Kamis, Maret 05, 2009

Makna Sosial Ibadah Haji

Ibadah haji adalah salah satu ritual peribadatan yang sangat penting dalam Islam. Karena ia merupakan pilar dari tegaknya rukun Islam yang diyakini sebagai kelengkapan status keislaman seorang muslim. Khususnya bagi mereka yang ditaqdirkan memiliki kemampuan dalam hal pembiayaan.

Namun membicarakan haji di Indonesia menarik untuk dikaji. Karena ibadah ini memiliki makna yang komplek selain makna ibadah kepada Allah sebagai prasyarat mabrurnya ibadah tersebut. Salah satu makna komplek dari ibadah haji adalah nilai sosialnya. Nilai sosial ibadah haji terkait dengan status orang yang melaksanakan haji tersebut. Orang yang pernah pergi haji, dimasyarakat akan dipandang memiliki status tersendiri untuk tidak menyebut status terhormat. Karena ia menjadi pelabelan orang mampu yang berbanding balik dengan orang yang tidak mampu meskipun alim. Di wilayah birokrasi, orang yang melaksanakan ibadah haji akan disyahkan gelar “H” bersanding dengan gelar-gelar lain yang pernah didapat seseorang. Gelar “H” seakan mewajib untuk ditulis dan disebutkan. Memang demikianlah dampak dari penggelaran ibadah haji pada diri seseorang.

Makna Sosial
Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, lebih dari itu ibadah haji adalah sebuah perjalanan spiritual yang berkesan dan membekas dalam kehidupan sehari-hari. Predikat mabrur bagi para haji ditandai dengan berubahnya sikap seseorang dibanding sebelum perginya seseorang melaksanakan ibadah haji tersebut.
Jadi dalam memaknai haji khususnya kaitannya dengan nilai sosial bisa dilihat dari ritual-ritual yang dilakukan dalam peribadatan itu sendiri. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung makna sosial antara lain:
Pertama, Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan. Umat Islam yang telah memakai pakaian ihram harus berjiwa stabil, tidak dikendalikan nafsu emosional terhadap material (kekayaan/harta). Kalaupun mencari kekayaan/ harta harus selalu memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang ada. Praktek KKN, menumpuk kekayaan sementara orang lain menderita, menimbun barang pada saat orang lain kesulitan mencari harus segera ditinggalkan, kalau umat Islam sudah mengenakan pakaian ihram di tanah suci.
Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji terlebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap jemaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya. Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya, siapa pun yang sudah menjalankan ibadah haji harus bisa mengambil makna Sa'i yang menyimpan makna perlunya perilaku yang positif baik untuk dirinya maupun orang lain (masyarakat).
Keempat, Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor yang masih berada dalam kelopak kepala masing-masing manusia. Jemaah haji yang telah menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir, konsep kehidupan yang bersih, baik tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama. Dengan kata lain, tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengeluarkan pikiran yang baik dan positif.
Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jemaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran, sikap serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat manusia. Siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji senantiasa harus memelihara ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain tersinggung. "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji." (QS. Al-Baqarah: 197).
Dalam tafsir Al-Maroghi, kata rafats diartikan segala ucapan, sikap dan perilaku yang bisa menimbulkan birahi, tidak senonoh, ketersinggungan, malapetaka bagi orang lain yang mendengar dan melihat. Selama menjalankan ibadah haji, para jemaah dianjurkan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah Swt. (QS. Al-baqarah: 198). Dzikir tidak hanya sekadar bagaimana manusia melafalkan kalimat "Laa ilahaillallaah", tetapi yang terpenting bagaimana mengimplementasikan makna kalimah dzikir ke dalam kehidupan sehari-hari. Sabda rasul dalam dalam kitab Ruhul Bayan Jilid II: "Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia." Di sinilah makna sosial dari ibadah haji.

Semoga saudara-saudara Muslim yang sekarang diberi kenikmatan dapat menjalankan ibadah haji bisa mengambil makna sosial dari ibadah haji, tanpa harus mengurangi kualitas amalan ritual dalam ibadah haji, amien.

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*