Kamis, Maret 05, 2009

Wisata religi: antara tantangan dan harapan



Menyambut “Visit Indonesia year 2008” tahun yang lalu, pemerintah banyak mempromosikan berbagai produk andalannya. Baik dibidang industri, pangan, kerajinan, seni, budaya dan lain sebagainya. Begitupun dengan wisatanya.
Membincangkan wisata, masih sedikit wisatawan dunia memahami aneka ragam wisata yang ada di Indonesia. Biasannya mereka masih hanya mengenal Bali sebagai tujuan wisata. Sedangkan wisata-wisata lainnya nyaris untuk tidak menyebut sepi dari kunjungan wisatawan asing. Hal ini, bisa jadi karena kurangnya promosi secara intensif ke dunia Internassional atau pemerintah masih enggan untuk membiayai perbaikan-perbaikan fasilitas-fasilitas wisata yang memang membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Namun terkait dengan perkembangan perpolitikan Indonesia khususnya dari sistem pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi yang kemudian melahirkan otonomi daerah, banyak daerah yang melakukan strategi-strategi jitu untuk memperkuat bargaining position dalam mengembangkan dan memperkuat APBD. Salah satu bentuk startegi itu adalah mengembangkan wisata sebagai salah satu kebanggaan dan pendapatan daerah.
Bertolak dari thesis tersebut, setidaknya menyadarkan para punggawa kabupaten Mojokerto untuk mengembangkan daerahnya yang sangat kaya dengan peninggalan sejarah. Mojokerto memiliki situs-situs sejarah yang banyak. Dari peninggalan-peninggalan fosil sampai peninggalan, baik benda sejarah maupun candi-candi masa Majapahit. Selain itu, Mojokerto juga diuntungkan dengan luasnya wilayah yang menjangkau beberapa pegunungan yang berbatasan dengan Pasuruan dan Malang.Wisata pacet, trawas dan beberapa wisata pegunungan lainnya adalah beberapa wisata alam yang ada dalam lingkup wilayah Mojokerto. Tidak bisa ditinggalkan pula, beberapa tahun belakangan, Mojokerto memiliki wisata religi yakni Makam Syekh Jumadil Kubro.
Membicarakan wisata religi, patut kirannya untuk memahami apa itu wisata religi? jika ada wisata religi apa juga ada wisata maksiat? Lalu bagaimana tanggapan kita sebagai kaum muslimin? Lalu bagaimanakah prospek wisata religi itu?Dan mungkin deretan pertanyaan lainnya yang bisa didata untuk mengetahui lebih mendalam tentang wisata. Karenanya tulisan ini mencoba sedikit untuk menelaah bagaimana tentang wisata itu khususnya wisata religi.
Menilik akar kata wisata
Kata “wisata” berasal dari akar kata bahasa sansekerta “VIS” juga yang berarti menempatkan, masuk, pergi ke dalam, duduk. Kata “VIS” juga berarti: tempat tinggal, rumah (wisma). Dari akar kata “VIS” berkembang menjadi “vicata” (bahasa kawi/Jawa Kuno “Wisata”) yang berarti: bepergian untuk mencari hiburan tamasya. Yang sangat menarik, kata “visit” bahasa inggris yang berarti: mengunjungi/kunjungan, nampaknya berasal dari kata yang sama “vis” dalam bahasa sansekerta. Sedangkan kata “tamasya” berasal dari bahasa Arab: tamasyasya – yatamasyasya – tamamsysyian, yang berarti; berjalan-jalan. Kata “pariwisa” berarti: pergi berkeliling. (Catatan: “paripurna” dari “pari” dan “purna” (selesai, penuh): “paripurna” berarti selesai dengan bulat (selesai sama sekali) atau penuh secara bulat (lengkap).[1] Selain kata “turis” dan “turisme” yang berasal dari kata “tour” (inggris) yang berarti perjalanan (keliling).
Demikianlah dari segi etimologi kata “wisata”,”pariwisata”,”visit”,”tamasya” dan “turis/turisme”, semuanya mengandung makna yang kurang lebih sama, yaitu pergi, berkunjung, berjalan, berkeliling untuk bersenang-senang dan mencari hiburan. Demikianlah,”bersenang-senang” dan “hiburan” menjadi kata kunci pengertian “wisata”, yang sering berkonotasi negatif. Bahkan “wisata” atau ”pariwisata”, “turis”atau ”turisme” terasa kurang sedap bila tidak dibumbui maksiat, khushushan yang mambu-mambu seks. Bahkan dulu menurut salah satu mantan menteri kepariwisataan di era orde baru menyebut wisata di Indonesia identik dengan sea, sand dan sex. Sayang, bau seks lebih dominan dalam mempersatukan kaitannya dengan pengertian “wisata”. Padahal “wisata” itu sendiri semula bersifat netral, bahkan cenderung positif. Bukankah “bersenang-senang” dan “hiburan” itu penting bagi kebugaran rohani agar tidak dilanda stress?
Anjuran berwisata dalam Al-Quran
Dalam al-Quran kata “sirrun fil Ardhi”, berjalanlah kamu sekalian di muka bumi, disebutkan sebanyak 14 kali :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَى أَفَلَمْ يَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الآخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ اتَّقَواْ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf ayat 109),


