Perayaan hari raya kurban menjadi sebentuk refleksi bagi umat Muslim khususnya dalam meredefinisi ulang kebermaknaan hari raya tersebut dalam perilaku sehari-hari. Ajaran berkorban adalah salah satu bentuk nilai pesan yang bisa diambil. Namun ajaran tersebut seakan absurd bila melihat realitas umat yang semakin individualis. Nilai-nilai yang indah yang dahulu menjadi mercusuar yang begitu bangga didesas-desuskan sebagai karakter bangsa seakan punah. Lalu apa pentingnya hari raya kurban? apakah hanya sekedar foya-foya dengan menyembelih sekian hewan?
Ditengah ketidakbermaknaan nilai pengorbanan tersebut muncul sebuah autokritik sosial dari novel dan film fenomenal “laskar pelangi” yang mengusung nilai ketulusan pengorbanan. Akankah ia mampu menjadi tonggak awal dalam menjungkirbalik ketololan masyarakat dalam menafsiri pengorbanan? Ataukah ia hanya sebagai bentuk Just film, just novel, just hiburan?
Akar Historis Ajaran berkurban
Pelaksanaan hari raya korban merujuk kepada mimpi Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anak beliau Ismail, sampai akhirnya prosesi yang terjadi adalah Allah mengganti (atau menebusnya) dengan seekor sembelihan yang besar. Dalam surat As-Shafaat ayat 100-107 dalam bahasa yang hiperbolik, menjelaskan cerita Nabi Ibrahim yang baru mempunyai keturunan setelah berumur cukup tua. Maka adalah sangat logis sekali bahwa nabi Ibrahim saat itu mungkin terlalu sayang dan sangat cinta kepada anaknya sehingga tanpa ia sadari, ia telah menjadi terikat (binding) dengan anaknya dan menduakan Allah. Lalu Allah memperingatkan Nabi Ibrahim lewat mimpi supaya ia menyembelih anaknya. Mimpi tersebut bisa diartikan bahwa janganlah sampai keberadaan anaknya itu kemudian menjadikannya lalai terhadap Allah. Ibrahim seperti diperintah untuk melepaskan binding kepada anaknya itu, sehingga ia kembali kepada keadaan semula yang hanya binding (terikat), hanya dekat menghadap kepada Allah. Lalu, saat nabi Ibrahim memberitahu perintah Allah itu kepada Nabi Ismail, maka Nabi Ismail pun bisa menerimanya. Ismail bisa menerima bahwa keberadaan Beliau bukanlah sebagai penghalang bagi kedekatan orang tua Beliau, Ibrahim, kepada Allah. Karena Beliau memang sudah dibimbing pula oleh Allah untuk menjadi orang yang berserah diri kepada Allah.
Hakikinya Ibrahim seperti disuruh untuk mendekatkan (qarib, qaraba) anaknya kepada Allah: "Ayo dekatkan anakmu kepada-Ku...!!!, karena dari anakmu itu juga akan Aku jadikan Rasul yang akan mewariskan keturunan yang nantinya akan menjadi manusia besar...". Karena kedua orang tua dan anak ini sudah berserah, sudah mendekatkan diri kepada Allah, saat sang anak bukan lagi sebagai penghalang kedekatan orang tua terhadap Allah, maka Allah lalu menerima penyerahan diri, pendekatan diri, dan binding beliau berdua itu. Beliau-beliau yang mulia itu hanya binding kepada Allah.
Namun penyerahan diri itu pun ternyata belum cukup. Lalu Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih seekor sembelihan yang besar. Artinya setelah lepas dari keterikatan anak, kemudian beliau masih diperintahkan lagi untuk melepaskan keterikatan terhadap harta, dalam hal ini adalah pada bentuk penyembelihan hewan. Maknanya adalah bahwa, biasanya yang menghalangi kita menghadap Allah adalah anak dan harta, (kalau sekarang mungkin ditambah lagi dengan istri, tahta, dan seabrek urusan lainnya). Begitu kuatnya anak dan harta ini membelenggu kita untuk menghadap kepada Allah, sampai-sampai Allah menerangkannya cukup detail dalam ayat Al Qur’an diatas, bahwa anak pun dengan, bahasa hiperbolik tentunya, kalau perlu kita qurbankan.
