsinya sendiri.
Adalah sangat menarik ungkapan KH Hasyim Muzadi ia menilai perjuangan aktivis perempuan seharusnya bukan diarahkan kepada kesetaraan. Karena kesetaraan cenderung dipersepsi negatif kalau boleh dibilang dicurigai. Kecurigaan ini beralasan karena banyak kalangan menilai kesetaraan adalah segala galanya dalam setiap lini kehidupan dimana ini memiliki ruang konflik dengan nilai nilai agama. Keserasian demikian alternatif Hasyim Muzadi, sebagai bentuk relasi antara laki laki dan perempuan. Dengan keserasian maka akan terbentuk saling melengkapi diantara keduanya. Sebagaimana kartini harapkan. Semoga!

Oleh:
Muhammad Isno
Anggota Forum Studi Islam dan Dzikir Kab/ Kota Mojokerto dan Staf Pengajar SMA N 3 Kota Mojokerto.
Hp. 085648800578


0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*