Selasa, Maret 03, 2009

Apakah Manusia Butuh Sholat?


Ada fenomena menarik, banyak orang yang mengaku beragama Islam tapi banyak pula yang tidak sholat. Kenapa? Inilah persoalan mendasar dalam wacana religius, keberagamaan kita sebagai umat Muhammad. Banyak orang yang masih salah dalam memahami Sholat. Sholat masih dipahami sebagai perintah bukan kebutuhan. Sehingga tidak heran jika mereka sholat tapi tak mampu memahami untuk apa ia sholat kecuali mereka takut akan neraka Allah, atau sekedar hanya menjalankan kewajiban.
Seorang musolli harusnya menjadi orang yang mampu tertarik dalam ranah spiritual dari effek sholat itu sendiri. Bukankah Allah telah memberitahukan bahwa sholat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (al-Ankabut ayat 45). Masih banyak orang sholat tapi masih suka melakukan maksiat, dosa dan hal-hal mungkar lainnya. Bahkan dikalangan masyarakat dikenal dengan istilah STMJ “Sholat terus maksiat jalan”. Kenapa terjadi seperti itu? Ada yang menjawab “Sholatnya belum khusu’”. Bagaimanakah sholat supaya khusu’?
Sholat sebagai solusi pembangunan karakter
Banyak orang stress. Demikian kesimpulan general akan fenomena di era globalisasi dunia ini. Hal demikian tidak lepas dari kondisi dan mentalitas psikis orang. Banyak orang yang terjebak dalam belenggu-belenggu fikiran. Permasalah semakin menumpuk namun tak satu pun bisa selesai dalam waktu yang telah disediakan. Sehingga otak tak mampu terus dipaksa untuk bekerja. Akibatnya stress, bosan terhadap segala ritualitas yang ia lakukan setiap hari.
Mereka kemudian mencari-cari kepuasan dengan berbagai bentuk. Ada yang pergi ke kafe, ada yang ngedrug, ada dengan minum-minuman keras dan lain sebagainya. Intinya mereka ingin hidup tenang dan melupakan permasalah yang ada.Namun apakah masalah bisa selesai? Setelah mereka melakukan itu semua, mereka kembali terjebak ke dalam stress terus menerus. Kenapa? Karena ia mencari kepuasan sementara. Lalu apakah ada kepuasan puncak?
Kepuasan puncak yang dicari setiap orang adalah sebuah suasana yang mampu membawa kita berada dalam suasana atau keadaan ekstasis yang menyebabkan rasa damai, tenang, bahagia, luas (universal), akan tetapi saat itu kita juga masih berkesadaran (tidak mabuk). Untuk mencapai suasana ini, kedua belahan otak (kiri-kanan) harus mendapatkan rangsangan yang cukup dan seimbang agar keduanya berfungsi secara optimum. Otak kiri yang mewakili aktivitas logic harus dirangsang dengan, hitung-hitungan, baca-bacaan, suara-suara, pengulangan-pengulangan, hafalan-hafalan, bentuk-bentuk gerakan tubuh yang teratur, dan berbagai aktivitas logic lainnya. Dalam istilah agama aktivitas logic ini dikenal sebagai: syariat, fikih, dan hukum-hukum agama lainnya.
Disamping itu otak kanan yang mewakili aktivitas holistik dan segala turunannya seperti emotional, spiritual, seni, dsb., juga harus mendapatkan rangsangan yang setimpal. Otak kanan ini maunya mengembara tak tentu arah, menclok sana menclok sini tak beraturan. Dalam pengembaraannya, kalau mendapatkan rangsangan yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya, maka saat itulah dia berhenti merespons untuk sesaat dan merangsang pengeluaran zat endorpin yang memacu munculnya rasa enak, senang, tenang, dsb. Akan tetapi kemudian, pada taraf tertentu, sensasi itu akan hilang lagi (lihat fenomena bosan diatas), dan sang otak kanan itu kembali membawa kita mengembara secara holistik tak tentu rimbanya. Mungkin aktivitas holistik ini “untuk sementara” bisalah dianggap diwakili oleh pelaku sufism, atau tarekat pada umumnya yang ada.
