Kamis, Maret 05, 2009

Mempertaruhkan kejujuran peserta UNAS




Beberapa bulan lagi lembaga pendidikan kita akan disibukkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Karenanya semua sekolah baik swasta maupun negeri berlomba-lomba dalam mematangkan kesiapan melaksanakan UNAS tersebut. Strategi, taktik, trik serta intrik pun dipakai. Dari tata letak bangku sampai ornamen-ornamen yang mengalihkan perhatian pengawas pun dipasang. Semuanya serba di atur sesuai dengan selera dan yang lebih penting menguntungkan posisi.
Seluruh siswa dinasehati bagaimana membangun kerja sama, kompak dan saling tolong menolong. Yang pinter tidak boleh egois, namun harus berbagi dengan sesama. Intinya siswa tidak boleh bersikap individualis tapi khusus dalam menghadapi UNAS harus berkarakter sosialis.
Akibatnya banyak ditemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan peserta UNAS. Beberapa kasus misalnya, siswa memakai HP disaat ujian, ternyata isi HP tersebut berisi jawaban-jawaban. Ditemukan pula HP yang menyimpan seluruh isi catatan baik catatan buku maupun buku paket, dipakai untuk nyontek siswa. Kasus lain ditemukan sobekan kertas yang disebarkan dengan berisikan beberapa jawaban. Dan kasus-kasus lainnya yang kayaknya sudah menjadi rahasia umum dalam dunia per-UNAS-an.
Kasus-kasus itu terjadi pertama, lantaran ada dukungan dari berbagai pihak. Bisa jadi guru dan birokrat sekolahan yang mengarahkan atau yang lebih parah didukung oleh pengawas yang terlenakan oleh pelayanan dan fasilitas. Memang kesalahan ini tidak semuanya bisa ditujukan kepada bapak-ibu guru atau pihak lain yang punya kepentingan. Karena diulangan-ulangan harian saja perilaku nyontek dikalangan siswa hampir-hampir sulit untuk dibendung. Namun jikalau perilaku ”negatif” tersebut didukung oleh bapak-ibu guru atau birokratnya baik langsung maupun tidak langsung, maka siswa akan memperoleh dukungan pembenar atas perilaku mereka. Mereka akan menganggap perilaku mereka syah dan wajar-wajar saja dalam UNAS demi menyelamatkan muka sekolah.
Kedua, campur tangan sekolah. Sekolah sepertinya takut jikalau salah satu siswanya tidak lulus. Sekolah merasakan ketakutan jika citra jelek hinggap dilembaganya. Jika salah satu anak didiknya tidak berhasil lolos dalam ujian nasional kemungkinan besar sekolah akan menanggung malu, baik malu terhadap Dinas Pendidikan, maupun lembaga sekolah lainnya terlebih malu terhadap wali murid. Dan yang lebih menakutkan jika itu berpengaruh terhadap eksistensi kelanjutan sekolah tersebut. Kemungkinan besar sekolah was-was kalau lembaganya akan berkurang peminatnya. Sekolah merasa khawatir jika mereka tidak mendapat sesuai dengan kuota kursi yang telah tersedia.
Tapi jika kita menilik lebih mendalam ketakutan itu tidaklah beralasan khususnya untuk sekolah-sekolah negeri. Karena citra sekolah negeri dimata masyarakat masih tinggi. Lulus atau tidak lulus siswanya, tidak akan berpengaruh besar terhadap eksistensi sekolahnya. Masyarakat akan lebih condong menyekolahkan anaknya ke negeri daripada memasukkan ke sekolah swasta. Meskipun sekolah negeri bobroknya bukan main. Namun hal ini bukannya kemudian sekolah negeri bisa bersikap sembrono. Yang saya maksudkan jangan sampai sekolah-sekolah negeri mengalami phobia sehingga bersikap desktruktif dalam memenej siswanya dengan melakukan diluar rule of law.
Terlepas dari itu semua, lembaga sekolah seharusnya memiliki sifat fair terhadap siswa maupun lembaga sekolah lainnya. Siswa tidak seharusnya diajari dengan sikap tidak jujur dalam menghadapi UNAS. Mengajari kerjasama dalam ujian, trik-trik mencari celah pengawas, terlebih mencari trik untuk nyontek, jelas bukan merupakan sikap fair dalam ujian. Mengajari tidak jujur jelas akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan kepribadian anak. Anak akan mengalami ambiguitas kepribadian. Di satu sisi ia meyakini bahwa kejujuran adalah nilai yang baik dalam kehidupannya sebagaimana diajarkan oleh guru agama. Tapi disisi lain ia dituntut untuk tidak jujur oleh lingkungan sekelilingnya. Ia dituntut untuk beradaptasi dari peraturan yang tidak jelas tersebut. Akhirnya nilai-nilai ideal yang ia yakini perlahan akan hancur oleh setting area kebohongan. Kecerdasan emosi dan spiritual yang dibangun dengan susah oleh guru agama ataupun guru-guru penjaga moral lainnya hancur berkeping-keping demi kepentingan sesaat, UNAS.