Intinya adalah, bahwa qurban adalah fasilitas lain yang disediakan Allah agar kita bisa binding dan mendekat HANYA kepada Allah. Untuk itu maka kembalikanlah anak kita, dekatkanlah anak kita, kembalikanlah harta kita, dekatkanlah harta kita kepada Yang Empunya semua itu, yaitu Allah SWT.
Menarik benang merah kehidupan
Ajaran berkurban adalah ajaran yang sangat mulia untuk diteladani. Ia seharusnya tidak hanya dijadikan ritualitas tahunan tanpa makna, namun lebih dari itu harus tertoreh dalam benak sebagai wujud keberimanan seseorang.
Adalah menarik untuk menyandingkan ajaran berkurban dengan novel serta film fenomenal ”LASKAR PELANGI”. Yang patut kita catut adalah ”laskar pelangi” menyajikan keagungan sebuah pengorbanan. Seorang guru di daerah terpencil semacam ibu Muslimah dengan segala kekurangan, baik fasilitas maupun gaji, namun dengan segala jerih payah pengorbanan yang ia berikan menjadi buah yang begitu manis. Murid-muridnya mampu meraih prestasi bahkan mengalahkan sekolah unggulan yang dielukan masyarakat. Tidak hanya itu, semua muridnya menjadi ”orang” dan memiliki karakter yang kuat. Semacam Andreas Herata sendiri adalah bagian dari kehidupan laskar pelangi itu sendiri. Ia mengaku begitu banyak ajaran-ajaran yang diberikan oleh gurunya ketika duduk dibangku SD Muhammadiya di daerah terpencil itu. Ia masih terngiang-ngiang bagaimana pengajaran dan pengorbanan sosok ibu Muslimah yang menjadikan spirit dalam kehidupannya. Ia mengaku gurunyalah yang mengukir pola pikirnya tentang akhlak. Gurunyalah yang mengajarkan tentang pengorbanan, ”memberikan yang terbaik kepada orang lain sebanyak yang kau mampu”(Novel Laskar pelangi). Hal ini senada dengan pernyataan Sukarno ”jangan kau bertanya apa yang diberikan negara kepada kamu, namun bertanyalah apa yang kau berikan kepada negara ini”.
Nilai-nilai pengorbanan yang didengungkan ”laskar pelangi” jelas merupakan auto kritik sosial. Karena ia hadir ditengah masyarakat sedang sakit ”individualis”. Masyarakat yang mengindahkan kebersamaan, toleran, persatuan dan kedamaian. Kelangkaan nilai itu jelas merupakan pergeseran nilai yang terjadi ditengah masyarakat kita. Ia hadir tidak serta merta. Namun ia datang lambat namun pasti merasuk menjadi karakter peribadi bangsa. ”Tidak ada yang gratis dalam hidup ini” adalah slogan yang menggambarkan kerapuhan penghargaan karena semua diukur dari materi. Berbeda dengan orang dahulu ”makan tidak makan yang penting bersama” jelas menandakan kebersamaan yang diunggulkan dari hanya sekedar materi ”makan”. Maka tidak heran bila ada orang bicara pengorbanan sekarang dicap sebagai ”pahlawan di siang bolong”????
Namun itu semua bukanlah absurd. Karena seiring dengan hari raya kurban bisa dijadikan moment penting untuk kembali mengangkat nilai-nilai pengorbanan. Memberi ruang kembali nilai itu masuk di dalam qolbu para pemimpin, guru, hakim, polisi, ulama untuk mengabdikan diri mereka kepada Allah. Pengorbanan yang penuh ikhlas dan dedikasi yang tinggi akan mampu menjadi energi besar untuk merubah negara ini. Jangan sampai mengorbankan yang besar untuk memperoleh yang kecil. Tujuan yang besar adalah nilai dari pengorbanan itu sendiri. Namun itu semuanya berpulang kepada kita semua. Bukankah berharap lebih mudah daripada melakukannya, bukan???