Nah kesegaran puncak ini hanya dan hanya akan bisa dicapai apabila aktivitas logic dan aktivitas holistik dari otak kiri dan otak kanan itu bisa dipadukan secara harmonis dalam sebuah aktivitas gerakan cyclic yang silih berganti. Kalau hanya satu gerak saja, misalnya hanya aktivitas logic saja, maka akan muncul orang-orang yang hidupnya terkungkung dengan hukum-hukum (baca syariat, fikih) yang terpaksa dia patuhi walau nyatanya tidak semua hukum itu bisa dia jalankan. Kita kalau masuk ke dalam jenis ini, maka kita akan sangat kaku dan serba ketakutan untuk berbeda dengan pakem hukum yang kita pegang dan percayai. Semua orang maunya kita hukumi dengan cara yang sama dengan contoh zaman terbaik yang kita percayai pernah ada, misalnya zaman Rasulullah dan zaman sahabat-sahabat. Di luar zaman itu kita anggap salah semua. Akan tetapi karena pakem yang kita pegang ini banyak dilanggar orang di zaman sekarang ini, maka kerjaan kita kebanyakan ngedumel, menyalah-nyalahkan, dan mencak-mencak saja kepada orang-orang yang tidak sesuai dengan logic-kita. Kita menjadi utopis. Artinya ya nggak ngeh juga.
Begitu juga jika orang hanya banyak menjalankan aktivitas holistiknya. Artinya yang diasah dan lebih aktif adalah belahan otak kanannya, maka efek yang muncul biasanya adalah orang yang mudah terbelenggu dengan “rasa yang dalam”. Tidak jarang penikmat holistik ini bisa mengurung diri di sebuah ruangan sempit dan gelap dalam waktu yang lama hanya untuk tenggelam dalam suasana olah rasanya, misalnya berdzikir (berwirid ribuan bacaan), shalat beraka’at-raka’at, atau bermeditasi dengan cakra-cakranya. Biasanya pelaku aktivitas holistik ini juga menganggap enteng pelaku aktivitas logic yang mereka anggap baru sampai pada taraf syariat, belum pada taraf hakekat apalagi taraf makrifat. Anggapan begini boleh dibilang sebagai keangkuhan orang spiritual terhadap orang syariat. Tak jarang mereka ini jatuh menjadi utopis juga. Lagi-lagi yang muncul adalah rasa tidak fresh.
Logic saja sebenarnya tidak ada salahnya. Akan tetapi cuma tidak menghasilkan fresh yang sempurna. Holistik saja juga sama gagalnya. Lalu aktivitas apalagi yang mampu memadukan keduanya secara harmonis dalam sebuah aktivitas cyclic ini…??. Ada yang mengatakan bahwa pelaku Taichi, Rei-Khi, Yoga, dan sejenisnya adalah sebuah contoh yang nyaris sempurna yang mampu menggunakan aktivitas gerakan cylic ini dalam praktek dan kesehariannya. Mari kita lihat sejenak apa yang mereka lakukan. Para taichi-ers mampu melakukan gerakan perlahan tetapi dengan penghayatan yang dalam terhadap “getaran, energi alam semesta” yang mampu mereka rasakan pada saat bergerak itu. Mereka mampu bertahan di fenomena gerak bergetaran itu dalam waktu yang lama sehingga mereka lalu seperti melupakan gerak fisik mereka. Artinya mereka memadukan gerak (logic) dengan rasa (holistik) dalam waktu yang bersamaan. Dalam gerak mereka ada rasa, ada ekstasisnya otak yang muncul.
Akan tetapi taichi ini pun menurut Deca dalam diskusi sufi ternyata juga tidak mampu membawa kita kepada the ultimate fresh yang sebenarnya. Masalah bahwa banyak dari pemraktek taichi, rei-khi, yoga yang jauh lebih baik dari orang yang rajin shalat, puasa, dan berwirid itu adalah hal lain lagi. Tetapi paradigma aneh ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja dan hal ini sudah menjadi pertanyaan panjang saya selama ini. Tapi alhamdulillah sekarang sudah terjawab.