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj 46)

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (Ar-Rum ayat 9)

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِن شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيماً قَدِيراً

Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Surat Fathir ayat 44),

أَوَ لَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ كَانُوا مِن قَبْلِهِمْ كَانُوا هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَآثَاراً فِي الْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُم مِّنَ اللَّهِ مِن وَاقٍ

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi , maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. (Al-Mukminun ayat 21)




أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَشَدَّ قُوَّةً وَآثَاراً فِي الْأَرْضِ فَمَا أَغْنَى عَنْهُم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi , maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka (Al-Mukminun ayat 82)

Bisa dicek lebih lanjut di Surat Muhammad ayat 10, Ali Imran ayat 137, Al-Anam ayat 11, An-Nahl ayat 36, An-Naml ayat 69, Al-Ankabut ayat 20, ar-Rum ayat 42, As-Saba ayat 18.
Menurut kaidah ushul fiqh perintah itu pada dasarnya berarti wajib (al-Aslu fil amri lil wujuubi). Dengan demikian “wisata”, tamasya atau turisme sesuai kaidah tersebut hukumnya wajib. Paling tidak sunnah. Artinya sangat dianjurkan. Kaum muslimin diharapkan, paling tidak dimakmurkan bila hanya nduwel alias tidak pernah pergi meninggalkan tempat tinggalnya, hanya meminjam istilah orang Lamongan muthek disekitar rumah, tidak pernah melongok barang sejenak dunia luar, bagaikan katak dibawah tempurung, alangkah sempitnya wawasannya. Sudah tentu, wisata, tamasya atau turisme yang dimaksud disini bukan hanya bersenang-senang dan cari hiburan saja artinya bersenang-senang dan cara hiburan itu diperbolehkan dan halal tetapi yang lebih penting adalah memperluas wawasan untuk menyaksikan ayat-ayat kebesaran Allah yang tersebar dipersada bumi ciptaan Allah ini. Kira-kira semacam wisata rohani atau wisata spiritual.
Jadi apa maksud dan tujuan “ayat-ayat siiruu (ayat-ayat wisata) dengan jelas disebutkan pada ujung masing-masing ayat tersebut. Yang perlu dicatat, dalam sebagian besar ayat-ayat itu, telah diperintahkan siirru fil ardh berjalanlah kamu sekalian dimuka bumi, dianjurkan dengan perintah melakukan nadhar. Kata nadhar telah masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia menjadi nalar. Artinya tidak berjalan dengan lenggang kangkung bersantai-santai sambil melamun, senang-senang mencari hiburan tapi agar menalar, memikir, memperhatikan, mengamati dengan cermat bahkan bila perlu melakukan penelitian (demikian luasnya arti nadhar). Yang perlu dinadhar pertama-tama adalah bagaimana akibatnya orang-orang sebelum mereka. Umat-umat zaman dahulu karena mendustakan Allah. Padahal mereka kuat dan gagah perkasa, berkebudayaan tinggi dan berteknologi canggih (menurut ukuran waktu itu) tapi karena tidak mampu menjadi “anak-anak sejarah yang manis” akhirnya ditumpas oleh Allah. Disinilah pentingnya belajar sejarah dan belajar dari sejarah menyaksikan peninggalan dan petilasan kuno yang tersebar diseantero jagat sebagai saksi bisu yang fasih berbicara agar jadi koco benggolo, cermin hidup dalam kehidupan.