Ditengah ketidakbermaknaan nilai pengorbanan tersebut muncul sebuah autokritik sosial dari novel dan film fenomenal “laskar pelangi” yang mengusung nilai ketulusan pengorbanan. Akankah ia mampu menjadi tonggak awal dalam menjungkirbalik ketololan masyarakat dalam menafsiri pengorbanan? Ataukah ia hanya sebagai bentuk Just film, just novel, just hiburan?
Akar Historis Ajaran berkurban
Pelaksanaan hari raya korban merujuk kepada mimpi Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anak beliau Ismail, sampai akhirnya prosesi yang terjadi adalah Allah mengganti (atau menebusnya) dengan seekor sembelihan yang besar. Dalam surat As-Shafaat ayat 100-107 dalam bahasa yang hiperbolik, menjelaskan cerita Nabi Ibrahim yang baru mempunyai keturunan setelah berumur cukup tua. Maka adalah sangat logis sekali bahwa nabi Ibrahim saat itu mungkin terlalu sayang dan sangat cinta kepada anaknya sehingga tanpa ia sadari, ia telah menjadi terikat (binding) dengan anaknya dan menduakan Allah. Lalu Allah memperingatkan Nabi Ibrahim lewat mimpi supaya ia menyembelih anaknya. Mimpi tersebut bisa diartikan bahwa janganlah sampai keberadaan anaknya itu kemudian menjadikannya lalai terhadap Allah. Ibrahim seperti diperintah untuk melepaskan binding kepada anaknya itu, sehingga ia kembali kepada keadaan semula yang hanya binding (terikat), hanya dekat menghadap kepada Allah. Lalu, saat nabi Ibrahim memberitahu perintah Allah itu kepada Nabi Ismail, maka Nabi Ismail pun bisa menerimanya. Ismail bisa menerima bahwa keberadaan Beliau bukanlah sebagai penghalang bagi kedekatan orang tua Beliau, Ibrahim, kepada Allah. Karena Beliau memang sudah dibimbing pula oleh Allah untuk menjadi orang yang berserah diri kepada Allah.
Hakikinya Ibrahim seperti disuruh untuk mendekatkan (qarib, qaraba) anaknya kepada Allah: "Ayo dekatkan anakmu kepada-Ku...!!!, karena dari anakmu itu juga akan Aku jadikan Rasul yang akan mewariskan keturunan yang nantinya akan menjadi manusia besar...". Karena kedua orang tua dan anak ini sudah berserah, sudah mendekatkan diri kepada Allah, saat sang anak bukan lagi sebagai penghalang kedekatan orang tua terhadap Allah, maka Allah lalu menerima penyerahan diri, pendekatan diri, dan binding beliau berdua itu. Beliau-beliau yang mulia itu hanya binding kepada Allah.
Namun penyerahan diri itu pun ternyata belum cukup. Lalu Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih seekor sembelihan yang besar. Artinya setelah lepas dari keterikatan anak, kemudian beliau masih diperintahkan lagi untuk melepaskan keterikatan terhadap harta, dalam hal ini adalah pada bentuk penyembelihan hewan. Maknanya adalah bahwa, biasanya yang menghalangi kita menghadap Allah adalah anak dan harta, (kalau sekarang mungkin ditambah lagi dengan istri, tahta, dan seabrek urusan lainnya). Begitu kuatnya anak dan harta ini membelenggu kita untuk menghadap kepada Allah, sampai-sampai Allah menerangkannya cukup detail dalam ayat Al Qur’an diatas, bahwa anak pun dengan, bahasa hiperbolik tentunya, kalau perlu kita qurbankan.