Apalagi kalau hanya sekedar aktivitas musik, yang walaupun pada taraf tertentu berhasil memadukan aktivitas logic dan holistik ini, lebih terbatas lagi. Aktivitas cyclic musik ini hanya terjadi pada waktu yang singkat saja. Paling banter kita bisa jingkrak-jingkrak saat musik itu diputar. Akan tetapi, begitu musiknya selesai, maka kita akan ditarik kembali menjadi tidak fresh alias bete lagi.
Nah…, sekarang mari kita masuk kepada pembahasan tentang aktivitas macam apa gerangan yang akan mampu menciptakan kesegaran yang terpucak itu, sang the ultimate fresh maker. Karena kita ini ternyata memang butuh kesegaran demi kesegaran dalam hidup kita ini. Aktivitas itu, fasilitas itu, tak lain dan tak bukan adalah sebuah aktivitas dengan gerak tubuh sedemikian sederhananya. Akan tetapi, percaya nggak percaya, dalam kesederhanaannya itu ternyata tersembunyi sebuah kekuatan Maha Dahsyat yang sanggup merubah dan menggiring peradaban manusia sesuai dengan citra saat penciptaan sang manusia itu sendiri. Keberhasilan aktivitas ini sudah terbukti dalam berbilang zaman. Aktivitas itu adalah…SHALAT KHUSYU’……….!!!
Shalat…, tapi shalatnya harus yang khusyu’. Karena kalau tidak khusyu’, maka kita hanya akan menjadi si pemimpi tentang kebahagian, kemenangan, kesegaran, dan syurga sepanjang umur kita. Untuk mencapai tingkat fresh yang paling tinggi ini, maka tiada lain dasar pijakan kita juga harus dari sumber yang paling tinggi (the ultimate source), yaitu:
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. (Wa inna-ha…) Dan sesungguhnya shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(al Baqarah 45) (orang yang khusyu’ itu, yaitu) orang-orang yang meyakini, menyadari, bahwa mereka (saat shalat itu sedang) menemui Tuhannya, dan bahwa mereka (saat shalat itu sedang) kembali kepada-Nya. (Al Baqarah 46)"
Ayat inilah yang menyebabkan Rasulullah tidak perlu menerangkan lagi masalah tentang khusyu’ ini. Karena khusyu’ itu sudah dijelaskan dengan sangat sederhana tapi punya makna yang sangat dalam oleh Allah sendiri di dalam Al Qur’an. Al Qur’an menjelaskan Al Qur’an. Jadi sebenarnya kita tidak perlu banyak berteori lagi tentang khusyu’ ini. Karena teori-teori kita itu akan salah semua.
Akan tetapi dua ayat (yang tidak bisa dipisahkan) ini jugalah yang sudah sangat lama dilupakan oleh hampir semua umat Islam dalam shalat-nya. Kita semua memang tahu bahwa khusyu itu adalah saripatinya shalat. Kita tahu itu. Akan tetapi saat mau memahami apa itu khusyu, maka kita malah mencoba mencarinya kepada sumber-sumber rendah lainnya. Khusyu kita bahas dan definisikan dengan berbagai kalimat yang hampir-hampir berbeda dari orang ke orang. Kita takut untuk masuk ke ayat 46 yang disitu dengan tegas memuat sebuah keyakinan akan aktivitas rohani, aktivitas kesadaran yang dilakukan saat itu juga, yang mengalir dari awal sampai akhir shalat, yang tak berhenti sesaat pun, bahkan akan membekas setelah prosesi shalat itu selesai dilaksanakan. Sebuah aktivitas melampaui ruang dan waktu. Semua aktivitas kesadaran itu menjadi terlaksana saat sekarang dan akan berlangsung terus menerus (present continous tense). Aktivitas kesadaran itu bukan untuk masa yang akan datang (future tense).