Setelah perintah melakukan nadhar lantas diingatkan bahwa kampung akherat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa betapapun indah dan semaraknya dunia. Dan orang yang bertaqwa adalah orang yang mau menggunakan akalnya. Karena itu pergunakanlah akalmu, jangan sampai kamu celaka karena mesin akalmu tidak bekerja dengan baik, otakmu hanya kamu sunggi kesana kemari seperti otak udang. Hanya yang umumnya manusia lebih mementingkan dan mengutamakan dunia, padahal akherat itu jelas lebih baik dan lebih kekal ( lihat al-A’la ayat 16-17). Dengan melakukan nadhar hati nurani dapat memahami dan menghayati kebesaran Ilahi dalam segala ciptaan-Nya. Dengan menyaksikan keindahan alam kemanapun mata memandang dapat merasakan wisata rohani yang indah dan kudus, dan mata hati dapat melihat dengan jelas keindahan Sang pencipta, pelukis Agung yang Maha Indah. Tanpa nadhar hanya mata kepala yang melihat tapi mata hati buta, tiada nampak dibalik gumebyaring donyo yang indah memukau.
Dengan melakukan nadhar, terasa kecil dan lemah manusia dihadapan kebesaran dan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa (lihat al Fathir ayat 44). Dengan melakukan nadhar, manusia dapat membaca sejarah masa lampau, masa-masa kejayaan dan keruntuhan bangsa-bangsa, pasang naik dan pasang surutnya kehidupan manusia itu disebabkan oleh pola mereka sendiri (Al-Mukmin ayat 86) karena dosa sejarah mereka perbuat (baca Al-Mu’min ayat 21), karena kekufuran mereka (Muhammad ayat 10) dan karena mereka menjadi pendusta kebenaran (Al-Imron: 137, Al-Anam : 11, An-Nahl: 36 dan An-Naml : 69). Dan apabila Allah telah mengambil tindakan tiada satupun yang dapat melindungi manusia dari siksaan Allah ( Al-Mukmin ayat 21). Demikianlah nadhar menjadi bekal yang pertama dan utama dalam melakukan “wisata rohani”, tamasya spiritual, dengan wisata rohani bukan hanya kesenangan dan hiburan yang dapat digapai dan bukan hanya keindahan lahiriah yang bisa dinikmati. Lebih dari itu, mata hati akan menukik jauh ke dalam mencapai keluasan dan kedalaman makna hidup sehingga tidak akan terjebak dalam pandangan hidup yang hedonistik yang hanya mencari kepuasan dan pelampiasan nafsu-nafsu yang rendah sehingga menjerumuskan manusia dalam lumpur asfala safilin lebih rendah dari binatang.
Tantangan dan Harapan Wisata Religi
Melihat antusiasme masyarakat terhadap wisata religi dengan melihat banyaknya masyarakat yang melakukan ziarah-ziarah ke makam-makam wali, ulama dan kyai-kyai yang dianggap memiliki karomah tertentu, termasuk dalam hal ini Makam Syekh Jumadil Kubro. Perlu diberikan fasilitas dan pemahaman yang mendalam akan ritual tersebut. Kenapa harus diberi fasilitas? Pertama Karena bagaimanapun ulama-ulama terdahulu (baca: Syekh Jumadil Kubro) memiliki jasa yang sangat luar biasa khususnya dalam melakukan penerangan hidup dengan proses Islamisasi masuk ke Nusantara. Karenanya sebagai generasi kekinian kita kepingin tahu tentang mereka meskipun hanya makamnya saja. Kita kepingin tahu bagaimanakah ia? Kita kepingin sowan meskipun hanya bersifat ziarah. Agar kita bisa melihat dan sowan dengan mendoakan keselamatan beliau-beliau. Kedua, dengan membludaknya pengunjung ke Makam Tralaya khususnya pada malam Jumat legi dan pengunjung-pengunjung lainnya[2] yang tidak bisa dikatakan sedikit, maka diperlukan fasilitas yang memadai. Karenanya dengan dibangun fasilitas yang menunjang kekhusu’an perlu diadakan. Seperti Masjid, kamar mandi, toilet, dan gedung yang teduh disekitar sana.[3]