Intinya adalah, bahwa qurban adalah fasilitas lain yang disediakan Allah agar kita bisa binding dan mendekat HANYA kepada Allah. Untuk itu maka kembalikanlah anak kita, dekatkanlah anak kita, kembalikanlah harta kita, dekatkanlah harta kita kepada Yang Empunya semua itu, yaitu Allah SWT.
Menarik benang merah kehidupan
Ajaran berkurban adalah ajaran yang sangat mulia untuk diteladani. Ia seharusnya tidak hanya dijadikan ritualitas tahunan tanpa makna, namun lebih dari itu harus tertoreh dalam benak sebagai wujud keberimanan seseorang.
Adalah menarik untuk menyandingkan ajaran berkurban dengan novel serta film fenomenal ”LASKAR PELANGI”. Yang patut kita catut adalah ”laskar pelangi” menyajikan keagungan sebuah pengorbanan. Seorang guru di daerah terpencil semacam ibu Muslimah dengan segala kekurangan, baik fasilitas maupun gaji, namun dengan segala jerih payah pengorbanan yang ia berikan menjadi buah yang begitu manis. Murid-muridnya mampu meraih prestasi bahkan mengalahkan sekolah unggulan yang dielukan masyarakat. Tidak hanya itu, semua muridnya menjadi ”orang” dan memiliki karakter yang kuat. Semacam Andreas Herata sendiri adalah bagian dari kehidupan laskar pelangi itu sendiri. Ia mengaku begitu banyak ajaran-ajaran yang diberikan oleh gurunya ketika duduk dibangku SD Muhammadiya di daerah terpencil itu. Ia masih terngiang-ngiang bagaimana pengajaran dan pengorbanan sosok ibu Muslimah yang menjadikan spirit dalam kehidupannya. Ia mengaku gurunyalah yang mengukir pola pikirnya tentang akhlak. Gurunyalah yang mengajarkan tentang pengorbanan, ”memberikan yang terbaik kepada orang lain sebanyak yang kau mampu”(Novel Laskar pelangi). Hal ini senada dengan pernyataan Sukarno ”jangan kau bertanya apa yang diberikan negara kepada kamu, namun bertanyalah apa yang kau berikan kepada negara ini”.
Nilai-nilai pengorbanan yang didengungkan ”laskar pelangi” jelas merupakan auto kritik sosial. Karena ia hadir ditengah masyarakat sedang sakit ”individualis”. Masyarakat yang mengindahkan kebersamaan, toleran, persatuan dan kedamaian. Kelangkaan nilai itu jelas merupakan pergeseran nilai yang terjadi ditengah masyarakat kita. Ia hadir tidak serta merta. Namun ia datang lambat namun pasti merasuk menjadi karakter peribadi bangsa. ”Tidak ada yang gratis dalam hidup ini” adalah slogan yang menggambarkan kerapuhan penghargaan karena semua diukur dari materi. Berbeda dengan orang dahulu ”makan tidak makan yang penting bersama” jelas menandakan kebersamaan yang diunggulkan dari hanya sekedar materi ”makan”. Maka tidak heran bila ada orang bicara pengorbanan sekarang dicap sebagai ”pahlawan di siang bolong”????
Namun itu semua bukanlah absurd. Karena seiring dengan hari raya kurban bisa dijadikan moment penting untuk kembali mengangkat nilai-nilai pengorbanan. Memberi ruang kembali nilai itu masuk di dalam qolbu para pemimpin, guru, hakim, polisi, ulama untuk mengabdikan diri mereka kepada Allah. Pengorbanan yang penuh ikhlas dan dedikasi yang tinggi akan mampu menjadi energi besar untuk merubah negara ini. Jangan sampai mengorbankan yang besar untuk memperoleh yang kecil. Tujuan yang besar adalah nilai dari pengorbanan itu sendiri. Namun itu semuanya berpulang kepada kita semua. Bukankah berharap lebih mudah daripada melakukannya, bukan???
0 komentar:
Posting Komentar