Ketakutan kita untuk memahami ayat 46 ini sebagaimana adanya adalah sebuah ketakutan laten yang sudah berumur sangat panjang. Ketakutan yang berawal dari ketidakmampuan beberapa penganut tekstualitas agama yang dibantu oleh kekuatan politik (baca orang syariah, fikih) untuk memahami ke dalam ungkapan ekstasis dari para spiritualis besar dunia. Buya Hamka (alm.) sendiri, yang juga sudah sampai kepada realitas ekstasis ini, mengaku tidak berani mengungkapkannya kepada khalayak umum. “Saya bisa dibunuh kalau mengungkapkannya”, kata beliau. Akibat meninggalkan ayat 46 yang sangat esensial ini, umat Islam sekarang nyaris seperti anai-anai yang berterbangan tidak tahu arah atau seperti buih tipis yang tidak punya kekuatan apa-apa.
Akan tetapi kalau kedua ayat diatas dipadukan dalam sebuah laku shalat, maka yang akan kita dapatkan juga yang riil-riil saja, yang pasti-pasti saja. Kita akan dialiri realitas bahagia, tenang, kemenangan. Sebuah pencapaian kesegaran jasmani dan rohani yang sangat puncak, “the ultimate fresh reality”.

“Sungguh-sungguh berbahagialah, sungguh-sungguh beruntunglah, sungguh-sungguh menanglah orang-orang yang beriman, (orang yang beriman, yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (Al Mu’minuun ayat 1,2).

Subhanallah, kedua ayat ini benar-benar membuat miris dan ngeri membacanya. Dengan kata “alladzina (yaitu)”, Allah kembali mendefinisikan, menjelaskan sendiri makna tentang siapa itu orang-orang yang beriman. (alladzina, orang yang beriman yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Nah…, kalau TIDAK khusyu dalam shalat lalu kita ini jadi golongan apa…???. Kalau shalat kita tidak khusyu, maka ayat ini dengan tegas dan kejam menggolongkan kita menjadi orang yang… TIDAK BERIMAN…!!!.
Ternyata khusyu’ dalam shalat inilah yang membedakan orang yang beriman dengan yang tidak beriman. Pantas Rasulullah menyatakan bahwa:
“Shalat adalah tiangnya agama”,
“Yang paling duluan di hisab dari kita adalah shalat kita….”,

Kalau shalat kita baik (khusyu’) maka selesai sudah perhitungan-perhitungan amal kita, yang lain-lain jadi tidak dihisab lagi. Akan tetapi kalau shalat kita tidak beres (shalat yang lalai), maka habis sudah kita. Kita akan dimasukkan kedalam prosesi penyiksaan diri seperti yang akan dihadapi oleh orang-orang yang tidak beriman.
Selanjutnya, aktivitas-aktivitas logic shalat (syariat dan fikih) seperti bentuk gerakan fisik, bacaan, sequencial (urut-urutan dan pengulangannya), termasuk lama atau lambatnya pelaksanaan shalat ini, Rasulullah mencontohkannya dengan sangat bervariasi sekali dari waktu ke waktu. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya hadist yang bercerita tentang keragaman ini, yang kemudian menjelma menjadi berbagai Mahzab Fikih yang kadangkala memperlihatkan perbedaan yang cukup ekstrim disana-sini. Boleh jadi syariat dan fikih shalat bisa saja tidak abadi, akan tetapi makna holistik shalat akan tetap satu dan abadi sepanjang masa. Tulisan ini tidak akan membahas masalah-masalah syariat dan fikih dari shalat. Untuk ini silahkan masing-masing kita mengambil bentuk logic shalat menurut keyakinan kita masing-masing. Pembahasan tulisan ini akan lebih terfokus kepada usaha-usaha mengupas kedalaman samudera spiritual shalat sebatas apa yang bisa saya ungkapkan dalam bentuk tulisan.