Namun yang tetap harus diluruskan adalah pemahaman dan pelurusan akidah. Karena sampai saat ini penulis masih melihat praktek-praktek menyesatkan lainnya ada dalam nalar masyarakat. Sebagaimana halnya ziarah untuk meminta barakah, meminta nomer togel, dan harapan-harapan lainnya yang dialamatkan kepada mbah Jumadil Kubro untuk mendoakan dirinya supaya terpenuhi semua hajat hidupnya. Padahal kita disuruh ziarah untuk mengingat kematian. Padahal esensi ziarah adalah untuk meneladani perjuangan ulama dahulu. Untuk mengingat kembali akhlakul karimah yang ditebarkan ulama terdahulu. Dan yang lebih penting lagi kita berdoa kepada Allah dengan keikhlasan untuk meminta keselamatan kepada Syekh Jumadil Kubro. Bukan lainnya.
Adalah menarik sebuah cerita dari seorang teman tentang Syiria. Di sana juga ada praktek-praktek ziarah. Bedanya dengan Indonesia, disana masyarakat melakukan ziarah untuk mengenang jasa perjuangan ulama dahulu. Biasanya ulama atau pemandu menceritakan bagaimana perjuangan ulama yang diziarahi itu. Akhlaknya, perjuangan dan akhir cerita hidupnya dan lain sebagainya. Karenanya sebagai generasi muda perlu matur suwun kepada ulama tersebut dengan menghadiahkan doa keselamatannya.
Dengan demikian perlu diadakan semacam tausyiah-tausyiah yang mendatangkan seorang kyai atau jika perlu disediakan jasa pemandu disetiap rombongan ziarah yang khusus memberikan wejangan berupa pelurusan akidah dan menceritakan bagaimana sosok Syekh Jumadil kubro, tentunya dengan cerita yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan hanya menggunakan perspektif dunia lain, atau tembung jare. Sehingga para pengunjung akan mampu memetik mutiara hikmah dari perjuangan Sang Jumadil Kubro. Dengan harapan mereka akan terilhami untuk mempraktekkah kesalehan-kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Syukur-syukur akan muncul plagiat Syekh Jumadil Kubro yang akan mampu menerangi kembali zaman yang terus bergolak atau meminjam istilahnya Ronggo Warsito Zaman Edan. Barangkali inilah yang perlu digarap secara serius. Pengembangan fasilitas tetap harus dilanjutkan tetapi tetap dengan memperhatikan koridor Syariat sekaligus pelurusan akidah masyarakat. Harapannya akan muncul kesalehan-kesalehan sebagaimana tujuan dari Ziarah sendiri. Selain mengingat akan kematian yang kemudian menimbulkan perasaan pengendalian perilaku, juga akan menjadikan generasi yang menghargai jasa-jasa pendahulu pun sekaligus menjadi ibrah dalam kehidupan sehari-hari. Ke depan akan tumbuh manusia-manusia shaleh yang memimpin negara hingga tercapai sebuah negara ideal baldatun toyyibatun warabun ghofur. Amin. Semoga.

[1]Mahmud Syuyuti, Dari Potret Diri sampai wisata (Surabaya: Al-Ihsan, 1995), 195
[2] Konon Masyarakat pecinta Ziarah sekarang memiliki semboyan “tidak lengkap ziarah ke wali songo jika tidak ziarah terdahulu ke Makam Tralaya” karena Syekh Jumadil Kubro adalah kakeknya para wali.
[3] Bangunan gedung seharusnya tetap memperhatikan aturan-aturan Fiqih dengan tidak menutup atasnya Makam. Bisa dicek di Fiqh Sulaiman Rasyid.

0 komentar:

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*