Dengan demikian lengkap sudahlah kita mensodaqohkan dekadensi moral dikalangan remaja kita. Dekadensi moral yang menjadi persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan akan menjadi bom waktu bagi negara besar bernama Indonesia. Jika dunia pendidikan tidak mampu mengubah orientasinya pendidikannya kearah kepribadian bangsa. Niscaya pendidikan kita akan berkutat diwilayah pragamatisme belaka. Terwujudnya manusia seutuhnya atau dalam bahasa lain memanusiakan manusia akan jauh dari kenyataan. Terlebih jika mengorientasikan diri membentuk generasi yang cerdas dan bermoral, maka akan sangat sulit untuk dijangkau.
Penanaman kejujuran yang seharusnya menjadi pemutus generasi korupsi sejak usia dini khususnya usia pelajar dihancurkan oleh guru yang konon terkenal dengan istilah digugu lan ditiru. Atau kalau dalam istilah Islamnya uswatun khasanah. Bisa jadi benar tudingan berbagai pihak bahwa kemerosotan moral dikalangan remaja biang keroknya adalah guru. Karena ditangan gurulah karakter siswa dibentuk. Tangan gurulah yang membentuk hitam dan putihnya siswa. Ilmu yang ditanam itulah yang mempengaruhi pola berpikir siswa. Baik-buruk yang ditanam gurulah yang membentuk kepribadian siswa. Karena jika kita mau jujur, guru adalah orang tua kedua setelah ayah ibu kandungnya. Interaksi dengan guru jauh lebih banyak ketimbang ayah-bundanya. Sehingga pengaruh sikap guru lebih banyak daripada lainnya. Transformasi nilai dari guru lebih banyak ketimbang bentuk-bentuk transformasi lainnya. Dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Intinya peran guru begitu besar sehingga maju mundurnya bangsa, baik buruknya siswa, hebat tidaknya generasi terletak pada tangan guru.
Karenanya adalah sangat urgen untuk menata kembali orientasi kepribadian dalam membangun karakter siswa. Khususnya dalam penanaman akhlakul karimah. Dalam konteks ini nilai kejujuran yang merupakan salah satu komponen dari kecerdasan spiritual haruslah dijaga dan ditata sesuai fitrahnya. Tidak saja guru agama yang bertanggungjawab tapi seluruh komponen dalam bangunan pendidikan harus memiliki kewajiban dalam membangun kepribadian siswa.
Dalam bingkai berkompetisi, seharusnya ada etika-etika yang harus dijadikan kode etik dalam mengemban pelaksanaan dan aplikasi dari etika yang diyakini. Kompetisi harus menguatamakan sportifitas bukannya intrik. Sportifitas di dalam dunia kompetisi, terlebih adalah lembaga pendidikan, akan mendukung suatu area kompetisi yang sehat. Sehingga ke depan akan terjadi, meminjam istilah al-Quran fastabiqul khairot, perlombaan dalam hal kebaikan. Sekolah akan berlomba secara baik dalam meningkatkan mutu anak didik, guru maupun lembaga yang diembannya. Sekolah akan bisa memperbaiki kualitas SDM-nya. Sekolah akan mampu menjadi bargaining position terhadap orang tua yang mau menyekolahkan anaknya ke lembaganya. Sehingga sekolah secara tidak langsung telah melakukan promosi yang realistis pada masyarakat. Bisa dibuktikan sesuai dengan kenyataan sekolah.
Begitupun pengaruhnya terhadap anak didik. Anak didik akan bisa mengambil ibrah terhadap sikap guru dan lingkungan yang ada disekelilingnya. Sikap guru yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran akan membentuk karakter anak didik yang jujur. Sikap guru dan sekolah yang menjunjung nilai-nilai spiritual akan menjadi keyakinan tersendiri bagi siswa di dalam menjalankan keyakinan yang tertanam dalam dada. Sehingga kelak generasi kita akan menjadi generasi yang tidak lupa pada nilai luhur yang merupakan nilai dasar dari keyakinan agamanya. Semoga generasi kita bisa menjadi generasi harapan dalam membangun kepribadian bangsa yang bersih dari ketidakjujuran. Begitupun juga gurunya. Semoga!!!!!!.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Gimana yaw sebenernya?????????

Lha kan kita juga butuh kelulusan ce......????????

Masak kita ga boleh lulus??????

Kan ada kalanya kita tu kerja sama dan ada kalanya kita harus sendiri......

Masak Bapak sendiri sebagai seorang Guru tidak menginginkan anaknya lulus?????????

Anonim mengatakan...

Walah saya malah berharap agar anak saya nanti lebih menghargai kejujuran daripada pembohong.....
ngerpek itu kan latihan korupsi....
la wong di sekolahan saja sudah terlatih korupsi nilai....kalau sudah dewasa. JANGAN TANYA?????

Anonim mengatakan...

keren...keren!!!
q se7 koq sama pendapat bpk!masalahnya sistem skr kurang mendukung org2 yg ju2r! jd tugas berat qt(sebagai org2 yg sudah sadar) untk menyadarkan org2 yang blm sadar!
from nisa'

Anonim mengatakan...

keren...keren!!!
q se7 koq sama pendapat bpk!masalahnya sistem skr kurang mendukung org2 yg ju2r! jd tugas berat qt(sebagai org2 yg sudah sadar) untk menyadarkan org2 yang blm sadar!
from nisa'

Kethuk Hati © 2008 Por *Templates para Você*