Makna Shalat…
Kata shalat dalam bahasa Arab merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna dan cita rasa yang sangat tinggi sebagai anugerah Allah yang terbesar bagi umat manusia. Shalat, baik bentuk maupun ucapannya, merupakan pencapaian evolusi tertinggi dari usaha panjang manusia dalam rangka pencarian kesejatian fitrah dirinya. Banyak sudah usaha manusia untuk menyingkap kepada siapa sebenarnya (hakikinya) diri ini harus bersandar, harus bermohon, harus berharap, harus kembali, harus segala-galanya…. Praktek-praktek ibadah dan penyandaran diri penganut agama-agama besar dunia ataupun hanya sekedar kepercayaan seorang petani kecil sederhana dibalik bukit ketidaktahuannya tak lain hanyalah bagian sejarah tak terpisahkan dari usaha panjang pencarian manusia akan ujung penciptaannya. Tapi syukurlah, perjalanan panjang itu sepertinya diakhiri oleh Allah lewat sebuah bentuk penghambaan dan pemujaan yang sangat sederhana, yaitu shalat. Shalat adalah titik akhir perjalanan itu. Karena shalat itu sendiri adalah hasil dan oleh-oleh dari ujung perjalan Rasululllah saat bertemu dan berjumpa dengan Tuhan tatkala beliau di isra’kan dan di-mi’raj-kan oleh Tuhan.
Dalam surat Al Baqarah ayat 45 diatas, Allah secara terus terang dan lugas menyatakan bahwa sabar dan shalat adalah dua sarana tertinggi manusia untuk minta hidayah, minta pertolongan, minta petunjuk kepada-Nya. Disini Allah secara tegas menyatakan bahwa shalat semata-mata hanyalah kebutuhan esensial kita saja. Shalat itu bukanlah sebuah kewajiban manusia untuk menyembah Allah karena ketakutan kita terhadap siksa-Nya. Dengan shalat, kita dibawa kepada kesadaran bahwa pertolongan dan petunjuk dari “selain Allah” (baca ciptaan-Nya) dalam bentuk apapun menjadi sangat kecil dan tidak berarti apa-apa. Bagaimana bisa ciptaan-Nya tersebut memberikan pertolongan kepada kita, bahkan untuk menolong diri mereka sendiri mereka tidak mampu.
Akan tetapi, ada apa gerangan hambatan-hambatan dalam shalat itu, sehingga Allah dari awal sudah menyampaikan peringatan dini-Nya, “hati-hati kalian wahai manusia, karena shalat itu adalah suatu pekerjaan yang sangat sulit (lakabiiratun) untuk dilaksanakan”. Namun sayang sekali bahwa sangat sedikit kita yang peduli dengan peringatan dini Allah ini. Karena memang kalau dilihat sepintas lalu, apa susahnya sih shalat itu. Bentuk gerakan-gerakannya, seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk sudah jelas. Baca-bacaannya tinggal dihapal dan dibaca, baik dengan dimengerti artinya atau tidak. Oleh sebab itu sebagian besar kita dengan gampang mengabaikan saja peringatan dini Allah itu, kecuali bagi orang-orang sadar dan sensitif.
Orang yang sentitif akan selalu bertanya-tanya, saat shalatnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan seperti yang dijelaskan di dalam Al Qur’an. Saat mana dia tidak merasakan bahagia, tidak fresh, tidak tenang sehabis melaksanakan shalat, walaupun shalatnya sudah berulang-ulang kali, maka saat itu akan muncul pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan di relung hatinya. Kenapa realitas shalat berbeda antara harapan dengan kenyataan..??. Ada apa gerangan yang salah dalam shalat saya…??. Anasir apa yang menyebabkan tidak benarnya shalat saya ini…??. Lalu sampai kemana pun orang-orang ini akan berusaha mencari dan mencari obat agar shalatnya menjadi sebagaimana mestinya.
Carilah Shalat Khusyu’, sebuah sarana untuk mencapai the ultimate fresh maker yang mencengangkan. Sholat khusu’ inilah yang sesuai tanha anil fahsa wa mungkar. Sholat khusu’lah yang akan mampu membentuk kepribadian yang mantap. Dan inilah yang membedakan sholat itu perintah atau kebutuhan? Termasuk golongan manakah anda?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

molekul air akan berubah menjadi berguna menjadi obat ketika di bacakan doa, bagaimana dgn manusia yg tubuhnya 70% adalah air.?.manusialah yg membutuhkan sholat karena sholat itu sendiri doa..dan doa itu adalah penyembuh bagi dirinya....subhanallah maha benar allah dengan segala firman-Nya.

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*